Sepuluh Tahun Jokowi Ingkar Janji kepada Masyarakat Adat

Siaran Pers Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat

Sumber foto oleh: RMI (Foto hanya ilustrasi)

Jakarta, 16 Agustus 2024 – Selama sepuluh tahun Jokowi memerintah republik ini, Masyarakat Adat merasa tertipu dengan janji-janji yang pernah Jokowi sampaikan dan komitmennya di awal pemerintahan Jokowi yang tercantum dalam Nawacita. Demikian disampaikan oleh Abdon Nababandari Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat merespon pidato Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam Penyampaian Laporan Kinerja Lembaga-Lembaga Negara dan Pidato Kenegaraan dalam rangka Hari Ulang Tahun (HUT) ke-79 Kemerdekaan RI.


“Tidak ada satu pun frasa “Masyarakat Adat” dalam pidato itu. Pidato itu hanya berisi klaim-klaim angka keberhasilan pembangunan jalan, pelabuhan, bandara, bendungan dan jaringan irigasi. Jokowi juga mengklaim keberhasilan pembangunan smelter dan industri pengolahan untuk nikel, bauksit, dan tembaga,” tambah Abdon Nababan.


“Perjumpaan AMAN dengan calon Presiden Jokowi di tahun 2014 menorehkan 6 janji Nawacita Jokowi-JK untuk Masyarakat Adat. AMAN dan jaringan pendukung bekerja secara sukarela menggalang suara. Paling sedikit 12 juta suara kami sumbangkan untuk kemenangan Jokowi-JK. Setelah kemenangan, saya mewakili AMAN menerima obor relawan dari Surya Paloh dalam satu upacara di Kemayoran,” kata Abdon Nababan.

Sumber foto oleh: RMI (Foto hanya ilustrasi)


“Dalam sepuluh tahun terakhir, politik hukum Masyarakat Adat semakin memburuk. Penetapan Perppu Ciptaker menjadi UU Cipta Kerja, KUHP, revisi UU IKN, UU KSDAHE, dan  berbagai peraturan perundang-undangan di bidang agraria dan sumber daya alam mengandung unsur-unsur “penyangkalan” yang kuat terhadap eksistensi Masyarakat Adat beserta hak-hak tradisionalnya. Political will pemerintahan sangat rendah. Negara masih terus menerus mengedepankan skenario hukum dengan latar kekuasaan yang berwatak merampas dan menindas yang tercermin dari skenario pengakuan hukum yang rumit, bertingkat-tingkat, sektoral, memisahkan proses pengakuan hak atas wilayah adat dari pengakuan Masyarakat Adat, bahkan mengecualikan wilayah-wilayah adat yang berkonflik dari pengakuan Masyarakat  Adat,” papar Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).

Sumber foto oleh: RMI (Foto hanya ilustrasi)


Sayangnya lagi, seluruh klaim keberhasilan di dalam pidato tersebut dibangun di atas perampasan dan penggusuran wilayah masyarakat adat. “Data AMAN hingga Mei 2024 menunjukkan bahwa sepanjang rezim pemerintahan Jokowi berkuasa, telah terjadi perampasan wilayah adat seluas 11,07 juta hektar, 687 konflik Masyarakat Adat yang mengakibatkan 925 orang dikriminalisasi, serta puluhan diantaranya mengalami luka-luka dan satu orang meninggal dunia,” kata Syamsul Alam Agus, Ketua Badan Pelaksana Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN).


“Selain itu, pengakuan wilayah adat baru mencapai 16% dari 30,1 juta hektar peta wilayah adat yang teregistrasi di Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA). Sedangkan pengakuan hutan adat baru mencapai 8% dari 3,4 juta hektar potensi hutan adat dari wilayah adat yang telah ditetapkan pengakuannya oleh Pemerintah Daerah,” tambah Kasmita Widodo, Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA).


Hingga penghujung kepemimpinannya, belum ada legacy baik yang ditinggalkan Jokowi bagi Masyarakat Adat. Padahal, 10 tahun lalu, demi meraup suara Masyarakat Adat, Jokowi berjanji akan mendukung Masyarakat Adat.


“Janji tinggal janji. Janji Nawacita hanya tipuan. Jokowi 10 tahun berkuasa tak satu pun janjinya dipenuhi. Jangankan berterimakasih dan minta maaf bahkan satu kata Masyarakat Adat pun tidak disebutkan di Pidato Kenegaraan terakhirnya pagi tadi,” pungkas Abdon Nababan. [ ]


oooOOOooo
Kontak media:
A.P. Prayoga, Tim Kampanye Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, HP. 0857 2034 6154

Sekelumit Cerita dari Teh Jarsih bersama Kelompok Lodong dalam Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat di Kasepuhan Cibarani

Pada hari Sabtu tanggal 18 November 2023 RMI memulai perjalanannya untuk mengadakan agenda monitoring evaluasi program Estungkara selama satu tahun terakhir ini. Tempat pertama yang kami kunjungi adalah Kasepuhan Cibarani yang berlokasi di Desa Cibarani, Kecamatan Cirinten, Kabupaten Lebak, Banten. Salah satu teman kami di sana adalah teh Jarsih. Ia tergabung dalam kelompok Lodong Cibarani yaitu suatu kelompok usaha yang mengembangkan serta menjual produksi air nira yang telah diproses menjadi hasil produksi Gula Semut. Selain tergabung di kelompok Lodong, teh Jarsih juga turut membidani berdirinya kelompok kue ibu-ibu yang saat ini baru berjalan sekitar dua bulan.

Kasepuhan Cibarani memiliki banyak potensi alam yang dapat dimanfaatkan baik untuk sumber pangan maupun wisata. Disamping padi, hasil kebun pun juga cukup melimpah seperti durian, petai dan jengkol serta banyaknya warga yang memiliki pekerjaan sampingan menjadi penyadap nira yang kemudian membuat Kasepuhan Cibarani mulai terkenal akan produk gula cetaknya yang asli dan terjangkau. Sementara, untuk wisata alam terdapat banyak gua maka di Desa Cibarani dijuluki Desa 1000 gua.

Awal mula berdirinya kelompok Lodong Cibarani berawal dari ide bahwa hasil air nira yang seperti biasanya disadap dan diolah secara sederhana menjadi gula kemudian mulai dikembangkan menjadi produk gula semut. Akan tetapi, volume produksinya belum bisa dikatakan banyak karena masih belum ada tenaga yang cukup banyak untuk bisa melakukan skala produksi besar. Kemudian perubahan mulai dirasakan semenjak RMI masuk ke Cibarani. Tim CO (Community Organizer) RMI yang bertugas di lapangan ternyata melihat potensi yang ada, salah satunya adalah aktivitas masyarakat yang memproduksi gula aren. Dari situ, RMI menginisiasi berdirinya kelompok Lodong dan disambut antusias oleh masyarakat Cibarani.

Untuk meningkatkan kemampuan manajerial produksi dan pemasarannya anggotanya, RMI lalu mengadakan pelatihan. Dalam kegiatan pelatihan tersebut, masyarakat mendapat materi seperti cara pembukuan sederhana, mengatur anggota, melakukan presentasi, dan belajar tentang pengemasan untuk hasil produksi gula semut. Dari hasil-hasil pelatihan inilah akhirnya terbentuk suatu kelompok masyarakat yang memiliki fokus untuk membuat hasil produksi gula semut dan memutuskan menggunakan nama “Lodong Cibarani” sebagai nama komunitas mereka.  

Lodong Cibarani memiliki arti tersendiri yaitu nama “Lodong” merupakan nama tempat yang dipakai untuk menampung air nira yang digunakan oleh para petani penyadap dan juga Lodong melambangkan suatu ‘tempat’ dimana komunitas ini merupakan sebuah wadah/tempat bagi mereka sebagai anggota. Sedangkan “Cibarani” merupakan nama kasepuhan mereka. Komunitas Lodong Cibarani ini baru berjalan sekitar dua tahun yaitu dimulai dari tahun 2021 hingga sekarang. 

Sejauh ini menurut pengakuan salah satu anggotanya, yaitu Teh Jarsih, mengatakan bahwa capaian manfaat terutama dalam bidang kesejahteraan sejak berdirinya Komunitas Lodong Cibarani ini jika dilihat secara ekonomi adalah perbandingan harga gula cetak dan gula semut cukup jauh dan dalam hal ini keuntungan yang dapat diperoleh dari hasil produksi gula semut jauh lebih tinggi dibandingkan gula cetak. Ditambah pula dengan ketahanan dari gula semut yang lebih lama daripada gula cetak. Gula semut bisa bertahan hingga jangka satu tahun jika disimpan di wadah tertutup namun untuk gula cetak hanya bertahan selama tiga sampai tujuh hari saja walaupun disimpan di wadah tertutup.

Disamping itu, dalam perjalanannya memang produksi gula semut masih memiliki banyak kendala untuk bisa menjadi stabil dan berkelanjutan dalam menghasilkan serta memasarkan produknya. Beberapa kendala yang sering muncul adalah terkait sistem yang ada di kelompok belum begitu terbentuk dan masih sangat sederhana sekali hanya terkait jual dan bagi hasil serta uang simpan tabungan kelompok. Selain itu kendala lainnya adalah tentang pemasaran yang masih kurang efektif. Hal ini dikarenakan skala untuk pemasaran masih sebatas di Cibarani dan wilayah sekitarnya saja, memang ada beberapa yang pernah meminta dari luar dengan jumlah yang banyak tetapi kelompok Lodong Cibarani sayangnya tidak bisa memenuhi permintaan tersebut karena permintaannya terlalu besar dan mereka hanya bisa memproduksinya sedikit. Kendala lainnya yang menghambat produksi dalam jumlah besar adalah produksi masih dilakukan secara manual. Agar dapat menghasilkan volume produksi dalam jumlah besar dapat terpenuhi maka dibutuhkan mesin pemasak atau kristalisator gula semut sehingga dapat memenuhi permintaan dalam partai besar. 

Seperti yang dikatakan teh Jarsih, “harapannya sih ingin banget untuk bisa membangun sistem tapi yang saling menguntungkan, jadi ga cuman bikin terus jual tapi bisa pengelolaannya teratur dan terus-menerus. Soalnya saat ini kan aku memang sudah belajar sedikit tentang pembukuan, akan tetapi masih sederhana banget, hanya mencatat terkait barang yang masuk dan barang yang dibeli.”

Selain itu, kendala dalam hal pengemasan juga terjadi, hal ini dikarenakan pengemasan untuk gula semut masih hanya menggunakan plastik zipper dan ditempelkan stiker. Hal ini rawan karena bisa saja stikernya dicabut dan diklaim ulang oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Selain itu, Lodong Cibarani juga belum berani untuk menjual produknya ke pasar yang lebih luas seperti di marketplace online karena belum mengurus persyaratan izin edar pangan ke pihak BPOM. Keterbatasan akan pengetahuan tentang birokrasi mengurus kelengkapan serta akses yang sulit menjadi penghalang besar bagi komunitas Lodong Cibarani.

Terlepas dari kendala yang ada, dengan menengok perjalanan selama satu tahun belakangan ini, harapan dari teh Jarsih tersendiri adalah agar mereka bisa lebih berdaya lagi dari segi sumber daya alam dan manusianya, terutama kaum ibu-ibu disini bisa memiliki kegiatan yang produktif, bermanfaat, serta menghasilkan. Harapan lainnya adalah agar perempuan-perempuan di Cibarani memiliki ruang untuk bisa lebih berdaya lagi, dan ruang untuk bisa mengekspresikan dan menyalurkan bakat maupun hobi. Tidak lupa pula teh Jarsih berharap dengan adanya keterlibatan perempuan di setiap kegiatan maupun forum masyarakat tentunya dapat meningkatkan partisipasi perempuan di kasepuhan. Karena selama ini perempuan di Cibarani hanya memegang urusan dapur saja di setiap kegiatan maka untuk itulah penting sekali perannya untuk terlibat aktif di setiap agenda kasepuhan seperti menjadi bagian pengambil keputusan dan berbicara di depan forum. Teh Jarsih juga berharap agar kemitraan yang dilakukan oleh RMI bersama masyarakat bisa berjalan lancar sampai masyarakat di Kasepuhan Cibarani bisa mandiri dan terbuka akan ide-ide maupun masukan-masukan positif.

Penulis: Amara Elvita

Editor: Renal Rinoza

Jalan Panjang Perjuangan Atas Hak Pengakuan Hutan Adat Kasepuhan Cibedug 

Pembuka 

Jalan panjang masyarakat Kasepuhan Cibedug dalam memperjuangkan hak pengakuan hutan adat mereka sudah berlangsung selama 22 tahun lamanya. Perjuangan itu dimulai sejak tahun 2000 dan semakin meningkat pasca perluasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) di tahun 2003. Ancaman pengusiran oleh pihak Taman Nasional dan ketidaknyamanan atau ketakutan mengelola sumberdaya hutan di wilayahnya, serta tudingan bahwa masyarakat Cibedug tak berhak di wilayah yang mereka tempati dan tak mampu mengelola kawasan konservasi adalah latar belakang dari semakin menguatnya upaya perjuangan masyarakat kasepuhan dalam mempertahankan ruang hidup dan hutan mereka.  

Pengukuhan Taman Nasional dan Ancaman Pemindahan 

Jauh sebelumnya, ancaman terhadap ruang hidup masyarakat kasepuhan termasuk di dalamnya seluruh perkampungan dan lahan garapan (sawah, huma, dan kebun) diklaim oleh pemerintah, dalam hal ini Departemen Kehutanan yang mengeluarkan kebijakan dengan memberikan kepercayaan Perum Perhutani Unit III Jawa Barat-Banten mengelola kawasan hutan produksi. Padahal masyarakat Cibedug sudah turun-temurun bermukim dan memanfaatkan lahan di situ. Namun, pihak Perhutani tak memperdulikan keberadaan masyarakat adat di Cibedug yang memiliki riwayat atas lahan dan hutan mereka. Bahkan, Perhutani menerapkan pajak inkonvensional sebesar 25% dari hasil panen masyarakat setiap tahun. Apa yang dilakukan Perhutani tentunya ini mirip seperti praktik yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda dahulu.  

Di tahun 1992, kebijakan terhadap peruntukan lahan di wilayah adat masyarakat kasepuhan mengalami perubahan dari semula hutan produksi menjadi kawasan konservasi. Dengan demikian, terjadi pemindahtanganan hak kelola dari Perhutani ke Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH). Praktis, wewengkon Cibedug termasuk salah satu wilayah yang beralih fungsi menjadi kawasan taman nasional. Penetapan kawasan taman nasional yang dilakukan pemerintah sudah barang tentu tanpa mengindahkan lahan yang selama ini dijadikan perkampungan dan lahan garapan masyarakat. Kebijakan ini dengan sendirinya berdampak pada mata pencaharian dan sumber-sumber ekonomi masyarakat. Ancaman yang paling mengkhawatirkan masyarakat Halimun secara keseluruhan, termasuk di Cibedug, muncul pada tahun 2003. Pasca ditetapkannya keputusan Menteri Kehutanan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan (SK Menhut) No.175/kpts-II/2003 tentang penunjukkan perluasan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak dari 40.000 hektar menjadi 113.357 hektar.  

Keputusan penetapan ini membuat masyarakat gusar dan pada saat itu berkembang wacana tentang program Pemerintah untuk memindahkan masyarakat di dalam kawasan taman nasional ke tempat yang belum jelas. Tentunya ini membuat status keberadaan masyarakat Cibedug di wilayahnya sendiri dalam posisi terancam dan mereka bereaksi keras dengan mengeluarkan pernyataan sikap teu nanaon kami ieu dipindahkeun tapi kudu dibawa oge sagala titipan anu dititipkeun ti karuhun kami (tidak apa-apa kami dipindahkan asal harus dibawa juga segala titipan yang telah dititipkan leluhur kami) termasuk di dalamnya keberadaan situs yang penting dan tak terpisahkan dari adat masyarakat kasepuhan Cibedug. Karena, bagaimanapun, hutan dan situs adalah titipan yang dirawat oleh leluhur mereka. Lalu pertanyaan akankah musnah begitu saja?  

Hutan dan Situs Cibedug adalah Bagian dari Wewengkon Adat 

Keberadaan hutan dan situs Cibedug adalah bagian tak terpisahkan dari wewengkon masyarakat kasepuhan Cibedug. Wewengkon merupakan ruang hidup dan ruang kelola masyarakat adat kasepuhan di mana wilayah tersebut sebagai titipan leluhur atau sering disebut ‘titipan karuhun/kolot baheula’. Oleh karena itu, sebagai sebuah titipan maka keberadaan wewengkon sangat penting untuk dijaga dan dipertanggungjawabkan kepada leluhur dan anak cucu mereka. Salah satu ‘simbol titipan’ yang identik dengan kehidupan religi dan budaya masyarakat kasepuhan Cibedug adalah Situs Cibedug. Masyarakat adat Kasepuhan Cibedug mempercayai bahwa mereka diberi amanah untuk menjaga situs keramat ini. Keberadaan situs ini menjadi pusat orientasi spasial masyarakat kasepuhan. Pada tahun 1942 masyarakat adat Kasepuhan Cibedug memulai menjalankan amanah tersebut dengan berpindah dan menetap di kawasan tempat Situs Cibedug dan membuka kampung di sekitarnya. Mereka membuka sebuah kampung yang lokasinya tidak jauh dari tempat situs. Kampung yang mereka buka adalah Kampung Lebak Cibedug yang kemudian berkembang pendirian kampung berikutnya yaitu Kampung Cibeledug, Kampung Lebak Kalahang, Kampung Cinakem dan Kampung Ciara.  

Dengan demikian, keberadaan situs adalah denyut nadi bagi seluruh aktivitas kehidupan masyarakat kasepuhan sehingga keberadaannya menjadi penting dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Ketika Taman Nasional berusaha untuk merelokasi warga dari situs dan hutannya maka hal tersebut tidak bisa terealisasi karena hubungan antara situs dan masyarakat adalah suatu kesatuan yang tidak bisa terpisahkan. Ada sebuah aturan adat masyarakat kasepuhan yang mengungkapkan bahwa jika masyarakat dipindahkan maka situs tersebut juga harus ikut dipindahkan. Masyarakat adat Kasepuhan Cibedug mengistilahkannya ‘dipikihkeun’. Hal tersebut tentunya tidak bisa dilakukan karena dengan demikian mereka harus melepaskan tanggungjawab karuhun mereka untuk menjaga situs tersebut. Tentunya, tindakan tersebut tidak bisa dilakukan mengingat masyarakat adat kasepuhan taat kepada ajaran adat yang mereka percayai bahwa menjaga situs adalah amanah dari leluhur mereka. 

Sementara, keberadaan hutan dan pemanfaatan lahan-lahan lainnya juga merupakan amanah dari leluhur dan sebagai satu kesatuan ruang hidup mereka. Wewengkon adat Kasepuhan Cibedug sebenarnya merupakan ekosistem tani-hutan dimana masyarakat adat kasepuhan membagi peruntukan masing-masing ruang sesuai fungsinya. Fungsi-fungsi tersebut kemudian dikembangkan sesuai kebutuhan mereka dan untuk keberlanjutan mereka hidup sampai anak cucu mereka mendatang. Dalam ajaran adat masyarakat Kasepuhan Cibedug dikenal istilah ‘gunung teu meunang di lebur leuweung teu meunang diruksak’ (gunung tidak boleh dihancurkan dan hutan tidak boleh dirusak) adalah ajaran yang menyiratkan sistem pengelolaan sumberdaya alam berasaskan kearifan yang mengandung arti bahwa manusia adalah bagian dari sistem alam. Jika sumberdaya alam terganggu maka kehidupan manusia juga terganggu. Konsekuensi logis dari pengelolaan alam yang tidak bijak akan menyebabkan kehidupan masyarakat yang tidak baik. Dalam kehidupan masyarakat adat Kasepuhan Cibedug maka itu bermakna bagi kehidupan dan keberlangsungan hidup warga kasepuhan. Selain itu, keberadaan hutan bagi masyarakat Kasepuhan Cibedug penting artinya sebagai sumber utama kehidupan. Karena dari hutan lah sumber mata air itu berasal dan fungsinya untuk menyangga kehidupan.  

Upaya-upaya Mempertahankan Wewengkon Adat  

Dengan bukti-bukti historis berupa keberadaan Situs Cibedug, hutan, perkampungan, sawah, huma dan kebun sudah cukup bagi masyarakat Kasepuhan Cibedug diakui eksistensi mereka sebagai masyarakat adat dalam pengelolaan sumberdaya hutan dan konservasi. Disamping itu, pengakuan eksistensi mereka sebagai masyarakat adat juga diakui oleh masyarakat kasepuhan lain seperti Kasepuhan Citorek yang letaknya bersebelahan dan masyarakat Baduy. Atas dasar bukti-bukti tersebut, masyarakat adat kasepuhan Cibedug melakukan berbagai upaya agar keberadaan mereka tetap diakui dan tidak diusir dari ruang hidup mereka yang telah diklaim sebagai wilayah taman nasional. Salah satu upaya yang dilakukan adalah memulai dengan melakukan pemetaan wilayah mereka di akhir 2003. Masyarakat memetakan lahan pemukiman dan garapan mereka hingga keseluruhan wilayah wewengkon adat mereka termasuk hutan dan Situs Cibedug. Hasil dari pementaan ini kemudian disosialisasikan dan tiap-tiap warga di lima kampung diberi pemahaman tentang wilayah wewengkon adat mereka dan kenapa harus dipertahankan bahkan eksistensinya perlu untuk diakui negara.  

Upaya masyarakat Cibedug dalam mempertahankan wewengkon adat mereka melalui pemetaan kemudian mendapat perhatian yang sangat besar dari rekan-rekan aktivis yang turut memfasilitasi penyusunan rencana tata ruang wewengkon adat Kasepuhan Cibedug. Dalam penyusunan tata ruang wewengkon inilah mereka menginformasikan mengenai konsep dan pemahaman dalam mengelola ruang hidup mereka. Dari hasil penyusunan ini kemudian melahirkan dokumentasi sejarah masyarakat Kasepuhan Cibedug yang mencakup wewengkon adatnya, aturan adat yang mereka jalani dan taati, kelembagaan adat, data bio-fisik serta sosial dan ekonomi mereka. Dengan dokumentasi ini telah menunjukkan bahwa secara de facto eksistensi masyarakat adat Kasepuhan Cibedug memang ada dan tak terbantahkan. Tahapan selanjutnya setelah proses penyusunan dokumentasi tersebut, mereka lalu memperoleh tambahan informasi dan pengetahuan mengenai posisi mereka sebagai masyarakat adat di tingkat kabupaten dan nasional dalam beberapa pertemuan. Diantaranya mereka terlibat di setiap kegiatan pelatihan hukum kritis dan riungan-riungan di tingkatan warga yang mengundang atau melibatkan pihak lain. Sampai akhirnya, pada tahun 2005 masyarakat Kasepuhan Cibedug sepakat memilih memperjuangkan terwujudnya peraturan daerah di wilayahnya, di Kabupaten Lebak, sebagai solusi atas permasalahan yang mereka hadapi. 

Sebelum itu, di tahun 2004 masyarakat Kasepuhan Cibedug sudah menjajaki dan bekerjasama dengan organisasi non-pemerintah seperti HuMA, WG Tenure, dan kalangan akademisi dari IPB. Dialog-dialog dilakukan dengan parapihak yang bertujuan untuk melihat sejauh mana mengukur kekuatan masyarakat. Bersama RMI yang sudah melakukan pendampingan di masyarakat Kasepuhan Cibedug, dialog-dialog yang melibatkan parapihak ditujukan untuk menemukan rute negosiasi dan bertahan hingga 2006. Dialog ini juga turut menyertakan pihak Taman Nasional agar mereka mendapat informasi tentang posisi masyarakat adat Kasepuhan Cibedug di dalam konteks wilayah wewengkon adat mereka. Selain itu, dialog-dialog juga diintensifkan dengan melibatkan masyarakat adat kasepuhan lain yang berbatasan dengan wewengkon adatnya. Dialog ini kemudian menghasilkan persetujuan atau kesepakatan batas wilayah wewengkon adat dengan perangkat adat Kasepuhan Citorek dan Baduy. Hal ini dilakukan untuk menegaskan keberadaan masyarakat adat Kasepuhan Cibedug.  

Menariknya, dalam memperjuangkan tujuannya masyarakat adat Kasepuhan Cibedug tidak memandatkan dan bergantung pada lembaga pendamping mereka. Justru mereka sendiri yang berperan aktif dan sadar bahwa di tangan mereka sendirilah perjuangan ini bisa dilakukan. Ditengah-tengah ketidakpastian status hak penguasaan dan pengelolaan hutan adat mereka, masyarakat adat Kasepuhan Cibedug tetap menjaga hutan tempat mereka tinggal. Di lain pihak, ada kemauan politik dari pemerintah daerah untuk merespon persoalan yang terjadi di masyarakatnya. Pemerintah daerah kemudian menggagas peraturan daerah tentang pengakuan masyarakat adat kasepuhan di wilayah Kabupaten Lebak. Tentunya momentum ini tak dilewatkan begitu saja oleh masyarakat adat Kasepuhan Cibedug dan ini menjadi peluang untuk mencapai terwujudnya legalitas dan hak-hak masyarakat kasepuhan. Bersama dengan parapihak sebagai pendamping dan kontributor, negosiasi yang dilakukan kemudian menghasilkan kebutuhan akan produk hukum daerah berupa peraturan daerah terkait dengan pengakuan dan pengelolaan oleh masyarakat adat yang berada di TNGHS, dan terpetakannya pihak-pihak yang akan mengawal penyusunan peraturan daerah ini.  

Usaha-usaha masyarakat adat Kasepuhan Cibedug dalam memperjuangkan hak pengakuan masyarakat hukum adat dan hutan adat mereka dapat dikatakan lebih dari cukup. Mereka berhasil memenuhi syarat-syarat legal sebagai upaya mendapat pengakuan. Bukti-bukti ini tampak pada hasil berupa peta partisipatif dan beberapa catatan proses negosiasi dengan beberapa pihak. Bukti lainnya di lapangan menunjukkan usaha sungguh-sungguh masyarakat kasepuhan menjaga wewengkon menurut fungsinya dan menjalankan aturannya. Tentunya, usaha-usaha mereka memperjuangkan hak atas pengakuan dan hutan adat mereka perlu terus diupayakan untuk menggalang dukungan lebih luas lagi dan lebih kuat lagi agar mendorong segera terwujudnya pengukuhan keberadaan masyarakat adat Kasepuhan Cibedug sebagai masyarakat hukum adat.  

Penutup 

Akhirnya, setelah sekian lama menunggu 22 tahun berjuang mendapatkan hak atas pengakuan, masyarakat adat Kasepuhan Cibedug mendapatkan Penetapan SK Hutan Adat Kasepuhan Cibedug dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang bertindak sebagai pelaksana penyerahan Surat Keputusan Perhutanan Sosial dan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) secara faktual dan virtual. Kegiatan faktualnya berlangsung di Kalimantan Timur yang dihadiri oleh Presiden Republik Indonesia. Sementara kegiatan virtualnya dilaksanakan di beberapa provinsi termasuk Provinsi Banten. Kegiatan Penyerahan SK ini secara resmi telah dilakukan di Pendopo Gubernur Banten, KP3B Curug, Kota Serang pada tanggal 22 Februari 2023. Dari Kasepuhan Cibedug hadir 10 perwakilan, 8 orang laki-laki dan 2 orang perempuan. Pada waktu yang sama, selain Kasepuhan Cibedug yang menerima penyerahan SK, ada Kasepuhan Cisungsang dan Kasepuhan Cisitu yang juga menerima SK Hutan Adat.  Penyerahan SK ini menjadi titik awal bagi masyarakat Kasepuhan Cibedug untuk mengelola wilayah adat mereka sendiri sesuai dengan aturan-aturan adat yang berlaku di komunitas.  

Atas penetapan SK Hutan Adat ini, masyarakat adat Kasepuhan Cibedug melakukan sosialiasi dan syukuran. Menurut Pak Sarmin selaku tokoh masyarakat menandaskan bahwa SK yang sudah diterima sudah seharusnya dapat dimanfaatkan dengan baik untuk mencukupi kehidupan masyarakat adat. Berdasarkan SK Hutan Adat yang telah diserahkan ini, ditetapkan seluas 1.268 hektar yang dibagi atas fungsi konservasi dan produksi. Disamping itu, SK Hutan Adat ini merupakan hasil perjuangan bersama selama 22 tahun lamanya dan menjadi sejarah baru bagi masyarakat Cibedug untuk memiliki tanggung jawab bersama dalam pengelolaan wilayahnya dengan berdaulat untuk tujuan kesejaheraan lahir-batin bagi masyarakat dan anak cucu mereka di wewengkon Kasepuhan Cibedug.  

Penulis : Renal Rinoza 

Editor : Renal Rinoza 

Referensi 

Andri Santosa, et.al. (2007). Nyanghulu Ka Hukum, Nyanghunjar Ka Nagara – Sebuah Upaya Masyarakat Cibedug Memperoleh Pengakuan. Bogor: RMI-The Indonesian Institute for Forest and Environment. 

Murti Aria (2023). Pertemuan Kampung: Ngaji SK Penetapan Hutan Adat Wewengkon Kasepuhan Cibedug. https://rmibogor.id/2023/04/04/pertemuan-kampung-ngaji-sk-penetapan-hutan-adat-wewengkon-kasepuhan-cibedug/, diakses 5 September 2023 

Fina, Partisipan Perempuan Baru Forum KAWAL

Kasepuhan Bongkok tergabung dalam Forum KAWAL sejak pertemuan di Cangkuem, salah satu perkampungan Baduy, pada Desember 2022. Salah satu partisipan aktif Forum KAWAL[1] dari Kasepuhan Bongkok tersebut adalah perempuan berusia 16 tahun bernama Fina. Setiap harinya ia memiliki kegiatan yang cukup padat. Mulai dari bersekolah, berkegiatan dalam OSIS[2], berkegiatan ekstrakurikuler rohani Islami dan ngobong[3]. Ia berangkat ke sekolah pukul 07.30 dan pulang pukul 17.00 petang. Setelah maghrib, ia ngobong sampai pukul 22.00 malam dan tiba di rumah pukul 22.30 malam. Melakukan banyak hal dalam satu waktu membuat waktunya banyak sekali tersita, belum lagi pekerjaan-pekerjaan domestik yang harus ia kerjakan.

Fina dan Abah Maman sedang mengobrol

Fina merupakan satu dari enam partisipan yang berasal dari Kasepuhan Bongkok yang tergabung dalam komunitas Burakok[4] yang didirikan pada tahun 2022. Forum KAWAL sesi kelima yang diselenggarakan pada tanggal 26-28 Mei 2023 di wilayah adat Kasepuhan Pasir Eurih adalah forum pertama yang diikutinya. Ia menganggap pengalaman ini menarik dan bermanfaat baginya untuk lebih aktif di masyarakat.

“Kayaknya seru. Terus menambah pengalaman juga ke Finanya. Terus, kayaknya, ini yang bikin Fina lebih aktif deh di masyarakat. Jadi Fina lebih tau. Kan Fina gak tahu sama sekali kalau di (Kasepuhan) Bongkok itu ternyata belum merdeka (wilayah adatnya masih belum diserahkan oleh negara) kan, (gak) kayak di Pasir Eurih[5]. Fina cuman tau disini (forum KAWAL) aja. Disana tuh Fina gak pernah diceritain kalau di Bongkok itu belum merdeka.”

Fina sedang mengikuti Ice breaking.

Forum KAWAL seri kelima ini mewadahi peserta untuk menggali dan merefleksikan pengalaman personal; merencakana perencanaan kelompok/komunitas; dan pengenalan dan simulasi pemetaan partisipatif melalui berbagai sesi yang dibagi ke dalam tiga hari. Fina terlibat dan mengikuti setiap sesi dengan antusias. Meskipun interaksinya terbatas pada teman-teman peserta perempuannya lainnya dan beberapa orang yang sudah ia kenali. Meskipun ia masih canggung untuk mengutarakan pendapatnya dalam diskusi besar, ia aktif ketika dalam diskusi kelompok. 

Dalam sesi “Sepanjang Jalan Kenangan” yang bertujuan menceritakan pengalaman personal peserta, Fina dan peserta diajak berefleksi melalui media gambar gelombang naik-turun yang menggambarkan jatuh-bangkit kehidupan, bagaimana cara bangkit dari situasi sulit dan siapa saja yang terlibat dalam prosesnya. Sesi ini membuat Fina lebih bersyukur dengan merefleksikan orang-orang yang yang berjasa dalam hidupnya. Sepanjang hidupnya, ia sempat keluar masuk pesantren karena ditinggalkan teman dekat hingga pindah ke Kampung Bongkok dan mulai beradaptasi dengan lingkungan baru, teman baru dan aktivitas baru.

Hari selanjutnya, dalam sesi perencanaan kelompok/komunitas, Fina beserta anggota Burakok lainnya melihat kembali kelompok dan kampungnya lalu mencoba merencanakan tujuan bersama dalam kurun waktu satu tahun kedepan. Proses ini digambarkan melalui rute jalan perencanaan tujuan kelompok. Nampaknya mereka berencana untuk memajukan salah satu obyek wisata potensial yang ada di Kasepuhan Bongkok. Meskipun begitu mereka sadar bahwa rencana tersebut merupakan rencana jangka panjang yang memerlukan banyak langkah-langkah kolektif untuk mencapainya, termasuk para orang muda di kampunya. Di sisi lain, menyoroti kampungnya, Fina menambahkan bahwa pemuda-pemudi yang telah lulus SMA jarang menetap di Kampung Bongkok: “Disana tuh gak ada pemuda yang udah lulus SMA. Di Bongkok itu, mayoritasnya, kalau udah SMA, dia kerja di luar kota.”

Selanjutnya, dalam sesi pemetaan partisipatif, peserta Forum KAWAL diberikan materi pengantar pemetaan partisipatif oleh Slamet Widodo, Community Organizer RMI yang mengaitkan urgensi pemetaan partisipatif dengan tata laksana pembangunan nasional:

“Selama ini peta menjadi acuan tata ruang dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Tapi sayang, pembangunan yang dilakukan pemerintah lebih berpihak kepada pengusaha dan kurang memperhatikan hak-hak masyarakat setempat sehingga sering terjadi penyerobotan lahan, tumpang tindih kawasan, ketidajelasan tata batas dan sebagainya. Masyarakat yang hidup dan bekerja di wilayah itulah yang memiliki pengetahuan mendalam mengenai wilayahnya. Hanya mereka yang bisa membuat peta secara lengkap dan akurat mengenai sejarah, tata guna lahan, pandangan hidup dan harapan masa depannya.”

Pemetaan partisipatif—yang menjadi salah satu materi yang dirasa paling dibutuhkan oleh peserta Forum KAWAL—menarik perhatian peserta karena dilengkapi dengan pengenalan perangkat pemetaan, tukar cerita pengalaman pemetaan partisipatif oleh Carik Jajuli dari Kasepuhan Pasir Eurih, dan simulasi kelompok untuk melakukan pemetaan partisipatif. Fina yang terlibat langsung dalam sesi ini mengatakan bahwa:

“… KAWAL itu membantu sebagai wadah. Kalau misalkan di wilayah kita mau ada pemetaan, nanti dibantu sama KAWAL. Tadinya Fina gak bisa pake GPS, baru belajar juga kemarin. Terus pokoknya banyak banget (yang didapat) karena Fina baru. Menariknya GPS ini abis belajar langsung dipraktekin.”

Sebagai peserta baru, Fina cukup antusias mengikuti kegiatan Forum KAWAL. Antusiasmenya terlihat dari keinginannya untuk ikut kegiatan Forum KAWAL selanjutnya yang menurutnya adalah kegiatan yang membuatnya berpikir kritis. Selain itu Fina mengaku ingin mengetahui lebih dalam mengenai hutan adat yang masih asing dimatanya.

Fina, dengan kesehariannya menghabiskan waktu sekitar 13 jam di sekolah dan pesantren, memiliki waktu yang lebih minim untuk terlibat dalam proses-proses yang tengah terjadi di kampungnya. Sedangkan sebagai perempuan yang bertempat tinggal dan beraktivitas di wilayah adat Kasepuhan Bongkok, Fina juga memiliki banyak keterbatasan-keterbatasan termasuk dalam Forum KAWAL itu sendiri. Sejauh ini interaksinya terbatas pada peserta perempuan lain dan beberapa yang ia sudah kenal.

Tanpa mengecilkan usaha afirmatif fasilitator di lapangan kepada peserta perempuan dengan sering-sering mengajukan pertanyaan khusus bagi mereka (“ti perempuanna kumaha? Aya nu rek dicaritakeun?”[6]), usaha tersebut belum mampu memantik mayoritas peserta perempuan untuk mengutarakan pendapatnya. Entah karena merasa tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman, entah karena takut salah berpendapat, entah karena tidak berminat atau faktor-faktor lain yang merintanginya; namun yang jelas kehadiran Fina sebagai peserta baru Forum KAWAL merupakan langkah baik yang perlu disyukuri di tengah pusaran lemahnya artikulasi konsep partisipasi orang muda dan perempuan di konteks Kasepuhan.


[1] Konsolidasi dan Advokasi Wilayah Adat Lebak

[2] Organisasi Intra Sekolah

[3] Santri di suatu ‘Kobong’ dalam bahasa Sunda yang artinya ‘pesantren’ dalam bahasa Indonesia.

[4] Budak Ngora Kampung Bongkok (pemuda kampung bongkok)

[5] Salah satu Kasepuhan yang sudah mendapatkan SK Hutan Adat.

[6] Dari perempuannya bagaimana? Ada yang mau diceritakan?


Penulis: Rifky P.K.

Editor: Supriadi

Forum KAWAL Sampaikan Rekomendasi ke Pemerintah Kabupaten Lebak Untuk Mewujudkan Kebijakan Inklusif 

 

Wacana perubahan status Desa menjadi Desa adat kian mengemuka di Kabupaten Lebak. Isu ini telah menjadi agenda Pemerintah Daerah Kabupaten Lebak melalui sejumlah tahapan yang telah dilakukan beberapa bulan terakhir. Desa adat merupakan salah satu instrumen penting dalam kerangka penguatan dan pengakuan Masyarakat Adat di Kabupaten Lebak ditengah mandeknya RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat di DPR RI. Pada tahun 2022 lalu, Pemerintah Provinsi Banten telah mengeluarkan Peraturan Daerah Provinsi Nomor 2 Tahun 2022 tentang Susunan Kelembagaan, Pengisian Jabatan, dan Masa Jabatan Kepala Desa Adat, Perda ini sekaligus menegaskan bahwa jalan menuju Desa Adat di Kabupaten Lebak kian terbuka lebar. Wacana Desa adat sendiri telah lama bergulir sebagaimana disampaikan Jaro Saija-Kepala Desa Kanekes pada acara Dialog Publik Desa Adat bahwa dirinya telah menyampaikan usulan perubahan status Desa menjadi Desa adat sejak 2018 lalu, namun prosesnya hingga saat ini belum juga selesai. Pada kesempatan tersebut pihaknya meminta kepada jajaran pemerintah Daerah Kabupaten Lebak yang disampaikan langsung di hadapan DPRD Kab. Lebak untuk segera dipercepat penetapannya. 

Wacana Desa adat di Kabupaten Lebak telah menjadi perbincangan publik di masyarakat adat kasepuhan juga baduy, terlebih setelah adanya perda provinsi Nomor 2 Tahun 2022 tentang Susunan Kelembagaan, Pengisian Jabatan, dan Masa Jabatan Kepala Desa Adat yang mengisyaratkan akan adanya perubahan signifikan pada nomenkaltur penyelenggaraan pemerintah desa yang mengajukan. Hingga saat ini berdasarkan informasi dari MPMK (Majelis Permusyawarahan Masayarakat Kasepuhan) telah ada 11 (Sebelas) Desa yang mengajukan dan telah dilakukan verifikasi langsung oleh tim Verifikasi penataan desa yang dibentuk oleh Bupati Lebak. Isu perubahan status desa menjadi desa adat diwarnai dengan sejumlah asumsi yang beragam yang selama ini berkembang di masyarakat adat. Berdasarkan temuan RMI-The Indonesian Institute for Forest and Environment dalam proses pendampingan di beberapa kasepuhan juga baduy, asumsi tersebut mulai dari persoalan demokrasi hingga partisipasi masyarakat dalam pembangunan lokal. 

Berdasarkan situasi tersebut RMI-The Indonesian Institute for Forest and Environment bekerjasama dengan Kemitraan Pathnership membuka ruang untuk mempertemukan berbagai elemen masyarakat dengan pemangku kebijakan melalui acara Dialog Publik yang bertajuk Peluang dan tantangan Desa Adat sebagai Penguatan Pengakuan Masyarakat Adat di Kabupaten Lebak yang dilaksanakan selama 1 (satu) hari pada tanggal 14 Maret 2023 bertempat di Ruang Paripurna DPRD Kab. Lebak. Pada kegiatan tersebut RMI mengundang 18 Desa dan perwakilan Lembaga adat pengusul perubahan status Desa menjadi desa adat, beberapa Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Kabupaten Lebak yang terdiri dari; Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa, Dinas Pendidikan, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Badan Kesbangpol dan Majelis Permusyawarahan Masyarakat Kasepuhan (MPMK).  

Pada dialog publik ini turut hadir narasumber dari Direktorat Pengembangan Sosial Budaya dan Lingkungan Desa dan Perdesaan-Kemendes dan MPMK sebagai inisiator wacana Desa adat di Kabupaten Lebak. Acara ini bertujuan untuk mendiskusikan substansi Desa adat di KabupatenLebak beserta peluang dan tantangan yang dihadapinya.  

Dialog Desa adat menjadi peluang penting dalam rangka mewujudkan partisipasi masyarakat dalam mengawal kebijakan pemerintah. Momen ini dimanfaatkan oleh kelompok pemuda dan perempuan adat yang tergabung dalam forum KAWAL untuk berbicara secara langsung menyampaikan sejumlah poin masukan pada raperda Desa adat yang prosesnya kini sedang berjalan. Proses penyampaian tersebut dilakukan oleh 3 (tiga) orang perwakilan pemuda dan perempuan diantaranya Sdr. Iqbal-Kasepuhan Pasir Eurih, Sdr. Sarmani-Kasepuhan Cirompang dan Teh Imas-Kasepuhan Cibarani. Tiga orang ini merupakan perwakilan forum KAWAL yang diberikan amanat untuk menyampaikan rekomendasi berupa sejumlah masukan dalam rangka mendorong kebijakan yang inklusif pada Raperda Desa Adat di Kabupaten Lebak. Setelah dibacakan, selanjutnya rekomendasi tadi diserahkan secara resmi kepada DPRD Kabupaten Lebak yang diwakili oleh Wakil Ketua II Bpk. Junaidi Ibnu Jarta. Adapun isi poin-poin rekomendasi adalah sebagai berikut: 

  1. Musyawarah kampung menjadi syarat mutlak dalam proses pengusulan Desa Adat yang selanjutnya dibawa ke dalam forum musyawarah desa;  
  1. Adanya kajian komprehensif bagi desa-desa yang mengajukan perubahan status Desa Adat yang dilakukan secara partisipatif;  
  1. Memastikan terbukanya ruang demokrasi dan partisipasi secara bermakna (meaningfull participation) bagi pemuda dan perempuan di dalam proses-proses pembangunan dan pengambilan keputusan di tingkat desa;  
  1. Penguatan dan Perlindungan Lembaga Adat sesuai harkat dan martabatnya sebagai masyarakat adat berdasarkan hak asal-usul dan asas rekognisi, merdeka dan berdaulat atas tata kelola yang inklusif. 

Sebelumnya, Forum Kawal sendiri pada tanggal 23-26 Februari 2023 berlokasi di Kasepuhan Cibarani melakukan konsolidasi melalui pertemuan dalam rangka merespon wacana desa adat di Kabupaten Lebakyang kini isunya semakin menguat. Dalam pertemuan tersebut dialukan berbagai diskusi dan pendalaman bagaimana peluang dan tantangan desa adat bagi kehidupan dan masa depan masyarakat adat di Lebak baik Kasepuhan dan juga Baduy. proses ini telah menghasilkan beberapa kesepakatan berupa poin-poin rekomendasi sebagai masukan dalam Raperda Desa adat di Kabupaten Lebak. Forum Kawal sendiri merupakan wadah kelompok pemuda dan perempuan yang terbentuk pada mediotahun 2022. Forum ini terdiri dari 8 Kasepuhan dan baduy sebagai bentuk solidaritas generasi masyarakat adat untuk saling belajar dan berupaya dalam memperkuat pengakuan masyarakat adat di Kabupaten Lebak.  

Penulis: Fauzan Aadima 

Sarmani: Proses dan Dampak Tujuh Tahun Berkegiatan dengan RMI

Sarmani adalah laki-laki berusia 27 tahun yang sejak tahun 2018 bekerja sebagai perangkat desa Cirompang. Ia berasal dari keluarga petani, di mana kedua orang tuanya menggarap sawah di wilayah adat Kasepuhan Cirompang. Ia sempat berkuliah jurusan pertanian di salah satu universitas di Bandung selama empat semester sebelum kemudian memutuskan pulang ke wilayah adat Kasepuhan Cirompang di tahun 2015 dan menetap disana hingga saat ini. Setahun setelah kembali dari perantauan, ia mulai berkegiatan dengan RMI, ditandai dengan partisipasinya dalam kegiatan Sekolah Lapang Rakyat di tahun 2016. Selama tujuh tahun tentunya ia merasakan berbagai dampak dan proses-proses yang ia lalui berkegiatan dengan RMI. Kini ia sudah berkeluarga dan memiliki seorang anak berusia tiga tahun.

Tahun 2016 sampai 2017 menjadi salah satu babak penting dalam hidup Sarmani. Sejak kembali dari perantauan, ia mencoba aktif berkegiatan di komunitasnya. Selain ikut Sekolah Lapang Rakyat, ia berperan aktif dalam kegiatan pemetaan partisipatif di wilayah adat Kasepuhan Cirompang. Keduanya membuat Sarmani merasa lebih memahami kasepuhan dan mengetahui wilayah adat Kasepuhan Cirompang. Padahal, semasa bersekolah ia cenderung tidak memedulikan hal-hal terkait ritual adat, wilayah adat bahkan komunitas adatnya sendiri dan memilih untuk fokus belajar. Kepeduliannya terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan Kasepuhan Cirompang terus berproses dari waktu ke waktu hingga mengantarkannya pada suatu titik dimana ia merasa ada yang berkurang dalam dirinya jika adat tidak dilestarikan.

1 Maret 2019 menandai Pemetaan partisipatif yang dilakukan Sarmani dan tim membuahkan hasil. Negara mengembalikan hak adat Kasepuhan Cirompang dengan mengeluarkan SK Hutan Adat seluas 306 Hektar yang dikeluarkan dari wilayah Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Manfaatnya jelas terasa bagi Masyarakat Adat Kasepuhan Cirompang. Bahkan, di tahun 2023, Hutan Adat Cirompang relatif hampir seluruhnya sudah tergarap  oleh masyarakat Kasepuhan Cirompang.

Setelah penetapan, Sarmani tetap menyadari pentingnya menjaga dan mengelola Hutan Adat Cirompang dengan baik. Sarmani memilih berkontribusi untuk menjaga hutan adat di Kasepuhan Cirompang dengan menjadi anggota Komunitas Pemuda Adat Kasepuhan Cirompang (Kisancang) yang salah satu kegiatannya adalah ronda leuweung/patroli hutan.  Sejak tahun 2021, Kisancang berkolaborasi dengan baris kolot sekitar satu sampai tiga kali dalam setiap tiga bulan melakukan kegiatan tersebut. Sarmani mengatakan bahwa dari aktivitas tersebut, secara kolektif mereka mampu mengetahui wilayah mana yang harus ditanam, wilayah mana yang sudah mulai rusak dan titik-titik mata air mana yang harus dijaga. Pilihan tersebut menjadi alternatif yang memungkinkan karena Sarmani tidak memiliki akses terhadap tanah dan bekerja sebagai perangkat desa.

Kesetaraan Gender Menjadi Fokus Sarmani

Sebagai perangkat desa, ia berkontribusi kepada masyarakat di sekitarnya. Sehari-hari, ia bekerja sebagai staf data yang mengurusi pencatatan surat masuk maupun surat keluar dan pencatatan data kependudukan seperti data disabilitas, lansia dan keluarga miskin. Menurutnya, ia banyak mengambil pelajaran selama mengerjakan pekerjaannya. Salah satunya, Ia menjadi tahu mengenai kondisi masyarakat di sekitarnya dan mampu mengidentifikasikan sasaran prioritas program pemerintah seperti bantuan sosial.

Melalui profesinya sebagai perangkat desa dan aktifnya ia di Kisancang, membuatnya sering terlibat dalam musyawarah di tingkat dusun sampai musyawarah desa. Sepanjang keterlibatannya di setiap forum tersebut, ia menggarisbawahi pentingnya keterlibatan perempuan dalam forum-forum tersebut. Dengan nada prihatin, ia mengungkapkan hanya  10-20 persen perempuan dari total peserta yang hadir dalam musyawarah. Dari angka yang  kecil itu, hanya satu sampai dua orang saja perempuan yang mau berpendapat dalam forum, itupun perempuan yang pendidikannya sudah tinggi (sarjana) atau berprofesi sebagai guru. Bagi perempuan yang terlibat dalam forum tersebut merasa bahwa ia hanya ibu rumah tangga yang sekedar ikut dan mendengarkan.

Perhatian Sarmani pada isu gender tidak berhenti di tingkat komunitas, ia juga mengaplikasikannya di tingkat keluarga. Dalam konteks pekerjaan domestik, Sarmani berbagi tugas dengan istrinya. Ia mengatakan kadang mereka bergantian melakukan pekerjaan domestik seperti mencuci piring, memasak, menjaga anak dan bersih-bersih rumah. Terutama ketika istrinya sedang hamil. Waktu-waktu dimana Sarmani melakukan porsi kerja domestik yang lebih besar. Keresahannya terhadap isu gender, ia kemukakan dalam satu sesi di forum Konsolidasi dan Advokasi Wilayah Adat Lebak (KAWAL). Pada salah satu sesi refleksi bersama, ia mengemukakan pentingnya melibatkan perempuan untuk ikut menyuarakan pendapatnya di tingkat komunitas.

Refleksi Sarmani Selama Mengikuti Forum KAWAL

Sarmani sangat aktif dalam Forum KAWAL. Forum KAWAL yang sudah keempat kalinya diselenggarakan, menjadi ruang belajar bersama dan bersolidaritas antar generasi muda berbagai kasepuhan. Ia selalu mengikuti setiap pertemuan KAWAL sejak Forum KAWAL pertama. Menariknya, ia mampu menjelaskan beberapa materi yang ia anggap menarik dari setiap pertemuannya. Baginya materi yang menarik adalah pengantar seks dan gender.  Ia menyimpulkan bahwa dalam musyawarah di Kasepuhan maupun di desa, tidak harus selalu laki-laki yang terlibat. Peran dan pendapat perempuan juga harus dihargai dan jangan sampai dibatasi. Hal ini menurutnya perlu untuk disosialisasikan lebih lanjut di masyarakat. Selain itu, baginya materi sketsa perubahan desa juga menarik. Pada materi tersebut, sejak tahun 1990an sampai 2022, Sarmani berefleksi akan perubahan fisik di Kasepuhan Cirompang. Ia mendapati perubahan sungai dan lingkungan pemukiman. Ia menyoroti bahwa di tahun 1980-1990an, atap rumah masih berbahan ijuk. Sedangkan sekarang, menggunakan genteng. Meskipun begitu, dalam konteks hutan, sampai sekarang masih terjaga seperti dulu. Menurutnya, hal ini dapat terjaga karena masyarakat Kasepuhan menaati aturan baris kolot yaitu larangan menebang pohon di wilayah mata air. Kesadaran ini sudah terbangun sejak dulu dan masih terjaga hingga saat ini.

Perubahan-perubahan tersebut tidak dapat terlepas dari konteks hukum dan negara terutama dalam aspek hutan dan budaya bertani yang menjadi sumber kehidupan dan penghidupan di Cirompang. Hal inilah yang Sarmani dapatkan dari pertemuan kedua Forum KAWAL melalui permainan. Dari situ, Sarmani melihat bahwa penting bagi Kasepuhan untuk memiliki legalitas atau pengakuan dari pemerintah dan proses-proses advokasi di dalamnya. Baginya, penting bagi masyarakat adat untuk memahami hukum yang berlaku dan bertindak sesuai dengan peraturan yang ada.

Sarmani Saat Ini

Terkini, aktivitas Sarmani dengan RMI adalah Forum KAWAL keempat yang diselenggarakan di wilayah adat Kasepuhan Cibarani. Forum ini berbeda dari forum-forum sebelumnya karena Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat (direktorat KMA) ikut terlibat dan memberikan beberapa materi. Secara singkat, materi yang disampaikan seputar perkenalan lembaga; layanan advokasi yang disediakan direktorat KMA; program penunjang pemajuan kebudayaan yang disediakan direktorat KMA; dan sosialisasi warisan budaya berbentuk fisik dan non-fisik. Dari situ, Sarmani menjadi terpikirkan akan suatu situs yang dinamai batu keupeul (batu kepal) di wilayah adat Kasepuhan Cirompang. Ia mengatakan bahwa sebelumnya tidak terpikirkan sampai mengajukan batu keupeul menjadi cagar budaya. Hal ini menjadi penting karena peninggalan-peninggalan sejarah di wilayah Sarmani menjadi lebih disadari sebagai sebuah peninggalan sejarah yang bernilai. Bukan sebagai batu yang biasa-biasa saja.

Sebagaimana batu keupeul yang bernilai sejarah di Kasepuhan Cirompang namun dianggap biasa-biasa saja, begitu juga dengan perjalanan Sarmani yang sering dianggap biasa-biasa saja. Padahal, setiap potongan peristiwa dan refleksi yang berproses dalam dirinya merupakan sesuatu yang bernilai. Sesuatu yang bermakna bagi dirinya dan Kasepuhan Cirompang.

Sejak berkegiatan dengan RMI, Sarmani aktif berkegiatan dalam berbagai kesempatan yang berdampak bagi Kasepuhan Cirompang. Dimulai dari Sekolah Lapang Rakyat dan pemetaan partisipatif di tahun 2016 sampai aktif di Forum KAWAL di tahun 2023. Perubahan-perubahan yang ia alami, diawali dengan suatu hal yang umum yaitu pengetahuan tentang Kasepuhan Cirompang itu sendiri. Sejak saat itu, ia aktif memperdalam dan memperluas pengetahuannya. Selama berkegiatan dengan RMI, ia merasa banyak mengambil pelajaran. Bagi Sarmani, salah satu faktor pendukung hal tersebut adalah kegiatan RMI yang tidak memandang status pendidikan. Menurutnya, baik yang berpendidikan maupun yang tidak, tidak dibeda-bedakan dalam kegiatan. Karenanya, teman-temen lain yang tidak sekolah (formal) tidak minder.

Alhasil, dari perjalanan dengan RMI selama tujuh tahun, Ia menyatakan bahwa ia merasa lebih lebih dekat dan lebih sering menggali terkait sejarah Kasepuhan kepada baris kolot Kasepuhan Cirompang. Selain itu, ia sering mengikuti upacara (ritual)  di Kasepuhan Cirompang. Seperti yang sudah dipaparkan di atas bahwa ia merasa ada yang berkurang dalam dirinya jika adat tidak dilestarikan. Sarmani merasa punya tanggung jawab untuk ikut serta melestarikan adat dengan perkataan “kalau tidak kita yang menjaga, (lalu) siapa lagi?”

Oleh: Rifky Putra Kurniawan

Editor: Siti Marfu’ah