Jakarta, 16 Agustus 2024 – Selama sepuluh tahun Jokowi memerintah republik ini, Masyarakat Adat merasa tertipu dengan janji-janji yang pernah Jokowi sampaikan dan komitmennya di awal pemerintahan Jokowi yang tercantum dalam Nawacita. Demikian disampaikan oleh Abdon Nababandari Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat merespon pidato Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam Penyampaian Laporan Kinerja Lembaga-Lembaga Negara dan Pidato Kenegaraan dalam rangka Hari Ulang Tahun (HUT) ke-79 Kemerdekaan RI.
“Tidak ada satu pun frasa “Masyarakat Adat” dalam pidato itu. Pidato itu hanya berisi klaim-klaim angka keberhasilan pembangunan jalan, pelabuhan, bandara, bendungan dan jaringan irigasi. Jokowi juga mengklaim keberhasilan pembangunan smelter dan industri pengolahan untuk nikel, bauksit, dan tembaga,” tambah Abdon Nababan.
“Perjumpaan AMAN dengan calon Presiden Jokowi di tahun 2014 menorehkan 6 janji Nawacita Jokowi-JK untuk Masyarakat Adat. AMAN dan jaringan pendukung bekerja secara sukarela menggalang suara. Paling sedikit 12 juta suara kami sumbangkan untuk kemenangan Jokowi-JK. Setelah kemenangan, saya mewakili AMAN menerima obor relawan dari Surya Paloh dalam satu upacara di Kemayoran,” kata Abdon Nababan.
“Dalam sepuluh tahun terakhir, politik hukum Masyarakat Adat semakin memburuk. Penetapan Perppu Ciptaker menjadi UU Cipta Kerja, KUHP, revisi UU IKN, UU KSDAHE, dan berbagai peraturan perundang-undangan di bidang agraria dan sumber daya alam mengandung unsur-unsur “penyangkalan” yang kuat terhadap eksistensi Masyarakat Adat beserta hak-hak tradisionalnya. Political will pemerintahan sangat rendah. Negara masih terus menerus mengedepankan skenario hukum dengan latar kekuasaan yang berwatak merampas dan menindas yang tercermin dari skenario pengakuan hukum yang rumit, bertingkat-tingkat, sektoral, memisahkan proses pengakuan hak atas wilayah adat dari pengakuan Masyarakat Adat, bahkan mengecualikan wilayah-wilayah adat yang berkonflik dari pengakuan Masyarakat Adat,” papar Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).
Sayangnya lagi, seluruh klaim keberhasilan di dalam pidato tersebut dibangun di atas perampasan dan penggusuran wilayah masyarakat adat. “Data AMAN hingga Mei 2024 menunjukkan bahwa sepanjang rezim pemerintahan Jokowi berkuasa, telah terjadi perampasan wilayah adat seluas 11,07 juta hektar, 687 konflik Masyarakat Adat yang mengakibatkan 925 orang dikriminalisasi, serta puluhan diantaranya mengalami luka-luka dan satu orang meninggal dunia,” kata Syamsul Alam Agus, Ketua Badan Pelaksana Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN).
“Selain itu, pengakuan wilayah adat baru mencapai 16% dari 30,1 juta hektar peta wilayah adat yang teregistrasi di Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA). Sedangkan pengakuan hutan adat baru mencapai 8% dari 3,4 juta hektar potensi hutan adat dari wilayah adat yang telah ditetapkan pengakuannya oleh Pemerintah Daerah,” tambah Kasmita Widodo, Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA).
Hingga penghujung kepemimpinannya, belum ada legacy baik yang ditinggalkan Jokowi bagi Masyarakat Adat. Padahal, 10 tahun lalu, demi meraup suara Masyarakat Adat, Jokowi berjanji akan mendukung Masyarakat Adat.
“Janji tinggal janji. Janji Nawacita hanya tipuan. Jokowi 10 tahun berkuasa tak satu pun janjinya dipenuhi. Jangankan berterimakasih dan minta maaf bahkan satu kata Masyarakat Adat pun tidak disebutkan di Pidato Kenegaraan terakhirnya pagi tadi,” pungkas Abdon Nababan. [ ]
oooOOOooo Kontak media: A.P. Prayoga, Tim Kampanye Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, HP. 0857 2034 6154
Program Jelajah Kasepuhan Cirompang pada tanggal 25–29 Juli 2024 lalu di Kasepuhan Cirompang, Kecamatan Sobang, Lebak, Banten baru saja selesai dilaksanakan. 26 pemuda dari berbagai latar belakang organisasi mengikuti kegiatan tersebut, baik sebagai peserta maupun sebagai fasilitator. Dari jumlah tersebut, 10 (4 perempuan dan 6 laki-laki) merupakan alumni dari Pelatihan Fasilitator Pendidikan Lingkungan RMI “Environmental Child’s Rights Training Program”.
Sekitar satu bulan sebelumnya, selama 4 hari, para alumni memang sudah mendapatkan pembekalan untuk melakukan fasilitasi di komunitas. Pengetahuan dan keterampilan yang mereka dapatkan digunakan pada acara Jelajah Kasepuhan, misalnya dengan memfasilitasi perkenalan peserta, ice breaking dan energizer, serta permainan-permainan pemantik diskusi kelompok. Sepuluh fasilitator tersebut juga banyak memandu dan menginformasikan pengetahuan-pengetahuan lokal tentang Kasepuhan kepada para peserta.
Pengetahuan lokal yang disampaikan kepada para peserta banyak menimbulkan kekaguman akan budaya Kasepuhan. Pengetahuan lokal yang disampaikan mencakup berbagai aspek kehidupan, mulai dari praktik pertanian, pengelolaan ruang, penggunaan tanaman obat, bahasa, seni, budaya, hingga sistem nafkah.
“Seru sekali. Saya baru tahu tentang babay, sebuah benda yang terdiri dari bermacam-macam bagian tumbuhan hutan, yang sering dipakai sebagai penolak bala di Kasepuhan “ kata Jihan, salah seorang peserta dari Sumedang.
Metode fasilitasi yang digunakan oleh para fasilitator pada acara Jelajah Kasepuhan Cirompang ini juga menjadi salah satu keunggulan kegiatan. Aza, salah seorang peserta dari Jakarta, misalnya berpendapat bahwa metode yang digunakan para fasilitator asyik dan menyenangkan.
“Tidak terasa kita belajar karena menyenangkan, dan ini full pengetahuan banget kegiatannya.” cerita Aza saat berjalan pulang dari Hutan Adat Kasepuhan Cirompang.
Dalam kegiatan ini memang para alumni pelatihan menggunakan variasi-variasi metode. Hanifah memfasilitasi sesi energizer dan perkenalan lewat permainan “Tugu Pancoran” dan “Angka Setan”. Nina memfasilitasi lewat permainan “Pindah Rumah”, Rosi memancing diskusi tema lingkungan dan sosial lewat permainan “Injak Kertas”, dan Cecep sebagai fasilitator lokal berbagi pengetahuannya tentang Kasepuhan saat memandu para peserta berkeliling wilayah adat. Kesempatan ini memberikan ruang bagi alumni untuk bisa berkembang dan mengasah kemampuan fasilitasi mereka.
“Pelatihan menjadi fasilitator bulan Juni lalu memberikan banyak sekali pengetahuan baru untukku, banyak metode-metode baru yang aku dapatkan. Aku juga sempat mencoba salah satu metode tersebut, kemarin pada acara Jelajah Kasepuhan di Cirompang, aku sempat mengajak teman-teman peserta disana untuk bermain game, seru, mereka antusias dan game-nya berjalan dengan menyenangkan sekali. Menjadi fasilitator pada salah satu sesi pelatihan merupakan pengalaman baru yang menyenangkan untukku.” kesan Nisa, salah satu alumni Pelatihan Fasilitator Pendidikan Lingkungan, yang berkesempatan memfasilitasi peserta Jelajah Kasepuhan Cirompang.
Kombinasi teori dan praktik yang didapatkan selama kegiatan Jelajah Kasepuhan Cirompang, menjadi modal bagi alumni Pelatihan Fasilitator Pendidikan Lingkungan untuk dapat menunjukan relevansi pengetahuan lokal dengan model pendidikan yang semestinya bersifat kritis dan kontekstual di Kasepuhan, sesuatu yang menjadi permasalahan selama ini.
Pendidikan kontekstual melihat pengetahuan lokal sebagai pondasi dalam menciptakan pendidikan yang relevan dan efektif sesuai dengan budaya yang berkembang pada komunitas. Mengintegrasikan pendidikan kontekstual dan pengetahuan lokal berarti mendorong komunitas untuk memahami dan menyelesaikan permasalah yang ada di lingkungannya sendiri dengan kesadaran kritis.
Seperti yang terjadi secara umum di desa dan/atau secara lebih spesifik di daerah masyarakat adat, pendidikan jauh dari kata kritis-kontekstual. Pendidikan yang diajarkan oleh sekolah formal adalah “ilmu pergi” yang mendorong anak-anak muda pergi meninggalkan desa/wilayah adat, mencari pekerjaan di kota sebagai buruh. Pendidikan tidak mampu mengenali potensi yang ada di wilayah desa/adat, dan saat para pemuda selesai menyelesaikan sekolahnya, ilmu yang mereka dapatkan pun tidak dapat dipakai untuk menyelesaikan masalah yang ada di desa mereka.
Masalah hama dan kekeringan tidak dapat dipecahkan karena pelajar tidak belajar mencangkul di sekolah. Potensi pengobatan tidak dapat terlihat karena pelajar asing dengan rumput yang terlihat liar di hutan dan adat terkucilkan karena dipandang berseberangan dengan logika kapitalis.
Program Jelajah Kampung yang difasilitasi oleh para pemuda Kasepuhan adalah bagian dari “ilmu pulang”, dan model bagi kolaborasi pemecahan masalah antara anak muda yang tinggal di desa dan di kota. Di dalam diskusi-diskusi yang terjadi selama dan di sela-sela acara, banyak alternatif-alternatif pemecahan masalah yang baru dan membawa angin segar, bahwa anak muda tidak apatis dan bergerak dengan caranya masing-masing untuk melakukan perubahan sosial di lingkungan masing-masing.
Pada hari Sabtu tanggal 18 November 2023 RMI memulai perjalanannya untuk mengadakan agenda monitoring evaluasi program Estungkara selama satu tahun terakhir ini. Tempat pertama yang kami kunjungi adalah Kasepuhan Cibarani yang berlokasi di Desa Cibarani, Kecamatan Cirinten, Kabupaten Lebak, Banten. Salah satu teman kami di sana adalah teh Jarsih. Ia tergabung dalam kelompok Lodong Cibarani yaitu suatu kelompok usaha yang mengembangkan serta menjual produksi air nira yang telah diproses menjadi hasil produksi Gula Semut. Selain tergabung di kelompok Lodong, teh Jarsih juga turut membidani berdirinya kelompok kue ibu-ibu yang saat ini baru berjalan sekitar dua bulan.
Kasepuhan Cibarani memiliki banyak potensi alam yang dapat dimanfaatkan baik untuk sumber pangan maupun wisata. Disamping padi, hasil kebun pun juga cukup melimpah seperti durian, petai dan jengkol serta banyaknya warga yang memiliki pekerjaan sampingan menjadi penyadap nira yang kemudian membuat Kasepuhan Cibarani mulai terkenal akan produk gula cetaknya yang asli dan terjangkau. Sementara, untuk wisata alam terdapat banyak gua maka di Desa Cibarani dijuluki Desa 1000 gua.
Awal mula berdirinya kelompok Lodong Cibarani berawal dari ide bahwa hasil air nira yang seperti biasanya disadap dan diolah secara sederhana menjadi gula kemudian mulai dikembangkan menjadi produk gula semut. Akan tetapi, volume produksinya belum bisa dikatakan banyak karena masih belum ada tenaga yang cukup banyak untuk bisa melakukan skala produksi besar. Kemudian perubahan mulai dirasakan semenjak RMI masuk ke Cibarani. Tim CO (Community Organizer) RMI yang bertugas di lapangan ternyata melihat potensi yang ada, salah satunya adalah aktivitas masyarakat yang memproduksi gula aren. Dari situ, RMI menginisiasi berdirinya kelompok Lodong dan disambut antusias oleh masyarakat Cibarani.
Untuk meningkatkan kemampuan manajerial produksi dan pemasarannya anggotanya, RMI lalu mengadakan pelatihan. Dalam kegiatan pelatihan tersebut, masyarakat mendapat materi seperti cara pembukuan sederhana, mengatur anggota, melakukan presentasi, dan belajar tentang pengemasan untuk hasil produksi gula semut. Dari hasil-hasil pelatihan inilah akhirnya terbentuk suatu kelompok masyarakat yang memiliki fokus untuk membuat hasil produksi gula semut dan memutuskan menggunakan nama “Lodong Cibarani” sebagai nama komunitas mereka.
Lodong Cibarani memiliki arti tersendiri yaitu nama “Lodong” merupakan nama tempat yang dipakai untuk menampung air nira yang digunakan oleh para petani penyadap dan juga Lodong melambangkan suatu ‘tempat’ dimana komunitas ini merupakan sebuah wadah/tempat bagi mereka sebagai anggota. Sedangkan “Cibarani” merupakan nama kasepuhan mereka. Komunitas Lodong Cibarani ini baru berjalan sekitar dua tahun yaitu dimulai dari tahun 2021 hingga sekarang.
Sejauh ini menurut pengakuan salah satu anggotanya, yaitu Teh Jarsih, mengatakan bahwa capaian manfaat terutama dalam bidang kesejahteraan sejak berdirinya Komunitas Lodong Cibarani ini jika dilihat secara ekonomi adalah perbandingan harga gula cetak dan gula semut cukup jauh dan dalam hal ini keuntungan yang dapat diperoleh dari hasil produksi gula semut jauh lebih tinggi dibandingkan gula cetak. Ditambah pula dengan ketahanan dari gula semut yang lebih lama daripada gula cetak. Gula semut bisa bertahan hingga jangka satu tahun jika disimpan di wadah tertutup namun untuk gula cetak hanya bertahan selama tiga sampai tujuh hari saja walaupun disimpan di wadah tertutup.
Disamping itu, dalam perjalanannya memang produksi gula semut masih memiliki banyak kendala untuk bisa menjadi stabil dan berkelanjutan dalam menghasilkan serta memasarkan produknya. Beberapa kendala yang sering muncul adalah terkait sistem yang ada di kelompok belum begitu terbentuk dan masih sangat sederhana sekali hanya terkait jual dan bagi hasil serta uang simpan tabungan kelompok. Selain itu kendala lainnya adalah tentang pemasaran yang masih kurang efektif. Hal ini dikarenakan skala untuk pemasaran masih sebatas di Cibarani dan wilayah sekitarnya saja, memang ada beberapa yang pernah meminta dari luar dengan jumlah yang banyak tetapi kelompok Lodong Cibarani sayangnya tidak bisa memenuhi permintaan tersebut karena permintaannya terlalu besar dan mereka hanya bisa memproduksinya sedikit. Kendala lainnya yang menghambat produksi dalam jumlah besar adalah produksi masih dilakukan secara manual. Agar dapat menghasilkan volume produksi dalam jumlah besar dapat terpenuhi maka dibutuhkan mesin pemasak atau kristalisator gula semut sehingga dapat memenuhi permintaan dalam partai besar.
Seperti yang dikatakan teh Jarsih, “harapannya sih ingin banget untuk bisa membangun sistem tapi yang saling menguntungkan, jadi ga cuman bikin terus jual tapi bisa pengelolaannya teratur dan terus-menerus. Soalnya saat ini kan aku memang sudah belajar sedikit tentang pembukuan, akan tetapi masih sederhana banget, hanya mencatat terkait barang yang masuk dan barang yang dibeli.”
Selain itu, kendala dalam hal pengemasan juga terjadi, hal ini dikarenakan pengemasan untuk gula semut masih hanya menggunakan plastik zipper dan ditempelkan stiker. Hal ini rawan karena bisa saja stikernya dicabut dan diklaim ulang oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Selain itu, Lodong Cibarani juga belum berani untuk menjual produknya ke pasar yang lebih luas seperti di marketplace online karena belum mengurus persyaratan izin edar pangan ke pihak BPOM. Keterbatasan akan pengetahuan tentang birokrasi mengurus kelengkapan serta akses yang sulit menjadi penghalang besar bagi komunitas Lodong Cibarani.
Terlepas dari kendala yang ada, dengan menengok perjalanan selama satu tahun belakangan ini, harapan dari teh Jarsih tersendiri adalah agar mereka bisa lebih berdaya lagi dari segi sumber daya alam dan manusianya, terutama kaum ibu-ibu disini bisa memiliki kegiatan yang produktif, bermanfaat, serta menghasilkan. Harapan lainnya adalah agar perempuan-perempuan di Cibarani memiliki ruang untuk bisa lebih berdaya lagi, dan ruang untuk bisa mengekspresikan dan menyalurkan bakat maupun hobi. Tidak lupa pula teh Jarsih berharap dengan adanya keterlibatan perempuan di setiap kegiatan maupun forum masyarakat tentunya dapat meningkatkan partisipasi perempuan di kasepuhan. Karena selama ini perempuan di Cibarani hanya memegang urusan dapur saja di setiap kegiatan maka untuk itulah penting sekali perannya untuk terlibat aktif di setiap agenda kasepuhan seperti menjadi bagian pengambil keputusan dan berbicara di depan forum. Teh Jarsih juga berharap agar kemitraan yang dilakukan oleh RMI bersama masyarakat bisa berjalan lancar sampai masyarakat di Kasepuhan Cibarani bisa mandiri dan terbuka akan ide-ide maupun masukan-masukan positif.
Jalan panjang masyarakat Kasepuhan Cibedug dalam memperjuangkan hak pengakuan hutan adat mereka sudah berlangsung selama 22 tahun lamanya. Perjuangan itu dimulai sejak tahun 2000 dan semakin meningkat pasca perluasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) di tahun 2003. Ancaman pengusiran oleh pihak Taman Nasional dan ketidaknyamanan atau ketakutan mengelola sumberdaya hutan di wilayahnya, serta tudingan bahwa masyarakat Cibedug tak berhak di wilayah yang mereka tempati dan tak mampu mengelola kawasan konservasi adalah latar belakang dari semakin menguatnya upaya perjuangan masyarakat kasepuhan dalam mempertahankan ruang hidup dan hutan mereka.
Pengukuhan Taman Nasional dan Ancaman Pemindahan
Jauh sebelumnya, ancaman terhadap ruang hidup masyarakat kasepuhan termasuk di dalamnya seluruh perkampungan dan lahan garapan (sawah, huma, dan kebun) diklaim oleh pemerintah, dalam hal ini Departemen Kehutanan yang mengeluarkan kebijakan dengan memberikan kepercayaan Perum Perhutani Unit III Jawa Barat-Banten mengelola kawasan hutan produksi. Padahal masyarakat Cibedug sudah turun-temurun bermukim dan memanfaatkan lahan di situ. Namun, pihak Perhutani tak memperdulikan keberadaan masyarakat adat di Cibedug yang memiliki riwayat atas lahan dan hutan mereka. Bahkan, Perhutani menerapkan pajak inkonvensional sebesar 25% dari hasil panen masyarakat setiap tahun. Apa yang dilakukan Perhutani tentunya ini mirip seperti praktik yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda dahulu.
Di tahun 1992, kebijakan terhadap peruntukan lahan di wilayah adat masyarakat kasepuhan mengalami perubahan dari semula hutan produksi menjadi kawasan konservasi. Dengan demikian, terjadi pemindahtanganan hak kelola dari Perhutani ke Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH). Praktis, wewengkon Cibedug termasuk salah satu wilayah yang beralih fungsi menjadi kawasan taman nasional. Penetapan kawasan taman nasional yang dilakukan pemerintah sudah barang tentu tanpa mengindahkan lahan yang selama ini dijadikan perkampungan dan lahan garapan masyarakat. Kebijakan ini dengan sendirinya berdampak pada mata pencaharian dan sumber-sumber ekonomi masyarakat. Ancaman yang paling mengkhawatirkan masyarakat Halimun secara keseluruhan, termasuk di Cibedug, muncul pada tahun 2003. Pasca ditetapkannya keputusan Menteri Kehutanan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan (SK Menhut) No.175/kpts-II/2003 tentang penunjukkan perluasan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak dari 40.000 hektar menjadi 113.357 hektar.
Keputusan penetapan ini membuat masyarakat gusar dan pada saat itu berkembang wacana tentang program Pemerintah untuk memindahkan masyarakat di dalam kawasan taman nasional ke tempat yang belum jelas. Tentunya ini membuat status keberadaan masyarakat Cibedug di wilayahnya sendiri dalam posisi terancam dan mereka bereaksi keras dengan mengeluarkan pernyataan sikap teu nanaon kami ieu dipindahkeun tapi kudu dibawa oge sagala titipan anu dititipkeun ti karuhun kami (tidak apa-apa kami dipindahkan asal harus dibawa juga segala titipan yang telah dititipkan leluhur kami) termasuk di dalamnya keberadaan situs yang penting dan tak terpisahkan dari adat masyarakat kasepuhan Cibedug. Karena, bagaimanapun, hutan dan situs adalah titipan yang dirawat oleh leluhur mereka. Lalu pertanyaan akankah musnah begitu saja?
Hutan dan Situs Cibedug adalah Bagian dari Wewengkon Adat
Keberadaan hutan dan situs Cibedug adalah bagian tak terpisahkan dari wewengkon masyarakat kasepuhan Cibedug. Wewengkon merupakan ruang hidup dan ruang kelola masyarakat adat kasepuhan di mana wilayah tersebut sebagai titipan leluhur atau sering disebut ‘titipan karuhun/kolot baheula’. Oleh karena itu, sebagai sebuah titipan maka keberadaan wewengkon sangat penting untuk dijaga dan dipertanggungjawabkan kepada leluhur dan anak cucu mereka. Salah satu ‘simbol titipan’ yang identik dengan kehidupan religi dan budaya masyarakat kasepuhan Cibedug adalah Situs Cibedug. Masyarakat adat Kasepuhan Cibedug mempercayai bahwa mereka diberi amanah untuk menjaga situs keramat ini. Keberadaan situs ini menjadi pusat orientasi spasial masyarakat kasepuhan. Pada tahun 1942 masyarakat adat Kasepuhan Cibedug memulai menjalankan amanah tersebut dengan berpindah dan menetap di kawasan tempat Situs Cibedug dan membuka kampung di sekitarnya. Mereka membuka sebuah kampung yang lokasinya tidak jauh dari tempat situs. Kampung yang mereka buka adalah Kampung Lebak Cibedug yang kemudian berkembang pendirian kampung berikutnya yaitu Kampung Cibeledug, Kampung Lebak Kalahang, Kampung Cinakem dan Kampung Ciara.
Dengan demikian, keberadaan situs adalah denyut nadi bagi seluruh aktivitas kehidupan masyarakat kasepuhan sehingga keberadaannya menjadi penting dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Ketika Taman Nasional berusaha untuk merelokasi warga dari situs dan hutannya maka hal tersebut tidak bisa terealisasi karena hubungan antara situs dan masyarakat adalah suatu kesatuan yang tidak bisa terpisahkan. Ada sebuah aturan adat masyarakat kasepuhan yang mengungkapkan bahwa jika masyarakat dipindahkan maka situs tersebut juga harus ikut dipindahkan. Masyarakat adat Kasepuhan Cibedug mengistilahkannya ‘dipikihkeun’. Hal tersebut tentunya tidak bisa dilakukan karena dengan demikian mereka harus melepaskan tanggungjawab karuhun mereka untuk menjaga situs tersebut. Tentunya, tindakan tersebut tidak bisa dilakukan mengingat masyarakat adat kasepuhan taat kepada ajaran adat yang mereka percayai bahwa menjaga situs adalah amanah dari leluhur mereka.
Sementara, keberadaan hutan dan pemanfaatan lahan-lahan lainnya juga merupakan amanah dari leluhur dan sebagai satu kesatuan ruang hidup mereka. Wewengkon adat Kasepuhan Cibedug sebenarnya merupakan ekosistem tani-hutan dimana masyarakat adat kasepuhan membagi peruntukan masing-masing ruang sesuai fungsinya. Fungsi-fungsi tersebut kemudian dikembangkan sesuai kebutuhan mereka dan untuk keberlanjutan mereka hidup sampai anak cucu mereka mendatang. Dalam ajaran adat masyarakat Kasepuhan Cibedug dikenal istilah ‘gunung teu meunang di lebur leuweung teu meunang diruksak’ (gunung tidak boleh dihancurkan dan hutan tidak boleh dirusak) adalah ajaran yang menyiratkan sistem pengelolaan sumberdaya alam berasaskan kearifan yang mengandung arti bahwa manusia adalah bagian dari sistem alam. Jika sumberdaya alam terganggu maka kehidupan manusia juga terganggu. Konsekuensi logis dari pengelolaan alam yang tidak bijak akan menyebabkan kehidupan masyarakat yang tidak baik. Dalam kehidupan masyarakat adat Kasepuhan Cibedug maka itu bermakna bagi kehidupan dan keberlangsungan hidup warga kasepuhan. Selain itu, keberadaan hutan bagi masyarakat Kasepuhan Cibedug penting artinya sebagai sumber utama kehidupan. Karena dari hutan lah sumber mata air itu berasal dan fungsinya untuk menyangga kehidupan.
Upaya-upaya Mempertahankan Wewengkon Adat
Dengan bukti-bukti historis berupa keberadaan Situs Cibedug, hutan, perkampungan, sawah, huma dan kebun sudah cukup bagi masyarakat Kasepuhan Cibedug diakui eksistensi mereka sebagai masyarakat adat dalam pengelolaan sumberdaya hutan dan konservasi. Disamping itu, pengakuan eksistensi mereka sebagai masyarakat adat juga diakui oleh masyarakat kasepuhan lain seperti Kasepuhan Citorek yang letaknya bersebelahan dan masyarakat Baduy. Atas dasar bukti-bukti tersebut, masyarakat adat kasepuhan Cibedug melakukan berbagai upaya agar keberadaan mereka tetap diakui dan tidak diusir dari ruang hidup mereka yang telah diklaim sebagai wilayah taman nasional. Salah satu upaya yang dilakukan adalah memulai dengan melakukan pemetaan wilayah mereka di akhir 2003. Masyarakat memetakan lahan pemukiman dan garapan mereka hingga keseluruhan wilayah wewengkon adat mereka termasuk hutan dan Situs Cibedug. Hasil dari pementaan ini kemudian disosialisasikan dan tiap-tiap warga di lima kampung diberi pemahaman tentang wilayah wewengkon adat mereka dan kenapa harus dipertahankan bahkan eksistensinya perlu untuk diakui negara.
Upaya masyarakat Cibedug dalam mempertahankan wewengkon adat mereka melalui pemetaan kemudian mendapat perhatian yang sangat besar dari rekan-rekan aktivis yang turut memfasilitasi penyusunan rencana tata ruang wewengkon adat Kasepuhan Cibedug. Dalam penyusunan tata ruang wewengkon inilah mereka menginformasikan mengenai konsep dan pemahaman dalam mengelola ruang hidup mereka. Dari hasil penyusunan ini kemudian melahirkan dokumentasi sejarah masyarakat Kasepuhan Cibedug yang mencakup wewengkon adatnya, aturan adat yang mereka jalani dan taati, kelembagaan adat, data bio-fisik serta sosial dan ekonomi mereka. Dengan dokumentasi ini telah menunjukkan bahwa secara de facto eksistensi masyarakat adat Kasepuhan Cibedug memang ada dan tak terbantahkan. Tahapan selanjutnya setelah proses penyusunan dokumentasi tersebut, mereka lalu memperoleh tambahan informasi dan pengetahuan mengenai posisi mereka sebagai masyarakat adat di tingkat kabupaten dan nasional dalam beberapa pertemuan. Diantaranya mereka terlibat di setiap kegiatan pelatihan hukum kritis dan riungan-riungan di tingkatan warga yang mengundang atau melibatkan pihak lain. Sampai akhirnya, pada tahun 2005 masyarakat Kasepuhan Cibedug sepakat memilih memperjuangkan terwujudnya peraturan daerah di wilayahnya, di Kabupaten Lebak, sebagai solusi atas permasalahan yang mereka hadapi.
Sebelum itu, di tahun 2004 masyarakat Kasepuhan Cibedug sudah menjajaki dan bekerjasama dengan organisasi non-pemerintah seperti HuMA, WG Tenure, dan kalangan akademisi dari IPB. Dialog-dialog dilakukan dengan parapihak yang bertujuan untuk melihat sejauh mana mengukur kekuatan masyarakat. Bersama RMI yang sudah melakukan pendampingan di masyarakat Kasepuhan Cibedug, dialog-dialog yang melibatkan parapihak ditujukan untuk menemukan rute negosiasi dan bertahan hingga 2006. Dialog ini juga turut menyertakan pihak Taman Nasional agar mereka mendapat informasi tentang posisi masyarakat adat Kasepuhan Cibedug di dalam konteks wilayah wewengkon adat mereka. Selain itu, dialog-dialog juga diintensifkan dengan melibatkan masyarakat adat kasepuhan lain yang berbatasan dengan wewengkon adatnya. Dialog ini kemudian menghasilkan persetujuan atau kesepakatan batas wilayah wewengkon adat dengan perangkat adat Kasepuhan Citorek dan Baduy. Hal ini dilakukan untuk menegaskan keberadaan masyarakat adat Kasepuhan Cibedug.
Menariknya, dalam memperjuangkan tujuannya masyarakat adat Kasepuhan Cibedug tidak memandatkan dan bergantung pada lembaga pendamping mereka. Justru mereka sendiri yang berperan aktif dan sadar bahwa di tangan mereka sendirilah perjuangan ini bisa dilakukan. Ditengah-tengah ketidakpastian status hak penguasaan dan pengelolaan hutan adat mereka, masyarakat adat Kasepuhan Cibedug tetap menjaga hutan tempat mereka tinggal. Di lain pihak, ada kemauan politik dari pemerintah daerah untuk merespon persoalan yang terjadi di masyarakatnya. Pemerintah daerah kemudian menggagas peraturan daerah tentang pengakuan masyarakat adat kasepuhan di wilayah Kabupaten Lebak. Tentunya momentum ini tak dilewatkan begitu saja oleh masyarakat adat Kasepuhan Cibedug dan ini menjadi peluang untuk mencapai terwujudnya legalitas dan hak-hak masyarakat kasepuhan. Bersama dengan parapihak sebagai pendamping dan kontributor, negosiasi yang dilakukan kemudian menghasilkan kebutuhan akan produk hukum daerah berupa peraturan daerah terkait dengan pengakuan dan pengelolaan oleh masyarakat adat yang berada di TNGHS, dan terpetakannya pihak-pihak yang akan mengawal penyusunan peraturan daerah ini.
Usaha-usaha masyarakat adat Kasepuhan Cibedug dalam memperjuangkan hak pengakuan masyarakat hukum adat dan hutan adat mereka dapat dikatakan lebih dari cukup. Mereka berhasil memenuhi syarat-syarat legal sebagai upaya mendapat pengakuan. Bukti-bukti ini tampak pada hasil berupa peta partisipatif dan beberapa catatan proses negosiasi dengan beberapa pihak. Bukti lainnya di lapangan menunjukkan usaha sungguh-sungguh masyarakat kasepuhan menjaga wewengkon menurut fungsinya dan menjalankan aturannya. Tentunya, usaha-usaha mereka memperjuangkan hak atas pengakuan dan hutan adat mereka perlu terus diupayakan untuk menggalang dukungan lebih luas lagi dan lebih kuat lagi agar mendorong segera terwujudnya pengukuhan keberadaan masyarakat adat Kasepuhan Cibedug sebagai masyarakat hukum adat.
Penutup
Akhirnya, setelah sekian lama menunggu 22 tahun berjuang mendapatkan hak atas pengakuan, masyarakat adat Kasepuhan Cibedug mendapatkan Penetapan SK Hutan Adat Kasepuhan Cibedug dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang bertindak sebagai pelaksana penyerahan Surat Keputusan Perhutanan Sosial dan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) secara faktual dan virtual. Kegiatan faktualnya berlangsung di Kalimantan Timur yang dihadiri oleh Presiden Republik Indonesia. Sementara kegiatan virtualnya dilaksanakan di beberapa provinsi termasuk Provinsi Banten. Kegiatan Penyerahan SK ini secara resmi telah dilakukan di Pendopo Gubernur Banten, KP3B Curug, Kota Serang pada tanggal 22 Februari 2023. Dari Kasepuhan Cibedug hadir 10 perwakilan, 8 orang laki-laki dan 2 orang perempuan. Pada waktu yang sama, selain Kasepuhan Cibedug yang menerima penyerahan SK, ada Kasepuhan Cisungsang dan Kasepuhan Cisitu yang juga menerima SK Hutan Adat. Penyerahan SK ini menjadi titik awal bagi masyarakat Kasepuhan Cibedug untuk mengelola wilayah adat mereka sendiri sesuai dengan aturan-aturan adat yang berlaku di komunitas.
Atas penetapan SK Hutan Adat ini, masyarakat adat Kasepuhan Cibedug melakukan sosialiasi dan syukuran. Menurut Pak Sarmin selaku tokoh masyarakat menandaskan bahwa SK yang sudah diterima sudah seharusnya dapat dimanfaatkan dengan baik untuk mencukupi kehidupan masyarakat adat. Berdasarkan SK Hutan Adat yang telah diserahkan ini, ditetapkan seluas 1.268 hektar yang dibagi atas fungsi konservasi dan produksi. Disamping itu, SK Hutan Adat ini merupakan hasil perjuangan bersama selama 22 tahun lamanya dan menjadi sejarah baru bagi masyarakat Cibedug untuk memiliki tanggung jawab bersama dalam pengelolaan wilayahnya dengan berdaulat untuk tujuan kesejaheraan lahir-batin bagi masyarakat dan anak cucu mereka di wewengkon Kasepuhan Cibedug.
Penulis : Renal Rinoza
Editor : Renal Rinoza
Referensi
Andri Santosa, et.al. (2007). Nyanghulu Ka Hukum, Nyanghunjar Ka Nagara – Sebuah Upaya Masyarakat Cibedug Memperoleh Pengakuan. Bogor: RMI-The Indonesian Institute for Forest and Environment.
Kasepuhan Bongkok tergabung dalam Forum KAWAL sejak pertemuan di Cangkuem, salah satu perkampungan Baduy, pada Desember 2022. Salah satu partisipan aktif Forum KAWAL[1] dari Kasepuhan Bongkok tersebut adalah perempuan berusia 16 tahun bernama Fina. Setiap harinya ia memiliki kegiatan yang cukup padat. Mulai dari bersekolah, berkegiatan dalam OSIS[2], berkegiatan ekstrakurikuler rohani Islami dan ngobong[3]. Ia berangkat ke sekolah pukul 07.30 dan pulang pukul 17.00 petang. Setelah maghrib, ia ngobong sampai pukul 22.00 malam dan tiba di rumah pukul 22.30 malam. Melakukan banyak hal dalam satu waktu membuat waktunya banyak sekali tersita, belum lagi pekerjaan-pekerjaan domestik yang harus ia kerjakan.
Fina merupakan satu dari enam partisipan yang berasal dari Kasepuhan Bongkok yang tergabung dalam komunitas Burakok[4] yang didirikan pada tahun 2022. Forum KAWAL sesi kelima yang diselenggarakan pada tanggal 26-28 Mei 2023 di wilayah adat Kasepuhan Pasir Eurih adalah forum pertama yang diikutinya. Ia menganggap pengalaman ini menarik dan bermanfaat baginya untuk lebih aktif di masyarakat.
“Kayaknya seru. Terus menambah pengalaman juga ke Finanya. Terus, kayaknya, ini yang bikin Fina lebih aktif deh di masyarakat. Jadi Fina lebih tau. Kan Fina gak tahu sama sekali kalau di (Kasepuhan) Bongkok itu ternyata belum merdeka (wilayah adatnya masih belum diserahkan oleh negara) kan, (gak) kayak di Pasir Eurih[5]. Fina cuman tau disini (forum KAWAL) aja. Disana tuh Fina gak pernah diceritain kalau di Bongkok itu belum merdeka.”
Forum KAWAL seri kelima ini mewadahi peserta untuk menggali dan merefleksikan pengalaman personal; merencakana perencanaan kelompok/komunitas; dan pengenalan dan simulasi pemetaan partisipatif melalui berbagai sesi yang dibagi ke dalam tiga hari. Fina terlibat dan mengikuti setiap sesi dengan antusias. Meskipun interaksinya terbatas pada teman-teman peserta perempuannya lainnya dan beberapa orang yang sudah ia kenali. Meskipun ia masih canggung untuk mengutarakan pendapatnya dalam diskusi besar, ia aktif ketika dalam diskusi kelompok.
Dalam sesi “Sepanjang Jalan Kenangan” yang bertujuan menceritakan pengalaman personal peserta, Fina dan peserta diajak berefleksi melalui media gambar gelombang naik-turun yang menggambarkan jatuh-bangkit kehidupan, bagaimana cara bangkit dari situasi sulit dan siapa saja yang terlibat dalam prosesnya. Sesi ini membuat Fina lebih bersyukur dengan merefleksikan orang-orang yang yang berjasa dalam hidupnya. Sepanjang hidupnya, ia sempat keluar masuk pesantren karena ditinggalkan teman dekat hingga pindah ke Kampung Bongkok dan mulai beradaptasi dengan lingkungan baru, teman baru dan aktivitas baru.
Hari selanjutnya, dalam sesi perencanaan kelompok/komunitas, Fina beserta anggota Burakok lainnya melihat kembali kelompok dan kampungnya lalu mencoba merencanakan tujuan bersama dalam kurun waktu satu tahun kedepan. Proses ini digambarkan melalui rute jalan perencanaan tujuan kelompok. Nampaknya mereka berencana untuk memajukan salah satu obyek wisata potensial yang ada di Kasepuhan Bongkok. Meskipun begitu mereka sadar bahwa rencana tersebut merupakan rencana jangka panjang yang memerlukan banyak langkah-langkah kolektif untuk mencapainya, termasuk para orang muda di kampunya. Di sisi lain, menyoroti kampungnya, Fina menambahkan bahwa pemuda-pemudi yang telah lulus SMA jarang menetap di Kampung Bongkok: “Disana tuh gak ada pemuda yang udah lulus SMA. Di Bongkok itu, mayoritasnya, kalau udah SMA, dia kerja di luar kota.”
Selanjutnya, dalam sesi pemetaan partisipatif, peserta Forum KAWAL diberikan materi pengantar pemetaan partisipatif oleh Slamet Widodo, Community Organizer RMI yang mengaitkan urgensi pemetaan partisipatif dengan tata laksana pembangunan nasional:
“Selama ini peta menjadi acuan tata ruang dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Tapi sayang, pembangunan yang dilakukan pemerintah lebih berpihak kepada pengusaha dan kurang memperhatikan hak-hak masyarakat setempat sehingga sering terjadi penyerobotan lahan, tumpang tindih kawasan, ketidajelasan tata batas dan sebagainya. Masyarakat yang hidup dan bekerja di wilayah itulah yang memiliki pengetahuan mendalam mengenai wilayahnya. Hanya mereka yang bisa membuat peta secara lengkap dan akurat mengenai sejarah, tata guna lahan, pandangan hidup dan harapan masa depannya.”
Pemetaan partisipatif—yang menjadi salah satu materi yang dirasa paling dibutuhkan oleh peserta Forum KAWAL—menarik perhatian peserta karena dilengkapi dengan pengenalan perangkat pemetaan, tukar cerita pengalaman pemetaan partisipatif oleh Carik Jajuli dari Kasepuhan Pasir Eurih, dan simulasi kelompok untuk melakukan pemetaan partisipatif. Fina yang terlibat langsung dalam sesi ini mengatakan bahwa:
“… KAWAL itu membantu sebagai wadah. Kalau misalkan di wilayah kita mau ada pemetaan, nanti dibantu sama KAWAL. Tadinya Fina gak bisa pake GPS, baru belajar juga kemarin. Terus pokoknya banyak banget (yang didapat) karena Fina baru. Menariknya GPS ini abis belajar langsung dipraktekin.”
Sebagai peserta baru, Fina cukup antusias mengikuti kegiatan Forum KAWAL. Antusiasmenya terlihat dari keinginannya untuk ikut kegiatan Forum KAWAL selanjutnya yang menurutnya adalah kegiatan yang membuatnya berpikir kritis. Selain itu Fina mengaku ingin mengetahui lebih dalam mengenai hutan adat yang masih asing dimatanya.
Fina, dengan kesehariannya menghabiskan waktu sekitar 13 jam di sekolah dan pesantren, memiliki waktu yang lebih minim untuk terlibat dalam proses-proses yang tengah terjadi di kampungnya. Sedangkan sebagai perempuan yang bertempat tinggal dan beraktivitas di wilayah adat Kasepuhan Bongkok, Fina juga memiliki banyak keterbatasan-keterbatasan termasuk dalam Forum KAWAL itu sendiri. Sejauh ini interaksinya terbatas pada peserta perempuan lain dan beberapa yang ia sudah kenal.
Tanpa mengecilkan usaha afirmatif fasilitator di lapangan kepada peserta perempuan dengan sering-sering mengajukan pertanyaan khusus bagi mereka (“ti perempuanna kumaha? Aya nu rek dicaritakeun?”[6]), usaha tersebut belum mampu memantik mayoritas peserta perempuan untuk mengutarakan pendapatnya. Entah karena merasa tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman, entah karena takut salah berpendapat, entah karena tidak berminat atau faktor-faktor lain yang merintanginya; namun yang jelas kehadiran Fina sebagai peserta baru Forum KAWAL merupakan langkah baik yang perlu disyukuri di tengah pusaran lemahnya artikulasi konsep partisipasi orang muda dan perempuan di konteks Kasepuhan.
Sektor pertanian merupakan mata pencaharian utama bagi Masyarakat Adat Kasepuhan dan juga Baduy. Hari itu tanggal 22 Februari 2023, Masyarakat Kasepuhan Cibarani tengah disibukkan dengan kegiatan pertanian. Banyak masyarakat yang sedari pagi pergi ke sawah atau ladang untuk mengumpulkan hasil panen pare gede (padi lokal), yang nantinya akan disimpan untuk kebutuhan pangan harian maupun ritual adat di kemudian hari.
Di tengah kesibukan tersebut, ada sebagian masyarakat yang tidak ikut mengambil hasil panen. Mereka adalah beberapa kokolot (generasi adat senior) dan Generasi Muda Adat yang mengikuti pertemuan forum KAWAL (Konsolidasi dan Advokasi Wilayah Adat Lebak) di Kasepuhan Cibarani, peserta pertemuan terdiri dari 15 perempuan dan 50 laki-laki dari empat komunitas adat Kasepuhan dan Masyarakat Adat Baduy. Pertemuan ini merupakan kali ke-4 forum KAWAL diadakan yang bertujuan membicarakan perihal Desa Adat dan pandangan Generasi Muda Adat terhadapnya.
Selain pengembalian wilayah adat melalui skema Perhutanan Sosial, Desa Adat merupakan salah satu jalan yang dapat ditempuh sebagai upaya pengakuan Masyarakat Adat sesuai dengan yang dimandatkan konstitusi. Wacana tentang Desa Adat sendiri bukan hal baru di Indonesia. Sudah ada beberapa Desa Adat yang terbentuk seperti Desa Adat di Bali, Minangkabau, Ambon, dan Papua. Namun wacana Desa Adat di Kabupaten Lebak, Banten baru dilegitimasi melalui Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Banten No.2 Tahun 2022 Tentang Susunan Kelembagaan, Pengisian Jabatan, dan Masa Depan Jabatan Kepala Desa Adat.
Dalam konteks Lebak, khususnya di wilayah adat Baduy dan di sebagian wilayah Kasepuhan, wacana peralihan desa menjadi Desa Adat ini merupakan hal penting karena adanya perbedaan sistem pemerintahan yang tidak diakomodir dalam nomenklatur desa. Adapun peran Generasi Muda Adat menjadi hal penting karena tongkat estafet perjuangan dalam pengukuhan hak-hak Masyarakat Adat akan diberikan pada mereka.
Model pemerintahan desa di masa Orde Baru dan Reformasi
Foto peserta forum KAWAL (Konsolidasi dan Advokasi Wilayah Adat Lebak) di Kasepuhan Cibarani
Diskusi forum KAWAL diawali dengan perbandingan definisi desa dan desa adat pada masa Orde Baru dan Reformasi. Pada masa Orde Baru, ditetapkan UU Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa yang menyebutkan bahwa “Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Pada masa itu, pemerintahan desa berada langsung di bawah kecamatan dan penerapan model pemerintahan desa di seluruh wilayah Indonesia disamakan dengan model pemerintahan desa di Pulau Jawa. Hal ini bertentangan dengan sistem kehidupan Masyarakat Adat yang sejak dulu memiliki perbedaan nilai dan aturan tentang sistem kesatuan wilayah adat. Dengan adanya perbedaan tersebut, Masyarakat Adat terpaksa harus mengikuti aturan dan syarat sesuai undang-undang yang berlaku.
Kemudian pada masa Reformasi dikeluarkan UU Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa Adat. Disebutkan bahwa “Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Sejak ditetapkannya UU ini, pemerintahan desa kemudian sudah tidak lagi diposisikan sebagai pemerintahan terendah di bawah kecamatan.
Wacana peralihan desa menjadi desa adat dan pandangan Generasi Muda Adat terhadapnya
Selama lebih dari 70 tahun Indonesia merdeka, pengakuan terhadap hak-hak Masyarakat Adat masih sulit untuk didapatkan. Dikeluarkannya konstitusi dan aturan-aturan lain yang memperkuat pengukuhan hak-hak Masyarakat Adat, seperti UU Pokok Agraria dan Putusan Mahkamah Konstitusi No.35, juga masih belum cukup untuk menyelesaikan persoalan.
Foto peserta forum KAWAL (Konsolidasi dan Advokasi Wilayah Adat Lebak) di Kasepuhan Cibarani
Dalam konteks Banten sendiri, perbincangan terkait Desa Adat di wilayah Lebak semakin marak terdengar setelah dikeluarkannya Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Banten No. 2 Tahun 2022. Kemudian muncul pertanyaan, apa yang membuat pembicaraan tentang Desa Adat menjadi satu hal yang penting?
Dalam skema Desa Adat, terdapat ruang pengakuan dan penghormatan atas hak-hak Masyarakat Adat. Hak asal-usul Masyarakat Adat menjadi lebih diakui melalui pemberian wewenang tambahan kepada Masyarakat Adat untuk menyelenggarakan pemerintahan di level desa. Hal itu menjadi poin yang dirasa dapat menjadi “jawaban” atas persoalan. Namun hal itu belum tentu terjadi. Untuk itu Generasi Muda Adat perlu diperdalam pemahamannya terkait wacana ini, sehingga mereka dapat berpartisipasi secara bermakna dalam proses-proses peralihan desa ke Desa Adat.
Salah satu upaya peningkatan pemahaman Generasi Muda Adat tersebut yaitu dengan melakukan simulasi. Peserta dibagi ke dalam empat kelompok yang kemudian masing-masingnya diberikan peran dan situasi yang berbeda: masyarakat desa (non-adat), pemerintah desa, Masyarakat Adat, dan DPRD. Tiap kelompok lalu diinstruksikan untuk membayangkan kemungkinan peristiwa apa saja yang akan terjadi dalam upaya peralihan desa ke Desa Adat di dunia nyata.
Setelah selesai simulasi, ada beberapa poin yang direfleksikan bersama yakni kemungkinan terjadinya perang saudara antara Masyarakat Adat dan masyarakat non-adat (yang berada di desa yang sama, maupun masyarakat desa yang wilayahnya saling berdekatan) terkait perbedaan persepsi dan kecenderungan dukungan atas wacana tersebut.
Masyarakat Adat diproyeksikan akan lebih cenderung mendukung pengusungan Desa Adat, sedangkan masyarakat non-adat beranggapan perlu adanya upaya untuk menilik ulang dampak-dampak yang mungkin mengikutinya. Salah satu dampak yang dikhawatirkan tersebut misalnya bahwa setelah pengukuhan Desa Adat hak-hak mereka sebagai masyarakat non-adat akan dikesampingkan. Dalam situasi ini posisi pemerintah desa dimungkinkan untuk mendapatkan tekanan dari berbagai sisi—baik dari Masyarakat Adat maupun non-adat.
Melalui simulasi dan paparan poin diskusi tersebut di atas, akhirnya memantik Generasi Muda Adat untuk menyuarakan pandangannya terhadap Desa Adat. Refleksi dan dualisme pandangan pun tidak bisa dihindarkan. Posisi pertama menganggap peralihan status desa ke Desa Adat merupakan hal yang harus dijadikan prioritas. Kang Nadi dan Kang Raisan (peserta asal Baduy) berpendapat bahwa negara yang selama ini menyebutkan adat sebagai hal penting, tidak memberikan bukti atau aksi nyata atas perkataannya tersebut. Jalannya diskusi kemudian berlabuh pada pandangan bahwa persoalan atas pengakuan hak-hak Masyarakat Adat dapat diselesaikan salah satunya melalui pengajuan Desa Adat.
Ada pula Generasi Muda Adat yang tidak menyetujui peralihan ini. Iqbal (peserta asal Kasepuhan Pasir Eurih) menyampaikan pendapatnya tentang ketidaksetujuan tersebut yang muncul atas anggapan bahwa rangkap jabatan mungkin bisa terjadi, yakni kepala desa merangkap sebagai abah/olot (tetua adat). Kekhawatiran berikutnya adalah lahirnya “raja-raja kecil” di kampung dengan abah/olot yang menurunkannya jabatannya sebagai kepala Desa Adat kepada keturunannya. Menurutnya meskipun musyawarah terkait Desa Adat dapat dilakukan, namun karena ada Perda Provinsi Banten No.2 Tahun 2022—yang menyebutkan bahwa pengisian jabatan kepala Desa Adat dilaksanakan sesuai hukum adat (melalui musyawarah)–dikhawatirkan masyarakat tidak dapat berpartisipasi aktif dalam forum tersebut.
Pentingnya Kolaborasi Multipihak di Level Kampung
Foto bersama peserta forum KAWAL (Konsolidasi dan Advokasi Wilayah Adat Lebak) di Kasepuhan Cibarani
Pengajuan Desa Adat oleh masyarakat desa secara tidak langsung membuat Generasi Muda Adat perlu mengambil posisi. Generasi Muda Adat yang selama ini dianggap sebagai kelompok yang terpinggirkan sebenanrnya memiliki pemikiran dan pendapat untuk kemajuan kampungnya. Salah satunya terkait peralihan status desa menjadi Desa Adat ini. Untuk menyikapi kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi sehubungan dengan peralihan ini, perlu adanya kolaborasi dari berbagai pihak termasuk Generasi Muda Adat dan kokolot (tetua adat).
Kolaborasi ini menjadi bentuk harmonisasi antara Generasi Muda Adat dan kokolot untuk mensinergikan tujuan yang berkaitan dengan Desa Adat. Namun di sisi lain, Generasi Muda Adat perlu lebih mendorong diri untuk lebih memahami adat mereka, agar lebih dapat memahami persoalan yang terjadi di tempat tinggal mereka secara mendalam. Karena dengan menguatnya akar pengetahuan lokalnya, Generasi Muda Adat akan mampu menyikapi persoalan yang terjadi dengan konteks lokalitas mereka.
Untuk itu perlu adanya ruang-ruang bagi Generasi Muda Adat untuk berpartisipasi aktif dalam menyuarakan pandangan dan pendapatnya mengenai peralihan desa menjadi Desa Adat ini. Karena sudah saatnya anggapan Generasi Muda Adat tidak berpengalaman dan berpengetahuan digantikan dengan Generasi Muda Adat yang lebih berdaya. Dengan adanya forum ini sebetulnya cukup membuktikan bagaimana Generasi Muda Adat dapat berpartisipasi aktif dalam proses pengambilan keputusan dan kebijakan, dalam menentukan arah kedepannya. Tercatat hingga bulan Februari 2023, sudah ada 14 desa di wilayah Lebak, yang mengusungkan perubahan status desa ke ke desa adat.