Memanfaatkan Strategi Buzzer Dalam Kampanye Isu Lingkungan Dan Sosial

#sawitbaik, merupakan kampanye yang diluncurkan  oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) di tengah kian meluasnya kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Sumatra dan Kalimantan yang terjadi pada saat itu[1]. Masih jelas di ingatan, kampanye tersebut menjadi trending  di media sosial, seperti twitter pada tahun 2019.

Melihat kejadian tersebut, tidak bisa dipungkiri bahwa Kemenkominfo melibatkan para buzzer/influencer melalui laman sawitbaik.id dan akun Twitter @SawitBaikID untuk menciptakan dukungan publik atas produksi sawit di Indonesia. Selain itu, tidak hanya “sawit baik”, ada juga kampanye #dukungomnibuslaw yang sampai saat ini masih ramai di media sosial (Twitter).

Untuk mencari tahu mengenai buzzer/influencer yang sering terlibat dalam pembentukan opini publik di era kampanye digital saat ini, Relawan 4 Life yang difasilitasi oleh RMI mengadakan Diskusi Daring (Disaring) 3.0 dengan tema “Strategi Kampanye Digital Melalui Penggunaan Buzzer/Influencer”.

Sebagai kegiatan yang mendukung gerakan #dirumahaja, diskusi ini dilakukan secara online melalui aplikasi Zoom, pada Jumat, 08 Mei 2020. Disaring diikuti oleh 18 orang, yang terdiri dari 9 orang perempuan, dan 9 orang laki-laki. Acara ini dimoderasi oleh Indra N. Hatasura dari RMI dan diikuti oleh peserta yang berasal dari latar belakang aktivis  mahasiswa, pekerja profesional dan aktivis sosial-lingkungan.

Diskusi ini menghadiri seorang narasumber (yang namanya tidak ingin disebutkan),sebut saja Ani. Ani memiliki pengalaman bekerja di sebuah agensi buzzer selama lebih dari dua tahun. 

Diskusi dibuka dengan pengertian buzzer dan influencer. Ani menyampaikan bahwa kedua kata ini memiliki beberapa kesamaan diantaranya memberikan informasi. Buzzer sendiri berasal dari kata “buzz” yang artinya mendengung. Jadi buzzer artinya adalah mendengungkan berita supaya ramai diperbincangkan banyak orang secara sistematis. Sedangkan influencer adalah orang yang mempengaruhi pandangan orang lain terhadap suatu permasalahan, biasanya dilakukan orang yang mempunyai banyak follower pada akun media sosialnya.

Menurut narasumber, buzzer sudah ada sejak sekitar tahun 2008. Istilah buzzer semakin populer di tahun 2012 ketika adanya pemilihan gubernur di Jakarta. Buzzer ini dibuat untuk kepentingan partai politik, organisasi masyarakat dan orang perorangan. Dalam perkembangannya buzzer umumnya berkaitan dengan politik, yang kemudian dikaitkan dengan isu-isu sosial dan lingkungan, kemudian dikampanyekan , seperti #SawitBaik.

Setelah dilakukan pembukaan, diskusi mengalir dengan lebih interaktif yaitu peserta dapat bertanya langsung kepada narasumber dan kemudian dijawab. Para peserta terlihat sangat antusias karena kolom chat ramai dengan pertanyaan peserta dan peserta yang ingin bertanya melalui microphone. Beberapa pertanyaan yang diajukan oleh peserta adalah seperti:

Apakah buzzer merupakan individual atau kelompok? Narasumber menjawab bahwa buzzer ini ada yang merupakan individual maupun kelompok. Mereka yang berkelompok biasanya tergabung dalam sebuah agensi. Agensi ini hanya bekerja jika ada proyek atau pekerjaan yang diberikan dari pihak-pihak tertentu. Pegawai dari agensi ini pun tidak tetap. Ada juga buzzer independen, tetapi buzzer independen sangatlah beresiko karena biasanya tidak memiliki pendukung canggih akan hal-hal yang dilakukannya (misalnya keamanan, karena para buzzer ini juga menggunakan VPN premium agar tidak terdeteksi alamat IP address nya saat bekerja).

Apakah buzzer memiliki tujuan jangka panjang seperti sebagai media alternatif atau hanya dalam jangka pendek? buzzer tidak memiliki target jangka panjang melainkan hanya bertujuan untuk mengangkat isu pada waktu tertentu sehingga banyak orang yang aware terhadap suatu isu dan diharapkan isu tersebut bisa sampai kepada pihak yang ditujukan yang menyebabkan terjadinya suatu tindakan.

Apakah buzzer memiliki cara lain untuk menaikan suatu isu? Selain membuat status, buzzer juga biasanya melakukan “giveaway”. Giveaway adalah pembagian hadiah secara cuma-cuma dengan syarat harus memposting dengan menyertakan hashtag tentang isu tersebut. Tak sedikit orang yang mengikuti giveaway ini sehingga hashtag akan semakin populer. Cara lain adalah dengan membuat meme.

Narasumber juga menjawab pertanyaan-pertanyaan lain seperti berapa banyak umumnya tim buzzer, pertentangan moral saat mengerjakan pekerjaan, software/mesin/robot yang juga berperan untuk mempertinggi traffic, akun-akun palsu yang digunakan untuk memposting, perang psikologi yang dilakukan buzzer dengan korban, jenis-jenis proyek yang dikerjakan, perang antar tim buzzer, sampai perlawanan penyedia media sosial  (Twiter dalam menghambat para buzzer) dan cara mengakalinya.

Perlu diketahui juga bahwa buzzer tidak hanya bertujuan untuk menaikkan isu yang menguntungkan bagi pihak tertentu, tetapi ada juga buzzer yang independen dalam menaikkan isu (sering juga disamakan dengan influencer). Diskusi ditutup dengan ide-ide dari peserta tentang rencana kampanye digital dengan memanfaatkan cara kerja buzzer. Di akhir diskusi para peserta yang terdiri dari organisasi-organisasi gerakan sosial juga banyak yang merasa perlu juga untuk menggunakan cara kerja buzzer dalam mengkampanyekan isu-isu yang ada, tetapi dengan cara yang berbeda.


[1] Chadijah, R. (2019, 09, 17). Pemerintah Didesak Hentikan Kampanye “Sawit Baik”

https://www.benarnews.org/indonesian/berita/kampanye-sawit-baik-09172019154315.html

Penulis: Siti Marfu’ah

Editor: Indra N. Hatasura

Tulisan ini juga bisa dibaca di link berikut:

Disaring 3.0: Memanfaatkan Strategi Buzzer Dalam Kampanye Isu Lingkungan Dan Sosial

Memajukan Hak Anak atas Lingkungan yang Sehat

Sebuah gagasan dari Pelapor Khusus PBB membawa sebuah skema kerjasama antara RMI dan Terre Des Homme Jerman untuk menyelenggarakan pertemuan konsultasi yang melibatkan generasi muda dan anak-anak dari 11 Negara di kawasan Asia Timur dan Pasifik, sebagai upaya dalam Memajukan Hak Anak Atas Lingkungan yang Sehat. RMI sendiri sudah sejak 2004 memiliki fokus khusus untuk melihat keterkaitan antara isu (hak) anak dengan (kesehatan) lingkungan—dan terus berkembang hingga melihat bahwa isu-isu hilangnya akses masyarakat terhadap sumber-sumber agraria sebagai bagian yang membawa dampak pada tumbuh kembang generasi muda. RMI dan Terre des Hommes Germany sendiri telah bermitra sejak tahun 2004 tersebut.

Konsultasi ini adalah momen di mana generasi muda bisa menyuarakan aspirasinya mangenai apa yang mereka butuhkan agar data tumbuh di lingkungan yang sehat, yang menjadi faktor penting dalam tumbuh-kembang generasi muda, baik fisik maupun psikologis. Konsultasi tidak dilakukan terhadap orang-orang dewasa, melainkan kepada generasi muda. Event konsultasi ini bertujuan untuk menangkap aspirasi, pendapat, pandangan anak-anak muda usia 8-24 tahun tentang situasi lingkungan yang mereka hadapi.

Para generasi muda menyampaikan aspirasi mereka mengenai hak anak atas lingkungan yang sehat.

Di sini, para generasi muda duduk bersama para ahli yang merupakan penggiat isu hak Anak, akademisi, penggiat lingkungan, dan paralegal dari Inggris, Australia, Malaysia, Jepang, Philippine dan tentunya Indonesia. Upaya konsultasi ini merupakan bagian dari konsultasi dunia untuk mendapatkan informasi dari seluruh region, hingga akhirnya nanti dapat disampaikan dalam Sidang Umum PBB pada tahun 2021 di New York, Amerika Serikat. Upaya ini dilakukan untuk mendorong PBB mengeluarkan rekomendasi yang mengikat negara-negara anggotanya untuk melindungi anak-anak dan memenuhi hak mereka untuk dapat tumbuh kembang dalam kondisi lingkungan yang sehat.

Para anggota Relawan 4 Life RMI, Nafisa dan Niza berperan aktif di dalam forum ini. Nafisa berbagi tentang betapa ia sangat tersentuh dengan keanekaragaman peserta dari berbagai negara, “Rangkaian acaranya seru dan semua orang yang terlibat baik dan ramah, tetapi di sisi lain saya juga merasa sedih ketika lebih mengetahui/berdiskusi mengenai permasalahan yg sedang dialami oleh anak muda terkait kerusakan lingkungan”, ujarnya dengan sungguh-sungguh. Nafisa juga menyampaikan harapannya setelah mengikuti kegiatan ini, bahwa di masa mendatang, anak muda akan lebih paham terhadap isu lingkungan, dan komunitas nasional maupun internasional akan dapat melakukan aksi nyata yang dapat memberikan dampak besar terhadap hak anak atas lingkungan yang sehat.

Sementara itu, seorang pemudi dari masyarakat adat Karen di Thailand menyatakan situasi komunitasnya yang memprihatinkan akibat aktivitas pertambangan yang telah berdampak secara kesehatan kepada anak-anak, misalnya kelainan lahir hingga gagal janin. “Orang dewasa selalu berkata bahwa generasi muda adalah masa depan, tapi mereka tidak membiarkan kita tumbuh dalam lingkungan yang sehat,” ujarnya.

Peserta dari Relawan 4 Life yang tergabung juga dengan jaringan anak muda SMN sedang berdiskusi mengenai lingkungan yang sehat.

Pertemuan konsultasi ini diadakan di Sentul, Bogor pada 22-23 Oktober 2019, di mana satu hari sebelumnya, pada 21 Oktober 2019, semua peserta yang didominasi oleh anak-anak dan remaja berkumpul untuk mendapatkan briefing dan pemantapan untuk mengikuti acara konsultasi tersebut.

Panelis Diskusi Publik: Hak Anak Atas Lingkungan yang Sehat , (dari kiri ke kanan) Nadyati Fajrin-Relawan 4 Life; Nur Hidayati-WALHI; Mardha Tillah- RMI; Lies Rosdianty-Kementrian PPPA; dan Susy Herawati- KLHK.

Pada 24 Oktober 2019, hasil rekomendasi dan temuan di konsultasi tersebut dikemukakan di depan pemerintah Indonesia dalam sebuah diskusi panel bertajuk Mempromosikan Hak Anak Atas Lingkungan Sehat. Acara diskusi ini bertempat dan diselenggarakan bersama Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan dihadiri pula oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang duduk juga di kursi panelis bersama KLHK, WALHI, dan RMI. RMI dan Terre Des Hommes juga menggandeng UNICEF untuk turut berperan aktif sebagai moderator dalam acara diskusi panel tersebut.

Dalam presentasinya, Mardha Tillah selaku Direktur Eksekutif RMI mengangkat isu hak anak dari hal paling sederhana yang menjadi bagian penting dalam kehidupan anak-anak yaitu bermain. Tilla, panggilannya, menyatakan bahwa anak berhak untuk dapat bermain di tempat yang aman dari zat-zat kimia yang membahayakan mereka, juga marabahaya yang mengancam mereka secara jiwa. Dia merujuk pada kasus-kasus kematian anak saat bermain di lokasi dekat bekas lubang tambang yang tidak direhabilitasi dengan baik di Kalimantan, misalnya. Namun lebih dari itu, Tilla menggarisbawahi tentang situasi-situasi masyarakat, termasuk masyarakat adat, yang kehilangan tanah atau kehilangan akses akan tanah karena adanya pembangunan skala besar, “yang jelas membuat anak-anak tidak dapat bermain dengan aman, atau bahkan untuk dapat bermain di wilayah-wilayah yang sebelumnya merupakan wilayah milik komunitas mereka”.

Sari Ramadhanti, salah satu anggota R4L yang hadir dalam diskusi panel tersebut juga mengemukakan pentingnya forum semacam ini, karena ini bisa menjadi media untuk menyuarakan aspirasi mereka sebagai generasi muda dalam memperjuangkan haknya atas lingkungan yang sehat. Dhanti berharap acara ini bisa dilanjutkan di level nasional, karena tidak bisa dipungkiri bahwa lingkungan yang tidak sehat merupakan faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan seorang anak. Dhanti berharap harus ada kebijakan yang tegas dari pemerintah untuk menjaga lingkungan yang sehat, dan bisa melibatkan pihak akademisi dan mahasiswi/a untuk berperan aktif dalam menyelenggarakan acara semacam ini.

Sementara koordinator Relawan 4 Life RMI, Nadyati Farzin yang juga duduk di kursi panelis sebagai perwakilan generasi muda yang mengikuti acara tersebut menutup dengan memberi pesan kepada kita semua “if many little people in many little places, do many little efforts, then we can change the world for our future.” Sebuah pesan sederhana bermakna kuat yang menegaskan bahwa sebuah perubahan besar bisa terwujud dari sebuah langkah kecil.

Penulis: Dinda Tungga Dewi

Editor: Mardha Tillah