Refleksi Destinasi Super Prioritas di Labuan Bajo dari Pelatihan Kepemimpinan 3 Kampung Katong

Melihat fenomena pembangunan pariwisata melalui kacamata penduduk lokal memerlukan kesadaran kritis-kontekstual karena seringkali kemewahan yang ditawarkan oleh pembangunan sangat membuai dan meninabobokan. Dampak pembangunan pariwisata merupakan hasil dari proses sistemik yang serba saling memengaruhi secara timbal balik.  Hal inilah yang disoroti Konsorsium Kampung Katong melalui “Pelatihan Kepemimpinan 3” yang mengangkat tema kepemimpinan di level sistemik dalam konteks perebutan ruang hidup dan pengelolaan sumber daya alam.

Pelatihan Kepemimpinan 3 Kampung Katong mengajak orang muda dari tiga komunitas–Simpasio Institute, Lakoat.Kujawas dan Kolektif Videoge–untuk menganalisis, merefleksi dan menyikapi pembangunan pariwisata di Labuan Bajo menggunakan perspektif etika lingkungan, ekologi politik, pembangunan inklusif dan pembangunan berkelanjutan.

Pola interaksi manusia-alam yang eksploitatif telah memicu berbagai krisis sosial dan lingkungan. Interaksi ini lahir dari pandangan bahwa manusia adalah entitas yang terpisah dengan alam. Bukan sebagai satu kesatuan utuh yang berinteraksi timbal-balik. Peserta pelatihan mempelajari hal ini dalam sesi etika lingkungan. Antroposentrisme–pandangan yang menempatkan manusia sebagai pusat dari alam semesta–begitu kuat mengakar, sehingga hubungan antara manusia dengan alamnya pun dilandaskan pada ukuran-ukuran yang menguntungkan manusia semata. Dengan kata lain,  “sebesar apa manfaat alam bagi manusia?”

Pemahaman pegiat komunitas yang hadir dalam pelatihan selanjutnya diperkuat ketika materi ekologi politik disampaikan. Sesi ini dibawakan oleh Marta ‘Ica’ Muslin, seorang pegiat lingkungan yang berbasis di Labuan Bajo. Warga Labuan Bajo menyaksikan bagaimana kampung halamannya disulap menjadi kota dalam sekejap. Acara Komodo Sail 2013 dan ditetapkannya Labuan Bajo sebagai destinasi pariwisata super premium melalui Perpres No. 32 Tahun 2018 adalah di antara dua hal yang berdampak signifikan terhadap berubahnya rupa Labuan Bajo. Ica menjelaskan bahwa pembangunan pariwisata di Labuan Bajo memiliki sisi baik dan sisi buruk sekaligus seperti dua sisi mata uang.

Foto bersama Martha Muslin, Narasumber Politik Ekologi dalam Pelatihan Kepemimpinan III
Foto bersama Martha Muslin, Narasumber Politik Ekologi dalam Pelatihan Kepemimpinan III

Ia banyak bercerita mengenai pengalaman advokasi dan kolaborasi dengan pemerintah setempat. Ia mengatakan bahwa dengan masuknya pariwisata telah memicu membaiknya layanan publik khususnya rumah sakit dan sekolah tinggi pariwisata di Labuan Bajo. Meskipun begitu, pariwisata membawa dampak lain. Salah satunya adalah permasalahan air. Nyatanya, akses terhadap air bersih terbatas. Hal ini ditengarai oleh pesatnya kemajuan pariwisata yang mengeksploitasi air tanah besar-besaran untuk hotel, alih fungsi lahan, dan lain sebagainya.

“Untuk masalah air, (pengaruh) pariwisata terhadap air (yaitu) satu orang tamu bintang 5 itu setara 100x pemakaian air orang biasa… (di sisi lain) ada juga kasus di rumah tangga karena malamnya suami tunggu air dan paginya harus mengantar tamu (wisatawan) sehingga ada konflik. Ada 12 kasus suami istri yang sampai bercerai. Sekarang distribusi air sudah lebih bagus, tapi orang sudah harus berpikir untuk untuk mendaur ulang air dengan izin hotel bintang 5… Permasalahan air di seluruh manusia memang (menjadi) masalah tapi disini lebih masalah lagi karena pariwisata.”

Selain itu, kasus penyempitan wilayah tangkap adalah contoh persoalan bermuatan ekologi politik yang harus dihadapi warga Labuan Bajo sehari-hari. Sebagaimana disampaikan oleh Ica sebagai berikut:

“Dalam konteks Labuan Bajo, zona pariwisata meluas, zona bahari mengecil. Tapi tidak ada yang memberikan program langsung dan signifikan untuk nelayan. Sehingga nelayan kadang membawa pisau, jaga-jaga jika bersitegang dengan orang yang diving. Itulah asalnya konflik. Karena perebutan ruang.”

Realitas laju pembangunan di Labuan Bajo yang meminggirkan masyarakat lokal memantik diskusi lebih lanjut tentang topik pembangunan inklusif. Melalui permainan Maju Satu Langkah[1], muncul kesadaran bahwa setiap orang memiliki kondisi terberi (given) lalu sejauh mana setiap individu menyikapi dan mau bekerja keras untuk memperbaiki hidupnya meskipun kebijakan negara tetap memainkan peran. Seperti yang dikatakan Marto dari Kolektif Videoge:

“Kita semua punya modal tergantung cara pandang kita. Ada modal sosial dan modal ekonomi. Kalau tidak bisa mengolahnya, saya tidak akan maju. Tergantung modal apa yang mau dimainkan.”

Sedangkan dari sisi keberlanjutan pengelolaan sumber daya alam, isu ini disampaikan melalui permainan tangkap ikan.[2] Indra, fasilitator, merefleksikan bahwa:

“Perasaan senang yang muncul ketika bermain tadi ada saat kita berbisnis. Senang mendapatkan ikan banyak membuat kita ketagihan. Sebetulnya menurut saya, semuanya kalah (karena ikan tinggal sedikit). Perusahaan bisa mendapat ikan dengan tidak terbatas, lalu baru sadar ketika SDA (ikan) sudah menipis. Karena ada aturan yang menyebutkan bahwa ikan akan ditambah 10 persen dari total populasi, peserta yang berperan sebagai perusahaan tidak awas dengan peringatan itu. Ini ngomongin keberlanjutan. Tadi itu adalah eksploitasi dan perasaan yang menyenangkan itu timbul dari profit. Bisa saja untung perusahaan kecil tapi berkesinambungan. Perusahaan akan cenderung melanggar aturan karena visinya profit dan itu karakteristik mereka. Investasi berpengaruh pada beberapa hal: SDA mulai kritis dan tidak sensitif bahwa praktik yang mereka lakukan merugikan orang lain. Seringkali pembangunan dijalankan tanpa konsep yang bagus. Kadang kita juga tidak mau berhenti sebentar untuk melihat ulang. Sulit berhenti walaupun sudah tahu caranya salah.”

Merangkum isu pembangunan pariwisata di Labuan Bajo dapat diilustrasikan  dengan baik oleh Aden dari Videoge:

“Kami merasa sadar/tidak sadar terpapar sangat kuat (oleh pembangunan). Ilustrasi kami itu (seperti) kami sedang belajar mengendarai motor. Sudah bonceng orang. Kita mesti gas, tapi kita mesti menurunkan lagi gas untuk memperhatikan sekeliling kita. Karena kecepatan tinggi, kita tidak sempat memperhatikan kiri-kanan kita. Apakah kita harus merelakan dua atau tiga generasi di Labuan menjadi tidak kritis, rapuh. Itu juga yang menjadi refleksi. Mau menyelamatkan orang, tapi kita sendiri tidak selamat.”

Aden & Saddam, crew Videoge, sedang cerita tentang Kolektif Videoge

Pernyataan Aden, Videoge, menggambarkan kegelisahannya sebagai warga Labuan Bajo yang harus beradaptasi dengan arus pembangunan sambil berefleksi akan perubahan-perubahan yang terjadi di sekelilingnya yang terjadi begitu cepat. Ia harus menghadapi pembangunan pariwisata di Labuan Bajo yang didorong oleh negara (state driven) sepanjang rezim pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo yang dibuktikan dengan serangkaian peraturan perundang-undangan seperti  Peraturan Pemerintah (PP) No. 50 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010-2025 dan Perpres nomor 32 Tahun 2018 tentang Badan Otorita Pengelolaan Kawasan Pariwisata Labuan Bajo Flores, membuat Labuan Bajo masuk ke dalam daftar 10 destinasi wisata prioritas sejak 2015 untuk kemudian tetap masuk ke dalam 5 lokasi DSP hasil pengerucutan di tahun 2019.

Dorongan pemerintah untuk pembangunan daerah pariwisata di Labuan Bajo beriringan dengan momen ditetapkannya Pulau Komodo sebagai tujuh keajaiban dunia di tahun 2012 dan Komodo Sail di tahun 2013 yang menjadi dua peristiwa penting yang ikut bersumbangsih untuk mengakselerasikan pembangunan pariwisata di Labuan Bajo sebagai lambang destinasi pariwisata di Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Dapat dilihat bahwa pembangunan pariwisata di Labuan Bajo berbasiskan transformasi ruang dan pemgambilalihan ruang. Inisiasi pemerintah untuk membuat “Bali baru” dengan label destinasi super prioritas (DSP) Indonesia dapat dikatakan berhasil. Tidak heran jika kita berada di pusat keramaian yaitu di Jalan Soekarno Hatta, Labuan Bajo, kita merasa seperti sedang berada di kawasan Pantai Kuta, Bali. dengan trotoar lebar bagi pejalan kaki dan tempat-tempat makan bervariasi di kiri dan kanan jalan. Transformasi ruang terlihat sangat jelas dalam waktu 11 tahun sejak Pulau Komodo menjadi salah satu dari tujuh keajaiban dunia.

Transformasi ruang tentunya tidak murah. Dilansir dari ekonomi.bisnis.com, Menteri PUPR Basuki Hadimuljono mengatakan bahwa pada tahun ini, pemerintah telah mengalokasikan anggaran pembangunan infrastruktur untuk pengembangan KSPN Labuan Bajo sebesar Rp1,30 triliun atau lebih besar dari 2019 sebesar Rp83,20 miliar. (Gunawan, 2020) Dengan begitu, pembangunan akan bertumpu pada konsentrasi modal pemerintah yang melibatkan pemilik modal swasta untuk melegitimasi transformasi dan pengambilalihan ruang. Adapun pembangunan ini ditopang oleh konektivitas komunikasi dan transportasi sehingga aktor baru, pengusaha-pengusaha, dapat bermigrasi dan mempercepat pembangunan. Tak mengherankan jika dalam waktu sebelas tahun sejak 2012, pembangunan di sini melesat jauh meninggalkan daerah-daerah di sekitarnya.

Sejatinya label DSP sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) yang disematkan pada Labuan Bajo membuatnya dilabeli menjadi daerah beridentitas tunggal yaitu kawasan pariwisata. Hal ini menggerus identitas lain seperti masyarakat pesisir dan nelayan. Terjadi juga perubahan mata pencaharian yang terkonsentrasi pada sektor pariwisata. Sektor pariwisata tersebut menawarkan bentuk usaha baru yakni usaha jasa wisata, penginapan, oleh-oleh dan food and beverages. Sayangnya usaha yang berkembang ini membutuhkan modal besar yang seringkali tidak dimiliki warga lokal. Alhasil, warga lokal yang diuntungkan hanya mereka yang menyewakan atau menjual tanah dan bangunannya. Mengeksklusi individu yang tidak memiliki modal.

Ditambah lagi perubahan sosial muncul di beberapa isu lain sebagai konsekuensi dari pembangunan yang tidak inklusif. Hal ini juga tergambarkan melalui tulisan Kiwang dan Arif, yang termuat dalam Jurnal Studi Sosial berjudul Perubahan Sosial Ekonomi Masyarakat Labuan Bajo Akibat Pembangunan Pariwisata sebagai berikut:

Secara sosial kehidupan masyarakat juga berubah seperti nelayan yang tidak lagi bebas untuk melaut dan menangkap ikan di semua zona laut dikarenakan pemberlakukan larangan penangkapan ikan pada zona tertentu, pergeseran kepemilikan dimana banyak lahan-lahan milik penduduk beralih kepemilikan kepada para investor, tergerusnya budaya lokal, dan timbul kejahatan. Anak-anak muda mulai nongkrong dan mabuk-mabukan, mereka mulai mengikuti gaya hidup wisatawan, mulai dari menggunakan bahasa asing sampai berpakaian dan berperilaku seperti wisatawan asing. Muncul juga balapan liar, pencurian termasuk narkoba.

(Kiwang & Arif, 2020)

Meskipun begitu, pembangunan ini juga memberikan kemajuan khususnya pada aspek pelayanan publik. Dengan masifnya pembangunan di sini; rumah sakit didirikan, transportasi lebih nyaman, jalan raya dan sekolah tinggi jurusan pariwisata didirikan. Tetapi, tidak semuanya mampu merasakan dampak positif dari pembangunan. Lalu bagaimana nasib mereka yang tersisih?

Daftar Pustaka

Kiwang, A. S., & Arif, F. M. (2020, November 18). Perubahan Sosial Ekonomi Masyarakat Labuan Bajo Akibat Pembangunan Pariwisata. Jurnal Studi Sosial, 87-97.

Gunawan, A. (2020, September 11). Anggaran Pengembangan KSPN Labuan Bajo Tahun Ini Rp1,3 Triliun. Retrieved from Ekonomi.bisnis.com: https://ekonomi.bisnis.com/read/20200911/45/1290435/anggaran-pengembangan-kspn-labuan-bajo-tahun-ini-rp13-triliun


[1] Setiap peserta diberi peran tertentu kemudian maju atau diam ketika disebutkan narasi pembangunan. Misalnya fasilitator memberikan narasi “Program bantuan UMKM” maka peserta maju satu langkah jika merasa cocok, bermanfaat dan sejalan dengan narasi pembangunan yang disampaikan.

[2] Permainan tangkap ikan adalah permainan memancing menggunakan tali, penjepit kertas dan ikan yang terbuat dari kertas. Peserta dibagi menjadi beberapa kelompok dan mengumpulkan tangkapan dalam beberapa babak. Aturannya, populasi ikan akan bertambah 10% setiap babak. Permainan berhenti setelah beberapa babak dengan hasil akhir ikan lestari, sedikit atau habis. 

Penulis: Rifky P.K.

Editor: Supriadi

Upaya Mengenali Diri dan Kaitannya dengan Kepemimpinan Pribadi

Lebih mengenal dan memahami diri merupakan suatu tantangan bagi individu yang berkegiatan dengan lembaga maupun komunitas yang bergerak dalam kerja-kerja sosial. Tanpa disadari, upaya untuk lebih mengenali diri tidak jarang tertinggal atau bahkan tersingkirkan di tengah-tengah kerja sosial yang dinamis. Sedangkan proses mengenali diri, di sisi lain, dapat membantu mengatasi kelemahan serta memetakan potensi diri yang kita miliki–untuk kemudian dioptimalkan dalam kerja-kerja bersama di komunitas. 

Penguatan kapasitas, baik secara individual maupun organisasional, menjadi hal yang sangat dibutuhkan oleh ketiga komunitas yang tergabung dalam inisiatif Kampung Katong (Simpasio Institute, Kolektif Videoge, dan Lakoat.Kujawas) karena berkaitan dengan kebutuhan regenerasi dan pendalaman cakupan kerja di dalam internal komunitas mereka sendiri. Selama inisiatif Kampung Katong ini berjalan hingga tahun 2023, kegiatan Pelatihan Kepemimpinan akan dilaksanakan sebanyak tiga kali. Pelatihan akan disampaikan dengan materi-materi pendukung yang berkaitan dengan peningkatan kapasitas kepemimpinan dalam beberapa tingkatan yakni; level pribadi pada Pelatihan Kepemimpinan 1, level penggerak organisasi Pada Pelatihan Kepemimpinan 2, dan level sistemik pada Pelatihan Kepemimpinan 3.

Kali ini kegiatan Pelatihan kepemimpinan 1 diselenggarakan di Larantuka, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Dilaksanakan selama lima hari, Pelatihan Kepemimpinan 1 yang telah ditujukan untuk meningkatkan pemahaman akan diri pribadi secara lebih mendalam dan memahami posisi pribadi dalam gerakan sosial dan meningkatkan semangat kerja kolektif untuk kemajuan komunitas yang selama ini telah menjadi nafas utama dalam aktivitas rutin ketiganya.

Perkenalan dan Refleksi terhadap Kerja di Komunitas

Kegiatan pelatihan dimulai pada tanggal 22 Mei 2022, di mana ketiga komunitas pada akhirnya bertemu kembali setelah sebelumnya melakukan kegiatan Residensi selama satu minggu di Mollo (lokasi Lakoat.Kujawas) pada bulan Maret 2022 lalu. Meskipun  ketiga komunitas yang tergabung dalam inisiatif Kampung Katong berasal dari wilayah yang berbeda-beda, tidak menghalangi pembelajaran yang didapatkan selama prosesnya. Beberapa sesi dalam pelatihan justru disusun untuk mempelajari keberagaman latar belakang sosial-budaya dan saling mengapresiasi kerja-kerja komunitas–termasuk pembelajaran yang diperoleh sejauh ini.

Beragam kisah, budaya, dan pengalaman dituangkan oleh setiap peserta pelatihan melalui metode perkenalan di hari pertama. Penggunaan metode “Kita pung box” atau dalam bahasa Indonesia berarti “Kotak Kepunyaan Saya” menjadi media perkenalan peserta yang sangat menarik. Dimulai dengan memberikan hiasan menggunakan spidol, krayon, potongan koran dan majalah bekas, hingga menggunakan bunga serta dedaunan yang ada di sekitar Biara Susteran PRR Weri yang menjadi lokasi dilaksanakannya pelatihan. 

Setelah memperindah box yang sudah disediakan, semua peserta mempresentasikan hasil karya mereka seraya memperkenalkan diri dengan cara yang unik dan kreatif. Marto salah seorang peserta pelatihan dari komunitas Teater SiapaKita Labuan Bajo (salah satu jejaring Kolektif Videoge) menceritakan bahwa proses pengenalan dirinya relevan dengan unfolding theory (salah satu metode pembawaan alur cerita dalam teater/drama). Dia berkata bahwa pada saat membuka satu lapisan dalam diri, pasti tidak akan langsung terbuka karena akan ada lapisan-lapisan lain setelahnya. Selain memperkenalkan diri kepada peserta lain, adapun peserta pelatihan yang membagi kisah hidup yang dialami hingga ia bisa bertahan sampai hari ini. 

Refleksi yang dilakukan selama proses pembuatan “Kita pung box” menjadi pembelajaran tersendiri, selain dapat dijadikan proses pengenalan diri bagi peserta pelatihan. Aden dari Kolektif Videoge memaparkan bahwa pembelajaran yang diterima melalui penggunaan metode “Kita pung box” dapat memunculkan pemikiran, informasi, dan perasaan yang mungkin selama ini hanya dipendam dalam diri sendiri. Mengenali kelebihan diri dan mempersiapkan masa depan. Hal itu pula yang nantinya akan sangat berdampak pada kerja-kerja di komunitas: dengan lebih memahami diri sendiri dan makin munculnya keterbukaan di antara anggota komunitas pastinya akan memudahkan apa yang sedang diusahakan.

Proses Pengenalan Diri dan Kepemimpinan Pribadi (Stereotip dan Bias Implisit)

Dalam menjalani proses pengenalan diri, perlu adanya alat bantu yang digunakan untuk mendalami diri dan merefleksikan segala hal yang telah maupun telah dilalui. Salah satu alat bantu yang digunakan di sini yaitu mengenal kepribadian melalui tes Myers-Briggs Type Indicator (MBTI). 

Untuk mengikuti tes MBTI ini, setiap peserta diminta untuk memberikan nilai pada pernyataan yang telah disediakan sebelumnya. Melalui pernyataan tersebut akan menghasilkan beberapa indikator tipe kepribadian yang diantaranya berisi Ekstrovert/Introvert, Intuitive/Sensing, Feeling/Thinking, dan Perceiving/Judging.

Walaupun hasil dari tes MBTI belum tentu akurat, tes MBTI ini dapat menjadi salah satu jalan pembuka untuk mengidentifikasi potensi dan mengenal diri lebih dalam. Menanggapi hasil tesnya,  Retha dari SimpaSio Institut berpendapat bahwa banyak tips yang perlu dipahami terlebih dahulu dan jangan langsung diterima begitu saja. Dari penjelasan MBTI, ada penjelasan mengenai kelebihan dan kekurangan diri serta bagaimana memperbaikinya. Namun menurutnya kepribadian tidak akan berhenti di satu titik. Pembelajaran yang telah dilalui selama ini dapat mempengaruhi kepribadian kita kedepannya. 

Lain halnya dengan pendapat yang dipaparkan oleh Ari dari Lakoat.Kujawas. Ia memberikan tanggapan bahwa setelah melihat tips yang diberikan melalui modul, masing-masing individu semakin sadar dan mengetahui potensi serta batasan-batasan yang mungkin ada dalam diri. Melalui tes kepribadian yang telah dilakukan, hasilnya cukup merepresentasikan kepribadian dan apa yang dirasakan setiap anggota komunitas.

Selanjutnya, upaya untuk lebih memahami dan melihat potensi diri di dalam komunitas terkonfirmasi melalui diskusi yang dilakukan bersama dengan anggota komunitas masing-masing. Banyak pembicaraan menarik yang disampaikan oleh tiap-tiap komunitas. Di dalam kelompok, mereka saling bergantian memberikan masukan berdasarkan contoh sehari-hari serta mengkonfirmasi penjelasan dan tips yang dituliskan di dalam modul MBTI. 

Untuk dapat memimpin sesuatu, kita perlu menjadi pemimpin untuk diri kita sendiri. Oleh karenanya selain mengenali diri sendiri, seorang pemimpin hendaknya mampu memahami realita sosial dan tantangan-tantangan yang hadir dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu tantangan tersebut mewujud ke dalam stereotip dan bias implisit yang terbentuk sedari dulu di tengah-tengah masyarakat. Dalam pelatihan kali ini, disinggung pula bagaimana stereotip dan bias implisit telah disematkan kepada seseorang sejak masih berada di usia dini, hingga berkembang ketika dewasa. Melalui teori interseksionalitas, diskriminasi beserta keistimewaan pada ras tertentu, jenis kelamin, agama, gender, usia, etnis, atau karakteristik lainnya. 

Selama kegiatan berlangsung, semua peserta saling memberikan pendapat terkait stereotip yang terjadi disekitar mereka maupun yang mereka rasakan sendiri. Ari dari Lakoat.Kujawas mengungkapkan bahwa ia sempat beranggapan bahwa semua idol yang berasal dari Korea Selatan pasti melakukan operasi plastik. Namun operasi plastik yang marak dilakukan oleh idol-idol Korea kebanyakan datang dari wilayah luar yang pada akhirnya mempengaruhi standar kecantikan di negara tersebut. Ditambah lagi dengan pemasukan Korea Selatan yang lebih banyak datang dari bidang hiburan yang menambah penggunaan jasa operasi plastik. Melalui diskusi yang telah dilakukan mengenai stereotip dan bias implisit, seluruh peserta akan mengonfirmasikan beberapa hal secara langsung dengan turun ke lapangan dan melakukan observasi sosial.

Sementara Eda dari SimpaSio Institut menceritakan tentang stereotip yang diperlihatkan kepada masyarakat di Indonesia timur. Pelabelan tersebut dapat dilihat melalui film-film yang sempat beredar. Banyak film-film tentang masyarakat Indonesia timur yang hanya menggambarkan potret-potret kemiskinannya saja. Eda melanjutkan bahwa sistem pendidikan yang terlalu Jawa sentris pada akhirnya berdampak pada masyarakat di timur yang kurang memahami konteks kesejarahan yang ada di tempat masing-masing. Akibat dari pelabelan atau stereotyping yang terjadi akan berpengaruh pada cara membangun relasi dengan komunitas lain.

Melihat dan Mempelajari Keadaan Sekitar dengan Observasi Sosial

Setelah mengikuti materi tentang kepemimpinan pribadi yang berkaitan dengan stereotip dan bias implisit, seluruh peserta melanjutkan kegiatan dengan mengikuti observasi sosial yang tersebar di lima titik. Secara berkelompok, ada peserta yang melakukan observasi sosial di Pelabuhan Larantuka, Pelabuhan Tradisional (masyarakat Melayu pesisir), menyambangi kelompok tenun Waibalun (Lamaholot), mengobservasi keadaan Pasar Inpres, dan mengunjungi komunitas transpuan yang ada di Lebao. 

Semua peserta pelatihan yang mengikuti observasi sosial saling bertukar pembelajaran tentang apa yang berbeda dari tempat asal mereka dan bekerja sama untuk mendapatkan informasi yang nantinya akan dipresentasikan kepada peserta lainnya. 

 Dokumentasi oleh Toni (Lakoat.Kujawas)

Citra dari Kolektif Videoge, yang merupakan anggota kelompok yang melakukan observasi di Pasar Inpres Larantuka, bercerita tentang apa yang ia lihat dan pelajari selama melakukan observasi. Ia bercerita bahwa pasar tersebut identik dengan payung berwarna-warni dan di dalamnya tersimpan beberapa hal yang cukup menarik. Adapun perbedaan antara pasar yang ada di tempat asalnya (Labuan Bajo) dengan Pasar Inpres yang ada di Larantuka yaitu komoditas yang diperjualbelikan di Pasar Inpres terasa lebih beragam: mulai dari batang kecombrang yang ditanam oleh orang-orang Adonara, kerajinan tangan dari daun lontar, hingga kue-kue pasar yang menambah kemeriahan suasana Pasar Inpres. Selain itu, kebanyakan penjual yang ada di Pasar Inpres Larantuka adalah perempuan. Walaupun ada laki-laki yang ikut berjualan, jumlahnya tidak lebih banyak dari jumlah perempuan menggelar lapak di sepanjang Pasar Inpres.

Dokumentasi oleh Marto (Kolektif Videoge)

Selain mencari tahu apa-apa saja yang sekiranya berbeda dengan tempat asal, ada pula pembelajaran baru yang didapat oleh peserta setelah melakukan observasi. Salah satu kelompok observasi yang berkunjung ke Lebao, tempat Komunitas Ikwal (Ikatan Waria Larantuka) transpuan berada, diajak untuk mendiskusikan stereotip yang disematkan kepada transgender. Mereka berbincang tentang banyak hal mulai dari sejarah terbentuknya Komunitas Ikwal, perubahan tren pilihan pekerjaan kelompok transpuan di Larantuka, stigma dan stereotip masyarakat mengenai transpuan itu sendiri, hingga bagaimana pada akhirnya sebutan “oncu” atau dalam bahasa Indonesia memiliki arti “anak bungsu” digunakan oleh komunitas transpuan di Larantuka. 

Refleksi Kemiskinan Struktural dan Kerja Sama Kelompok

Pembelajaran tidak hanya berhenti di kegiatan observasi sosial. Setelah melakukan observasi sosial, semua peserta pelatihan diajak untuk memahami suatu kondisi sosial yang terjadi di tengah-tengah mereka dengan menggunakan metode permainan “Minta Dong” untuk lebih memahami mengenai persoalan kemiskinan struktural. Sebelum memulai permainan, fasilitator meminta persetujuan dari seluruh peserta yang ingin mengikuti permainan. Setelah mengukuhkan komitmen, mereka yang setuju ikut bermain tidak boleh keluar dari permainan dan diharuskan menerima konsekuensi apabila kalah dalam permainan. Namun untuk peserta yang tidak ingin bermain maka akan menjadi observer selama permainan berlangsung.

Sesi pertama pun dimulai, seluruh peserta diminta untuk mengambil 8 dari 4 jenis biji-bijian berbeda, yang telah disiapkan dan melakukan barter dengan peserta lain sambil menyebutkan kata “Minta dong!”. Namun selama ronde awal dimulai, seluruh peserta yang tengah melakukan barter belum diberitahu bahwa biji-bijian tersebut memiliki nilai yang berbeda antara satu dan lainnya. Permainan ini terbagi kedalam beberapa ronde untuk melakukan barter. Setiap berakhirnya ronde barter, poin dari tiap-tiap biji dihitung dan dijumlahkan. Barulah kemudian dilihat siapa yang mendapatkan poin paling rendah pada ronde tersebut. 

Setelah melalui ronde ketiga, barulah fasilitator menyampaikan bahwa setiap biji-bijian memiliki nilainya masing-masing. Setelah mengetahui bahwa ada perbedaan nilai, peserta yang mengikuti permainan mulai mencari cara untuk mendapatkan nilai tertinggi agar tidak kalah dalam permainan dan mendapatkan sanksi. Setelah permainan memasuki ronde terakhir, ada sedikit perubahan dalam cara bermain para peserta. Mereka yang sebelumnya saling berlomba untuk mendapatkan nilai tertinggi, mulai membagi rata nilai biji-bijian kepada seluruh peserta.

Diskusi dan refleksi kemudian dilakukan seselesainya permainan ini. Terkait dengan cara pandang melihat orang-orang yang dilabeli “kalah dalam permainan” serta kerja sama untuk membantu sesama peserta yang memiliki nilai paling rendah untuk menghindari kesenjangan. Adanya kecenderungan dari peserta dengan nilai yang tinggi untuk mempertahankan atau bahkan meningkatkan jumlah biji-bijiannya, meminta dari peserta lain yang kekurangan biji-bijian, juga menghindar ketika diminta barter. Salah satu refleksi utama dari permainan ini adalah bagaimana orang-orang yang kalah dalam permainan ini (si miskin) bukan karena tidak mau berusaha, melainkan karena adanya orang-orang yang “menang” (si kaya) yang terus menjalankan sistem sosial-ekonomi yang melanggengkan kondisi ini.

Penguatan Komitmen Peserta untuk Kerja-Kerja Bersama di Komunitas

Rangkaian kegiatan Pelatihan Kepemimpinan 1 diakhiri dengan melakukan penguatan komitmen dari seluruh peserta yang dilakukan di Pantai Asam Satu. Sebelum berangkat ke pantai, seluruh peserta diminta untuk menuliskan harapan dan komitmen berkaitan dengan komunitas mereka masing-masing. Setelah sampai di pantai, peserta yang mendapatkan giliran untuk membacakan harapan dan komitmen dikelilingi oleh peserta lain dengan memegang pundak atau kepala peserta sembari membacakan tulisan yang telah disiapkan sebelumnya. Setelah selesai membacakan komitmen serta harapan, peserta diminta untuk berlari ke arah pantai dan melompat ke dalam air sebagai simbol penguatan komitmen yang sebelumnya sudah mereka buat.

Setelah Pelatihan Kepemimpinan 1 selesai diselenggarakan, diharapkan seluruh peserta yang juga tergabung ke dalam inisiatif Kampung Katong ini mendapatkan pembelajaran terkait pengenalan diri dan kepemimpinan pribadi yang nantinya akan sangat dibutuhkan untuk menjaga semangat kerja kolektif yang tengah diusahakan oleh ketiga komunitas. Sampai bertemu di Pelatihan Kepemimpinan selanjutnya!

Penulis: Dinah Ridadiyanah

Editor: Supriadi

Kampung Katong dan Semangat Dekolonisasi Tiga Komunitas Di Nusa Tenggara Timur

Seiring dengan menguatnya tantangan sosial dan lingkungan yang muncul beberapa dekade terakhir di Indonesia, makin menguat pula pertumbuhan gerakan sosial berbasis masyarakat yang hadir untuk merespons tantangan-tantangan tersebut. Dengan mengedepankan semangat dekolonisasi, baik disadari maupun tidak, gerakan-gerakan ini utamanya hadir dengan tujuan mereposisi pengetahuan lokal sebagai pusat dari identitas generasi muda dan komunitasnya—sebagai reaksi atas konteks dan permasalahan yang dihadapi di wilayahnya masing-masing.

Gerakan sosial itu sendiri umumnya aktif bergerak dalam skala kecil (level komunitas) yang diantaranya bertujuan untuk mereproduksi pengetahuan kritis dan kontekstual, berbasis sukarela dan dipimpin oleh anak muda setempat, serta memanfaatkan media kreatif untuk menarik partisipasi lebih luas dari anggota masyarakat di sekitarnya. Namun agenda untuk memperluas dampak gerakan sosial tersebut, dalam praktiknya, seringkali terbentur oleh keterbatasan sumber daya dan kemampuan manajerial yang mereka miliki.

Inisiatif Kampung Katong

Penguatan gerakan secara sosial-organisasional oleh karenanya menjadi penting mengingat tren global yang memobilisasi sumber daya langsung ke dalam komunitas berpotensi mengancam keguyuban di dalam komunitas itu sendiri. Merefleksikan hal tersebut di atas, di samping pengalaman melakukan kerja kolaborasi bersama komunitas adat dalam inisiatif Being and Becoming Indigenous di tahun 2020-2021 lalu; RMI bersama dengan Lakoat Kujawas, SimpaSio Institute, dan Kolektif Videoge bekerja sama dalam satu konsorsium untuk mengimplementasikan inisiatif Kampung Katong.

Nama Kampung Katong,  secara harfiah berarti Kampung Kami, berasal dari dialek Nusa Tenggara Timur yaitu “kami pung manekat, papada, kampong tangayang berarti semangat kerja bersama untuk membangun kampung. Dengan dekolonisasi sebagai semangat utama, inisiatif ini berupaya mendukung gagasan berbasis komunitas yang berfokus pada orang muda guna memperkuat identitas dan mengelola potensi lokal mereka secara kolektif. Kampung Katong dalam pelaksanaannya juga berusaha memperkokoh kapasitas kepemimpinan orang muda yang akan berimplikasi positif pada kegiatan-kegiatan lokal yang bersifat komunal, dengan mengedepankan partisipasi bermakna dari para pemegang hak (rightsholder) yaitu Masyarakat Adat Mollo; Suku Bugis, Bima, dan Bajo; serta etnis Melayu-Larantuka sehingga mereka dapat mendapatkan dukungan dari berbagai pihak.

RMI berkolaborasi dengan tiga komunitas lokal di Nusa Tenggara Timur yaitu Kolektif Videoge di Labuan Bajo, Lakoat.Kujawas di Mollo, dan Simpasio Institute di Larantuka; inisiatif ini diproyeksikan sebagai studi kasus bagaimana revitalisasi tradisi, perlindungan ekologi, serta pengelolaan sumber daya yang menopang penghidupan berkelanjutan sejatinya dapat berjalan beriringan.  Selain itu hadirnya ruang belajar bersama dan solidaritas antarkomunitas difasilitasi melalui rangkaian kegiatan seperti residensi lintas pembelajaran serta pengarsipan dan pendokumentasian tradisi lokal.

Kick-off Meeting untuk saling mengenal dan meningkatkan kapasitas kolaborator

Pada 19-24 November 2021, inisiatif Kampung Katong mengadakan pertemuan pertama kalinya secara luring di Bogor, Jawa Barat. Ini adalah kegiatan paling pertama yang menandakan dimulainya inisiatif Kampung Katong, sekaligus peluang untuk mensosialisasikan informasi dan menetapkan kesepakatan bersama yang berlaku selama berlangsungnya inisiatif. Pertemuan awal ini juga menjadi sarana untuk mendiskusikan strategi-strategi yang berkontribusi terhadap pencapaian tujuan inisiatif seperti mendorong partisipasi bermakna perempuan dan anak muda dalam inisiatif lokal dan memetakan potensi lokal.

Perwakilan Kolektif Videoge sedang mepresentasikan hasil analisis SWOT komunitas mereka.

Dengan dua perwakilan dari masing-masing komunitas, pertemuan ini dimulai dengan pekenalan dan saling berbagi pengalaman kerja-kerja di komunitas Kolektif Videoge aktif melakukan kegiatan komunitas di Labuan Bajo dengan telusur (riset) yang dilakukan oleh komunitas, kemudian dilanjutkan dengan rekam (proses produksi) melalui pencatatan dan penciptaan karya, kemudian penyaluran karya. Empat program utamanya adalah Sapa Tetangga Hari Ini, kegiatan berkala untuk mencermati apa yang terjadi di lingkungan sekitar; Buka Layar, penyaluran karya yang dibuat oleh pemuda untuk membaca respon masyarakat dengan film; Pesiar: Satu Hari Untuk Pulau yaitu kegiatan pelesir untuk merespon pemahaman masyarakat sekitar terkait dengan pengetahuan lokal; dan yang terakhir adalah Maigezine wadah untuk menyalurkan karya-karya yang dibuat oleh komunitas.

Kemudian Simpasio Institute yang merupakan lembaga arsip yang embrionya sudah ada sejak tahun 1986 dan telah menjadi lembaga untuk umum pada tahun 2016. Lembaga ini memiliki tujuan untuk mengarsipkan pengetahuan lokal Melayu-Larantuka di wilayah Flores Timur. Beberapa kegiatan Simpasio diantaranya program perpustakaan (taman baca) berupa lapak baca dengan mekanisme plesiran dari kampung ke kampung; dongeng lokal menggunakan dua bahasa; pesta anak untuk merayakan hari anak nasional, untuk memperkenalkan permainan-permainan tradisional; lingkar belajar, mengenai sejarah Larantuka; Muko Sorghum Kitchen, yang menjadi sumber pemasukan bagi komunitas; dan jejak musik di Larantuka sebagai upaya kaum muda untuk mempelajari genre musik Keroncong Melayu Larantuka.

Perwakilan Simpasio Institute sedang mepresentasikan hasil analisis SWOT komunitas mereka.

Sedangkan untuk Lakoat.Kujawas, dijelaskan bahwa nama komunitasnya merupakan nama yang identik dengan anak-anak, karena kebanyakan anak-anak yang sering memanjat pohon Lakoat dan Kujawas. Program utama Lakoat.Kujawas diantaranya adalah Skol Tamolok yaitu sekolah budaya yang dilakukan secara online dan juga offline untuk membahas keterkaitan Masyarakat Adat  dengan alam; Mnahat Fe’u atau kelas menulis kreatif yang dibuat untuk membimbing anak tingkat SMP/sederajat dan SMA/sederajat untuk menggali dongen-dongen yang biasa diceritakan, kemudian cerita tersebut dibukukan; serta kelas menenun yang dibuat untuk anak muda yang memiliki ketertarikan belajar menenun kepada orang tua Mollo secara langsung.

Perwakilan Lakoat.Kujawas sedang mepresentasikan hasil analisis SWOT komunitas mereka.

Enam hari pelaksanaan kegiatan kick off meeting ini pada dasarnya diarahkan sebagai satu proses dua arah. Tidak hanya berupaya mengenalkan organisasi anggota konsorsium dengan inisiatif Kampung Katong beserta persoalan teknis-administrasinya, Kick off meeting ini juga menjadi media RMI dan tiga anggota konsorsium lainnya untuk saling memetakan kondisi saat ini dan asesmen kebutuhan peningkatan kapasitas ke depan. Berkaca dari proses diskusi dan asesmen awal ketika merancang inisiatif Kampung Katong, perencanaan strategis program dan manajemen keuangan merupakan dua hal yang menurut anggota konsorsium paling mereka butuhkan. Oleh karena itu, masing-masing dua sesi perencanaan strategis program dan manajemen keuangan yang menyeimbangkan antara pengetahuan konseptual dan praktik juga dilaksanakan pada saat kick off meeting berlangsung. Bersama dengan diskusi terkait kampanye sosial media, sesi-sesi yang diberikan diharapkan dapat meningkatkan keterampilan komunitas selain juga tentunya berkontribusi pada peningkatan efektivitas dan transparansi pelaksanaan inisiatif Kampung Katong.

Inisiatif Kampung Katong merupakan serangkaian program jangka panjang yang diimplementasikan sejak November 2021 hingga Desember 2023 dengan dukungan dari Voice Global. Fokus mendorong pengembangan inisiatif lokal dan praktik-praktik baik dekolonisasi di akar rumput; serangkaian kegiatan seperti reproduksi pengetahuan lokal, pengarsipan dan pendokumentasian, residensi saling-belajar, serta pelatihan kepemimpinan akan diorganisasi oleh RMI bersama Lakoat Kujawas, SimpaSio, dan Videoge dengan menyasar anak muda dan perempuan di komunitasnya masing-masing.

Penulis: Siti Marfu’ah

Editor: Supriadi