Jakarta, 16 Agustus 2024 – Selama sepuluh tahun Jokowi memerintah republik ini, Masyarakat Adat merasa tertipu dengan janji-janji yang pernah Jokowi sampaikan dan komitmennya di awal pemerintahan Jokowi yang tercantum dalam Nawacita. Demikian disampaikan oleh Abdon Nababandari Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat merespon pidato Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam Penyampaian Laporan Kinerja Lembaga-Lembaga Negara dan Pidato Kenegaraan dalam rangka Hari Ulang Tahun (HUT) ke-79 Kemerdekaan RI.
“Tidak ada satu pun frasa “Masyarakat Adat” dalam pidato itu. Pidato itu hanya berisi klaim-klaim angka keberhasilan pembangunan jalan, pelabuhan, bandara, bendungan dan jaringan irigasi. Jokowi juga mengklaim keberhasilan pembangunan smelter dan industri pengolahan untuk nikel, bauksit, dan tembaga,” tambah Abdon Nababan.
“Perjumpaan AMAN dengan calon Presiden Jokowi di tahun 2014 menorehkan 6 janji Nawacita Jokowi-JK untuk Masyarakat Adat. AMAN dan jaringan pendukung bekerja secara sukarela menggalang suara. Paling sedikit 12 juta suara kami sumbangkan untuk kemenangan Jokowi-JK. Setelah kemenangan, saya mewakili AMAN menerima obor relawan dari Surya Paloh dalam satu upacara di Kemayoran,” kata Abdon Nababan.
“Dalam sepuluh tahun terakhir, politik hukum Masyarakat Adat semakin memburuk. Penetapan Perppu Ciptaker menjadi UU Cipta Kerja, KUHP, revisi UU IKN, UU KSDAHE, dan berbagai peraturan perundang-undangan di bidang agraria dan sumber daya alam mengandung unsur-unsur “penyangkalan” yang kuat terhadap eksistensi Masyarakat Adat beserta hak-hak tradisionalnya. Political will pemerintahan sangat rendah. Negara masih terus menerus mengedepankan skenario hukum dengan latar kekuasaan yang berwatak merampas dan menindas yang tercermin dari skenario pengakuan hukum yang rumit, bertingkat-tingkat, sektoral, memisahkan proses pengakuan hak atas wilayah adat dari pengakuan Masyarakat Adat, bahkan mengecualikan wilayah-wilayah adat yang berkonflik dari pengakuan Masyarakat Adat,” papar Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).
Sayangnya lagi, seluruh klaim keberhasilan di dalam pidato tersebut dibangun di atas perampasan dan penggusuran wilayah masyarakat adat. “Data AMAN hingga Mei 2024 menunjukkan bahwa sepanjang rezim pemerintahan Jokowi berkuasa, telah terjadi perampasan wilayah adat seluas 11,07 juta hektar, 687 konflik Masyarakat Adat yang mengakibatkan 925 orang dikriminalisasi, serta puluhan diantaranya mengalami luka-luka dan satu orang meninggal dunia,” kata Syamsul Alam Agus, Ketua Badan Pelaksana Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN).
“Selain itu, pengakuan wilayah adat baru mencapai 16% dari 30,1 juta hektar peta wilayah adat yang teregistrasi di Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA). Sedangkan pengakuan hutan adat baru mencapai 8% dari 3,4 juta hektar potensi hutan adat dari wilayah adat yang telah ditetapkan pengakuannya oleh Pemerintah Daerah,” tambah Kasmita Widodo, Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA).
Hingga penghujung kepemimpinannya, belum ada legacy baik yang ditinggalkan Jokowi bagi Masyarakat Adat. Padahal, 10 tahun lalu, demi meraup suara Masyarakat Adat, Jokowi berjanji akan mendukung Masyarakat Adat.
“Janji tinggal janji. Janji Nawacita hanya tipuan. Jokowi 10 tahun berkuasa tak satu pun janjinya dipenuhi. Jangankan berterimakasih dan minta maaf bahkan satu kata Masyarakat Adat pun tidak disebutkan di Pidato Kenegaraan terakhirnya pagi tadi,” pungkas Abdon Nababan. [ ]
oooOOOooo Kontak media: A.P. Prayoga, Tim Kampanye Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, HP. 0857 2034 6154
Program Jelajah Kasepuhan Cirompang pada tanggal 25–29 Juli 2024 lalu di Kasepuhan Cirompang, Kecamatan Sobang, Lebak, Banten baru saja selesai dilaksanakan. 26 pemuda dari berbagai latar belakang organisasi mengikuti kegiatan tersebut, baik sebagai peserta maupun sebagai fasilitator. Dari jumlah tersebut, 10 (4 perempuan dan 6 laki-laki) merupakan alumni dari Pelatihan Fasilitator Pendidikan Lingkungan RMI “Environmental Child’s Rights Training Program”.
Sekitar satu bulan sebelumnya, selama 4 hari, para alumni memang sudah mendapatkan pembekalan untuk melakukan fasilitasi di komunitas. Pengetahuan dan keterampilan yang mereka dapatkan digunakan pada acara Jelajah Kasepuhan, misalnya dengan memfasilitasi perkenalan peserta, ice breaking dan energizer, serta permainan-permainan pemantik diskusi kelompok. Sepuluh fasilitator tersebut juga banyak memandu dan menginformasikan pengetahuan-pengetahuan lokal tentang Kasepuhan kepada para peserta.
Pengetahuan lokal yang disampaikan kepada para peserta banyak menimbulkan kekaguman akan budaya Kasepuhan. Pengetahuan lokal yang disampaikan mencakup berbagai aspek kehidupan, mulai dari praktik pertanian, pengelolaan ruang, penggunaan tanaman obat, bahasa, seni, budaya, hingga sistem nafkah.
“Seru sekali. Saya baru tahu tentang babay, sebuah benda yang terdiri dari bermacam-macam bagian tumbuhan hutan, yang sering dipakai sebagai penolak bala di Kasepuhan “ kata Jihan, salah seorang peserta dari Sumedang.
Metode fasilitasi yang digunakan oleh para fasilitator pada acara Jelajah Kasepuhan Cirompang ini juga menjadi salah satu keunggulan kegiatan. Aza, salah seorang peserta dari Jakarta, misalnya berpendapat bahwa metode yang digunakan para fasilitator asyik dan menyenangkan.
“Tidak terasa kita belajar karena menyenangkan, dan ini full pengetahuan banget kegiatannya.” cerita Aza saat berjalan pulang dari Hutan Adat Kasepuhan Cirompang.
Dalam kegiatan ini memang para alumni pelatihan menggunakan variasi-variasi metode. Hanifah memfasilitasi sesi energizer dan perkenalan lewat permainan “Tugu Pancoran” dan “Angka Setan”. Nina memfasilitasi lewat permainan “Pindah Rumah”, Rosi memancing diskusi tema lingkungan dan sosial lewat permainan “Injak Kertas”, dan Cecep sebagai fasilitator lokal berbagi pengetahuannya tentang Kasepuhan saat memandu para peserta berkeliling wilayah adat. Kesempatan ini memberikan ruang bagi alumni untuk bisa berkembang dan mengasah kemampuan fasilitasi mereka.
“Pelatihan menjadi fasilitator bulan Juni lalu memberikan banyak sekali pengetahuan baru untukku, banyak metode-metode baru yang aku dapatkan. Aku juga sempat mencoba salah satu metode tersebut, kemarin pada acara Jelajah Kasepuhan di Cirompang, aku sempat mengajak teman-teman peserta disana untuk bermain game, seru, mereka antusias dan game-nya berjalan dengan menyenangkan sekali. Menjadi fasilitator pada salah satu sesi pelatihan merupakan pengalaman baru yang menyenangkan untukku.” kesan Nisa, salah satu alumni Pelatihan Fasilitator Pendidikan Lingkungan, yang berkesempatan memfasilitasi peserta Jelajah Kasepuhan Cirompang.
Kombinasi teori dan praktik yang didapatkan selama kegiatan Jelajah Kasepuhan Cirompang, menjadi modal bagi alumni Pelatihan Fasilitator Pendidikan Lingkungan untuk dapat menunjukan relevansi pengetahuan lokal dengan model pendidikan yang semestinya bersifat kritis dan kontekstual di Kasepuhan, sesuatu yang menjadi permasalahan selama ini.
Pendidikan kontekstual melihat pengetahuan lokal sebagai pondasi dalam menciptakan pendidikan yang relevan dan efektif sesuai dengan budaya yang berkembang pada komunitas. Mengintegrasikan pendidikan kontekstual dan pengetahuan lokal berarti mendorong komunitas untuk memahami dan menyelesaikan permasalah yang ada di lingkungannya sendiri dengan kesadaran kritis.
Seperti yang terjadi secara umum di desa dan/atau secara lebih spesifik di daerah masyarakat adat, pendidikan jauh dari kata kritis-kontekstual. Pendidikan yang diajarkan oleh sekolah formal adalah “ilmu pergi” yang mendorong anak-anak muda pergi meninggalkan desa/wilayah adat, mencari pekerjaan di kota sebagai buruh. Pendidikan tidak mampu mengenali potensi yang ada di wilayah desa/adat, dan saat para pemuda selesai menyelesaikan sekolahnya, ilmu yang mereka dapatkan pun tidak dapat dipakai untuk menyelesaikan masalah yang ada di desa mereka.
Masalah hama dan kekeringan tidak dapat dipecahkan karena pelajar tidak belajar mencangkul di sekolah. Potensi pengobatan tidak dapat terlihat karena pelajar asing dengan rumput yang terlihat liar di hutan dan adat terkucilkan karena dipandang berseberangan dengan logika kapitalis.
Program Jelajah Kampung yang difasilitasi oleh para pemuda Kasepuhan adalah bagian dari “ilmu pulang”, dan model bagi kolaborasi pemecahan masalah antara anak muda yang tinggal di desa dan di kota. Di dalam diskusi-diskusi yang terjadi selama dan di sela-sela acara, banyak alternatif-alternatif pemecahan masalah yang baru dan membawa angin segar, bahwa anak muda tidak apatis dan bergerak dengan caranya masing-masing untuk melakukan perubahan sosial di lingkungan masing-masing.
Partisipasi aktif perempuan dalam pengembangan ekonomi lokal telah menjadi fokus utama Program Estungkara-Inklusi yang melibatkan tiga Kasepuhan di Lebak, Banten. Kasepuhan Cirompang, Kasepuhan Pasir Eurih, dan Kasepuhan Cibarani menjadi peserta yang ikut dalam Program Pelatihan Koperasi yang bertujuan untuk memperkuat peran perempuan dalam ranah peningkatan ekonomi. Kegiatan pelatihan dan studi banding ini dilaksanakan pada tanggal 07-08 Mei 2024 di Jakarta dan studi banding ke Koperasi Lentera Benteng Jaya di Kota Tangerang. Kegiatan ini merupakan kolaborasi antara lembaga Pemberdayaan dan Pengembangan Sumber Daya Wanita (PPSW) Jakarta melalui program Estungkara-Inklusi didukung oleh Kemitraan-Partnership.
Peserta pelatihan terdiri dari perwakilan kelompok sebanyak 12 orang, dengan masing-masing kelompok mengirimkan 4 orang perwakilan. Peserta yang hadir terdiri dari 4 orang dari kelompok Lodong Cibarani (2 Perempuan, 2 pemuda), 3 Orang dari Sancang-Cirompang (2 Orang perempuan, 1 laki-laki), dan 5 orang dari Canoli (4 orang perempuan, 1 laki-laki). Tujuan utama dari kegiatan pelatihan dan studi banding ini adalah memberikan pendidikan dasar perkoperasian kepada kelompok ekonomi perempuan di Kasepuhan yang sedang menjalankan usaha kelompok mereka. Melalui serangkaian kegiatan yang mencakup pembelajaran tentang filosofi, konsep, dan kelembagaan koperasi, peserta juga memiliki kesempatan untuk terlibat dalam dialog serta mengunjungi langsung salah satu koperasi yang telah berjalan di Koperasi Lentera Benteng Jaya, Kota Tangerang.
Di hari pertama peserta diberikan peningkatan kapasitas oleh Ibu Tri Endang Sulistiyowati dari PPSW Jakarta yang selama ini aktif melakukan pendampingan di beberapa koperasi di Jakarta. Ibu Tri mulai membuka sesi materi dengan menyampaikan filosofi koperasi yang di dalamnya tentang urgensi berkelompok dan kenapa harus koperasi. Peserta diajak memahami apa pentingnya berkelompok. Dalam materi ini, Ibu Tri menjelaskan beberapa prinsip dalam membangun koperasi, yaitu, (1) bentuknya harus kolektif, (2) menjadikan alat demokratisasi ekonomi, artinya tidak ada penguasaan yang berlebihan oleh salah satu orang atau pihak, dan (3) harus menekankan pada swadaya kemandirian keberlanjutan. Sejalan dengan itu, pemilihan koperasi sebagai model pengelolaan yang relevan di masyarakat Kasepuhan tidaklah kebetulan. Koperasi, dengan nilai-nilai gotong royong dan kekeluargaan yang kuat, dianggap sebagai pilihan yang sesuai dengan kondisi sosial dan budaya yang ada di lingkungan tersebut. Melalui pendekatan ini, diharapkan para peserta dapat memperoleh pemahaman yang lebih dalam tentang bagaimana menerapkan konsep-konsep koperasi dalam mengembangkan usaha kelompok mereka secara efektif dan berkelanjutan.
Masih di hari pertama pelatihan, materi berikutnya yaitu materi ke-2 dengan pembahasan penguatan manajemen kelompok yang tetap disampaikan oleh Ibu Tri. Isi materinya berupa tanggung jawab anggota dan pengurus kelompok. Ibu Tri merinci tentang bagaimana proses pengambilan keputusan yang dilakukan secara bersama, hingga menyusun peraturan kelompok. Di materi ini, peserta diajak belajar apa bagaimana tanggung jawab anggota dan pengurus kelompok melalui identifikasi dan pembagian tugas-tugas antara pengurus dan anggota kelompok mulai dari tugas ketua, sekretaris, bendahara dan tanggung jawab anggota. Di bagian akhir materi ini, peserta diberikan pemahaman bagaimana prinsip dalam proses pengambilan keputusan di kelompok hingga memahami aturan-aturan yang dibuat secara bersama dalam kelompok yang mengatur tentang anggota, pengurus, tugas-tugas dan sumber pendanaan/iuran.
Sementara, penyampaian materi untuk hari ke-2 masih disampaikan oleh Ibu Tri. Materi pertama yang disampaikan oleh Ibu Tri adalah Penguatan Kepemimpinan. Dalam materi ini, Ibu Tri memaparkan tentang apa itu pemimpin, siapa itu, dan memahami gaya kepemimpinan serta memahami tipe orang yang dipimpin. Di sesi ini peserta diajak belajar memahami secara teori apa itu pemimpin. Belajar membedakan apa itu pemimpin dan Kepemimpinan. Beberapa poin pentingnya antara lain pemimpin adalah orang yang memimpin kelompok dua orang atau lebih, sedangkan kepimpinan adalah proses mempengaruhi antar orang dengan menggunakan komunikasi yang terarah untuk mencapai tujuan. Pemimpin fokus kepada orangnya, sedangkan kepemimpinan adalah fokus terhadap proses mempengaruhi antar orang atau pribadi dengan komunikasi yang terarah untuk mencapai tujuan. Di materi ini, peserta diajari bagaimana mengenali gaya kepemimpinan yang menurutnya dengan memulai mengenali tipe-tipe anggota di antaranya ada 4 tipe anggota yaitu 1) Tidak mau dan tidak mampu, 2) Mau tapi tidak mampu, 3) Tidak mau tapi mampu, dan 4) mau dan mampu. Keempat tipe ini akan berlaku dan ada di setiap kelompok. Maka ini akan menentukan bagaimana seharusnya pemimpin dalam memimpin suatu kelompok. Selanjutnya peserta diajak memahami gaya kepemimpinan yang menurutnya ada empat gaya kepemimpinan di antaranya 1) Memerintah, 2) Mengajak, 3) Melibatkan dan 4) Melimpahkan atau mendelegasikan. Gaya ini akan disesuaikan penerapannya pada anggota sesuai tipenya masing-masing.
Materi terakhir yang disampaikan dalam pelatihan dan studi banding ini adalah penjabaran tentang perkoperasian yang lebih terinci. Materi ini tetap disampaikan oleh Ibu Tri dan pada sesi materi ini para peserta diajak lebih dalam mengenal koperasi mulai dari sejarah, prinsip, dan nilai-nilai serta aturan main dalam koperasi. Setelah penyampaian materi ini, para peserta lalu diajak untuk studi banding dengan mengunjungi Koperasi Lentera Benteng Jaya, salah satu koperasi binaan PPSW yang terletak di Tangerang. Koperasi ini beranggotakan perempuan komunitas Cina Benteng. Beberapa prestasi yang telah ditorehkan koperasi ini mulai dari tingkat kelurahan hingga provinsi. Dalam sambutannya, Ibu Tyas Widya Anggraini, selaku ketua koperasi menceritakan sekelumit tentang masa lalunya yang buruk hingga perubahan dalam dirinya sejak terlibat di pendirian koperasi yang didampingi oleh PPSW. Dahulunya, Ibu Tyas sering menghabiskan waktunya dengan kebiasaan berjudi hingga membuat kondisi ekonominya semakin tercekik dan terperosok. Namun, sejak hadirnya PPSW yang melakukan pengorganisasian di komunitas Cina Benteng, membuat perubahan signifikan dalam hidupnya. Ibu Tyas kemudian dipercaya untuk memimpin koperasi yang awalnya berjumlah 25 anggota kini sudah beranggotakan 800 orang yang bergabung.
Inisiatif semacam ini bukan hanya sekadar langkah menuju kesetaraan dalam perekonomian, tetapi juga merupakan investasi dalam kedaulatan ekonomi lokal. Dengan memberikan kesempatan dan dukungan yang lebih besar bagi perempuan untuk berperan aktif dalam pengembangan ekonomi, diharapkan akan terjadi transformasi positif yang dapat memberikan dampak jangka panjang bagi kesejahteraan masyarakat terutama bagi masyarakat adat di wilayah kasepuhan.
Melalui kegiatan pelatihan dan studi banding ini, RMI menggandeng PPSW yang dijembatani oleh Kemitraan melalui program Estungkara untuk berkolaborasi dalam proses pengorganisasian perempuan dalam konteks pemberdayaan ekonomi melalui konsep koperasi. Hal ini dirasa cukup relevan dengan apa yang dilakukan RMI di komunitas terutama di masyarakat kasepuhan dalam mendorong kemandirian ekonomi terutama bagi kelompok perempuan. Kolaborasi dengan PPSW ini dilakukan sejak 2023 lalu melalui penyelenggaraan pelatihan ekonomi di kasepuhan yang menghadirkan PPSW dan komunitas dampingannya sebagai narasumber kegiatan. Kedepannya, kolaborasi dan kerjasama ini akan terus berlanjut dalam peningkatan kapasitas untuk memperkuat pemberdayaan ekonomi di masyarakat kasepuhan.
Pada hari Sabtu tanggal 18 November 2023 RMI memulai perjalanannya untuk mengadakan agenda monitoring evaluasi program Estungkara selama satu tahun terakhir ini. Tempat pertama yang kami kunjungi adalah Kasepuhan Cibarani yang berlokasi di Desa Cibarani, Kecamatan Cirinten, Kabupaten Lebak, Banten. Salah satu teman kami di sana adalah teh Jarsih. Ia tergabung dalam kelompok Lodong Cibarani yaitu suatu kelompok usaha yang mengembangkan serta menjual produksi air nira yang telah diproses menjadi hasil produksi Gula Semut. Selain tergabung di kelompok Lodong, teh Jarsih juga turut membidani berdirinya kelompok kue ibu-ibu yang saat ini baru berjalan sekitar dua bulan.
Kasepuhan Cibarani memiliki banyak potensi alam yang dapat dimanfaatkan baik untuk sumber pangan maupun wisata. Disamping padi, hasil kebun pun juga cukup melimpah seperti durian, petai dan jengkol serta banyaknya warga yang memiliki pekerjaan sampingan menjadi penyadap nira yang kemudian membuat Kasepuhan Cibarani mulai terkenal akan produk gula cetaknya yang asli dan terjangkau. Sementara, untuk wisata alam terdapat banyak gua maka di Desa Cibarani dijuluki Desa 1000 gua.
Awal mula berdirinya kelompok Lodong Cibarani berawal dari ide bahwa hasil air nira yang seperti biasanya disadap dan diolah secara sederhana menjadi gula kemudian mulai dikembangkan menjadi produk gula semut. Akan tetapi, volume produksinya belum bisa dikatakan banyak karena masih belum ada tenaga yang cukup banyak untuk bisa melakukan skala produksi besar. Kemudian perubahan mulai dirasakan semenjak RMI masuk ke Cibarani. Tim CO (Community Organizer) RMI yang bertugas di lapangan ternyata melihat potensi yang ada, salah satunya adalah aktivitas masyarakat yang memproduksi gula aren. Dari situ, RMI menginisiasi berdirinya kelompok Lodong dan disambut antusias oleh masyarakat Cibarani.
Untuk meningkatkan kemampuan manajerial produksi dan pemasarannya anggotanya, RMI lalu mengadakan pelatihan. Dalam kegiatan pelatihan tersebut, masyarakat mendapat materi seperti cara pembukuan sederhana, mengatur anggota, melakukan presentasi, dan belajar tentang pengemasan untuk hasil produksi gula semut. Dari hasil-hasil pelatihan inilah akhirnya terbentuk suatu kelompok masyarakat yang memiliki fokus untuk membuat hasil produksi gula semut dan memutuskan menggunakan nama “Lodong Cibarani” sebagai nama komunitas mereka.
Lodong Cibarani memiliki arti tersendiri yaitu nama “Lodong” merupakan nama tempat yang dipakai untuk menampung air nira yang digunakan oleh para petani penyadap dan juga Lodong melambangkan suatu ‘tempat’ dimana komunitas ini merupakan sebuah wadah/tempat bagi mereka sebagai anggota. Sedangkan “Cibarani” merupakan nama kasepuhan mereka. Komunitas Lodong Cibarani ini baru berjalan sekitar dua tahun yaitu dimulai dari tahun 2021 hingga sekarang.
Sejauh ini menurut pengakuan salah satu anggotanya, yaitu Teh Jarsih, mengatakan bahwa capaian manfaat terutama dalam bidang kesejahteraan sejak berdirinya Komunitas Lodong Cibarani ini jika dilihat secara ekonomi adalah perbandingan harga gula cetak dan gula semut cukup jauh dan dalam hal ini keuntungan yang dapat diperoleh dari hasil produksi gula semut jauh lebih tinggi dibandingkan gula cetak. Ditambah pula dengan ketahanan dari gula semut yang lebih lama daripada gula cetak. Gula semut bisa bertahan hingga jangka satu tahun jika disimpan di wadah tertutup namun untuk gula cetak hanya bertahan selama tiga sampai tujuh hari saja walaupun disimpan di wadah tertutup.
Disamping itu, dalam perjalanannya memang produksi gula semut masih memiliki banyak kendala untuk bisa menjadi stabil dan berkelanjutan dalam menghasilkan serta memasarkan produknya. Beberapa kendala yang sering muncul adalah terkait sistem yang ada di kelompok belum begitu terbentuk dan masih sangat sederhana sekali hanya terkait jual dan bagi hasil serta uang simpan tabungan kelompok. Selain itu kendala lainnya adalah tentang pemasaran yang masih kurang efektif. Hal ini dikarenakan skala untuk pemasaran masih sebatas di Cibarani dan wilayah sekitarnya saja, memang ada beberapa yang pernah meminta dari luar dengan jumlah yang banyak tetapi kelompok Lodong Cibarani sayangnya tidak bisa memenuhi permintaan tersebut karena permintaannya terlalu besar dan mereka hanya bisa memproduksinya sedikit. Kendala lainnya yang menghambat produksi dalam jumlah besar adalah produksi masih dilakukan secara manual. Agar dapat menghasilkan volume produksi dalam jumlah besar dapat terpenuhi maka dibutuhkan mesin pemasak atau kristalisator gula semut sehingga dapat memenuhi permintaan dalam partai besar.
Seperti yang dikatakan teh Jarsih, “harapannya sih ingin banget untuk bisa membangun sistem tapi yang saling menguntungkan, jadi ga cuman bikin terus jual tapi bisa pengelolaannya teratur dan terus-menerus. Soalnya saat ini kan aku memang sudah belajar sedikit tentang pembukuan, akan tetapi masih sederhana banget, hanya mencatat terkait barang yang masuk dan barang yang dibeli.”
Selain itu, kendala dalam hal pengemasan juga terjadi, hal ini dikarenakan pengemasan untuk gula semut masih hanya menggunakan plastik zipper dan ditempelkan stiker. Hal ini rawan karena bisa saja stikernya dicabut dan diklaim ulang oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Selain itu, Lodong Cibarani juga belum berani untuk menjual produknya ke pasar yang lebih luas seperti di marketplace online karena belum mengurus persyaratan izin edar pangan ke pihak BPOM. Keterbatasan akan pengetahuan tentang birokrasi mengurus kelengkapan serta akses yang sulit menjadi penghalang besar bagi komunitas Lodong Cibarani.
Terlepas dari kendala yang ada, dengan menengok perjalanan selama satu tahun belakangan ini, harapan dari teh Jarsih tersendiri adalah agar mereka bisa lebih berdaya lagi dari segi sumber daya alam dan manusianya, terutama kaum ibu-ibu disini bisa memiliki kegiatan yang produktif, bermanfaat, serta menghasilkan. Harapan lainnya adalah agar perempuan-perempuan di Cibarani memiliki ruang untuk bisa lebih berdaya lagi, dan ruang untuk bisa mengekspresikan dan menyalurkan bakat maupun hobi. Tidak lupa pula teh Jarsih berharap dengan adanya keterlibatan perempuan di setiap kegiatan maupun forum masyarakat tentunya dapat meningkatkan partisipasi perempuan di kasepuhan. Karena selama ini perempuan di Cibarani hanya memegang urusan dapur saja di setiap kegiatan maka untuk itulah penting sekali perannya untuk terlibat aktif di setiap agenda kasepuhan seperti menjadi bagian pengambil keputusan dan berbicara di depan forum. Teh Jarsih juga berharap agar kemitraan yang dilakukan oleh RMI bersama masyarakat bisa berjalan lancar sampai masyarakat di Kasepuhan Cibarani bisa mandiri dan terbuka akan ide-ide maupun masukan-masukan positif.
Kasepuhan Bongkok tergabung dalam Forum KAWAL sejak pertemuan di Cangkuem, salah satu perkampungan Baduy, pada Desember 2022. Salah satu partisipan aktif Forum KAWAL[1] dari Kasepuhan Bongkok tersebut adalah perempuan berusia 16 tahun bernama Fina. Setiap harinya ia memiliki kegiatan yang cukup padat. Mulai dari bersekolah, berkegiatan dalam OSIS[2], berkegiatan ekstrakurikuler rohani Islami dan ngobong[3]. Ia berangkat ke sekolah pukul 07.30 dan pulang pukul 17.00 petang. Setelah maghrib, ia ngobong sampai pukul 22.00 malam dan tiba di rumah pukul 22.30 malam. Melakukan banyak hal dalam satu waktu membuat waktunya banyak sekali tersita, belum lagi pekerjaan-pekerjaan domestik yang harus ia kerjakan.
Fina merupakan satu dari enam partisipan yang berasal dari Kasepuhan Bongkok yang tergabung dalam komunitas Burakok[4] yang didirikan pada tahun 2022. Forum KAWAL sesi kelima yang diselenggarakan pada tanggal 26-28 Mei 2023 di wilayah adat Kasepuhan Pasir Eurih adalah forum pertama yang diikutinya. Ia menganggap pengalaman ini menarik dan bermanfaat baginya untuk lebih aktif di masyarakat.
“Kayaknya seru. Terus menambah pengalaman juga ke Finanya. Terus, kayaknya, ini yang bikin Fina lebih aktif deh di masyarakat. Jadi Fina lebih tau. Kan Fina gak tahu sama sekali kalau di (Kasepuhan) Bongkok itu ternyata belum merdeka (wilayah adatnya masih belum diserahkan oleh negara) kan, (gak) kayak di Pasir Eurih[5]. Fina cuman tau disini (forum KAWAL) aja. Disana tuh Fina gak pernah diceritain kalau di Bongkok itu belum merdeka.”
Forum KAWAL seri kelima ini mewadahi peserta untuk menggali dan merefleksikan pengalaman personal; merencakana perencanaan kelompok/komunitas; dan pengenalan dan simulasi pemetaan partisipatif melalui berbagai sesi yang dibagi ke dalam tiga hari. Fina terlibat dan mengikuti setiap sesi dengan antusias. Meskipun interaksinya terbatas pada teman-teman peserta perempuannya lainnya dan beberapa orang yang sudah ia kenali. Meskipun ia masih canggung untuk mengutarakan pendapatnya dalam diskusi besar, ia aktif ketika dalam diskusi kelompok.
Dalam sesi “Sepanjang Jalan Kenangan” yang bertujuan menceritakan pengalaman personal peserta, Fina dan peserta diajak berefleksi melalui media gambar gelombang naik-turun yang menggambarkan jatuh-bangkit kehidupan, bagaimana cara bangkit dari situasi sulit dan siapa saja yang terlibat dalam prosesnya. Sesi ini membuat Fina lebih bersyukur dengan merefleksikan orang-orang yang yang berjasa dalam hidupnya. Sepanjang hidupnya, ia sempat keluar masuk pesantren karena ditinggalkan teman dekat hingga pindah ke Kampung Bongkok dan mulai beradaptasi dengan lingkungan baru, teman baru dan aktivitas baru.
Hari selanjutnya, dalam sesi perencanaan kelompok/komunitas, Fina beserta anggota Burakok lainnya melihat kembali kelompok dan kampungnya lalu mencoba merencanakan tujuan bersama dalam kurun waktu satu tahun kedepan. Proses ini digambarkan melalui rute jalan perencanaan tujuan kelompok. Nampaknya mereka berencana untuk memajukan salah satu obyek wisata potensial yang ada di Kasepuhan Bongkok. Meskipun begitu mereka sadar bahwa rencana tersebut merupakan rencana jangka panjang yang memerlukan banyak langkah-langkah kolektif untuk mencapainya, termasuk para orang muda di kampunya. Di sisi lain, menyoroti kampungnya, Fina menambahkan bahwa pemuda-pemudi yang telah lulus SMA jarang menetap di Kampung Bongkok: “Disana tuh gak ada pemuda yang udah lulus SMA. Di Bongkok itu, mayoritasnya, kalau udah SMA, dia kerja di luar kota.”
Selanjutnya, dalam sesi pemetaan partisipatif, peserta Forum KAWAL diberikan materi pengantar pemetaan partisipatif oleh Slamet Widodo, Community Organizer RMI yang mengaitkan urgensi pemetaan partisipatif dengan tata laksana pembangunan nasional:
“Selama ini peta menjadi acuan tata ruang dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Tapi sayang, pembangunan yang dilakukan pemerintah lebih berpihak kepada pengusaha dan kurang memperhatikan hak-hak masyarakat setempat sehingga sering terjadi penyerobotan lahan, tumpang tindih kawasan, ketidajelasan tata batas dan sebagainya. Masyarakat yang hidup dan bekerja di wilayah itulah yang memiliki pengetahuan mendalam mengenai wilayahnya. Hanya mereka yang bisa membuat peta secara lengkap dan akurat mengenai sejarah, tata guna lahan, pandangan hidup dan harapan masa depannya.”
Pemetaan partisipatif—yang menjadi salah satu materi yang dirasa paling dibutuhkan oleh peserta Forum KAWAL—menarik perhatian peserta karena dilengkapi dengan pengenalan perangkat pemetaan, tukar cerita pengalaman pemetaan partisipatif oleh Carik Jajuli dari Kasepuhan Pasir Eurih, dan simulasi kelompok untuk melakukan pemetaan partisipatif. Fina yang terlibat langsung dalam sesi ini mengatakan bahwa:
“… KAWAL itu membantu sebagai wadah. Kalau misalkan di wilayah kita mau ada pemetaan, nanti dibantu sama KAWAL. Tadinya Fina gak bisa pake GPS, baru belajar juga kemarin. Terus pokoknya banyak banget (yang didapat) karena Fina baru. Menariknya GPS ini abis belajar langsung dipraktekin.”
Sebagai peserta baru, Fina cukup antusias mengikuti kegiatan Forum KAWAL. Antusiasmenya terlihat dari keinginannya untuk ikut kegiatan Forum KAWAL selanjutnya yang menurutnya adalah kegiatan yang membuatnya berpikir kritis. Selain itu Fina mengaku ingin mengetahui lebih dalam mengenai hutan adat yang masih asing dimatanya.
Fina, dengan kesehariannya menghabiskan waktu sekitar 13 jam di sekolah dan pesantren, memiliki waktu yang lebih minim untuk terlibat dalam proses-proses yang tengah terjadi di kampungnya. Sedangkan sebagai perempuan yang bertempat tinggal dan beraktivitas di wilayah adat Kasepuhan Bongkok, Fina juga memiliki banyak keterbatasan-keterbatasan termasuk dalam Forum KAWAL itu sendiri. Sejauh ini interaksinya terbatas pada peserta perempuan lain dan beberapa yang ia sudah kenal.
Tanpa mengecilkan usaha afirmatif fasilitator di lapangan kepada peserta perempuan dengan sering-sering mengajukan pertanyaan khusus bagi mereka (“ti perempuanna kumaha? Aya nu rek dicaritakeun?”[6]), usaha tersebut belum mampu memantik mayoritas peserta perempuan untuk mengutarakan pendapatnya. Entah karena merasa tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman, entah karena takut salah berpendapat, entah karena tidak berminat atau faktor-faktor lain yang merintanginya; namun yang jelas kehadiran Fina sebagai peserta baru Forum KAWAL merupakan langkah baik yang perlu disyukuri di tengah pusaran lemahnya artikulasi konsep partisipasi orang muda dan perempuan di konteks Kasepuhan.
Sarmani adalah laki-laki berusia 27 tahun yang sejak tahun 2018 bekerja sebagai perangkat desa Cirompang. Ia berasal dari keluarga petani, di mana kedua orang tuanya menggarap sawah di wilayah adat Kasepuhan Cirompang. Ia sempat berkuliah jurusan pertanian di salah satu universitas di Bandung selama empat semester sebelum kemudian memutuskan pulang ke wilayah adat Kasepuhan Cirompang di tahun 2015 dan menetap disana hingga saat ini. Setahun setelah kembali dari perantauan, ia mulai berkegiatan dengan RMI, ditandai dengan partisipasinya dalam kegiatan Sekolah Lapang Rakyat di tahun 2016. Selama tujuh tahun tentunya ia merasakan berbagai dampak dan proses-proses yang ia lalui berkegiatan dengan RMI. Kini ia sudah berkeluarga dan memiliki seorang anak berusia tiga tahun.
Tahun 2016 sampai 2017 menjadi salah satu babak penting dalam hidup Sarmani. Sejak kembali dari perantauan, ia mencoba aktif berkegiatan di komunitasnya. Selain ikut Sekolah Lapang Rakyat, ia berperan aktif dalam kegiatan pemetaan partisipatif di wilayah adat Kasepuhan Cirompang. Keduanya membuat Sarmani merasa lebih memahami kasepuhan dan mengetahui wilayah adat Kasepuhan Cirompang. Padahal, semasa bersekolah ia cenderung tidak memedulikan hal-hal terkait ritual adat, wilayah adat bahkan komunitas adatnya sendiri dan memilih untuk fokus belajar. Kepeduliannya terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan Kasepuhan Cirompang terus berproses dari waktu ke waktu hingga mengantarkannya pada suatu titik dimana ia merasa ada yang berkurang dalam dirinya jika adat tidak dilestarikan.
1 Maret 2019 menandai Pemetaan partisipatif yang dilakukan Sarmani dan tim membuahkan hasil. Negara mengembalikan hak adat Kasepuhan Cirompang dengan mengeluarkan SK Hutan Adat seluas 306 Hektar yang dikeluarkan dari wilayah Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Manfaatnya jelas terasa bagi Masyarakat Adat Kasepuhan Cirompang. Bahkan, di tahun 2023, Hutan Adat Cirompang relatif hampir seluruhnya sudah tergarap oleh masyarakat Kasepuhan Cirompang.
Setelah penetapan, Sarmani tetap menyadari pentingnya menjaga dan mengelola Hutan Adat Cirompang dengan baik. Sarmani memilih berkontribusi untuk menjaga hutan adat di Kasepuhan Cirompang dengan menjadi anggota Komunitas Pemuda Adat Kasepuhan Cirompang (Kisancang) yang salah satu kegiatannya adalah ronda leuweung/patroli hutan. Sejak tahun 2021, Kisancang berkolaborasi dengan baris kolot sekitar satu sampai tiga kali dalam setiap tiga bulan melakukan kegiatan tersebut. Sarmani mengatakan bahwa dari aktivitas tersebut, secara kolektif mereka mampu mengetahui wilayah mana yang harus ditanam, wilayah mana yang sudah mulai rusak dan titik-titik mata air mana yang harus dijaga. Pilihan tersebut menjadi alternatif yang memungkinkan karena Sarmani tidak memiliki akses terhadap tanah dan bekerja sebagai perangkat desa.
Kesetaraan Gender Menjadi Fokus Sarmani
Sebagai perangkat desa, ia berkontribusi kepada masyarakat di sekitarnya. Sehari-hari, ia bekerja sebagai staf data yang mengurusi pencatatan surat masuk maupun surat keluar dan pencatatan data kependudukan seperti data disabilitas, lansia dan keluarga miskin. Menurutnya, ia banyak mengambil pelajaran selama mengerjakan pekerjaannya. Salah satunya, Ia menjadi tahu mengenai kondisi masyarakat di sekitarnya dan mampu mengidentifikasikan sasaran prioritas program pemerintah seperti bantuan sosial.
Melalui profesinya sebagai perangkat desa dan aktifnya ia di Kisancang, membuatnya sering terlibat dalam musyawarah di tingkat dusun sampai musyawarah desa. Sepanjang keterlibatannya di setiap forum tersebut, ia menggarisbawahi pentingnya keterlibatan perempuan dalam forum-forum tersebut. Dengan nada prihatin, ia mengungkapkan hanya 10-20 persen perempuan dari total peserta yang hadir dalam musyawarah. Dari angka yang kecil itu, hanya satu sampai dua orang saja perempuan yang mau berpendapat dalam forum, itupun perempuan yang pendidikannya sudah tinggi (sarjana) atau berprofesi sebagai guru. Bagi perempuan yang terlibat dalam forum tersebut merasa bahwa ia hanya ibu rumah tangga yang sekedar ikut dan mendengarkan.
Perhatian Sarmani pada isu gender tidak berhenti di tingkat komunitas, ia juga mengaplikasikannya di tingkat keluarga. Dalam konteks pekerjaan domestik, Sarmani berbagi tugas dengan istrinya. Ia mengatakan kadang mereka bergantian melakukan pekerjaan domestik seperti mencuci piring, memasak, menjaga anak dan bersih-bersih rumah. Terutama ketika istrinya sedang hamil. Waktu-waktu dimana Sarmani melakukan porsi kerja domestik yang lebih besar. Keresahannya terhadap isu gender, ia kemukakan dalam satu sesi di forum Konsolidasi dan Advokasi Wilayah Adat Lebak (KAWAL). Pada salah satu sesi refleksi bersama, ia mengemukakan pentingnya melibatkan perempuan untuk ikut menyuarakan pendapatnya di tingkat komunitas.
Refleksi Sarmani Selama Mengikuti Forum KAWAL
Sarmani sangat aktif dalam Forum KAWAL. Forum KAWAL yang sudah keempat kalinya diselenggarakan, menjadi ruang belajar bersama dan bersolidaritas antar generasi muda berbagai kasepuhan. Ia selalu mengikuti setiap pertemuan KAWAL sejak Forum KAWAL pertama. Menariknya, ia mampu menjelaskan beberapa materi yang ia anggap menarik dari setiap pertemuannya. Baginya materi yang menarik adalah pengantar seks dan gender. Ia menyimpulkan bahwa dalam musyawarah di Kasepuhan maupun di desa, tidak harus selalu laki-laki yang terlibat. Peran dan pendapat perempuan juga harus dihargai dan jangan sampai dibatasi. Hal ini menurutnya perlu untuk disosialisasikan lebih lanjut di masyarakat. Selain itu, baginya materi sketsa perubahan desa juga menarik. Pada materi tersebut, sejak tahun 1990an sampai 2022, Sarmani berefleksi akan perubahan fisik di Kasepuhan Cirompang. Ia mendapati perubahan sungai dan lingkungan pemukiman. Ia menyoroti bahwa di tahun 1980-1990an, atap rumah masih berbahan ijuk. Sedangkan sekarang, menggunakan genteng. Meskipun begitu, dalam konteks hutan, sampai sekarang masih terjaga seperti dulu. Menurutnya, hal ini dapat terjaga karena masyarakat Kasepuhan menaati aturan baris kolot yaitu larangan menebang pohon di wilayah mata air. Kesadaran ini sudah terbangun sejak dulu dan masih terjaga hingga saat ini.
Perubahan-perubahan tersebut tidak dapat terlepas dari konteks hukum dan negara terutama dalam aspek hutan dan budaya bertani yang menjadi sumber kehidupan dan penghidupan di Cirompang. Hal inilah yang Sarmani dapatkan dari pertemuan kedua Forum KAWAL melalui permainan. Dari situ, Sarmani melihat bahwa penting bagi Kasepuhan untuk memiliki legalitas atau pengakuan dari pemerintah dan proses-proses advokasi di dalamnya. Baginya, penting bagi masyarakat adat untuk memahami hukum yang berlaku dan bertindak sesuai dengan peraturan yang ada.
Sarmani Saat Ini
Terkini, aktivitas Sarmani dengan RMI adalah Forum KAWAL keempat yang diselenggarakan di wilayah adat Kasepuhan Cibarani. Forum ini berbeda dari forum-forum sebelumnya karena Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat (direktorat KMA) ikut terlibat dan memberikan beberapa materi. Secara singkat, materi yang disampaikan seputar perkenalan lembaga; layanan advokasi yang disediakan direktorat KMA; program penunjang pemajuan kebudayaan yang disediakan direktorat KMA; dan sosialisasi warisan budaya berbentuk fisik dan non-fisik. Dari situ, Sarmani menjadi terpikirkan akan suatu situs yang dinamai batu keupeul (batu kepal) di wilayah adat Kasepuhan Cirompang. Ia mengatakan bahwa sebelumnya tidak terpikirkan sampai mengajukan batu keupeul menjadi cagar budaya. Hal ini menjadi penting karena peninggalan-peninggalan sejarah di wilayah Sarmani menjadi lebih disadari sebagai sebuah peninggalan sejarah yang bernilai. Bukan sebagai batu yang biasa-biasa saja.
Sebagaimana batu keupeul yang bernilai sejarah di Kasepuhan Cirompang namun dianggap biasa-biasa saja, begitu juga dengan perjalanan Sarmani yang sering dianggap biasa-biasa saja. Padahal, setiap potongan peristiwa dan refleksi yang berproses dalam dirinya merupakan sesuatu yang bernilai. Sesuatu yang bermakna bagi dirinya dan Kasepuhan Cirompang.
Sejak berkegiatan dengan RMI, Sarmani aktif berkegiatan dalam berbagai kesempatan yang berdampak bagi Kasepuhan Cirompang. Dimulai dari Sekolah Lapang Rakyat dan pemetaan partisipatif di tahun 2016 sampai aktif di Forum KAWAL di tahun 2023. Perubahan-perubahan yang ia alami, diawali dengan suatu hal yang umum yaitu pengetahuan tentang Kasepuhan Cirompang itu sendiri. Sejak saat itu, ia aktif memperdalam dan memperluas pengetahuannya. Selama berkegiatan dengan RMI, ia merasa banyak mengambil pelajaran. Bagi Sarmani, salah satu faktor pendukung hal tersebut adalah kegiatan RMI yang tidak memandang status pendidikan. Menurutnya, baik yang berpendidikan maupun yang tidak, tidak dibeda-bedakan dalam kegiatan. Karenanya, teman-temen lain yang tidak sekolah (formal) tidak minder.
Alhasil, dari perjalanan dengan RMI selama tujuh tahun, Ia menyatakan bahwa ia merasa lebih lebih dekat dan lebih sering menggali terkait sejarah Kasepuhan kepada baris kolot Kasepuhan Cirompang. Selain itu, ia sering mengikuti upacara (ritual) di Kasepuhan Cirompang. Seperti yang sudah dipaparkan di atas bahwa ia merasa ada yang berkurang dalam dirinya jika adat tidak dilestarikan. Sarmani merasa punya tanggung jawab untuk ikut serta melestarikan adat dengan perkataan “kalau tidak kita yang menjaga, (lalu) siapa lagi?”