Arah Penetapan dan Pengelolaan Hutan Adat Pasca UU Cipta Kerja Disahkan

Pada tanggal 27 Januari 2022, telah berlangsung seminar dengan tema Pengelolaan Hutan Adat Pasca Penetapan Hak yang dilaksanakan secara hybrid, luring dan daring, sebagai salah satu bagian dari rangkaian Festival PeSoNa Kopi Agroforestry 2022. Seminar yang diselenggarakan di Gedung Manggala Wanabakti ini dihadiri oleh berbagai pembicara diantaranya Anitasria dan Hadi Brata yang merupakan perwakilan Masyarakat Adat Puyangsure Aek Bigha dari Kabupaten Muara Enim, Nadya Demadevina dari Perkumpulan HuMa, Agus Zainudin selaku kepala Bappeda Kabupaten Merangin, serta Muhammad Said yang merupakan Direktur Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat (PKTHA) KLHK.

Permainan merupakan salah satu program nasional yang dicanangkan oleh pemerintah guna membuka akses kelola hutan bagi masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada keberlanjutan hutan serta keanekaragaman hayati di dalamnya. Melalui skema Perhutanan Sosial yang sudah diluncurkan sejak tahun 2014, negara telah berkomitmen untuk membagikan total 12,7 juta hektar lahan di kawasan hutan melalui 5 skema, salah satunya Hutan Adat. Tercatat bahwa sampai dengan tahun 2021, progres perluasan Hutan Adat sudah mencapai 76.156 ha, yang tersebar di 15 provinsi, 32 kabupaten, dengan 89 SK, dan sebanyak 44.768 masyarakat penerima manfaat. Namun pasca UU No.11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (UU CK) disahkan, ada beberapa poin yang harus dipahami bersama berkaitan dengan arah pengelolaan Hutan Adat pasca penetapan yang juga masuk ke dalam skema Perhutanan Sosial. Isu inilah yang juga menjadi fokus bahasan utama dalam kegiatan seminar ini.

Poin pertama yakni ketentuan yang menyebutkan bahwa skema food estate dapat diberikan di atas hutan yang sudah dibebani skema Perhutanan Sosial. Dengan begitu, penetapan skema Hutan Adat tidak serta merta menjamin keberlangsungan pengelolaan ruang yang sebelumnya telah diberikan kepada Masyarakat Adat. Poin selanjutnya mengenai hak pemangku Hutan Adat, di mana pada masa pra UU CK, pemanfaatan hutan dapat dilakukan asalkan sesuai dengan fungsi hutan. Hal ini berbeda pasca UU CK disahkan, disebutkan bahwa pemanfaatan hutan hanya bisa dilakukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ada beberapa pihak yang menyatakan bahwa pemanfaatan hutan di luar kebutuhan sehari-hari masih diperbolehkan, namun perlu adanya perlindungan hukum terkait hal tersebut. Poin ketiga berkaitan dengan subjek pemangku Perhutanan Sosial.  Pada UU CK, Masyarakat Adat tidak dimasukkan ke dalam subjek pemangku Perhutanan Sosial. Subjek yang disebutkan di dalamnya antara lain, perseorangan (individu),  Kelompok Tani Hutan (KTH), dan juga koperasi. 

Agus Zainudin (Bappeda Merangin) berpendapat bahwa Masyarakat Adat merupakan salah satu kelompok yang terdiskriminasi oleh negara. Salah satunya Masyarakat Adat Serampas yang wilayah adatnya sepenuhnya ditetapkan sebagai Taman Nasional Kerinci Seblat. Negara lupa bahwa di sana terdapat wilayah adat yang sudah ada secara turun temurun. Dengan peraturan yang mengatur tentang persoalan Masyarakat Adat, sudah sepatutnya negara mengakui secara legal keberadaan Masyarakat Adat beserta hak tradisionalnya sesuai dengan peraturan perundangan.

Pemda Merangin sangat mendukung ditetapkannya Hutan adat karena mereka menilai bahwa hutan lebih efektif dirawat oleh Masyarakat Adat dibandingkan dijaga oleh polisi hutan. Adanya putusan MK 45 dan MK 35 mendasari serta mendorong Pemda Merangin untuk memperjuangkan penyusunan Perda Tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat. Bappeda Merangin juga mendorong DPRD untuk menggunakan hak inisiatif mereka, termasuk untuk berdiskusi dengan KLHK dalam menyepakati adanya perda tersebut. Selain itu karena pemda tidak memiliki wewenang untuk mengatur kawasan kehutanan, pemda menggunakan UU Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan untuk mengeluarkan Peraturan Bupati terkait Afirmasi APBD melalui dana desa untuk pengelolaan hutan adat. Di tahun 2022, masing-masing desa adat di Merangin mendapatkan dana sebesar 200 juta rupiah.

Muhammad Said (PKTHA) menyampaikan tanggapan terkait dengan Masyarakat Adat di dalam UU CK. Ia membenarkan bahwa di dalam UU tersebut Masyarakat Adat memang tidak disebutkan secara jelas. Akan tetapi aturan terkait dengan Masyarakat Adat dijelaskan dalam peraturan turunannya. Ia menjelaskan pula bahwa melalui UU CK,  Hutan Adat memiliki skemanya tersendiri. Di mana status hutan beserta fungsinya berubah menjadi hutan hak (komunal) dan bukan menjadi bagian dari hutan negara, berbeda dengan skema hutan lainnya. Oleh karena itu, Masyarakat Adat bisa mendapatkan haknya untuk mengelola Hutan Adat.

Sejalan dengan hal tersebut, Nadya Demadevina atau Dema (Perkumpulan HuMa) memaparkan bahwa keberadaan Hutan Adat memiliki dampak yang sangat besar terhadap pemenuhan hak serta kesejahteraan Masyarakat Adat. Sebagai contoh yang terjadi pada Masyarakat Adat Marena yang berada di Sulawesi. Sebelum menerima SK Hutan Adat, Masyarakat Adat tersebut tidak dapat mengakses Hutan Adatnya sama sekali karena berada di dalam wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Mata Allo. Selain itu di dalamnya terdapat konsesi PT Adimitra, perusahaan penyadapan getah pinus. Adapun setelah pemberian SK Hutan Adat di tahun 2018, Masyarakat Adat Marena bernegosiasi dengan PT Adi Mitra dan diperbolehkan untuk menggarap Hutan Adat dengan menanam kopi varietas lokal (kopi dalai) dan palawija di bawah tegakkan pohon.

Selain itu, Dema juga menegaskan bahwa UU CK didalamnya mengatur terkait pasca penetapan hutan adat. Dia menyoroti bahwa ketentuan diberikannya food estate di kawasan yang sudah dijadikan kawasan Perhutanan Sosial nyatanya tidak memberikan kepastian hukum bagi pemangku kepentingan Perhutanan Sosial, termasuk didalamnya Masyarakat Adat. Dalam UU CK perlu ada perlindungan hukum bagi Masyarakat Adat, salah satunya untuk memberi akses bagi mereka dalam memanfaatkan hasil hutan bukan kayu (HHBK). 

Selain Masyarakat Adat Marena, dampak yang dirasakan melalui pemanfaatan Hutan Adat pun sangat dirasakan oleh Masyarakat Adat Puyangsure Aek Bigha, khususnya bagi kelompok perempuan adat. Melalui tuturan Anitasria, yang mewakili kelompok perempuan adat Puyangsure Aek Bigha, diketahui bahwa perempuan dan hutan tidak dapat dipisahkan sehingga penting bagi perempuan adat Puyangsure Aek Bigha untuk menjaga Hutan Adatnya. Mereka beranggapan bahwa semua yang berada di dalam Hutan Adat dapat memenuhi sebagian besar kebutuhan masyarakat, khususnya untuk kebutuhan sehari-hari.

Hal ini dijelaskan bahwa di dalam areal Hutan Adat mereka, terdapat beberapa jenis tumbuhan yang biasa digunakan untuk pembuatan anyaman yakni bambu, batang uwih, serta resam yang bisa dibuat menjadi gelang, cincin, serta kerajinan lokal yang biasa disebut dengan kudu. Pemanfaatan hasil Hutan Adat juga tidak hanya digunakan untuk pembuatan anyaman saja, tanaman-tanaman liar kerap kali dimanfaatkan sebagai obat tradisional oleh Masyarakat Adat Puyangsure Aek Bigha. Salah satu contohnya yakni pemanfaatan tanaman akar kekait yang dapat dijadikan sebagai obat batuk dan tanaman pacing yang juga dapat dimanfaatkan sebagai obat penurun panas. Menyambung pemaparan Anitasria, Hadi Brata pun menambahkan bahwa Hutan Peramuan sangat penting bagi Masyarakat Adat Aek Bigha dan dengan ditetapkannya Hutan Adat maka semakin memperkuat posisi Hutan Peramunan tersebut.

Melalui persoalan-persoalan yang telah dihadapi, dapat dilihat bahwa pendekatan Masyarakat Adat yang tidak bersifat formalistik membuat perlindungan Hutan Adat lebih proaktif dan bersifat fleksibel. Mendiskusikan tantangan dan pengalaman dalam pengelolaan Hutan dat penting sebagai pembelajaran untuk membangun strategi percepatan Hutan Adat melalui inovasi dan kolaborasi para pihak. Perlu juga digarisbawahi bahwa upaya yang dilakukan tidak hanya terhenti ketika status Hutan Adat telah didapatkan. Masih sangat dibutuhkan kolaborasi multipihak dalam hal penguatan regulasi, anggaran, dan komitmen pemerintah pusat maupun daerah dalam pengelolaan Hutan Adat pasca penetapan hak guna memastikan terjaminnya keamanan ruang hidup Masyarakat Adat.

Penulis: Dinah Ridadiyanah

Editor: Supriadi