Short Course Batch 4: Pembekalan Pemuda untuk Isu Sosial dan Lingkungan

Pentingnya generasi muda berwawasan lingkungan, sosial dan berjiwa kepemimpinan, menjadi motivasi utama RMI mengadakan kegiatan Short Course atau Kursus Singkat seputar isu sosial dan lingkungan. Kursus singkat Relawan Lingkungan Untuk Perubahan Sosial yang dilakukan kali ini adalah Batch yang ke- 4, dilaksanakan di Bogor, 4-8 Maret 2020.

Kegiatan ini merupakan salah satu model pembelajaran yang dikembangkan RMI sejak 2016. Hingga saat ini, Short Course RMI sudah menelurkan 60 alumni dari tiga kali penyelenggaraan. Short Course ini diikuti oleh mahasiswa dari berbagai universitas, mulai dari Universitas IPB, Universitas Islam Negeri Jakarta, Universitas Islam Negeri Semarang, Universitas Pembangunan Jaya, Universitas Indraprasta, Universitas Kristen Indonesia, dan juga oleh para penggerak lingkungan muda yang tidak duduk  di bangku pendidikan tinggi.

Selama lima hari berkegiatan bersama, 18 peserta yang terdiri dari 12 perempuan dan 6 laki-laki ini mempelajari isu-isu sosial dan lingkungan, serta keterhubungan antar berbagai isu tersebut beserta konteks yang melatarbelakanginya. Seperti bagaimana peran integral pemudi/a untuk mengatasi berbagai permasalahan yang ada saat ini. Pada kegiatan ini peserta diajak untuk berpikir kritis, sistematis, dan menyeluruh dalam menganalisa persoalan-persoalan di lingkungan mereka.

Narasumber, Wahyu Binatara, sedang menyampaikan materi tentang Kepemimpinan.

Materi yang disampaikan pada pelatihan ini antara lain Mindfulness & Kepemimpinan, Kebijakan dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA), Kesetaraan Jender & Inklusi Sosial, Etika Lingkungan, Ekologi Politik, Kebijakan dalam PSDA, Kemiskinan Struktural, Ekonomi dan Kearifan Lokal, kemudian dilanjutkan dengan observasi sosial di lingkungan sekitar lokasi pelatihan. Materi short course ini disusun secara sistematis, dan disampaikan dengan metode-metode yang menyenangkan,  sehingga membuat peserta tidak bosan, serta memudahkan peserta untuk menemukan benang merah yang mengikat tiap materi yang disampaikan sehingga menjadi satu pemahaman utuh. 

Materi yang dipelajari

Pada hari pertama, kegiatan yang dilakukan adalah saling mengenal satu sama lain, baik sesama peserta maupun dengan panitia. Perkenalan dilakukan dengan menggunakan permainan-permaianan, seperti ‘Box Gua Banget’, di mana peserta diminta untuk mengkreasikan kotak yang sudah disediakan sehingga bisa menggambarkan diri masing-masing, setelah itu dipersentasikan. Kemudian, dilanjutkan dengan pengenalan isu-isu yang sesuai dengan materi short course, di mana ditekankan bagaimana isu-isu yang akan dipelajari tidak benar-benar berdiri sendiri. Setelah itu peserta juga diajarkan metode melatih Mindfulness, di mana peserta diajak untuk sama-sama melatih fokus dengan cara mengatur pernafasannya. Hal ini dilakukan untuk membantu peserta untuk memusatkan perhatian sedemikian rupa dan menghayati apa yang sedang dilakukan, sehingga peserta sadar dan peka terhadap diri sendiri dan lingkungan sekitar, serta menjadi pribadi yang tidak mudah menghakimi. Short Course hari pertama ditutup dengan menonton film pendek tentang peran jender di tengah masyarakat, yang berjudul The Impossible Dream.

Penyampaian materi mengenai Etika Lingkungan oleh Mardha Tillah

Hari kedua, peserta diajak untuk menuliskan kriteria perempuan dan laki-laki, sebagai materi lanjutan dari sesi menonton film pendek The Impossible Dream, yaitu materi ‘Penganalan Konsep Jender’. Selain itu peserta juga diajak untuk menguji bias implisit yang ada dalam benak diri masing-masing. “Apa yang terlintas ketika mendengar kata jomblo, orang Cina, santri, anak-anak, perempuan, orang kota, orang kampung, dan orang orang terpelajar, dan lain-lain”. Dalam sesi ini peserta menyadari bahwa mereka sulit untuk menuliskan bias-bias apa saja yang ada pada kelompok-kelompok tersebut. Pemateri, menutup sesi ini dengan menjelaskan bahwa bias itu bersifat subjektif dan cenderung tidak bisa dihindari. Namun, yang terpenting adalah setiap orang perlu membuka pikiran agar bisa mengurangi bias-bias tersebut dan sadar bahwa sedang dalam kondisi bias. Pada sesi yang lainnya,  peserta lebih banyak diajak untuk diskusi dan memainkan peran. Materi-materi yang dipelajari antara lain Kepemimpinan Inklusif, Komunikasi dan Negosiasi, dan Etika Lingkungan. Narasumber dalam sesi Etika Lingkungan menyampaikan materi mengenai sejarah perkembangan etika lingkungan serta gagasan-gagasan utamanya, mulai dari antroprosentrisme hingga ekofeminisme.

Hari ketiga, peserta mempelajari materi tentang Kebijakan PSDA,  Jender dan PSDA, Ekologi Politik, Persiapan Observasi Sosia, dan Kemiskinan Struktural.

Peserta diajak untuk menyusun puzzle-puzzle yang melingkupi kompleksnya PSDA di Indonesia. Masalah PSDA saat ini tidak dapat dipisahkan dari sejarah penguasaan lahan sejak jaman kolonial. Permasalahan semakin kompleks ketika kebijakan PSDA yang dibuat oleh pemerintah saat ini, jarang membuka ruang keterlibatan masyarakat. Hal-hal tersebut dianggap menjadi pemicu konflik antara masyarakat dan negara. Peserta juga diajak merasakan menjadi masyarakat yang dirugikan dari peraturan dan kebijakan-kebijakan tersebut sehingga membuat masyarakat marjinal tidak memiliki kesempatan untuk berkembang.

Peserta sedang mempresentasikan hasil observasi yang sudah dilakukan.

Hari keempat, dimulai dengan pemaparan materi mengenai Ekonomi dan Kearifan Lokal. Sesi ini menjelaskan tentang bagaimana kearifan lokal bisa mendukung ekonomi masyarakat pedesaan sambil secara bersamaan melestarikan lingkungan, tentunya didukung dengan pembangunan manusia. Kegiatan hari keempat kemudian dilanjutkan dengan observasi sosial di lingkungan sekitar lokasi penginapan.

Hari terakhir, peserta diajak bermain untuk mempelajari tentang Keberlanjutan SDA, Sharing Tentang Kerelawanan, dan membuat rencana tindak lanjut kemudian dilanjutkan dengan orientasi peserta.

Metode yang menyenangkan

Penggunaan metode yang menyenangkan juga membuat kegiatan  ini menjadi seru, dan juga membuat materi yang disampaikan dapat terserap optimal oleh peserta. Seperti, diskusi kelompok, permainan, melakukan seni peran, tugas individu, dan team building merupakan metode yang digunakan untuk menyampaikan materi-materi yang terkesan berat selama kegiatan.

Peserta sedang mencari kode yang diberikan oleh fasilitator dalam permainan Treasure Hunt

Pemateri dan fasilitator memahami betul bagaimana cara menyampaikan materi yang terkesan berat dengan metode-metode yang sederhana, seperti permainan “Minta Dong!” yang digunakan untuk menyampaikan materi Kemiskinan Struktural pada hari ketiga dan  permainan. “Mancing Mania” yang digunakan untuk menyampaikan materi Keberlanjutan SDA hari terakhir.

Misalnya pada permainan “Mancing Mania”, awalnya pemateri meminta komitmen seluruh peserta untuk bermain, kemudian dibentuk menjadi 4 kelompok. Setiap kelompok menentukan nama yang akan dipakai dan diberikan alat pancing. Pemateri telah menyiapkan ikan-ikan yang dibuat dari kertas dan sudah bersebaran. Permainan ini dilakukan dalam delapan babak, setiap babak peserta hanya boleh mengambil lima ekor ikan, jika lebih maka akan dikembalikan ke tempat semula. Setiap berakhirnya babak memancing ikan, poin yang didapat di list oleh panitia, dan setiap babak pemateri akan menaruh 10% dari sisa ikan yang masih tersedia.

Permainan ini diluar dugaan peserta karena berhasil mendekatkan konsep keberlanjutan kepada peserta. Dalam realita ada masyarakat atau perusahaan yang mengambil sumber daya alam secara terus-menerus atau ekstraktif-eksploitatif, sehingga membuat sumber daya alam yang tersedia menipis. Bahkan, kegiatan-kegiatan tersebut terkadang juga didukung oleh pemerintah dalam rangka menaikan pertumbuhan ekonomi.

Peserta sedang melakukan permainan Mancing Mania, dalam penyampaian materi Keberlanjutan PSDA.

Refleksi dari permainan ini antara lain perubahan sistem, dan cara pandang mengenai konsep keberlanjutan sumber daya alam. Di mana antar kelompok perlu melakukan diskusi untuk menjaga sumber daya alam yang tersedia, sehingga tidak menipis atau punah. Tapi hal tersebut bukan satu-satuya cara. Melihat suatu kebijakan yang disusun oleh pemerintah lebih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi dan politik, maka kontribusi Organisasi Masyarakat Sipil menjadi vital karena  mereka memiliki potensi dalam merancang program pemberdayaan masyarakat yang lebih berkelanjutan dan berorientasi pada perubahan perilaku (behavioural change) masyarakat.

Akhirnya, rangkaian kegiatan short course ditutup. Kegiatan ini menjadi salah satu bagian yang mengesankan karena setiap peserta menyampaikan rencana mereka ke depan setelah mengikuti kegiatan short course, setelah itu mereka melompat ke kolam renang. Setelah kegiatan ini diitutup, peserta diharapkan dapat menyebarluaskan kebermanfaatan dari kegiatan ini, dan lebih banyak pemuda yang dapat bergerak dan menggerakkan di lingkungannya masing-masing.

 Penulis: Siti Marfu’ah

Editor: Wahyubinatara Fernandez & Dinda Tungga Dewi

Silakan klik link berikut untuk melihat tanggapan peserta mengenai kegiatan Kursus Singkat ini :

Cerita Dhanti: https://relawan4life.wordpress.com/2020/04/02/1176/

Cerita Nadira: https://relawan4life.wordpress.com/2020/04/02/same-heart-same-spirit/

Future Leader In The Making: Serunya Menyelami Isu-Isu Lingkungan Dan Sosial Terkini Di Short Course Batch 3

Peserta dan Panitia Short Course : Relawan Lingkungan Untuk Perubahan Sosial Batch 3

Pentingnya generasi muda sebagai calon pemimpin masa depan untuk memahami dan menyelami isu social dan lingkungan, serta bagaimana gerakan kerelawanan dalam mendukung kedua hal tersebut dirasa perlu bagi RMI untuk mencetak calon pemimpin sensitive gender yang bisa menciptakan perubahan yang berkeadilan sosial. Karena itu, sejak 2016 RMI rutin mengadakan kegiatan Short Course atau Kursus Singkat seputar isu social dan lingkungan.

Hingga saat ini, Short Course RMI sudah menelurkan 40 alumni dari dua tahun angkatan. Pada tahun ini, Short Course RMI kembali diadakan pada 27-29 September 2019, di Bogor, dengan tema besar “Gerakan Kerelawanan Lingkungan untuk Perubahan Sosial.” Short course kali ini diikuti oleh mahasiswa dari berbagai universitas, mulai dari Universitas IPB, Universitas Pakuan, Universitas Indonesia, dan tidak menutup juga untuk mereka yang tidak duduk di bangku pendidikan tinggi formal. Selama 3 hari berkegiatan bersama; 20 peserta short course ini mempelajari isu-isu lingkungan sosial dan lingkungan, serta keterhubungan antar berbagai isu dan konteks yang melatarbelakanginya, serta bagaimana peran integral pemudi/a untuk mengatasi berbagai permasalahan yang ada saat ini.

Apa yang Kita Pelajari?

Materi short course ini disusun secara sistematis sehingga memudahkan peserta untuk menemukan benang merah yang mengikat tiap materi yang disampaikan sehingga menjadi satu pemahaman utuh. Pada hari pertama—setelah diawali dengan sesi perkenalan dengan metode Appreciative Inquiry—secara berkelompok, peserta diajak mengidentifikasi “Isu-isu Lingkungan Populer” melalui potongan-potongan gambar dari surat kabar yang telah disediakan lalu mempresentasikan pemikirannya.

Setelah memahami bahwa satu permasalahan lingkungan ternyata tidak benar-benar berdiri sendiri, peserta lalu mendapatkan materi yang tidak kalah menarik yaitu “Pengenalan Konsep Jender.” Materi sesi ini banyak diisi dengan tugas dan diskusi kelompok, misalnya merinci gambaran laki-laki dan perempuan ideal. Dalam rangka menguatkan pemahaman bahwa konsep jender sangat erat kaitannya dengan konstruksi sosial dan perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan di dalam masyarakat, short course hari pertama ditutup dengan memaknai sebuah klip pendek menggugah tentang peran jender di tengah masyarakat, yang dipublikasikan oleh United Nation berjudul Impossible Dream.

Hari kedua short course, peserta diajak menguji bias-bias implisit yang tertanam dalam benak masing-masing. “Apa yang terlintas dalam pikiran kalian ketika mendengar kata: perempuan, laki-laki, gay, lesbi, anak-anak, Orang Papua, pemerintah, LSM, keturunan Cina?” merupakan pertanyaan utama di sesi awal ini. Setelah merinci dan mereview tiap stereotif yang peserta miliki, pemateri rupanya menghubungkannya dengan materi “Kepemimpinan.” Dipaparkan bahwa untuk menjadi seorang pemimpin, diperlukan kualitas diri (nilai, sikap dan keterampilan) calon pemimpin yang sensitif terhadap berbagai bias-biasa yang ada di masyarakat karena itu memengaruhi keputusan yang akan diambil. Secara berturut-turut materi yang kemudian disampaikan membahas “Ekologi Politis”, “Kemiskinan Struktural dan Kebijakan Pembangunan”, dan “Gerakan Kerelawanan untuk Perubahan Sosial.”

Narasumber, Mardha Tillah, sedang menyampaikan materi tentang stereotype dan bias implisit.

Peserta diajak untuk mengurai benang-benang semerawut yang melingkupi kompleksnya pengelolaan sumber daya alam (PSDA) di Indonesia. Masalah PSDA saat ini tidak dapat dipisahkan dari konteks kesejarahannya (masa kolonial) yang kerap menjadi akar timbulnya konflik antara masyarakat dengan negara. Kebijakan PSDA yang diskriminatif terhadap masyarakat marjinal memicu lahirnya sistem yang melanggengkan semangat kolonialisme terhadap warga negara. Di titik ini peserta lalu menyadari bahwa masyarakat miskin, sebagai salah satu masalah yang ditimbulkan dari kompleksnya PSDA di Indonesia, bukan semata-mata hadir karena anggapan bahwa mereka malas atau bodoh; namun karena adanya sistem/tata pemerintahan yang memangkas kesempatan masyarakat marjinal untuk berkembang. Pembangunan manusia (human development) adalah salah satu area pembangunan yang dapat didorong untuk perlahan-lahan mengikis permasalahan tersebut. Dalam hal ini pemuda pun dapat ikut ambil bagian dengan cara menginisiasi atau tergabung dalam kegiatan kerelawanan.

Sedangkan pada hari ketiga kegiatan short course Angkatan 3, dijelaskan materi “Etika Lingkungan.” Di sini pemateri menyebutkan bahwa pada hakikatnya setiap mahkluk hidup, tidak hanya manusia, memiliki hak untuk hidup dan kondisinya perlu dipertimbangkan ketika mengambil suatu keputusan. Berbagai paradigma yang dipresentasikan menyadarkan peserta bahwa selama ini kita menganut paradigma anthropocentrism—manusia adalah pusat kehidupan, logika manusia adalah hal yang paling utama.

Peserta Short Course Batch 3 sedang mengidentifikasi “Isu-isu Lingkungan Populer” melalui potongan-potongan gambar dari surat kabar yang telah disediakan lalu mempresentasikan pemikirannya.

Metode Penyampaian yang Inovatif

Materi-materi yang disampaikan selama short course dapat terserap optimal oleh peserta karena adanya metode penyampaian materi yang sangat inovatif. Diskusi kelompok, permainan, tugas individu, dan sesi team building merupakan beberapa metode yang kerap peserta dapatkan selama 3 hari berkegiatan bersama. Kombinasi metode penyampaian materi antara ceramah/presentasi pemateri dengan aktivitas individu maupun kelompok menjadi salah satu kekuatan sekaligus keunikan short course dibandingkan kegiatan lain yang serupa. Partisipasi aktif peserta juga terfasilitasi melalui sesi tanya jawab maupun presentasi kelompok.

Pemapar dan fasilitator benar-benar memahami cara mengemas materi yang terkesan berat dengan metode penyampaian yang sederhana, salah satunya permainan “Minta dong!” dalam materi “Kemiskinan dan Kebijakan Struktural.” Awalnya peserta mengira bahwa salah satu materi yang akan disampaikan di hari kedua ini akan membahas teori-teori kemiskinan juga hukum/kebijakan yang relevan dengannya. Namun pemateri meminta komitmen seluruh peserta untuk bermain “Minta dong!” dari awal sampai akhir. Jadi tidak ada peserta yang diperbolehkan berhenti di tengah-tengah permainan ini. Setiap peserta masing-masing mendapat 2 biji jagung, 2 biji kacang hijau, 2 biji kopi, dan 2 biji kacang kedelai. Setiap satu biji kopi bernilai 20 poin, jagung 10 poin, kacang kedelai 5 poin, dan kacang hijau 2 poin. Peserta diminta untuk melakukan barter biji-bijian tersebut dengan peserta lainnya dengan menyebutkan kata “Minta dong!”. Setiap berakhirnya ronde barter, poin dari tiap-tiap biji dihitung dan dijumlahkan. Hingga ronde barter kelima atau ronde terakhir, apabila jumlah poin biji-bijian peserta kurang dari 80 maka peserta tersebut mendapat hukuman makan malam dengan nasi putih dan garam saja.

Peserta sedang memainkan permainan ‘Minta Dong!’. Metode ini digunakan untuk menyampaikan materi Kemiskinan Struktural dan Kebijakan Pembangunan.

Permainan ini diluar dugaan peserta karena berhasil mendekatkan konteks kemiskinan kepada peserta. Dalam masyarakat ada orang-orang yang dianggap ‘kalah’ dan kesempatannya untuk berkembang lebih minim dibanding mereka yang memiliki sumber daya kapital lebih banyak. Orang-orang yang dianggap ‘kalah’ tersebut dicap sebagai orang miskin dengan berbagai kriteria/standar nasional maupun internasional yang telah ditetapkan. Tidak pernah diperhatikan kondisi masyarakat yang memang terbiasa hidup subsisten. Menilik kembali kondisi masyarakat banyak diantara mereka yang cukup hidup dengan bercocok tanam dan mampu memenuhi kebutuhannya sehari-hari dengan mengelola SDA. Intervensi pihak luar melalui program dan kebijakan yang ditujukan untuk ‘menolong’ orang-orang ini pun kadang tidak dilandasi dengan kajian dan perencanaan yang tepat. Dalam permainan “Minta dong!” misalnya ditunjukkan bahwa bantuan pemerintah kadang tidak tepat saran karena diberikan kepada orang-orang yang lebih mampu.

Refleksi dari permainana ini antara lain perubahan sistem, cara pandang melihat orang-orang yang dicap miskin, serta penyesuaian kriteria ‘orang miskin’ memang perlu dilakukan. Tapi hal terbut bukan satu-satunya cara. Melihat kerentanan program atau kebijakan yang disusun oleh pemerintah lebih berorientasi pada output, maka kontribusi Civil Society Organization menjadi vital karena mereka memiliki potensi dalam merancang program pemberdayaan masyarakat yang lebih berkelanjutan dan berorientasi pada perubahan perilaku (behavioural change) masyarakat.

Akhirnya, rangkaian kegiatan short course ditutup dengan penyampaian testimoni dari peserta kegiatan. Ini juga merupakan salah satu bagian yang paling mengesankan karena tiap peserta berkesempatan mengutarakan rencana mereka ke depan setelah mengikuti kegiatan short course. Ada peserta yang ingin menjelaskan materi yang didapatkan selama short course kepada teman-temannya, mengembangkan projek organisasi kampusnya berdasarkan materi dan metode pelatihan yang didapat, maupun akan secara mandiri mendalami kembali materi-materi yang telah diperoleh. Melihat antusiasme peserta setelah mengikuti short course, diharapkan kebermanfaatan kegiatan ini dapat meluas dan lebih banyak pemuda yang tergerak untuk melakukan perubahan di lingkungannya dengan cara mereka masing-masing.

Penulis: Supriadi

Editor: Dinda Tungga Dewi

Silakan klik link berikut untuk melihat tanggapan peserta mengenai kegiatan Kursus Singkat ini.

Cerita Emmerald Falah:

Cerita Nafisa Nur Alifah:

Cerita Alfina Khairunisa:

Cerita Nadyati Fajrin:

Tonton video di bawah ini: