Perjalanan Berliku Masyarakat Ciwaluh – Cipeucang untuk Memperoleh Kesepakatan Kemitraan Konservasi dengan TNGGP

Penandatanganan Perjanjian Kerjasama antara pihak Masyarakat Ciwaluh dan Kepala Balai TNGGP dan disaksikan oleh Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem.

Akhir tahun 2021, RMI menerima pesan WhatsApp dari kawan-kawan Ciwaluh dan Cipeucang mengenai undangan  dari Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP). Kawan-kawan Kampung Ciwaluh dan Kampung Cipeucang diundang datang ke Jakarta besok, yaitu 29 Desember 2021. Setelah dokumen undangan diunduh terbaca acara tersebut adalah penandatangan kerjasama Kemitraan Konservasi dengan TNGGP. Acara yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat Kampung Ciwaluh  dan kampung Cipeucang sembilan tahun terakhir, sejak pertemuan pertama dengan Kepala Balai Taman Nasional untuk mencari kesepakatan terkait aktivitas masyarakat di wilayah kawasan hutan TNGGP.  

Proses Mendapatkan Kembali Hak Kelola Lahan di Wilayah Kawasan Hutan TNGGP

RMI pertama kali masuk ke Kampung Ciwaluh guna pemberdayaan generasi muda melalui pendidikan lingkungan hidup pada tahun 2009. Dari proses ini ditemukan bahwa terdapat permasalahan akses lahan garapan masyarakat di wilayah TNGGP, juga tanah-tanah di wilayah kampung ini sudah di bawah kepemilikan PT. Pengembangan Agro Prima (PAP). Masyarakat tidak memiliki lahan mereka.

Satu tahun berikutnya, masyarakat, difasilitasi oleh RMI, melakukan pemetaan partisipatif di wilayah kampung untuk mengetahui luas kampung sesuai pemahaman masyarakat. Kemudian di tahun 2011, masyarakat melakukan pengembangan ekowisata yang diorganisir oleh masyarakat, terutama generasi muda. Dari proses pengembangan ekowisata ini, masyarakat Ciwaluh dengan RMI melaksanakan Green Camp pertama dengan menghadiri pihak Kementerian Lingkungan Hidup (saat itu).

Inisiasi untuk mencari kesepakatan terkait aktivitas masyarakat Ciwaluh dan Cipeucang di wilayah kawasan hutan dilakukan pada tahun 2012 melalui diskusi dengan Kepala Balai TNGGP. Namun, belum didapati jalan tengah untuk mengakomodir keberadaan dan aktivitas masyarakat di wilayah TNGGP.

Pada tahun 2013, generasi muda di wilayah setempat membuat film Suara Hulu Cisadane, yang kemudian ditayangkan di Jogja Netpac Asian Film Festival ke-8 tahun 2014. Pembuatan film tersebut berkembang menjadi pengorganisasian untuk peningkatan ekonomi lokal melalui ekowisata air terjun dan produk kopi lokal. Di tahun 2015, bekerjasama dengan RMI dan Kopi Ranin, Trip Piknik Kopi pertama dilaksanakan. Di tahun yang sama, timbul peluang Inventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (IP4T), berdasarkan peraturan bersama empat menteri tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang Berada di dalam Kawasan Hutan. Saat itu masyarakat mulai memetakan wilayah garapan di wilayah TNGGP.

Piknik Kopi Ciwaluh

Namun, proses advokasi harus terhenti pada tahun 2017, karena kemungkinan lahirnya Perpres No.88 tahun 2018 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan. Perpres tersebut menggantikan IP4T, dan di dalamnya mengatur penyelesaian penguasaan tanah di wilayah hutan konservasi hanya dapat dilakukan melalui realokasi warga.

Peluang mendapatkan hak kelola atas tanah kemudian timbul kembali seiring akan diterbitkannya Perdirjen No.6 tahun 2018 tentang Kemitraan Konservasi. Merespon hal tersebut, pada Desember 2017, masyarakat Ciwaluh dan Cipeucang dengan difasilitasi oleh RMI, melakukan pertemuan dengan Kepala Bidang Wilayah III TNGGP untuk membuka kemungkinan akses legal garapan masyarakat.

Kemudian di Januari tahun 2018, pertemuan untuk membicarakan zonasi di Kampung Ciwaluh dan Cipeucang berlangsung di Cibodas. Dari pertemuan tersebut diperoleh hasil scan peta zonasi yang diperbarui pada tahun 2016, sayangnya dokumen tersebut tidak dapat dimanfaatkan untuk mengetahui secara pasti zonasi di kampung Ciwaluh, Cipeucang, dan Lengkong, karena resolusi dokumen yang buruk.  Setelah itu, di bulan yang sama, masyarakat Ciwaluh dan Cipeucang, difasilitasi RMI, melakukan pertemuan untuk menyepakati strategi advokasi untuk kedepannya. Dari pertemuan tersebut, disepakati untuk meneruskan pemetaan partisipatif untuk memperbarui dan mencakup wilayah garapan masyarakat Cipeucang dan Lengkong yang belum terpetakan. Hasil lainnya adalah untuk bersama meminta TNGGP melakukan sosialisasi zonasi. Setelah pertemuan tersebut hingga April 2018, pemetaan partisipatif dilakukan secara swadaya untuk memperbarui sekaligus meluaskan cakupan areal yang dipetakan di tiga kampung (Ciwaluh, Cipeucang, dan Lengkong). Sebulan berikutnya sosialisasi zonasi wilayah oleh TNGGP dilakukan. Dari sosialisasi tersebut, diketahui bahwa sebagian besar wilayah garapan Ciwaluh, Cipeucang, dan Lengkong berada dalam zona Rehabilitasi. Diketahui juga bahwa pada proses penyusunan dan penetapan zonasi pada tahun 2016, hanya Kades Wates Jaya dan Pasir Buncir yang diundang dalam Konsultasi Publik. Pun keduanya tidak meneruskan informasi tersebut ke tingkat kampung sementara ketiga kampung terletak cukup terpencil.

Bulan Oktober-Desember di tahun yang sama, masyarakat membentuk Kelompok Tani Hutan (KTH) untuk memenuhi persyaratan Kemitraan Konservasi, walaupun sebelumnya masyarakat sendiri sudah memiliki kelompok tani dengan nama Ciwaluh Berkah, dan kelompok generasi muda yang bernama Senandung Nada Hijau. Setelah pembentukan kelompok tersebut, penyusunan proposal kemitraan konservasi di mulai dan diajukan kembali pada 19 Desember 2018 di kantor Balai Besar TNGGP, di Cibodas.

Sawah dan petani perempuan di Kampung Ciwaluh, Desa Wates Jaya, Kec. Cigombong, Kab. Bogor

Pada 6 Februari 2019, proposal yang diajukan dibalas dengan surat dari TNGGP bernomor TNGGP No. S.194/BBTNGGP/BTU/KS/2/2019 diterima KTH Ciwaluh dan Cipeucang. Surat tersebut berisi arahan untuk mendetailkan rencana pengelolaan Kemitraan Konservasi untuk tiap blok dan agar berkonsultasi dengan Kepala Bidang Pengelolaan Taman Nasional (Kabid PTN) Wilayah III Bogor untuk melanjutkan proses. Proses berlanjut pada bulan April, RMI didatangi oleh Kabid PTN Wilayah III Bogor dan Kepala Seksi V TNGGP, yang menjelaskan bahwa Ada opsi yang bisa disepakati bila masing-masing mau menurunkan ekspektasi, yaitu melanjutkan proses dengan skema Kemitraan Konservasi Pemulihan Ekosistem karena sebagian besar areal yang diajukan berada dalam zona Rehabilitasi. Kabid PTN Wilayah III Bogor berharap RMI dapat menyampaikan hal tersebut kepada masyarakat pada saat pertemuan bersama yang telah direncanakan sebelumnya.

Sepanjang tahun 2019, berbagai pertemuan dilakukan dengan berbagai pihak, seperti TNGGP dan Subdit Pemulihan Ekosistem di KLHK. Dari pertemuan-pertemuan tersebut disimpulkan bahwa pihak-pihak tersebut tetap menyarankan skema pemulihan ekosistem tetap diproses dan dijalankan, lahan-lahan di zona rehabilitasi perlu ditanami dengan tanaman buah yang bisa dimanfaatkan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). Pada Desember 2019, Masyarakat Ciwaluh dan Cipeucang, bersama RMI, beraudiensi dengan Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (Ditjen KSDAE). Dari audiensi tersebut Kemitraan Konservasi yang semula diarahkan skema pemulihan ekosistem mendapat sambutan baik dari Dirjen KSDAE, beliau akan segera memanggil kepala balai TNGGP untuk menginstruksikan perubahan zonasi di TNGGP. Termasuk usulan Kemitraan Konservasi Ciwaluh dan Cipeucang yang masih berstatus zona rehabilitasi akan diubah menjadi zona tradisional yang dapat mengakomodir kemitraan konservasi skema pemberdayaan masyarakat.

Di tahun 2020, verifikasi data penggarap dan penandatangan kesepakatan hasil verifikasi dan validasi dilakukan. Di bulan April tahun 2021, proposal kemitraan konservasi diajukan ulang menyusul adanya arahan dri TNGGP dalam rangka penyesuaian perubahan zonasi. Dilanjutkan di bulan September, yaitu pembahasan draft Perjanjian Kerjasama Kemitraan Konservasi di Kantor Bidang Wilayah III Bogor, dari sesi ini masyarakat mendapatkan salinan Surat Keputusan perubahan zonasi TNGGP. Kemudian di tanggal 10 Desember 2021, pembahasan draft Perjanjian Kerjasama Kemitraan Konservasi dilakukan kedua kalinya.

Sejarah Masyarakat Ciwaluh dan Cipeucang berada di Wilayah Hutan

Masyarakat kampung Ciwaluh dan Cipeucang, yang difasilitasi oleh RMI sejak tahun 2009, telah meninggali wilayah tersebut sejak tahun 1930-an, diawali dengan kedatangan tiga orang yang kabur dari pemerintah Belanda, yaitu Uyut Usnan, Uyut Eri dan Uyut Undan. Semenjak Uyut Usnan dan yang lainnya tinggal dan bermukim di wilayah Kampung Ciwaluh, beliau mulai membuat rumah untuk tempat tinggal serta membuka lahan untuk ladang guna memenuhi kebutuhan hidup dan bersawah sehari-hari. Kurang lebih tahun 1942, Uyut Usnan mulai membuka kembali lahan untuk membuat sawah di wilayah yang sebelumnya masih berupa hutan. Saat itu, lahan-lahan di sekitar pegunungan wilayah tersebut hampir sama dengan daerah lain di Indonesia pada umumnya, yakni dijadikan areal perkebunan teh oleh Belanda.

Kemudian, beberapa tahun sebelum kemerdekaan, Kampung Ciwaluh dijadikan markas tentara Indonesia yang dipimpin oleh Irsak Djuarsa, yang berjuang melawan Belanda dan pemberontak DI/TII pada tahun 1942 di Jawa Barat. Pada masa tersebut, Irsak Djuarsa memerintahkan masyarakat Ciwaluh dan Cipeucang yang telah ada di sana untuk mengembangkan lahan pertanian mereka guna mencukupi kebutuhan makan mereka sendiri dan juga para tentara Indonesia.

Pada tahun 1945, pemerintah memberikan tanah-tanah tersebut kepada masyarakat setempat sebagai penghargaan atas perjuangan memerdekakan Indonesia, surat-surat tanah tersebut disimpan oleh salah satu tokoh masyarakat yang bernama Pak Kasim. Namun, pada tahun 1960an sebagian tanah-tanah tersebut diambil lagi oleh pemerintah dan ditanami dengan tanaman karet melalui PT. Perkebunan Nasional XI (PTPN XI). Masyarakat tidak bisa menggugat hak atas tanah mereka, karena bukti kepemilikan tanah sudah habis terbakar pada awal tahun 1961 ketika rumah Pak Kasim dibakar oleh pemberontak DI/TII. Tahun 1985 pohon karet milik PTPN XI ditebang karena  pengalihan Hak Guna Usaha (HGU) ke PT Pengembangan Agro Prima (PAP) dan tanah masyarakat pun jadi berpindah kepemilikan dan pengelolaan. Pada tahun 1985-1986, CV Kertajaya membeli sebagian tanah masyarakat yang masih tersisa untuk dieksploitasi menjadi pertambangan pasir.

Pertemuan sebelum penandatanganan perjanjian kerjasama Kemitraan Konservasi, di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

TNGGP berada di wilayah tersebut sejak tahun 1980 dengan luasan 15.196 Ha. Penetapan wilayah TNGGP tersebut tidak mencakup wilayah kelola masyarakat, saat itu wilayah kelola masyarakat berada di bawah penguasaan Perum Perhutani, sehingga masyarakat masih bisa mengelola wilayah tersebut dengan catatan harus membayar “pajak”. Pada tahun 2003, TNGGP diperluas menjadi 21.975 Ha. Hal ini menyebabkan terhapusnya wilayah kelola Perum Perhutani menjadi wilayah konservasi TNGGP, dan membuat masyarakat tidak dapat mengakses wilayah kelolanya lagi.

Kembali ke saat ini, pada 29 Desember 2021, Perjanjian Kerjasama Kemitraan Konservasi ditandatangani oleh pihak Balai Besar TNGGP dengan Masyarakat Ciwaluh dan Cipeucang. Perjanjian Kerjasama Kemitraan Konservasi tersebut akan berlaku selama lima tahun ke depan di zona tradisional TNGGP.  

Penulis: Siti Marfu’ah

Belajar Lintas Kelompok di Pelatihan Kepemimpinan

Foto 1. KOMPAK, Pokdarwis Ciwaluh, dan Relawan4Life mengikuti Pelatihan Kepemimpinan (Amanda/RMI)

Pada hari Sabtu dan Minggu (28-29 November 2020), RMI mengadakan pelatihan kepemimpinan di wilayah Masyarakat Adat Kasepuhan Pasir Eurih, Desa Sindanglaya, Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Sejumlah 27 peserta, yang terdiri dari 11 orang pemuda perempuan dan 16 orang pemuda laki-laki, melakukan pembelajaran bersama dan mengaitkannya dengan program yang sedang dikerjakan di lokasi, yaitu perencanaan edu-ekowisata.

Selain diikuti oleh KOMPAK (Komunitas Pemuda Adat Kasepuhan) Pasir Eurih, pelatihan ini juga diikuti oleh kelompok di luar wilayah Kasepuhan, yaitu Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata) dari Kampung Ciwaluh dan dari komunitas Relawan4Life. Kedua kelompok ini memiliki pengalaman dalam mengelola program ekowisata dan mengelola kegiatan pendidikan lingkungan.  Dengan bergabungnya kedua kelompok tersebut pada pelatihan ini, maka diharapkan pembelajaran yang terjadi bersifat lintas kelompok. Konsep pembelajaran ini seringkali RMI istilahkan sebagai konsep belajar kampus-kampung-komunitas.

Evaluasi dan Mendulang Inspirasi

Pada hari pertama, para peserta melakukan evaluasi terhadap Rencana Tindak Lanjut (RTL) KOMPAK. Sesi ini difasilitasi oleh Indra NH (RMI) dan peserta yang berasal dari luar KOMPAK diminta memainkan peran sebagai “penyelidik” untuk mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya mengenai kegiatan-kegiatan KOMPAK. Kegiatan ini diatur agar peserta dari Relawan4Life dan Pokdarwis terinformasi akan beberapa rencana yang dibuat sebelumnya.

Adapun rencana yang sudah dibuat di antaranya terdiri dari: (1). Penggalian data dan pendokumentasian pengetahuan lokal, (2). Peggalian data dan pendokumentasian makanan lokal, (3). Pembenahan jalur trekking, dan (4). Penggalian data dan pendokumentasian tanaman obat. Untuk membahas rencana-rencana tersebut maka dibentuklah kelompok-kelompok berdasarkan 4 tema di atas. Diskusi dan presentasi kemudian dilakukan untuk memaparkan hasil. Presentasi dilakukan oleh peserta di luar KOMPAK. Adapun diskusi dan presentasi yang dilakukan bertujuan untuk melihat kemajuan dan hambatan pada setiap kegiatan, serta untuk menyamakan pengetahuan peserta akan program-program yang sedang disusun KOMPAK.

Gambar 1. Evaluasi rencana program edu-ekowisata KOMPAK (Amanda/RMI)
                   Foto 2. Proses evaluasi rencana program edu-ekowisata KOMPAK (Amanda/RMI)

Pada siang dan sore hari, giliran Pokdarwis Ciwaluh yang berbagi cerita dalam mengembangkan program edu-ekowisata di lokasi kaki Gunung Gede Pangrango.  Format sesi ini dibuat menyerupai talkshow dimana Novia F (RMI) berperan sebagai pemandu acara. Narasumber muda ini menceritakan mengenai sepak terjang para pemuda di Kampung Ciwaluh yang berorganisasi sejak 2009 sampai akhirnya memutuskan untuk mengembangkan wisata kampung. Fokus cerita mereka bukan hanya pada keberhasilan mendapatkan tambahan penghasilan dari kegiatan wisata alam, namun juga tantangan-tantangan yang sudah atau masih mereka hadapi saat ini.

Tantangan-tantangan tersebut misalnya adalah berupa pergantian-pembubaran dan pembentukan organisasi, kebutuhan regenerasi dalam kelompok, pengikutsertaan anak muda dan perempuan, persaingan dengan kelompok di luar kampung dalam mengembangkan wisata, konflik dengan pengelola taman nasional untuk lokasi wisata dan lahan garapan, sampai rencana mengembangkan wisata tanpa bantuan dana desa. Peserta dari Kasepuhan Pasir Eurih pun banyak melakukan tanya jawab dengan Pokdarwis, terutama mengenai cara membangun edu-ekowisata secara mandiri.  

Pada sesi tersebut, masukan dari peserta di luar KOMPAK (Pokdawris Ciwaluh dan Relawan 4 Life) dirasakan memberikan manfaat bagi KOMPAK. “Kami jadi yakin, bahwa yang kami miliki di sini dapat dikembangkan dan memang harus dikerjakan,” kata Maman Syahroni salah seorang peserta dari KOMPAK.

Relawan4Life misalnya, memberikan pendapat bahwa Kasepuhan Pasir Eurih kaya akan pengetahuan tradisional, budaya, dan kearifan lokal. Mereka berpendapat bahwa kekuatan itulah yang perlu dikedepankan dalam menjalankan program edu-ekowisata. Bagi mereka, mendengarkan cerita mengenai 40-an varietas padi lokal yang ada di Kasepuhan atau bagaimana masyarakat Kasepuhan menyimpan padi di leuit, yang tetap dapat dimakan setelah usianya 20 tahun sangatlah “wah.”

“Sangat menarik, budaya yang ada di sini jika dikembangkan menjadi edu-ekowisata,” tutur Nuri Ikhwana, salah seorang peserta dari Relawan4Life yang juga berstatus mahasiswi dari Institut Pertanian Bogor. Pernyataan ini dikuatkan oleh kedua temannya yang lain.

Bagi peserta KOMPAK, masukan-masukan dari kelompok luar kampungnya tersebut memperkuat mereka dalam membuat keputusan yang strategis dan bermanfaat dalam pengembangan program edu-ekowisata yang sedang disusun.

Acara pada hari itu diselesaikan dengan diskusi ringan mengenai program-program KOMPAK yang perlu diselesaikan atau direvisi. Dalam obrolan yang dilakukan, disepakati juga jika pelatihan hari kedua akan dilakukan lebih siang karena banyak masyarakat yang sedang  menandur (menanam padi secara mundur), sebagai kegiatan yang dilakukan oleh para petani  pare gede yang mengikuti tatali paranti karuhun (adat istiadat yang dipercaya masyarakat adat Kasepuhan).

Khusus untuk Pokdarwis Ciwaluh dan Relawan4Life, waktu malam hari dipergunakan utuk melakukan evaluasi perjalanan dan proses pembelajaran. Masing-masing kelompok menyampaikan pengalaman dan pembelajarannya dalam mengikuti pelatihan atau saat berbaur dengan masyarakat di kampung. Mereka meyampaikan bahwa tinggal dan berinteraksi bersama Masyarakat Adat Kasepuhan Pasir Eurih membuat mereka banyak belajar tentag kearifan lokal masyarakat. Beberapa kata yang mereka anggap baru didiskusikan kembali malam itu pare gede (padi besar), leuit (lumbung padi), rukun tujuh (tahapan bertani yang mengikuti adat), Kasepuhan (nama kelompok masyarakat adat di Banten dan Jawa Barat), dan lainnya.

Prinsip-prinsip Keorganisasian dan Dokumentasi Budaya

Pelatihan hari kedua dimulai pada pukul 10.00 pagi. Kegiatan hari kedua diawali dengan bermain permainan Zombie untuk proses team building yang juga dapat direfleksikan kepada isu-isu kepemimpinan, inisiatif pribadi, dan kedisiplinan. Permainan ini juga menjadi aktivitas pembuka untuk mendiskusikan kepemimpinan pada level organisasi.

Sesi berikutnya merupakan sebuah sesi yang dirancang untuk memberikan pengetahuan dan dorongan bagi para peserta untuk mengkampanyekan budaya lokal dengan memanfaatkan handphone dan internet. Sesi yang berjudul “Dokumentasi Budaya dan Kampanye untuk Membangun Identitas Masyarakat Adat” ini disampaikan secara daring oleh Karlina Octaviany, seorang antropolog digital dan spesialis strategi komunikasi digital. Karlina menyampaikan bahwa kemajuan teknologi jika tidak disikapi dengan bijak dapat merusak kearifan lokal masyarakat adat.

“Bersama-sama masyarakat harus sadar bahwa semua hal bisa punya dampak buruk, termasuk penggunaan internet. Nah itu yang disepakati bersama secara adat. Sampai batas mana pemanfaatan internet itu sudah mengkhawatirkan dan bagaimana cara mencegahnya,” terang Karlina.

Foto 3. Sesi Dokumentasi Budaya dan Kampanye untuk Membangun Identitas Masyarakat Adat  (Supriadi/RMI)

Sesi ini mengingatkan kembali Masyarakat Adat Kasepuhan Pasir Eurih bahwa di tengah-tengah dunia yang semakin terdigitalisasi, internet dan kemajuan teknologi harus diposisikan sebagai alat untuk memberdayakan masyarakat dan memperkuat tradisi-tradisi adat. Kesempatan ini juga peserta juga bertanya mengenai teknis penggunaan handphone dan media sosial untuk menjangkau masyarakat luas dan menyebarkan informasi mengenai adat Kasepuhan.

Setelah sesi makan siang, kegiatan pelatihan kepemimpinan dilanjutkan dengan materi keorganisasian yang diramu dalam bentuk permainan Rawa Beracun.  Pada permainan ini semua peserta diminta untuk berkompetisi, bekerjasama, mencapai target permainan sekaligus berstrategi. Permainan ini berlangsung cukup lama sekitar 2 jam dan dilakukan di bawah rintik hujan. Namun demikian, para peserta mempertahankan semangat mereka untuk menyelesaikan permainan ini, sama seperti yang mereka lakukan saat itu, bekerjasama, konsisten, kreatif dan belajar dari kesalahan untuk mencapai tujuan-tujuan jangka pendek.  Kondisi dan rintangan lainnya dalam permainan memang dikondisikan untuk menimbulkan refleksi-refleksi yang dihubungkan dengan program yang sedang dikerjakan KOMPAK.

Walaupun permainan Rawa Beracun cukup melelahkan, namun peserta masih cukup antusias mengikuti sesi terakhir yaitu pendalaman material keorganisasian yang dikaitkan dengan permainan Rawa Beracun tersebut. Sesi ini merupakan sesi pamungkas sekaligus penutup kegiatan. Pada sesi terakhir ini, para peserta diminta berbicara mengutarakan pendapat mereka mengenai pembenahan-pembenahan yang perlu dilakukan untuk mencapai target-target jangka pendek dan panjang dalam program edu-ekowisata.  Dengan mengkaitkannya dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam permainan, para peserta lebih mudah untuk melihat keterhubungan antara bagian-bagian dalam organisasi.

                              Foto 4. Peserta mengikuti permainan rawa beracun (Amanda/RMI)

Sebagai langkah terakhir dari pelatihan adalah dengan menyusun kesepakatan untuk menyelesaikan detail-detail pekerjaan termasuk tim, waktu dan bagaimana melakukannya. Community organizer RMI, Fauzan A,  yang mendampingi Masyarakat Adat Kasepuhan Pasir Eurih menyatakan bahwa kegiatan perbaikan RTL (Rencana Tindak Lanjut) akan dilakukan kembali pasca pelatihan, dengan melibatkan Marja sebagai pembina KOMPAK. Beliau sendiri mengaku senang dengan diadakannya kegiatan Pelatihan Kepemimpinan yang mendatangkan kelompok dari luar wilayah Kasepuhan.

“Kami senang dikunjungi oleh teman-teman dari luar. Namun di sini ya begini, apa adanya,” kata Marja, sesepuh kampung sekaligus pembina KOMPAK. Ia berharap bahwa kebuntuan-kebuntuan yang terjadi saat berpikir ‘sendiri’ dapat dipecahkan dengan adanya teman-teman baru.

Pembelajaran yang didapat oleh ketiga kelompok yang terlibat dalam pelatihan kepemimpinan ini mungkin berbeda-beda bagi setiap kelompoknya. Namun demikian, langkah kecil selalu diperlukan untuk mencapai tujuan yang letaknya jauh, seperi yang digambarkan dalam permainan dan diskusi-diskusi refleksi pasca permainan tersebut.

Kegiatan Pelatihan Kepemimpinan ini merupakan bagian dari platform ‘Being and Becoming Indigenous’—sebuah platform berlajar bersama generasi muda adat yang dilaksanakan di tiga komunitas adat di dua negara yaitu Kasepuhan Pasir Eurih dan Mollo di Indonesia (RMI dan Lakoat.Kujawas) serta Dumagat-Remontado di Filipina (AFA dan PAKISAMA).

 

Penulis: Indra N. Hatasura

Piknik Kopi Ciwaluh Robusta – Sep 2017

Piknik Kopi ☕ sambil jalan-jalan #NaikKeretaApi ke perbatasan Bogor – Sukabumi. Menyeruput secangkir #robusta #Ciwaluh langsung dari kebunnya, dan menikmati keindahan #Airterjun#Ciwaitali di Kampung Ciwaluh kaki Gunung Gede Pangrango Bogor. Biaya Rp 350.000 (inc. transport, makan siang, souvenir). Kouta terbatas. Booking kursimu sebelum 18 Sept 2017 ke Siti Nursolihat [085779343200] See you on 30 September 2017! #PiknikKopi #AyoBalikKampung      Agenda: 07.00-07.30 Meeting point dan registrasi di Stasiun Paledang Bogor 07.30-09.30 Perjalanan ke …

Next Coffee Picnic – Feb, 2017

Coffee Picnic is a short and relaxing escape from the busy city life. You’ll enjoy the lush of countryside filled with coffee trees in the forest-garden of villagers in the Ciwaluh Hamlet, side to side with the paddy fields and clean river of Cisadane. Apart from the trekking, enjoy sessions with coffee farmers, discussions with the coffee enthusiast-experts while experiencing …

Peningkatan Kapasitas Fasilitator Ekowisata Melalui Permainan

Kampung Ciwaluh merupakan salah satu kampung yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi, mulai dari jenis-jenis serangga, mamalia, burung, ikan, reptil, amfibi, tanaman obat, kayu, jamur, hingga interaksi komponen abiotik yang unik. Kampung yang terletak di Desa Watesjaya, Kecamatan Cigombong, Bogor, ini berada sangat dekat dengan pembangunan area wisata skala masif yang akan mengubah lanskap wilayah hulu seluas 3000 hektar yang sebagian dari …

Siaran Pers: Inisiasi Pengelolaan Ekowisata Berbasis Masyarakat oleh Anak Muda Lokal di Cigombong

[Bogor, 16 Oktober 2015] Akhir pekan ini (16-18 Oktober 2015), Kelompok Pemuda Ciwaluh Desa Wates Jaya didukung oleh para orang tua mereka yang menjadi petani hutan kebun (agroforestry), meneruskan upaya untuk mewujudkan konsep pengelolaan sumber daya lokal berupa ekowisata berbasis masyarakat yang diawali dengan kegiatan Green Camp. Selain pemuda Ciwaluh dan kampung-kampung di sekitarnya, peserta Green Camp juga berasal dari …