Pertemuan Kampung-Hutan-Perkotaan dari Kampung Pasir Eurih Bersama Tiga Komunitas Lainnya

Pada tanggal 5-6 Maret 2022, RMI mengadakan pertemuan dengan perwakilan pemuda dan anak di Kasepuhan Pasir Eurih, Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Kegiatan pertemuan anak dan pemuda ini berjalan dengan didukung oleh terre des hommes-Germany (tdh-G), sebuah lembaga nirlaba yang memiliki fokus di hak-hak anak dan bekerja di berbagai negara dengan lembaga-lembaga lokal. Di Indonesia saat ini adalah 4 lembaga yang bekerjasama dengan tdh-G yaitu RMI, Nexus3 Foundation, Yayasan Pusat Kajian Perlindungan Anak (PKPA) dan Sokola Institute. Pertemuan ini merupakan kegiatan rutin dua tahunan dan sering disebut sebagai NCYPM (National Children and Youth Partners Meeting).

Pertemuan dua hari tersebut dilaksanakan secara hybrid (offline dan online). Selain RMI yang memfasilitasi di Kampung Pasir Eurih-Lebak, Banten, pertemuan serentak juga dilakukan di Kota Medan (difasilitasi Yayasan PKPA), Desa Sekotong-Nusa Tenggara Barat (difasilitasi Nexus3 Foundation)  dan Kota Bangko, Jambi (difasilitasi oleh Sokola Institute). 

Pertemuan yang diikuti sekitar 30 peserta ini berjalan seru. Banyak muncul rasa kagum dan heran saat tiap kelompok berbagi cerita. Kelompok yang mengikuti kegiatan memang berbeda latar belakang; masyarakat adat, tinggal di desa dan kota, di gunung, hutan, anak yang bersekolah formal dan yang tidak bersekolah. Keragaman ini memperkaya pembelajaran antar kelompok, tidak heran tiap sesinya berjalan menarik.

Dari RMI sendiri, kelompok anak dan pemuda yang mengikuti kegiatan berasal dari KOMPAK (Komunitas Pemuda Adat Kasepuhan) Pasir Eurih dan LLI (Lentera Lumbung Ilmu) dari Kasepuhan Cirompang. Dua kelompok tersebut memiliki latar belakang masyarakat pedesaan yang masih memegang teguh adat, tinggal di sekitar gunung, dekat hutan, menerima modernitas dan umumnya sudah menikmati pendidikan formal. Mereka banyak bergerak di isu pelestarian budaya masyarakat adat Kasepuhan, pendidikan adat dan pendidikan alternatif.

Melihat Implementasi Hak Anak di Sekitar Tempat Tinggal

Pada hari pertama (5 Maret 2022), setelah pembukaan singkat dan penginformasian kebijakan perlindungan hak anak (child rights protection policy) dan perkenalan, kegiatan dilanjutkan oleh masing-masing kelompok secara offline. Kegiatan yang dilakukan adalah untuk melihat implementasi hak anak di sekitar lokasi mereka tinggal. Metode yang  digunakan adalah “body mapping” yang mengharuskan adanya seorang model untuk dijadikan contoh untuk digambar bentuk tubuhnya. Setelah model dipilih oleh kelompok, peserta lain segera menggambar bentuk badan si model di kertas plano besar yang sudah disediakan. Gambar tubuh yang sudah jadi lalu diwarnai dan bagian-bagian tubuhnya akan dijadikan patokan untuk melakukan assesment terkait isu-isu hak anak. Peserta yang difasilitasi oleh Indra N.H. dan Fauzan Adima, RMI,  membedakan gambar menjadi perempuan dan laki-laki sesuai dengan kelompok yang terbentuk. Fasilitator memfasilitasi dengan menunjuk bagian-bagian tertentu pada gambar tubuh dan mengajak peserta untuk berdiskusi melalui pertanyaan-pertanyaan kunci. 

Pada bagian telinga contohnya, fasilitator memberikan pertanyaan: apakah kamu pernah mendengar pernyataan-pernyataan yang menurutmu melanggar hak-mu; atau melalui pertanyaan apakah menurutmu orang tua di kampungmu mendengarkan pendapat dari anak-anak mereka?. Pertanyaan-pertanyaan ini membantu para peserta untuk menggali lebih jauh tentang keadaan di sekeliling mereka. 

Pertanyaan lain lagi misalnya adalah saat peserta sampai pada bagian gambar perut, fasilitator bertanya, apakah peserta mengetahui ada keluarga yang anaknya mengalami kelaparan, atau apakah menurut mereka anak-anak di lingkungan mereka sudah tercukupi kebutuhan gizinya? 

Pertanyaan-pertanyaan pemantik seperti ini didiskusikan oleh para peserta dan tak jarang terjadi pembelajaran antar sebaya lewat penyampaian informasi yang baru, kurang diketahui sebelumnya oleh teman-temannya sendiri. Kasus pernikahan dini misalnya, menjadi informasi baru setelah disebutkan di beberapa wilayah Kasepuhan, kasus ini lebih tinggi dibanding wilayah lainnya.

Para peserta juga memberikan pendapat mengenai para pihak yang seharusnya terlibat dalam implementasi hak anak di kampung mereka. 

Mengenal budaya, situasi dan sejarah dari masing-masing kelompok

Pada hari kedua (6  Maret 2022), para peserta berkenalan lebih jauh. Kali ini dengan bermain menebak “fakta atau bukan.” Masing-masing kelompok membuat pernyataan mengenai budaya, atau keadaan di kampung mereka. Peserta dari kelompok lain perlu menebak apakah pernyataan tersebut merupakan fakta atau bukan.

“Semua pemuda di rimba (Orang Rimba maksudnya), yang berbadan sehat bisa mengambil madu di pohon sialang (pohon tinggi tempat lebah membuat sarang) di rimba.” Pernyataan yang dibacakan oleh Jangat Pico, lewat media Zoom ini perlu ditebak oleh tiga kelompok lain di tiga lokasi. Tidak ada yang tahu pasti apakah pernyataan ini merupakan fakta atau bukan. Setelah dijawab, kebenaran pernyataan ini akan dijelaskan oleh kelompok yang memberi pernyataan. 

Kelompok anak dan pemuda di Kasepuhan Pasir Eurih juga memberikan beberapa pernyataan. Salah satunya adalah mereka menyatakan “masyarakat Kasepuhan merupakan keturunan dari pasukan Kerajaan Mataram.” Pernyataan ini ditanggapi beragam juga oleh kelompok-kelompok lain. Ada jawaban yang benar, ada jawaban yang salah.

Kelompok lain kemudian melakukan hal yang sama yaitu memberikan pernyataan yang harus ditebak kelompok lainnya.

National Partners Meeting: Ruang anak dan pemuda untuk menyuarakan haknya

Sesi selanjutnya adalah presentasi online yang dilakukan oleh perwakilan masing-masing kelompok. Hasil presentasi merupakan ringkasan dari kegiatan sehari sebelumnya, yaitu hasil diskusi terkait isu-isu pemenuhan hak anak. Dari presentasi dan diskusi tampak keadaan sangat bervariasi, sesuai dengan kondisi yang dilihat oleh masing-masing kelompok di berbagai wilayah. 

Selesai presentasi, peserta melakukan pemilihan perwakilan untuk menyuarakan suara anak dan pemuda di pertemuan kelompok pendamping (NPM – National Partners Meeting) tdh-G yang rencananya akan diadakan pada bulan Mei 2022. Dalam desain tdh-G, suara mereka juga akan disuarakan kembali di pertemuan yang lebih besar dan melibatkan perwakilan-perwakilan anak dan pemuda di Asia Tenggara nantinya. Kegiatan ini memang merupakan kegiatan yang memiliki tingkatan-tingkatan, di tingkat lokal, nasional dan lalu regional Asia Tenggara, terakhir adalah di tingkat internasional.

Dari pertemuan ini peserta muda bisa membuktikan bahwa diskusi yang mereka lakukan mampu membuahkan keluaran berupa pemetaan isu terkait pelaksanaan hak anak di lokasi masing-masing. Pada pertemuan ini juga terjadi terjadinya peningkatan kapasitas anak dan pemuda terutama berkaitan dengan soft skill seperti kemampuan berbicara, bekerjasama dengan teman, dan menuangkan ide-ide secara sistematis dengan percaya diri. Sebagai bonus, selama pertemuan para peserta juga jadi lebih saling mengenal satu sama lain di antara mereka sendiri dan dengan teman-teman dari berbagai daerah. Perkenalan awal ini bisa jadi merupakan permulaan dari bentuk kerjasama antar kelompok anak dan pemuda  di kemudian hari. Kita tunggu saja di depannya.

Penulis: Indra NH

Editor: Siti Marfu’ah

Memajukan Hak Anak atas Lingkungan yang Sehat

Sebuah gagasan dari Pelapor Khusus PBB membawa sebuah skema kerjasama antara RMI dan Terre Des Homme Jerman untuk menyelenggarakan pertemuan konsultasi yang melibatkan generasi muda dan anak-anak dari 11 Negara di kawasan Asia Timur dan Pasifik, sebagai upaya dalam Memajukan Hak Anak Atas Lingkungan yang Sehat. RMI sendiri sudah sejak 2004 memiliki fokus khusus untuk melihat keterkaitan antara isu (hak) anak dengan (kesehatan) lingkungan—dan terus berkembang hingga melihat bahwa isu-isu hilangnya akses masyarakat terhadap sumber-sumber agraria sebagai bagian yang membawa dampak pada tumbuh kembang generasi muda. RMI dan Terre des Hommes Germany sendiri telah bermitra sejak tahun 2004 tersebut.

Konsultasi ini adalah momen di mana generasi muda bisa menyuarakan aspirasinya mangenai apa yang mereka butuhkan agar data tumbuh di lingkungan yang sehat, yang menjadi faktor penting dalam tumbuh-kembang generasi muda, baik fisik maupun psikologis. Konsultasi tidak dilakukan terhadap orang-orang dewasa, melainkan kepada generasi muda. Event konsultasi ini bertujuan untuk menangkap aspirasi, pendapat, pandangan anak-anak muda usia 8-24 tahun tentang situasi lingkungan yang mereka hadapi.

Para generasi muda menyampaikan aspirasi mereka mengenai hak anak atas lingkungan yang sehat.

Di sini, para generasi muda duduk bersama para ahli yang merupakan penggiat isu hak Anak, akademisi, penggiat lingkungan, dan paralegal dari Inggris, Australia, Malaysia, Jepang, Philippine dan tentunya Indonesia. Upaya konsultasi ini merupakan bagian dari konsultasi dunia untuk mendapatkan informasi dari seluruh region, hingga akhirnya nanti dapat disampaikan dalam Sidang Umum PBB pada tahun 2021 di New York, Amerika Serikat. Upaya ini dilakukan untuk mendorong PBB mengeluarkan rekomendasi yang mengikat negara-negara anggotanya untuk melindungi anak-anak dan memenuhi hak mereka untuk dapat tumbuh kembang dalam kondisi lingkungan yang sehat.

Para anggota Relawan 4 Life RMI, Nafisa dan Niza berperan aktif di dalam forum ini. Nafisa berbagi tentang betapa ia sangat tersentuh dengan keanekaragaman peserta dari berbagai negara, “Rangkaian acaranya seru dan semua orang yang terlibat baik dan ramah, tetapi di sisi lain saya juga merasa sedih ketika lebih mengetahui/berdiskusi mengenai permasalahan yg sedang dialami oleh anak muda terkait kerusakan lingkungan”, ujarnya dengan sungguh-sungguh. Nafisa juga menyampaikan harapannya setelah mengikuti kegiatan ini, bahwa di masa mendatang, anak muda akan lebih paham terhadap isu lingkungan, dan komunitas nasional maupun internasional akan dapat melakukan aksi nyata yang dapat memberikan dampak besar terhadap hak anak atas lingkungan yang sehat.

Sementara itu, seorang pemudi dari masyarakat adat Karen di Thailand menyatakan situasi komunitasnya yang memprihatinkan akibat aktivitas pertambangan yang telah berdampak secara kesehatan kepada anak-anak, misalnya kelainan lahir hingga gagal janin. “Orang dewasa selalu berkata bahwa generasi muda adalah masa depan, tapi mereka tidak membiarkan kita tumbuh dalam lingkungan yang sehat,” ujarnya.

Peserta dari Relawan 4 Life yang tergabung juga dengan jaringan anak muda SMN sedang berdiskusi mengenai lingkungan yang sehat.

Pertemuan konsultasi ini diadakan di Sentul, Bogor pada 22-23 Oktober 2019, di mana satu hari sebelumnya, pada 21 Oktober 2019, semua peserta yang didominasi oleh anak-anak dan remaja berkumpul untuk mendapatkan briefing dan pemantapan untuk mengikuti acara konsultasi tersebut.

Panelis Diskusi Publik: Hak Anak Atas Lingkungan yang Sehat , (dari kiri ke kanan) Nadyati Fajrin-Relawan 4 Life; Nur Hidayati-WALHI; Mardha Tillah- RMI; Lies Rosdianty-Kementrian PPPA; dan Susy Herawati- KLHK.

Pada 24 Oktober 2019, hasil rekomendasi dan temuan di konsultasi tersebut dikemukakan di depan pemerintah Indonesia dalam sebuah diskusi panel bertajuk Mempromosikan Hak Anak Atas Lingkungan Sehat. Acara diskusi ini bertempat dan diselenggarakan bersama Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan dihadiri pula oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang duduk juga di kursi panelis bersama KLHK, WALHI, dan RMI. RMI dan Terre Des Hommes juga menggandeng UNICEF untuk turut berperan aktif sebagai moderator dalam acara diskusi panel tersebut.

Dalam presentasinya, Mardha Tillah selaku Direktur Eksekutif RMI mengangkat isu hak anak dari hal paling sederhana yang menjadi bagian penting dalam kehidupan anak-anak yaitu bermain. Tilla, panggilannya, menyatakan bahwa anak berhak untuk dapat bermain di tempat yang aman dari zat-zat kimia yang membahayakan mereka, juga marabahaya yang mengancam mereka secara jiwa. Dia merujuk pada kasus-kasus kematian anak saat bermain di lokasi dekat bekas lubang tambang yang tidak direhabilitasi dengan baik di Kalimantan, misalnya. Namun lebih dari itu, Tilla menggarisbawahi tentang situasi-situasi masyarakat, termasuk masyarakat adat, yang kehilangan tanah atau kehilangan akses akan tanah karena adanya pembangunan skala besar, “yang jelas membuat anak-anak tidak dapat bermain dengan aman, atau bahkan untuk dapat bermain di wilayah-wilayah yang sebelumnya merupakan wilayah milik komunitas mereka”.

Sari Ramadhanti, salah satu anggota R4L yang hadir dalam diskusi panel tersebut juga mengemukakan pentingnya forum semacam ini, karena ini bisa menjadi media untuk menyuarakan aspirasi mereka sebagai generasi muda dalam memperjuangkan haknya atas lingkungan yang sehat. Dhanti berharap acara ini bisa dilanjutkan di level nasional, karena tidak bisa dipungkiri bahwa lingkungan yang tidak sehat merupakan faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan seorang anak. Dhanti berharap harus ada kebijakan yang tegas dari pemerintah untuk menjaga lingkungan yang sehat, dan bisa melibatkan pihak akademisi dan mahasiswi/a untuk berperan aktif dalam menyelenggarakan acara semacam ini.

Sementara koordinator Relawan 4 Life RMI, Nadyati Farzin yang juga duduk di kursi panelis sebagai perwakilan generasi muda yang mengikuti acara tersebut menutup dengan memberi pesan kepada kita semua “if many little people in many little places, do many little efforts, then we can change the world for our future.” Sebuah pesan sederhana bermakna kuat yang menegaskan bahwa sebuah perubahan besar bisa terwujud dari sebuah langkah kecil.

Penulis: Dinda Tungga Dewi

Editor: Mardha Tillah