Fina, Partisipan Perempuan Baru Forum KAWAL

Kasepuhan Bongkok tergabung dalam Forum KAWAL sejak pertemuan di Cangkuem, salah satu perkampungan Baduy, pada Desember 2022. Salah satu partisipan aktif Forum KAWAL[1] dari Kasepuhan Bongkok tersebut adalah perempuan berusia 16 tahun bernama Fina. Setiap harinya ia memiliki kegiatan yang cukup padat. Mulai dari bersekolah, berkegiatan dalam OSIS[2], berkegiatan ekstrakurikuler rohani Islami dan ngobong[3]. Ia berangkat ke sekolah pukul 07.30 dan pulang pukul 17.00 petang. Setelah maghrib, ia ngobong sampai pukul 22.00 malam dan tiba di rumah pukul 22.30 malam. Melakukan banyak hal dalam satu waktu membuat waktunya banyak sekali tersita, belum lagi pekerjaan-pekerjaan domestik yang harus ia kerjakan.

Fina dan Abah Maman sedang mengobrol

Fina merupakan satu dari enam partisipan yang berasal dari Kasepuhan Bongkok yang tergabung dalam komunitas Burakok[4] yang didirikan pada tahun 2022. Forum KAWAL sesi kelima yang diselenggarakan pada tanggal 26-28 Mei 2023 di wilayah adat Kasepuhan Pasir Eurih adalah forum pertama yang diikutinya. Ia menganggap pengalaman ini menarik dan bermanfaat baginya untuk lebih aktif di masyarakat.

“Kayaknya seru. Terus menambah pengalaman juga ke Finanya. Terus, kayaknya, ini yang bikin Fina lebih aktif deh di masyarakat. Jadi Fina lebih tau. Kan Fina gak tahu sama sekali kalau di (Kasepuhan) Bongkok itu ternyata belum merdeka (wilayah adatnya masih belum diserahkan oleh negara) kan, (gak) kayak di Pasir Eurih[5]. Fina cuman tau disini (forum KAWAL) aja. Disana tuh Fina gak pernah diceritain kalau di Bongkok itu belum merdeka.”

Fina sedang mengikuti Ice breaking.

Forum KAWAL seri kelima ini mewadahi peserta untuk menggali dan merefleksikan pengalaman personal; merencakana perencanaan kelompok/komunitas; dan pengenalan dan simulasi pemetaan partisipatif melalui berbagai sesi yang dibagi ke dalam tiga hari. Fina terlibat dan mengikuti setiap sesi dengan antusias. Meskipun interaksinya terbatas pada teman-teman peserta perempuannya lainnya dan beberapa orang yang sudah ia kenali. Meskipun ia masih canggung untuk mengutarakan pendapatnya dalam diskusi besar, ia aktif ketika dalam diskusi kelompok. 

Dalam sesi “Sepanjang Jalan Kenangan” yang bertujuan menceritakan pengalaman personal peserta, Fina dan peserta diajak berefleksi melalui media gambar gelombang naik-turun yang menggambarkan jatuh-bangkit kehidupan, bagaimana cara bangkit dari situasi sulit dan siapa saja yang terlibat dalam prosesnya. Sesi ini membuat Fina lebih bersyukur dengan merefleksikan orang-orang yang yang berjasa dalam hidupnya. Sepanjang hidupnya, ia sempat keluar masuk pesantren karena ditinggalkan teman dekat hingga pindah ke Kampung Bongkok dan mulai beradaptasi dengan lingkungan baru, teman baru dan aktivitas baru.

Hari selanjutnya, dalam sesi perencanaan kelompok/komunitas, Fina beserta anggota Burakok lainnya melihat kembali kelompok dan kampungnya lalu mencoba merencanakan tujuan bersama dalam kurun waktu satu tahun kedepan. Proses ini digambarkan melalui rute jalan perencanaan tujuan kelompok. Nampaknya mereka berencana untuk memajukan salah satu obyek wisata potensial yang ada di Kasepuhan Bongkok. Meskipun begitu mereka sadar bahwa rencana tersebut merupakan rencana jangka panjang yang memerlukan banyak langkah-langkah kolektif untuk mencapainya, termasuk para orang muda di kampunya. Di sisi lain, menyoroti kampungnya, Fina menambahkan bahwa pemuda-pemudi yang telah lulus SMA jarang menetap di Kampung Bongkok: “Disana tuh gak ada pemuda yang udah lulus SMA. Di Bongkok itu, mayoritasnya, kalau udah SMA, dia kerja di luar kota.”

Selanjutnya, dalam sesi pemetaan partisipatif, peserta Forum KAWAL diberikan materi pengantar pemetaan partisipatif oleh Slamet Widodo, Community Organizer RMI yang mengaitkan urgensi pemetaan partisipatif dengan tata laksana pembangunan nasional:

“Selama ini peta menjadi acuan tata ruang dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Tapi sayang, pembangunan yang dilakukan pemerintah lebih berpihak kepada pengusaha dan kurang memperhatikan hak-hak masyarakat setempat sehingga sering terjadi penyerobotan lahan, tumpang tindih kawasan, ketidajelasan tata batas dan sebagainya. Masyarakat yang hidup dan bekerja di wilayah itulah yang memiliki pengetahuan mendalam mengenai wilayahnya. Hanya mereka yang bisa membuat peta secara lengkap dan akurat mengenai sejarah, tata guna lahan, pandangan hidup dan harapan masa depannya.”

Pemetaan partisipatif—yang menjadi salah satu materi yang dirasa paling dibutuhkan oleh peserta Forum KAWAL—menarik perhatian peserta karena dilengkapi dengan pengenalan perangkat pemetaan, tukar cerita pengalaman pemetaan partisipatif oleh Carik Jajuli dari Kasepuhan Pasir Eurih, dan simulasi kelompok untuk melakukan pemetaan partisipatif. Fina yang terlibat langsung dalam sesi ini mengatakan bahwa:

“… KAWAL itu membantu sebagai wadah. Kalau misalkan di wilayah kita mau ada pemetaan, nanti dibantu sama KAWAL. Tadinya Fina gak bisa pake GPS, baru belajar juga kemarin. Terus pokoknya banyak banget (yang didapat) karena Fina baru. Menariknya GPS ini abis belajar langsung dipraktekin.”

Sebagai peserta baru, Fina cukup antusias mengikuti kegiatan Forum KAWAL. Antusiasmenya terlihat dari keinginannya untuk ikut kegiatan Forum KAWAL selanjutnya yang menurutnya adalah kegiatan yang membuatnya berpikir kritis. Selain itu Fina mengaku ingin mengetahui lebih dalam mengenai hutan adat yang masih asing dimatanya.

Fina, dengan kesehariannya menghabiskan waktu sekitar 13 jam di sekolah dan pesantren, memiliki waktu yang lebih minim untuk terlibat dalam proses-proses yang tengah terjadi di kampungnya. Sedangkan sebagai perempuan yang bertempat tinggal dan beraktivitas di wilayah adat Kasepuhan Bongkok, Fina juga memiliki banyak keterbatasan-keterbatasan termasuk dalam Forum KAWAL itu sendiri. Sejauh ini interaksinya terbatas pada peserta perempuan lain dan beberapa yang ia sudah kenal.

Tanpa mengecilkan usaha afirmatif fasilitator di lapangan kepada peserta perempuan dengan sering-sering mengajukan pertanyaan khusus bagi mereka (“ti perempuanna kumaha? Aya nu rek dicaritakeun?”[6]), usaha tersebut belum mampu memantik mayoritas peserta perempuan untuk mengutarakan pendapatnya. Entah karena merasa tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman, entah karena takut salah berpendapat, entah karena tidak berminat atau faktor-faktor lain yang merintanginya; namun yang jelas kehadiran Fina sebagai peserta baru Forum KAWAL merupakan langkah baik yang perlu disyukuri di tengah pusaran lemahnya artikulasi konsep partisipasi orang muda dan perempuan di konteks Kasepuhan.


[1] Konsolidasi dan Advokasi Wilayah Adat Lebak

[2] Organisasi Intra Sekolah

[3] Santri di suatu ‘Kobong’ dalam bahasa Sunda yang artinya ‘pesantren’ dalam bahasa Indonesia.

[4] Budak Ngora Kampung Bongkok (pemuda kampung bongkok)

[5] Salah satu Kasepuhan yang sudah mendapatkan SK Hutan Adat.

[6] Dari perempuannya bagaimana? Ada yang mau diceritakan?


Penulis: Rifky P.K.

Editor: Supriadi

Sarmani: Proses dan Dampak Tujuh Tahun Berkegiatan dengan RMI

Sarmani adalah laki-laki berusia 27 tahun yang sejak tahun 2018 bekerja sebagai perangkat desa Cirompang. Ia berasal dari keluarga petani, di mana kedua orang tuanya menggarap sawah di wilayah adat Kasepuhan Cirompang. Ia sempat berkuliah jurusan pertanian di salah satu universitas di Bandung selama empat semester sebelum kemudian memutuskan pulang ke wilayah adat Kasepuhan Cirompang di tahun 2015 dan menetap disana hingga saat ini. Setahun setelah kembali dari perantauan, ia mulai berkegiatan dengan RMI, ditandai dengan partisipasinya dalam kegiatan Sekolah Lapang Rakyat di tahun 2016. Selama tujuh tahun tentunya ia merasakan berbagai dampak dan proses-proses yang ia lalui berkegiatan dengan RMI. Kini ia sudah berkeluarga dan memiliki seorang anak berusia tiga tahun.

Tahun 2016 sampai 2017 menjadi salah satu babak penting dalam hidup Sarmani. Sejak kembali dari perantauan, ia mencoba aktif berkegiatan di komunitasnya. Selain ikut Sekolah Lapang Rakyat, ia berperan aktif dalam kegiatan pemetaan partisipatif di wilayah adat Kasepuhan Cirompang. Keduanya membuat Sarmani merasa lebih memahami kasepuhan dan mengetahui wilayah adat Kasepuhan Cirompang. Padahal, semasa bersekolah ia cenderung tidak memedulikan hal-hal terkait ritual adat, wilayah adat bahkan komunitas adatnya sendiri dan memilih untuk fokus belajar. Kepeduliannya terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan Kasepuhan Cirompang terus berproses dari waktu ke waktu hingga mengantarkannya pada suatu titik dimana ia merasa ada yang berkurang dalam dirinya jika adat tidak dilestarikan.

1 Maret 2019 menandai Pemetaan partisipatif yang dilakukan Sarmani dan tim membuahkan hasil. Negara mengembalikan hak adat Kasepuhan Cirompang dengan mengeluarkan SK Hutan Adat seluas 306 Hektar yang dikeluarkan dari wilayah Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Manfaatnya jelas terasa bagi Masyarakat Adat Kasepuhan Cirompang. Bahkan, di tahun 2023, Hutan Adat Cirompang relatif hampir seluruhnya sudah tergarap  oleh masyarakat Kasepuhan Cirompang.

Setelah penetapan, Sarmani tetap menyadari pentingnya menjaga dan mengelola Hutan Adat Cirompang dengan baik. Sarmani memilih berkontribusi untuk menjaga hutan adat di Kasepuhan Cirompang dengan menjadi anggota Komunitas Pemuda Adat Kasepuhan Cirompang (Kisancang) yang salah satu kegiatannya adalah ronda leuweung/patroli hutan.  Sejak tahun 2021, Kisancang berkolaborasi dengan baris kolot sekitar satu sampai tiga kali dalam setiap tiga bulan melakukan kegiatan tersebut. Sarmani mengatakan bahwa dari aktivitas tersebut, secara kolektif mereka mampu mengetahui wilayah mana yang harus ditanam, wilayah mana yang sudah mulai rusak dan titik-titik mata air mana yang harus dijaga. Pilihan tersebut menjadi alternatif yang memungkinkan karena Sarmani tidak memiliki akses terhadap tanah dan bekerja sebagai perangkat desa.

Kesetaraan Gender Menjadi Fokus Sarmani

Sebagai perangkat desa, ia berkontribusi kepada masyarakat di sekitarnya. Sehari-hari, ia bekerja sebagai staf data yang mengurusi pencatatan surat masuk maupun surat keluar dan pencatatan data kependudukan seperti data disabilitas, lansia dan keluarga miskin. Menurutnya, ia banyak mengambil pelajaran selama mengerjakan pekerjaannya. Salah satunya, Ia menjadi tahu mengenai kondisi masyarakat di sekitarnya dan mampu mengidentifikasikan sasaran prioritas program pemerintah seperti bantuan sosial.

Melalui profesinya sebagai perangkat desa dan aktifnya ia di Kisancang, membuatnya sering terlibat dalam musyawarah di tingkat dusun sampai musyawarah desa. Sepanjang keterlibatannya di setiap forum tersebut, ia menggarisbawahi pentingnya keterlibatan perempuan dalam forum-forum tersebut. Dengan nada prihatin, ia mengungkapkan hanya  10-20 persen perempuan dari total peserta yang hadir dalam musyawarah. Dari angka yang  kecil itu, hanya satu sampai dua orang saja perempuan yang mau berpendapat dalam forum, itupun perempuan yang pendidikannya sudah tinggi (sarjana) atau berprofesi sebagai guru. Bagi perempuan yang terlibat dalam forum tersebut merasa bahwa ia hanya ibu rumah tangga yang sekedar ikut dan mendengarkan.

Perhatian Sarmani pada isu gender tidak berhenti di tingkat komunitas, ia juga mengaplikasikannya di tingkat keluarga. Dalam konteks pekerjaan domestik, Sarmani berbagi tugas dengan istrinya. Ia mengatakan kadang mereka bergantian melakukan pekerjaan domestik seperti mencuci piring, memasak, menjaga anak dan bersih-bersih rumah. Terutama ketika istrinya sedang hamil. Waktu-waktu dimana Sarmani melakukan porsi kerja domestik yang lebih besar. Keresahannya terhadap isu gender, ia kemukakan dalam satu sesi di forum Konsolidasi dan Advokasi Wilayah Adat Lebak (KAWAL). Pada salah satu sesi refleksi bersama, ia mengemukakan pentingnya melibatkan perempuan untuk ikut menyuarakan pendapatnya di tingkat komunitas.

Refleksi Sarmani Selama Mengikuti Forum KAWAL

Sarmani sangat aktif dalam Forum KAWAL. Forum KAWAL yang sudah keempat kalinya diselenggarakan, menjadi ruang belajar bersama dan bersolidaritas antar generasi muda berbagai kasepuhan. Ia selalu mengikuti setiap pertemuan KAWAL sejak Forum KAWAL pertama. Menariknya, ia mampu menjelaskan beberapa materi yang ia anggap menarik dari setiap pertemuannya. Baginya materi yang menarik adalah pengantar seks dan gender.  Ia menyimpulkan bahwa dalam musyawarah di Kasepuhan maupun di desa, tidak harus selalu laki-laki yang terlibat. Peran dan pendapat perempuan juga harus dihargai dan jangan sampai dibatasi. Hal ini menurutnya perlu untuk disosialisasikan lebih lanjut di masyarakat. Selain itu, baginya materi sketsa perubahan desa juga menarik. Pada materi tersebut, sejak tahun 1990an sampai 2022, Sarmani berefleksi akan perubahan fisik di Kasepuhan Cirompang. Ia mendapati perubahan sungai dan lingkungan pemukiman. Ia menyoroti bahwa di tahun 1980-1990an, atap rumah masih berbahan ijuk. Sedangkan sekarang, menggunakan genteng. Meskipun begitu, dalam konteks hutan, sampai sekarang masih terjaga seperti dulu. Menurutnya, hal ini dapat terjaga karena masyarakat Kasepuhan menaati aturan baris kolot yaitu larangan menebang pohon di wilayah mata air. Kesadaran ini sudah terbangun sejak dulu dan masih terjaga hingga saat ini.

Perubahan-perubahan tersebut tidak dapat terlepas dari konteks hukum dan negara terutama dalam aspek hutan dan budaya bertani yang menjadi sumber kehidupan dan penghidupan di Cirompang. Hal inilah yang Sarmani dapatkan dari pertemuan kedua Forum KAWAL melalui permainan. Dari situ, Sarmani melihat bahwa penting bagi Kasepuhan untuk memiliki legalitas atau pengakuan dari pemerintah dan proses-proses advokasi di dalamnya. Baginya, penting bagi masyarakat adat untuk memahami hukum yang berlaku dan bertindak sesuai dengan peraturan yang ada.

Sarmani Saat Ini

Terkini, aktivitas Sarmani dengan RMI adalah Forum KAWAL keempat yang diselenggarakan di wilayah adat Kasepuhan Cibarani. Forum ini berbeda dari forum-forum sebelumnya karena Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat (direktorat KMA) ikut terlibat dan memberikan beberapa materi. Secara singkat, materi yang disampaikan seputar perkenalan lembaga; layanan advokasi yang disediakan direktorat KMA; program penunjang pemajuan kebudayaan yang disediakan direktorat KMA; dan sosialisasi warisan budaya berbentuk fisik dan non-fisik. Dari situ, Sarmani menjadi terpikirkan akan suatu situs yang dinamai batu keupeul (batu kepal) di wilayah adat Kasepuhan Cirompang. Ia mengatakan bahwa sebelumnya tidak terpikirkan sampai mengajukan batu keupeul menjadi cagar budaya. Hal ini menjadi penting karena peninggalan-peninggalan sejarah di wilayah Sarmani menjadi lebih disadari sebagai sebuah peninggalan sejarah yang bernilai. Bukan sebagai batu yang biasa-biasa saja.

Sebagaimana batu keupeul yang bernilai sejarah di Kasepuhan Cirompang namun dianggap biasa-biasa saja, begitu juga dengan perjalanan Sarmani yang sering dianggap biasa-biasa saja. Padahal, setiap potongan peristiwa dan refleksi yang berproses dalam dirinya merupakan sesuatu yang bernilai. Sesuatu yang bermakna bagi dirinya dan Kasepuhan Cirompang.

Sejak berkegiatan dengan RMI, Sarmani aktif berkegiatan dalam berbagai kesempatan yang berdampak bagi Kasepuhan Cirompang. Dimulai dari Sekolah Lapang Rakyat dan pemetaan partisipatif di tahun 2016 sampai aktif di Forum KAWAL di tahun 2023. Perubahan-perubahan yang ia alami, diawali dengan suatu hal yang umum yaitu pengetahuan tentang Kasepuhan Cirompang itu sendiri. Sejak saat itu, ia aktif memperdalam dan memperluas pengetahuannya. Selama berkegiatan dengan RMI, ia merasa banyak mengambil pelajaran. Bagi Sarmani, salah satu faktor pendukung hal tersebut adalah kegiatan RMI yang tidak memandang status pendidikan. Menurutnya, baik yang berpendidikan maupun yang tidak, tidak dibeda-bedakan dalam kegiatan. Karenanya, teman-temen lain yang tidak sekolah (formal) tidak minder.

Alhasil, dari perjalanan dengan RMI selama tujuh tahun, Ia menyatakan bahwa ia merasa lebih lebih dekat dan lebih sering menggali terkait sejarah Kasepuhan kepada baris kolot Kasepuhan Cirompang. Selain itu, ia sering mengikuti upacara (ritual)  di Kasepuhan Cirompang. Seperti yang sudah dipaparkan di atas bahwa ia merasa ada yang berkurang dalam dirinya jika adat tidak dilestarikan. Sarmani merasa punya tanggung jawab untuk ikut serta melestarikan adat dengan perkataan “kalau tidak kita yang menjaga, (lalu) siapa lagi?”

Oleh: Rifky Putra Kurniawan

Editor: Siti Marfu’ah

Hutan Adat Sebagai Obat Trauma Bagi Masyarakat Kasepuhan Karang

Awan abu-abu mulai menyelimuti Hutan Adat, Desa Jagaraksa, Lebak, Banten. Dua orang laki-laki jalan kaki keluar dari hutan dan menghampiri kami di saung warung dekat jalan raya antar kecamatan Muncang dengan Sobang. Ada yang berteriak “itu dia orangnya”, orang yang pada tahun 2013 sempat ditangkap oleh Polisi Hutan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) karena memanfaatkan ranting di kawasan konservasi.

Laki-laki yang berusia 45 tahun itu menghampiri kami yang sedang duduk di pinggir jalan tersebut, dengan membawa koneren (tas yang terbuat dari karung plastik), baju biru, dan menggunakan topi mengajukan tangan untuk salaman dengan kami. Kami bersalaman dengan menyebutkan nama masing-masing, Pak SL namanya.

Percakapan diawali dengan menanyakan kabar dan kesibukan sehari-hari. Saat ini Pak SL sibuk menanam kopi, merawat kebun, kerja di pembibitan kopi dan bersawah. Ia juga menceritakan bahwa saat ini kopi sedang berkembang pesat dan harganya lumayan, oleh sebab itu ia menanam kopi di kebunnya. Selain kopi, ia juga menanam duren, pete, jengkol, manggis, serta jengjeng.

Saat kami menanyakan tentang kejadian penangkapan oleh polisi hutan di tahun 2013, raut wajahnya berubah, ia diam lama, air mengambang di matanya, jari-jari di tangan kanannya memainkan tulang hidungnya seolah menahan air agar tidak jatuh dari matanya.

“(dulu ditangkap karena) arang, bikin arang dari ranting-ranting karet di dalam kawasan (Taman Nasional / TN), yang nyieun (bikin) Ibu HN.” katanya. Ibu HN merupakan salah satu warga/tetangga Pak SL.

Sambil memegang tulang hidungnya, ia bercerita bahwa saat itu dia baru pulang mengambil arang dari dalam hutan. Setelah keluar dari hutan, di pinggir jalan ada polisi hutan yang menegur Pak SL, “jangan taro di sini” kata polisi hutan. Kemudian arang tersebut diambil dan ia ditangkap oleh polisi hutan lalu dibawa ke kantor TNGHS Resort Cikawah. Meskipun tidak lama, tapi kejadian tersebut sangat membekas di dirinya. Ia menceritakan bahwa ada masyarakat lainnya juga yang ditangkap. “Kalau [membuat] arang mah diambil aja [arangnya]. [tapi] Kalau [memiliki] kebun diancam penjara 20 tahun dan uang 100 juta,” katanya dibarengi dengan air mata yang jatuh.

Selanjutnya di tahun 2014, Komnas HAM bersama beberapa organisasi masyarakat sipil melaksanakan Inkuiri Nasional tentang Hak Masyarakat Adat. Pak SL juga hadir dalam pertemuan tersebut, tetapi ia takut bercerita sehingga kejadian tersebut diceritakan oleh Kepala Desa Jagaraksa, “tetapi yang ada kan hanya ada kepala-kepalanya (pimpinan TNGHS saat Inkuiri Nasional, bukan polisi hutan)”, kata Pak SL. 

Sebelum berubah fungsi jadi Taman Nasional (TN) pada tahun 2003, wilayah adat Kasepuhan Karang merupakan bagian dari Perhutani. Di mana menurut Pak SL tidak ada bedanya saat wilayah adat dikuasai oleh Perhutani dengan saat dikuasai TN.  “Pas (zaman penguasaan oleh) Perhutani (masyarakat) disuruh pulang, sama kaya (pada zaman penguasaan oleh] TN,” jelas Pak SL. Pak SL menambahkan di kedua era tersebut masyarakat sama-sama diminta upeti.  

“Boro-boro ngebun harita mah, masuk wae geh sieun, punya Taman Nasional. (Boro-boro berkebun waktu itu, masuk aja takut karena punya Taman Nasional). Dulu tetep ke kebun tapi bukan di kawasan TN, tapi di kawasan yang ada SPPTnya,” jawab Pak SL, saat ditanya bedanya dulu dan sekarang. 

Pembicaraan pun kembali ke masa kini, tahun 2022. Setelah kejadian tersebut, Pak SL dan Ibu HN tidak membuat arang lagi, karena takut, dan terlebih lagi saat ini jarang ada yang membeli. Pak SL menceritakan bahwa setelah Hutan Adat Kasepuhan Karang diakui oleh Negara sebagai milik masyarakat Kasepuhan Karang, ia mengaku merasa bungah (sangat senang). Perasaan tersebut tercermin dari raut wajahnya yang berubah. “Setelah hutan adat [diakui], bisa pepelakan (menanam pepohonan) lagi juga. Ada peningkatan pendapatan. Tetangkalan (pohon) nambah, baru nanam lagi,” katanya dengan senyum lebar.  Meskipun kejadian tersebut telah berlalu, namun perasaan trauma masih menghantui Pak SL, ia mengakui bahwa hingga saat ini kalau bertemu dengan pihak Taman Nasional ia masih merasa sangat was-was. 

Sementara, Ibu HN sibuk mengelola sawahnya yang jaraknya jauh, sehingga pulang sudah hampir maghrib, padahal warga lain biasanya pulang ke rumah lepas tengah hari. Sehingga membuat ia sulit untuk ditemui.

Penulis: Siti Marfu’ah

Agensi Perempuan Kasepuhan Cirompang dalam Menciptakan Ketahanan Pangan Keluarga

“Lelaki tua dengan iket khas Sunda di kepala terlihat tersenyum ramah menyambut kedatangan kami. Sosok ini adalah Olot A, beliau merupakan salah satu Ketua Adat di Kasepuhan Cirompang. Saat tiba di sana, kami langsung dipersilakan masuk dan duduk bercengkrama di area dapur. Nuansa dapur yang dominan dengan bahan kayu ditambah geliat asap dari tungku yang menyala menciptakan suasana hangat khas pedesaan. Di dekat tungku tersebut, terlihat Ambu O (istri Olot A) yang sedang sibuk ‘ngakeul’ nasi putih di dalam sebuah dulang. Beliau begitu terampil mengaduk nasi tersebut. Tangan kirinya memegang hihid (kipas) dan tangan kanannya mengaduk nasi menggunakan pangarih (centong yang terbuat dari kayu). Sembari berbincang dengan kami, Ambu O terlihat sibuk melanjutkan proses pembuatan nasi untuk dihidangkan kepada kami.”

Kegiatan yang dilakukan perempuan dalam masyarakat adat Kasepuhan Cirompang  masih sangat identik dengan kegiatan yang ada di ranah domestik. Seperti pada kutipan di atas yang menggambarkan suasana ketika pertama kali kami tiba di Kasepuhan Cirompang. Terlihat jelas bagaimana pembagian peran antara Ambu O dan Olot A yang merepresentasikan pembagian peran dalam keseharian keluarga ini. Ketika kami datang, Ambu O terlihat sangat sibuk menyiapkan kopi, nasi, dan sayur untuk dihidangkan. Sedangkan Olot A duduk dan berbincang dengan kami. Pembagian peran yang sekilas terlihat biasa saja ini justru menjadi suatu hal yang menarik untuk kami telusuri lebih lanjut. Dari kegiatan “ngakeul” yang sedang dilakukan Ambu O kala itu menciptakan rasa ingin tahu kami tentang bagaimana perempuan adat Kasepuhan Cirompang menjalankan perannya dalam keseharian, terutama dalam kaitannya dengan agensi mereka dalam menciptakan ketahanan pangan dalam keluarga. Sekilas tentang Kasepuhan Cirompang, letak Kasepuhan ini berada di Desa Cirompang, Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Suasana bersih dan asri menjadi kesan pertama ketika kami menginjakkan kaki di Kasepuhan Cirompang pada 20 Oktober 2022 silam. Berjarak sekitar 79 km dari pusat kota Bogor, kami memerlukan waktu sekitar 4 jam untuk tiba di Kasepuhan Cirompang. Sebuah desa yang didiami oleh masyarakat adat yang masih kental dan memegang teguh berbagai aturan adat di dalamnya. Saat ini, masyarakat yang tinggal di Desa Cirompang merupakan masyarakat adat yang terdiri dari keturunan/incu putu dari Kasepuhan Citorek dan Ciptagelar. Desa Cirompang dikelilingi oleh pegunungan yang masih sangat hijau. Desa ini berbatasan langsung dengan Desa Sukaresmi (Kecamatan Sobang) di bagian utara dan berbatasan dengan Desa Citorek (Kecamatan Cibeber) di bagian selatan. Sedangkan di sebelah timur berbatasan langsung dengan Desa Sukamaju (Kecamatan Sobang), serta berbatasan dengan Desa Sindanglaya (Kecamatan Sobang) di bagian baratnya. Luas Desa Cirompang yaitu 637,608 ha (Data RMI, 2017).

Sebagian besar mata pencaharian masyarakat Cirompang yaitu berasal dari hasil pertanian (tatanen). Sehingga, aturan adat yang mengatur masyarakat Kasepuhan Cirompang kemudian juga berkaitan erat dengan kegiatan tetanen. Sebagai masyarakat adat yang dekat dengan kegiatan tetanen, salah satu hal yang membedakan masyarakat Cirompang dengan masyarakat lain yaitu berkaitan dengan cara pengelolaan bahan pangan yang dikonsumsi sehari-hari. Masyarakat adat masih memiliki pegangan dan tata cara adat tersendiri dalam proses produksi pangannya. Dalam upaya menciptakan ketahanan pangan, dahulu masyarakat adat Kasepuhan Cirompang menanam padi dengan varietas lokal (jenis pare gede) yang biasanya ditanam satu tahun sekali. Namun saat ini masyarakat menanam padi setahun dua hingga tiga kali (jenis pare leutik/pare handap). Padi yang ditanam tidak sepenuhnya dikonsumsi masyarakat sekaligus secara langsung. Namun biasanya mereka menyimpannya dalam leuit sehingga padi tersebut awet. Leuit merupakan lumbung yang digunakan untuk menyimpan padi (lihat gambar xx.xx). Adanya leuit merupakan bentuk dari sistem ketahanan pangan masyarakat Cirompang untuk menyimpan padi selama kurang lebih enam tahun. Keberadaan dan penggunaan leuit di desa ini sudah lama diwariskan secara turun menurun. Menariknya, dalam proses menciptakan ketahanan pangan keluarga di masyarakat Kasepuhan Cirompang, perempuan memiliki peran yang cukup dominan dibandingkan peran laki-laki. Perempuan terlibat mulai dari proses pengelolaan padi di sawah hingga mengolah beras menjadi nasi yang dapat disajikan untuk seluruh anggota keluarga. Sebelum menanam padi, perempuan melakukan kegiatan macul (menggemburkan tanah). Utamanya kegiatan ini dilakukan oleh laki-laki, tetapi perempuan seringkali “macul” untuk membantu laki-laki. Ketika tanah sudah siap ditanami padi, perempuan melakukan proses sebar/tebar (aktivitas menyebar benih padi) yang dilakukan selama satu hari. Selanjutnya, perempuan memindahkan benih padi dari tempat pabinihan ke sawah yang lebih luas. Proses ini dilakukan selama satu hari. Sama seperti macul, kegiatan ini dapat dilakukan oleh perempuan dan laki-laki. Setelah padi dipindahkan ke sawah, perempuan melakukan proses tandur (kegiatan menanam padi di sawah) selama 1-7 hari. Ketika padi mulai tumbuh (belum berbuah), selama seminggu perempuan membersihkan rumput yang mengganggu pertumbuhan padi. Setelah lima belas hari, perempuan kembali melakukan kegiatan ngoyos untuk kedua kalinya.

Kegiatan selanjutnya adalah ngubaran yaitu selamatan dan pemupukan untuk mengobati hama penyakit. Ngubaran ini biasanya menggunakan panglai (tanaman rempah sejenis kunyit dan jahe)dari Kasepuhan (Ritual Adat Kasepuhan). Pelaksanaan ngubaran biasanya dilakukan oleh laki-laki dan perempuan selama empat puluh hari lamanya. Usai ngubaran, upacara dilanjutkan dengan kegiatan selamatan ketika padi berbunga, menabuh lisung, dan gegenek (Ritual Adat Kasepuhan). Upacara ini disebut dengan apag pare beukah. Ketika padi tumbuh dan akan dipanen,dilakukanupacara selamatan yang disebut dengan beberes (Ritual Adat Kasepuhan). Kegiatan ini biasanya dilakukan oleh laki-laki dan perempuan selama empat puluh hari. Prosesi usai beberes disebut dengan mipit, yaitu kegiatan memanen padi yang dilakukan selama satu hari. Pelaksanaan mipit inimelibatkan peran perempuan dan laki-laki. Setelah padi dipanen kemudian padi dikeringkan dan diikat, hal ini disebut dengan mocong. Mocong biasanya dilakukan oleh laki-laki dan perempuan berperan membantu laki-laki. Kegiatan ini dilakukan selama setengah bulan. Setelah mocong dilakukan, proses selanjutnya adalah laki-laki ngunjal (memindahkan padi dari lantaian ke leuit), sedangkan perempuan berperan membantu proses menyalurkan padi yang akan dimasukkan ke leuit. Ngunjal ini berlangsung selama satu hari. Setelah ngunjal selesai, kegiatan selanjutnya adalah netepkeun, yaitu selametan padi selama berada di leuit (Ritual Adat Kasepuhan). Kegiatan ini biasanya dilakukan oleh laki-laki. Selanjutnya, prosesi terakhir adalah seren tahun yaitu selametan atas hasil bumi (padi) yang didapat (biasanya setiap minggu atau senin) dan jatuh pada bulan haji/rowah. Kegiatan ini melibatkan peran laki-laki dan perempuan dalam pelaksanaannya. (Data RMI, 2017).

Ketika peran laki-laki telah usai (dari proses pengelolaan sawah hingga puncak kegiatan penyimpanan padi ke dalam leuit), tetapi peran yang harus dijalani perempuan masih sangat panjang. Perempuan masih melanjutkan pengelolaan padi menjadi beras, dan mengolah beras menjadi nasi hingga dapat dimakan untuk seluruh anggota keluarga. Seperti yang terlihat pada gambar xx.xx di atas yang merupakan gambar kegiatan nutu padi dengan menggunakan lisung atau lesung. Nutu padi merupakan kegiatan menumbuk padi di dalam lisung. Kegiatan ini seutuhnya dilakukan oleh para perempuan (biasanya secara berkelompok). Nutu padi dilakukan oleh dua orang yang memegang halu (tongkat penumbuk padi) dan menumbuk padi dalam lisung secara bergantian.  Kemudian dua orang lainnya memisahkan padi dari huut (kulit padi) dengan menggunakan tampah. Kegiatan memisahkan padi dari kulitnya ini disebut dengan napi. Jika padi sudah terpisah dari huut-nya, jadilah beras yang kemudian dapat dikonsumsi rumah tangga.

Setelah memisahkan padi dari kulitnya, para perempuan Kasepuhan Cirompang juga memiliki cara khusus dalam proses pengelolaan beras menjadi nasi. Proses yang dilalui dalam pengelolaan nasi ini lebih panjang dan membutuhkan waktu yang lebih lama dari proses pembuatan nasi pada umumnya. Pertama proses tersebut dimulai dengan memasukkan beras ke dalam bakul kecil (disebut boboko) lalu beras dicuci hingga bersih. Kegiatan ini dinamakan dengan ngisikan/diisikan. Usai ngisikan dilakukan, beras tersebut dituang ke wadah berbentuk anyaman kerucut yang disebut asepan dan diletakkan di atas dandang (seeng). Proses ini dilakukan di atas dandang yang berada di atas tungku (hau) yang masih menggunakan bahan kayu bakar. Beras dalam asepan didiamkan hingga dandang terlihat mengeluarkan asap sampai timus (mengebul).

Kemudian setelah nasi dalam asepan terlihat setengah matang, nasi tersebut diangkat dan dipindahkan ke dalam dulang dan dituangi sedikit air kemudian diaduk dengan pangarih (centong yang terbuat dari kayu). Kemudian nasi yang setengah matang ini diaduk. Setelah dirasa air meresap dalam nasi, nasi tersebut kembali ditaruh ke dalam asepan dan ditutup menggunakan penutup (dikekeb). Setelah nasi matang, proses selanjutnya yaitu ngakeul, yaitu proses mengaduk nasi sebelum disajikan dan dilakukan di dalam dulang. Kegiatan ini dilakukan dengan tangan kiri memegang hihid (kipas) dan tangan kanan mengaduk nasi menggunakan pangarih (centong yang terbuat dari kayu) dan dilakukan secara bersamaan. Proses pembuatan nasipun selesai dan nasi tersebut dapat disajikan untuk seluruh anggota keluarga.

Selain proses pembuatan nasi, hal lain yang menarik perhatian kami yaitu ketika kami melewati pekarangan rumah dan galengan sawah di sekitar Kasepuhan Cirompang. Disana terlihat para perempuan yang menanam tanaman sayur untuk dimasak dan memenuhi kebutuhan sayur sehari-hari mereka. Kegiatan menanam sayur yang dilakukan para perempuan di Kasepuhan Cirompang ini bermula karena sulitnya akses kebutuhan sayur yang dibudidaya di Desa Cirompang. Para perempuan di Kasepuhan Cirompang membentuk kelompok perempuan adat yang bernama Sompang Kisancang. Salah satu kegiatan kelompok perempuan ini yaitu berupaya menciptakan ketahanan pangan keluarga dengan belajar menanam sayur di pekarangan rumah, di pinggiran kolam Saung Kisancang, serta di galangan sawah yang mereka miliki.

Berdasarkan penuturan Teh IW (ketua kelompok Sompang Kisancang), kegiatan yang dilakukan kelompok perempuan Sompang Kisancang sangatlah beragam. Mulai dari belajar menanam sayur bersama RMI sehingga sayur tersebut bisa memenuhi kebutuhan dan dijual keluar desa, membuat keripik dan kerupuk, membuat kue, hingga belajar membuat nugget dari bahan ikan nila dan ayam bersama Sobat Mengajar. Namun sayangnya, keterlibatan perempuan di Sompang Kisancang masih sangat rendah, jumlah maksimal perempuan yang aktif dalam kelompok perempuan ini hanyalah sepuluh orang. Kendala yang mempengaruhi kegiatan tersebut biasanya dikarenakan bertubrukan dengan jadwal musim tandur dan urusan domestik yang kemudian menjadi kendala berjalannya kegiatan kelompok perempuan tersebut. Namun meskipun begitu, para perempuan secara mandiri tetap berupaya menanam kebutuhan sayur di depan pekarangan rumah (dengan polibek/bekas karung beras) dan galengan sawah mereka.

Dari seluruh uraian peran yang diemban oleh perempuan Kasepuhan Cirompang, keterlibatan diri perempuan di banyak lini kesempatan yang ada membuat kita menyadari bahwa masih ada pembagian peran yang timpang. Hal ini membuktikan adanya pandangan patriarki yang masih terasa kental di Kasepuhan Cirompang. Timpangnya pelibatan perempuan terlihat dari pembagian tugas domestik dalam keseharian yang banyak dibebankan pada perempuan. Perempuan menanggung beban yang cukup dominan dalam pekerjaan rumah tangga dibandingkan laki-laki. Selain memasak, perempuan di Kasepuhan Cirompang juga memiliki tugas dalam penggarapan sawah, mencuci, membersihkan rumah, dan beragam tugas rumah tangga lainnya.

Banyaknya tugas yang harus dilakukan perempuan dalam keseharian ini juga secara tidak langsung kemudian mempengaruhi keterlibatan perempuan dalam ruang publik. Seperti ketika terjadi rapat pengambilan keputusan yang berkaitan dengan urusan adat, perempuan seringkali tidak diajak, atau bahkan ketika diajak dan perempuan hadir dalam pertemuan tetapi pendapatnya tidak didengarkan. Sehingga suara perempuan acapkali tidak terwakilkan dalam rapat pengambilan keputusan adat. Bahkan Teh IW menyatakan ketika ada beberapa perempuan yang ikut hadir dalam rapat adat dan mencoba memberi masukan, pendapat mereka tidak seutuhnya didengar ataupun dijadikan rujukan dalam pengambilan keputusan adat yang ada. Tentu hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi perempuan adat dalam menegosiasikan perannya di ruang publik namun di sisi lain mereka juga harus hidup berdampingan dengan struktur adat yang telah terpatri. Meskipun perempuan di Kasepuhan Cirompang masih mengalami subordinasi dalam struktur adat dan kondisi ini sekilas terlihat fixed (tidak dapat dinegosiasikan), namun kami juga melihat dari sisi lain bahwa adanya semangat yang tinggi para perempuan Cirompang dalam mewujudkan posisi perempuan dalam masyarakat adat. Peran dominan pelibatan diri perempuan Kasepuhan Cirompang dalam menciptakan ketahanan pangan keluarga hingga terbentuknya kegiatan kelompok perempuan Sompang Kisancang menjadi bukti adanya agensi perempuan dalam menegosiasikan posisi mereka di Kasepuhan Cirompang. Selain memiliki tugas-tugas yang telah diidentikkan dengan tugas perempuan, namun perempuan Kasepuhan Cirompang tetap berupaya fleksibel membantu peran laki-laki di setiap kesempatan yang ada. Peran perempuan mulai dari pengelolaan tanah di sawah, pengelolaan tanaman padi, menumbuk padi hingga menjadi beras, mengelola beras dengan cara tradisional agar menjadi nasi, menanam sayur, hingga berinisiatif dan bergerak terlibat dalam kelompok perempuan Sompang Kisancang (menciptakan berbagai produk olahan rumah tangga) secara tidak langsung menjadi penanda bahwa negosiasi posisi perempuan di dalam Kasepuhan Cirompang sedang berlangsung. Fleksibilitas perempuan dalam membantu laki-laki menjalankan peran kesehariannya namun tetap menjalani kewajiban tugas perempuan sesuai aturan adat justru mendorong kreativitas perempuan Kasepuhan Cirompang dalam membentuk power perempuan itu sendiri. Sehingga peran yang diambil perempuan Kasepuhan Cirompang justru membawa mereka pada kondisi ‘berdaya’ dan tidak bergantung pada apapun. Tanpa peran aktif perempuan Kasepuhan Cirompang, ketahanan pangan di Kasepuhan Cirompang sulit untuk dapat terwujud.


Ditulis oleh: Murti Aria Saputri

Diedit oleh: Siti Marfu’ah

Cerita Perubahan : Perawatan Kepedulian Pemuda Terhadap Kampung Sendiri

Terhitung sudah berjalan tiga bulan, kegiatan yang berfokus untuk membersamai kemajuan penciptaan ruang-ruang inklusif lewat pemberdayaan perempuan, pemenuhan hak-hak disabilitas dan inklusi sosial serta penguatan masyarakat sipil di empat Masyarakat Adat Kasepuhan dan Masyarakat Adat Baduy yang berlokasi di Kabupaten Lebak, Banten. Di awali dengan kegiatan penyusunan baseline data program.

Sejak disosialisasikan, kegiatan ini berkomitmen untuk melibatkan kelompok pemuda dan perempuan dalam proses pengambilan data. Dengan keterlibatannya, kelompok pemuda dan perempuan memperlihatkan kemauan keras untuk belajar  dan  kapabilitas mereka sebagai kelompok yang partisipasinya minim di kampung untuk tujuan pendataan. Hal ini tampak dari kerja sama antar enumerator kader lokal yang bergerak dengan dua cara yaitu berkelompok dan individu dalam suatu jangkauan kampung. Mereka berkoordinasi, membagi peran dan tanggung jawab dalam proses pendataan.

Selain itu, dari proses pendataan ini, enumerator kader lokal mampu melihat permasalahan yang muncul secara tersirat dari pertanyaan yang mereka tanyakan ke masyarakat yang ada  di kampung mereka. Beberapa diantaranya bercerita mengenai pendapatan yang lebih sedikit daripada pengeluaran setiap bulannya, banyaknya yang belum mendapatkan bantuan dalam bentuk apapun, sampai layanan administrasi kependudukan yang belum dimiliki oleh masyarakat.

Cerita menarik, salah satunya datang dari Kasepuhan Cibedug. Enumerator kader lokal disana terdiri dari dua orang yaitu Ega Juanda dan Ahmad Setiadi. Selama proses tiga bulan pendataan baseline data ini, mereka selalu terlibat dalam proses pelatihan pendataan yang diberikan terhitung tiga kali oleh RMI. Setelah itu, keduanya juga sering menanyakan kepada RMI mengenai permasalahan yang dihadapi saat pendataan, menanyakan teknis secara mendalam dan menyatakan alasan macetnya pendataan yaitu musim panen di Cibedug yang membuat orang-orang di Kasepuhan Cibedug sibuk dan menghambat proses pendataan. Alhasil, Ega Juanda mampu mengumpulkan paling banyak data dengan 82 data dan Ahmad Setiadi mengumpulkan 55 data tertinggi ketiga dibandingkan seluruh enumerator.

Dari proses selama tiga bulan tersebut, kedua enumerator dari Cibedug menunjukkan rasa ingin belajar, mau mengakui kesalahan dan belajar dari kesalahan. Menurut RMI, disinilah sisi inklusivitasnya, karena sebelumnya aktivitas pemuda di Kasepuhan Cibedug minim. Dengan terlibatnya kedua enumerator kader lokal disana, membuat mereka terlibat aktif dalam kegiatan di Kasepuhan Cibedug dan mampu melihat permasalahan yang muncul selama proses pendataan.

Hal positif lain yang bisa dilihat adalah praktik baik yang diperlihatkan oleh pemuda yang terlibat dalam pengumpulan data, ini memberikan dampak ke pemuda yang lain menjadi semangat untuk meningkatkan kapasitas dan mengembangkan diri. Karena memang pemuda dan perempuan bisa dikategorikan kedalam kelompok marjinal, di mana kesempatan untuk belajar dan partisipasi mereka masih sangat minim, baik dalam level desa maupun komunitas.

Berkerjasama dengan Kemitraan Partnership melalui program ESTUNGKARA “Kesetaraan untuk Menghapus Ketidakadilan dan Diskriminasi” RMI melakukan kegiatan yang sudah dijelaskan di atas.  

Penulis : Rifky Putra K  dan Slamet Widodo

Editor: Siti Marfu’ah

Perjalanan SK Hutan Adat Empat Kasepuhan

Foto 1: Seorang perempuan adat Kasepuhan Cibarani tengah menyiangi gulma di lahan garapannya (Foto: RMI/Waris)

Awal tahun 2021, sebuah pesan di aplikasi WhatsApp diterima RMI dari kawan-kawan Kasepuhan. Beritanya adalah bahwa perwakilan Kasepuhan Cibarani diundang hadir ke Jakarta dua hari lagi, tanggal 6 Januari 2021. Sebuah undangan juga dilampirkan dalam pesan ini, menyusul pesan sebelumnya yang meminta Abah Dulhani, Kepala Desa sekaligus tetua adat Kasepuhan Cibarani untuk hadir di Jakarta. Begitu dokumen undangan diunduh, terbaca penjelasan acara tanggal 7 Januari 2021. Acara yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat adat Kasepuhan Cibarani sejak setahun terakhir: penyerahan Surat Keputusan (SK) penetapan Hutan Adat Kasepuhan Cibarani seluas 490 Hektare yang berada di Desa Cibarani, Kecamatan Cirinten, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.

Dalam daftar undangan terbaca juga nama-nama Kasepuhan lain. Kasepuhan Cirompang, Kasepuhan Citorek dan Kasepuhan Pasir Eurih. Perwakilan dari Kasepuhan-kasepuhan tersebut diundang ke Jakarta untuk acara yang sama. Keempat Kasepuhan ini memang sudah mendapatkan penetapan Hutan Adatnya sebelumnya, yang diakui oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Hanya saja, mereka belum menerima dokumen utuh yang, secara tradisi sejak 2016, akan diserahkan langsung oleh Presiden.

Kasepuhan Cirompang dan Kasepuhan Pasir Eurih, yang difasilitasi oleh RMI, mengajukan penetapan Hutan Adatnya pada Oktober 2017. Kedua Kasepuhan masing-masing mengajukan luas 306 Hektare dan 580 Hektare hutan adatnya dikeluarkan dari status Hutan Negara berfungsi konservasi di bawah kelola Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Selanjutnya pihak KLHK melakukan verifikasi lapangan pada 29-30 Agustus 2018. Sesudah lama tidak terdengar kabar, termasuk tanpa melalui Gelar Hasil, penetapan Hutan Adat Kasepuhan Cirompang dan Kasepuhan Pasir Eurih diumumkan langsung oleh Menteri LHK Siti Nurbaya saat hadir dalam Riungan Gede Kasepuhan pada 1 Maret 2019 di Kasepuhan Citorek. Kedua Kasepuhan mendapatkan penetapan Hutan Adatnya seluas yang diajukan pada tahun 2017. Perlu dicatat bahwa dalam acara tersebut, baru terjadi pengumuman lisan penetapan Hutan Adat, belum penyerahan SK.

Lain lagi dengan Kasepuhan Cibarani. Pengajuan penetapan Hutan Adatnya dilakukan pada 5 November 2018 bersama komunitas Kampong Mului (Kalimantan Timur), enam komunitas dari Kalimantan Barat, dan 12 komunitas dari Bengkulu yang difasilitasi oleh Koalisi Hutan Adat—dikoordinir oleh HuMa dengan anggota antara lain AKAR, LBBT, PADI dan RMI. Pengajuan penetapan Hutan Adat ini diterima langsung oleh Menteri LHK. Sesudah menunggu delapan bulan, akhirnya tiba waktu verifikasi lapangan oleh KLHK pada 31 Juli – 1 Agustus 2019. Selanjutnya, RMI diundang pada tanggal 30 Agustus 2019 untuk mendiskusikan hasil verifikasi. Saat itu masyarakat Kasepuhan Cibarani tidak dilibatkan dalam diskusi karena rencananya akan dilibatkan pada diskusi terpisah, yang pada akhirnya tidak terjadi. Beberapa hal dibicarakan dalam diskusi tersebut, termasuk keberatan pihak Perhutani yang merasa masih ada aset Perhutani pada wilayah yang diajukan penetapannya sebagai Hutan Adat Kasepuhan Cibarani tersebut. Kasepuhan Cibarani memang satu-satunya Kasepuhan yang wilayah adatnya tumpang tindih dengan Hutan Negara berfungsi produksi. Tentunya di bawah kelola Perum Perhutani.

Foto 2. Masyarakat Adat menerima SK penetapan Hutan Adatnya pada Kamis, 7 Januari 2021 di Jakarta (Foto: BPMI Setpres)

Informasi penetapan Hutan Adat Kasepuhan Cibarani akhirnya didapatkan tanpa pengumuman resmi seperti yang terjadi saat pengumuman penetapan Hutan Adat Kasepuhan Cirompang dan Kasepuhan Pasir Eurih. Informasi tersebut didapat antara lain saat perwakilan Kasepuhan Cibarani turut menemani perwakilan Kasepuhan Cibedug mengajukan permohonan penetapan Hutan Adatnya ke Gedung Manggala Wanabakti, yang diterima langsung oleh Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) Bambang Supriyanto. Menurut informasi, Hutan Adat Kasepuhan Cibarani yang ditetapkan adalah 490 Hektare dari yang diajukan seluas 644 Hektare. Jadi, 154 Hektare hutan adat yang diajukan penetapannya oleh Kasepuhan Cibarani masih berstatus Hutan Negara, padahal dalam Peraturan Daerah (Perda) Lebak no. 8 tahun 2015 tentang Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan Kasepuhan, wilayah tersebut sudah ditetapkan sebagai wilayah adat Kasepuhan Cibarani.

Kasepuhan Citorek, yang pengajuan penetapan Hutan Adatnya difasilitasi oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), malah mengalami pengurangan wilayah Hutan Adat yang ditetapkan lebih dari separuh. Kasepuhan Citorek mengajukan 4.439 Hektare Hutan Adatnya, dan mendapatkan penetapan seluas 1.647 Hektare. Lagi-lagi, wilayah adat Kasepuhan Citorek pun sudah diakui oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Lebak dalam Perda yang sama, yaitu Perda Lebak 8/2015. Perwakilan Kasepuhan Citorek yang hadir di Jakarta, yaitu Oyok Didi dan Kepala Desa (Jaro) Jajang tidak mengetahui alasan pengurangan Hutan Adat Kasepuhan Citorek dari yang mereka ajukan pada Januari 2019. Adapun luasan Hutan Adat empat Kasepuhan yang telah ditetapkan dapat dilihat dalam tabel di bawah ini:

Pengurangan luasan penetapan ini sudah terjadi sejak penetapan pertama Hutan Adat di 2016. Hutan Adat Kasepuhan Karang, salah satu dari delapan Hutan Adat yang pertama kali ditetapkan, hanya memuat wilayah hutan tutupan dalam wilayah adat mereka seluas 486 Hektare, sementara kawasan hutan yang telah dikelola secara produktif selama  turun temurun oleh masyarakat seluas lebih dari 200 Hektare hingga kini justru masih berstatus Hutaan Negara dengan fungsi konservasi. Tidak diketahui alasan pengurangan tersebut, bahkan saat Gelar Hasil pada Desember 2016 tidak ada informasi mengenai pengurangan wilayah yang ditetapkan sebagai Hutan Adat Kasepuhan Karang.

Kembali ke masa kini, awal Januari 2021. Kabar undangan penyerahan SK Hutan Adat oleh Presiden langsung di awal tahun ini benar-benar kabar yang mengejutkan. Di saat tidak lagi ditunggu-tunggu penyerahannya, tiba-tiba undangan ini  datang. Bersyukur bahwa Direktorat Jenderal PSKL terus bekerja dalam senyap mewujudkan tahap akhir proses pengumuman pengakuan legal Hutan Adat Kasepuhan, dan 31 Hutan Adat masyarakat adat lainnya di seluruh Indonesia.

Secara total, Kasepuhan Cirompang dan Kasepuhan Pasir Eurih menunggu 1,5 tahun sejak pengajuan hingga ditetapkan Hutan Adatnya. Selanjutnya, kedua Kasepuhan ini harus menunggu 22 bulan untuk mendapatkan SK penetapan tersebut secara resmi dari presiden RI.

Di samping itu, Kasepuhan Cibarani harus menunggu 14 bulan sejak pengajuan hingga penetapan Hutan Adatnya. Selanjutnya, 13 bulan berikutnya adalah waktu yang harus mereka tempuh sejak penetapan Hutan Adatnya hingga penyerahan resmi SK Hutan Adat mereka oleh Presiden RI.

Catatan penting lainnya adalah baik Kasepuhan Cibarani, Kasepuhan Citorek dan Kasepuhan Karang tidak memahami mengapa pengajuan penetapan Hutan Adatnya tidak dipenuhi seluruhnya, yang sesungguhnya sudah diakui dalam Perda Kabupaten Lebak 8/2015.

Walaupun syukur tetap perlu terus dipanjatkan atas event menggembirakan pada awal tahun ini, namun perbaikan untuk pemberlakuan sistem yang tepat dan lebih ringkas tetap perlu dilakukan. Selain perlu adanya konsultasi dan kesepakatan yang jelas dalam menetapkan Hutan Adat antara masyarakat adat dengan Pemerintah, Kami membayangkan Menteri LHK dapat langsung memberikan SK Hutan Adat ini ke masyarakat adat, sehingga keluarnya SK penetapan Hutan Adat masyarakat adat bisa langsung dinikmati oleh mereka, tanpa harus mengalami fase menggantung tidak jelas karena menunggu jadwal Presiden.

 

Catatan: Kasepuhan adalah masyarakat adat yang mendiami wilayah ekosistem Halimun yang berada di wilayah administratif Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, Kabupaten Bogor dan Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat. Pemerintah daerah Kabupaten Lebak telah mengakui keberadaan masyarakat adat Kasepuhan pada tahun 2015 melalui Peraturan Daerah (Perda) No. 8 tahun 2015 tentang Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan Kasepuhan. Dalam lampiran Perda tersebut, tertulis 590 komunitas yang merupakan bagian dari Masyarakat Adat Kasepuhan yang terdiri dari Kasepuhan induk (kasepuhan utama), kasepuhan rendangan (kasepuhan pengikut), dan unit lebih kecil lagi seperti sesepuh kampung.

RMI sendiri belajar bersama masyarakat di wilayah ekosistem Halimun sejak 1995 dan mendampingi proses untuk pengakuan wilayah adat masyarakat adat Kasepuhan terutama sejak 2003.