Sekolah Kaki Gunung (SKG) Bekal Generasi Muda dalam Merespon Persoalan Sosial, Lingkungan, dan Agraria

Keterhubungan masyarakat, khususnya masyarakat di pedesaan dengan pengelolaan kekayaan alam dan pembangunan yang tidak menggambarkan keadilan, menjadi faktor ketimpangan serta krisis sosial-ekologis yang terjadi di tengah-tengah kita. Bagaimana pengelolaan sumber-sumber kekayaan alam hanya dikelola oleh segelintir orang saja, hingga dinamika kebijakan yang berdampak pada krisis lingkungan yang pada akhirnya berpengaruh pada ruang hidup dan kesejahteraan masyarakat.  Masyarakat yang tinggal di …

Pertemuan Kampung-Hutan-Perkotaan dari Kampung Pasir Eurih Bersama Tiga Komunitas Lainnya

Pada tanggal 5-6 Maret 2022, RMI mengadakan pertemuan dengan perwakilan pemuda dan anak di Kasepuhan Pasir Eurih, Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Kegiatan pertemuan anak dan pemuda ini berjalan dengan didukung oleh terre des hommes-Germany (tdh-G), sebuah lembaga nirlaba yang memiliki fokus di hak-hak anak dan bekerja di berbagai negara dengan lembaga-lembaga lokal. Di Indonesia saat ini adalah 4 lembaga yang bekerjasama dengan tdh-G yaitu RMI, Nexus3 Foundation, Yayasan Pusat Kajian Perlindungan Anak (PKPA) dan Sokola Institute. Pertemuan ini merupakan kegiatan rutin dua tahunan dan sering disebut sebagai NCYPM (National Children and Youth Partners Meeting).

Pertemuan dua hari tersebut dilaksanakan secara hybrid (offline dan online). Selain RMI yang memfasilitasi di Kampung Pasir Eurih-Lebak, Banten, pertemuan serentak juga dilakukan di Kota Medan (difasilitasi Yayasan PKPA), Desa Sekotong-Nusa Tenggara Barat (difasilitasi Nexus3 Foundation)  dan Kota Bangko, Jambi (difasilitasi oleh Sokola Institute). 

Pertemuan yang diikuti sekitar 30 peserta ini berjalan seru. Banyak muncul rasa kagum dan heran saat tiap kelompok berbagi cerita. Kelompok yang mengikuti kegiatan memang berbeda latar belakang; masyarakat adat, tinggal di desa dan kota, di gunung, hutan, anak yang bersekolah formal dan yang tidak bersekolah. Keragaman ini memperkaya pembelajaran antar kelompok, tidak heran tiap sesinya berjalan menarik.

Dari RMI sendiri, kelompok anak dan pemuda yang mengikuti kegiatan berasal dari KOMPAK (Komunitas Pemuda Adat Kasepuhan) Pasir Eurih dan LLI (Lentera Lumbung Ilmu) dari Kasepuhan Cirompang. Dua kelompok tersebut memiliki latar belakang masyarakat pedesaan yang masih memegang teguh adat, tinggal di sekitar gunung, dekat hutan, menerima modernitas dan umumnya sudah menikmati pendidikan formal. Mereka banyak bergerak di isu pelestarian budaya masyarakat adat Kasepuhan, pendidikan adat dan pendidikan alternatif.

Melihat Implementasi Hak Anak di Sekitar Tempat Tinggal

Pada hari pertama (5 Maret 2022), setelah pembukaan singkat dan penginformasian kebijakan perlindungan hak anak (child rights protection policy) dan perkenalan, kegiatan dilanjutkan oleh masing-masing kelompok secara offline. Kegiatan yang dilakukan adalah untuk melihat implementasi hak anak di sekitar lokasi mereka tinggal. Metode yang  digunakan adalah “body mapping” yang mengharuskan adanya seorang model untuk dijadikan contoh untuk digambar bentuk tubuhnya. Setelah model dipilih oleh kelompok, peserta lain segera menggambar bentuk badan si model di kertas plano besar yang sudah disediakan. Gambar tubuh yang sudah jadi lalu diwarnai dan bagian-bagian tubuhnya akan dijadikan patokan untuk melakukan assesment terkait isu-isu hak anak. Peserta yang difasilitasi oleh Indra N.H. dan Fauzan Adima, RMI,  membedakan gambar menjadi perempuan dan laki-laki sesuai dengan kelompok yang terbentuk. Fasilitator memfasilitasi dengan menunjuk bagian-bagian tertentu pada gambar tubuh dan mengajak peserta untuk berdiskusi melalui pertanyaan-pertanyaan kunci. 

Pada bagian telinga contohnya, fasilitator memberikan pertanyaan: apakah kamu pernah mendengar pernyataan-pernyataan yang menurutmu melanggar hak-mu; atau melalui pertanyaan apakah menurutmu orang tua di kampungmu mendengarkan pendapat dari anak-anak mereka?. Pertanyaan-pertanyaan ini membantu para peserta untuk menggali lebih jauh tentang keadaan di sekeliling mereka. 

Pertanyaan lain lagi misalnya adalah saat peserta sampai pada bagian gambar perut, fasilitator bertanya, apakah peserta mengetahui ada keluarga yang anaknya mengalami kelaparan, atau apakah menurut mereka anak-anak di lingkungan mereka sudah tercukupi kebutuhan gizinya? 

Pertanyaan-pertanyaan pemantik seperti ini didiskusikan oleh para peserta dan tak jarang terjadi pembelajaran antar sebaya lewat penyampaian informasi yang baru, kurang diketahui sebelumnya oleh teman-temannya sendiri. Kasus pernikahan dini misalnya, menjadi informasi baru setelah disebutkan di beberapa wilayah Kasepuhan, kasus ini lebih tinggi dibanding wilayah lainnya.

Para peserta juga memberikan pendapat mengenai para pihak yang seharusnya terlibat dalam implementasi hak anak di kampung mereka. 

Mengenal budaya, situasi dan sejarah dari masing-masing kelompok

Pada hari kedua (6  Maret 2022), para peserta berkenalan lebih jauh. Kali ini dengan bermain menebak “fakta atau bukan.” Masing-masing kelompok membuat pernyataan mengenai budaya, atau keadaan di kampung mereka. Peserta dari kelompok lain perlu menebak apakah pernyataan tersebut merupakan fakta atau bukan.

“Semua pemuda di rimba (Orang Rimba maksudnya), yang berbadan sehat bisa mengambil madu di pohon sialang (pohon tinggi tempat lebah membuat sarang) di rimba.” Pernyataan yang dibacakan oleh Jangat Pico, lewat media Zoom ini perlu ditebak oleh tiga kelompok lain di tiga lokasi. Tidak ada yang tahu pasti apakah pernyataan ini merupakan fakta atau bukan. Setelah dijawab, kebenaran pernyataan ini akan dijelaskan oleh kelompok yang memberi pernyataan. 

Kelompok anak dan pemuda di Kasepuhan Pasir Eurih juga memberikan beberapa pernyataan. Salah satunya adalah mereka menyatakan “masyarakat Kasepuhan merupakan keturunan dari pasukan Kerajaan Mataram.” Pernyataan ini ditanggapi beragam juga oleh kelompok-kelompok lain. Ada jawaban yang benar, ada jawaban yang salah.

Kelompok lain kemudian melakukan hal yang sama yaitu memberikan pernyataan yang harus ditebak kelompok lainnya.

National Partners Meeting: Ruang anak dan pemuda untuk menyuarakan haknya

Sesi selanjutnya adalah presentasi online yang dilakukan oleh perwakilan masing-masing kelompok. Hasil presentasi merupakan ringkasan dari kegiatan sehari sebelumnya, yaitu hasil diskusi terkait isu-isu pemenuhan hak anak. Dari presentasi dan diskusi tampak keadaan sangat bervariasi, sesuai dengan kondisi yang dilihat oleh masing-masing kelompok di berbagai wilayah. 

Selesai presentasi, peserta melakukan pemilihan perwakilan untuk menyuarakan suara anak dan pemuda di pertemuan kelompok pendamping (NPM – National Partners Meeting) tdh-G yang rencananya akan diadakan pada bulan Mei 2022. Dalam desain tdh-G, suara mereka juga akan disuarakan kembali di pertemuan yang lebih besar dan melibatkan perwakilan-perwakilan anak dan pemuda di Asia Tenggara nantinya. Kegiatan ini memang merupakan kegiatan yang memiliki tingkatan-tingkatan, di tingkat lokal, nasional dan lalu regional Asia Tenggara, terakhir adalah di tingkat internasional.

Dari pertemuan ini peserta muda bisa membuktikan bahwa diskusi yang mereka lakukan mampu membuahkan keluaran berupa pemetaan isu terkait pelaksanaan hak anak di lokasi masing-masing. Pada pertemuan ini juga terjadi terjadinya peningkatan kapasitas anak dan pemuda terutama berkaitan dengan soft skill seperti kemampuan berbicara, bekerjasama dengan teman, dan menuangkan ide-ide secara sistematis dengan percaya diri. Sebagai bonus, selama pertemuan para peserta juga jadi lebih saling mengenal satu sama lain di antara mereka sendiri dan dengan teman-teman dari berbagai daerah. Perkenalan awal ini bisa jadi merupakan permulaan dari bentuk kerjasama antar kelompok anak dan pemuda  di kemudian hari. Kita tunggu saja di depannya.

Penulis: Indra NH

Editor: Siti Marfu’ah

Ngobrol Bareng #AnakMudauntukTanah Air: Menoleh Inisiatif dan Aspirasi Anak Muda Indonesia

Sejak dahulu, dan sampai sekarang — Anak Muda terbukti secara nyata telah menunjukkan kontribusinya dengan mempelopori berbagai gerakan perubahan. 

 

Sejak dahulu, Anak Muda terbukti telah secara nyata menunjukkan kontribusinya dengan mempelopori berbagai gerakan perubahan. Banyak momen-momen bersejarah yang dibangun oleh semangat anak muda seperti Sumpah Pemuda, Reformasi, bahkan banyak momentum di masa depan yang akan sangat bergantung pada keberadaan anak muda saat ini, seperti Pilpres 2024 dan Visi Indonesia 2045, tepat pada 100 tahun Kemerdekaan Indonesia. 

Atas dasar tersebut RMI dan Econusa menyadari bahwa perlu adanya titik temu bagi komunitas dan organisasi untuk membahas persoalan Anak Muda, menyediakan platform bagi mereka untuk menyampaikan aspirasi dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, dan lebih jauh lagi yaitu menghubungkan Anak Muda dengan ruang hidup dan tanah airnya. Pada 3 Agustus 2021, RMI dan Econusa menginisiasi Diskusi Konsolidasi Anak Muda untuk Tanah Air, yang dihadiri 59 peserta dari 22 komunitas anak muda dan 15 lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang memiliki fokus pada isu lingkungan, agraria, anak muda, pemberdayaan ekonomi dan kewirausahaan sosial serta aktif berkegiatan di wilayah Indonesia Barat, Indonesia Tengah, Indonesia Timur maupun level nasional.

Kegiatan ini dibuka dengan perkenalan antarkomunitas dan LSM, yang difasilitasi oleh Wahyu (RMI). Para peserta diminta mengakses link Menti.com untuk selanjutnya mereka dipersilakan menuliskan nama organisasi dan nama makhluk hidup yang menyimbolkan organisasinya masing-masing.

Selanjutnya  pada sesi Diskusi #AnakMudauntukTanahAir terdapat dua pertanyaan kunci untuk dibahas lebih lanjut dalam dua kelompok besar (Komunitas Anak Muda dan LSM) yaitu: (1) Apa aksi anak muda yang sedang dilakukan dan (2) Apa refleksi (tantangan, aspirasi, pengalaman, dll) untuk gerakan anak muda sekarang dan masa mendatang.

Aksi dan Inisiatif yang sudah dan tengah dilakukan

 

Dari pertanyaan kunci pertama yaitu “Apa aksi anak muda yang sedang dilakukan?”, kelompok LSM menyampaikan bahwa pendampingan Anak Muda telah dilakukan di seluruh Indonesia dengan berbagai kegiatan dan isu, seperti peningkatan kapasitas individu dan kelompok anak muda melalui pendidikan hukum rakyat untuk penguatan kampung, membangun kesadaran Anak Muda di kampus terkait isu-isu agraria dan pangan di pedesaan, juga menstimulasi pertukaran informasi pedesaan-perkotaan (rural-urban). Ada pula kegiatan berupa konsolidasi Anak Muda khususnya Serikat Tani. 

 

Di kelompok Komunitas Anak Muda yang diikuti oleh 34 orang terlihat bahwa kegiatan anak muda yang ada di rural maupun urban juga tidak kalah beragam. Mulai dari kampanye di ranah pendidikan, krisis iklim dan lingkungan hidup, sampah plastik di wilayah pesisir, kegiatan bertani dan berkebun kelompok Anak Muda, sampai membahas persoalan regenerasi anak muda di pedesaan. Aksi dan inisiatif yang dilakukan menekankan kreativitas, gaya kekinian, kolaboratif, mengikuti trend, dan optimalisasi penggunaan teknologi dan media sosial sangat mencirikan inisiatif khas ala anak muda jaman now. Kegiatan Anak Muda tersebut dilakukan dengan berbagai pendekatan berbeda-beda, mulai dari kegiatan berbasis riset, kampanye daring, gerakan turun ke jalan, pendidikan di luar kelas, hingga menginisiasi lokakarya. 

 

Terlihat pula andil besar anak muda dalam penguatan kampung melalui berbagai fokus kegiatan yang dipilih, diantaranya: peningkatan kapasitas individu maupun kelompok, literasi dan pendidikan, pengarsipan kearifan lokal dan kekayaan pangan komunitas. Sementara pada kegiatan berorientasi advokasi, utamanya terkait dengan isu perubahan iklim, sampah, dan hak hak masyarakat adat juga lokal. Meski belum sebanyak kegiatan lain, ada pula program Anak Muda yang menyasar pada perubahan kebijakan seperti menggalang dukungan atau petisi dan long march.

 

Refleksi Gerakan Anak Muda Indonesia di Masa Kini dan Masa Mendatang

 

Dalam diskusi terfokus bersama kawan-kawan LSM, teridentifikasi bahwa tantangan gerakan anak muda adalah: (1) Adanya perbedaan/disparitas sosial dan geografis maupun teknologi antara anak muda di kampung dan urban; (2) Sulitnya menarik minat dan mengemas suatu isu untuk Anak Muda; (3) Anak muda dalam berkegiatan juga harus fokus pada pemenuhan kehidupan (livelihood) mereka, ada juga yang harus sekolah di luar kampung sehingga mereka tidak dapat sepenuhnya fokus berkegiatan untuk membangun kampungnya dan menyebabkan kekosongan kampung; (4) Dengan adanya sumber daya di masing-masing organisasi/ komunitas, dirasa sulit untuk membuka ruang kolaborasi. Adapun menjawab tantangan-tantangan tersebut, beberapa hal yang sudah dan sedang direncanakan adalah internalisasi nilai-nilai perjuangan kaum muda: menginternalisasi semangat perjuangan Anak Muda ke dalam kehidupan sehari-hari, merancang kegiatan pemberdayaan generasi muda di kampung untuk menyediakan sumber penghasilan bagi mereka sekaligus menahan laju urbanisasi, dan mencari format kelompok belajar dengan latar belakang dan tingkat pengetahuan yang berbeda-beda, 

 

Sementara itu, di kelompok Komunitas Anak Muda, setidaknya ada lima tantangan yang berhasil ditangkap dari fasilitasi diskusi di kelompok komunitas anak muda terkait refleksi (tantangan, aspirasi, pengalaman dll) mereka untuk gerakan anak muda. (1) Tantangan atas akses, dana dan materi; (2) Peralatan dan pengetahuan terbatas; (3) Mengarusutamakan isu-isu yang berat dan sulit dipahami harus diinternalisasikan dalam kehidupan sehari-hari; (4) Meningkatkan kerelawanan anak muda, karena tak sedikit anak muda yang  mengharapkan imbalan, seperti uang, saat melakukan kegiatan; (5) Tidak dianggap dan ditindaklanjutinya aspirasi anak muda oleh korporasi atau pemerintah; dan (6) Kurangnya kesadaran masyarakat atas isu-isu yang ada di sekitarnya. 

 

Di satu sisi kurangnya ruang anak muda untuk berpartisipasi di masyarakat menjadi tantangan sekaligus peluang bagi mereka untuk menciptakan ruang ekspresinya masing-masing dengan membentuk komunitas anak muda–tidak hanya sebagai ruang kreasi dan pengembangan diri, namun ruang bagi anak muda berkontribusi bagi lingkungannya.  

 

Kolaborasi dan Tindak Lanjut

 

Sesi berikutnya dilanjutkan dengan pemaparan kerangka inisiatif #AnakMudauntukTanahAir yang menegaskan bahwasanya RMI dan EcoNusa hanya berperan sebagai inisiator awal, sehingga desain dan konsep inisiatif ini kedepannya bisa diolah secara bersama-sama.  

 

Setelah menyampaikan alur inisiatif yang dibayangkan mulai dari Konsultasi Anak Muda, pelaksanaan kegiatan Youth Summit dan kegiatan-kegiatan pasca-Youth Summit sampai ke putaran berikutnya dan terus berulang menuju Indonesia Emas (2045). RMI dan EcoNusa kembali mengajak semua peserta untuk berkolaborasi dan bersama-sama membayangkan kerangka #AnakMudauntukTanahAir sebagai inisiatif yang berkesinambungan.

 

Diskusi pun berlanjut dengan tanggapan dan ide-ide menarik yang dilontarkan para peserta: 

“Jika momennya adalah sumpah pemuda, menurutku perlu mendefinisikan ulang ‘bagaimana menjadi Anak Muda Indonesia dalam perspektif mereka sendiri akan ruang hidup’. Ini dijadikan satu definisi/piagam/plakat. Setelah itu hasil-hasilnya ada pertemuan tidak hanya dengan pemerintah dan media, namun juga industri—karena bagaimanapun yang membuat kotor dan implementor adalah industri.” (Sulis/WWF Indonesia)

 

Salah satu peserta dari kelompok Anak Muda juga turut menyampaikan pendapatnya terkait potensi keberlanjutan dari inisiatif ini:

“Anak muda saat ini, dengan berbagai privilege yang dimilikinya, harusnya bisa mengoptimalkan hal tersebut. Trend pergerakan Anak muda saat ini bermacam-macam… ada juga yang sporadis dan spontan, namun dengan idealisme yang dimiliki Anak muda silahkan berikan kebebasan kepada kami untuk berekspresi (setidaknya aspirasi kami ditampung saja dulu). Jangan pernah ragukan Anak muda, namun kami juga masih memerlukan dukungan dari NGO dan tetapkan ‘koridor-koridor’ apa saja yang tidak boleh dilewati oleh kami sebagai Anak Muda.” Novita/XR (Extinction Rebellion Indonesia)

 

Setelah menyampaikan kemungkinan tindak lanjut, tim inisiator membagikan formulir online berisi pertanyaan-pertanyaan masukan bagi kerangka dan konsep kegiatan inisiatif #AnakMudauntukTanahAir serta potensi kolaborasi dan rencana pertemuan berikutnya. Acara ditutup dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya.  

 

15 LSM yang hadir dalam diskusi kali ini adalah LSM dengan fokus kerja di area terestrial, pesisir, maupun keduanya yaitu Perkumpulan HuMa, Walhi, Perkumpulan Qbar, AKAR Foundation, Terasmitra, Sulawesi Community Foundation (SCF), WWF Indonesia, Sajogyo Institute, Sokola Institute, Yayasan Merah Putih Sulawesi Tengah, Perhimpunan Filantropi Indonesia, Konsorsium Pembaruan Agraria, Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), EcoNusa, dan RMI.

 

Adapun 22 Komunitas Anak Muda, yang berkegiatan di area pesisir dan terestrial juga berasal dari komunitas masyarakat adat dan non-adat yang aktif bergerak di wilayah rural dan urban, antara lain: Alumni School of Eco Diplomacy (SED), Relawan4Life, Earth Hour Jayapura, Golongan Hutan, Lawe Indonesia, Green Politician, Twelve’s Organic, Project Semesta, Teens Go Green (TGG), Global Youth Biodiversity Network (GYBN) Indonesia, Climate Rangers, Kompilasi Ujung Kulon, Extinction Rebellion, Narasea Indonesia, Lakoat.Kujawas, SimpaSio Institute, Kelompok Makekal Bersatu (KMB), Pemuda Kasepuhan Cibeas, Pemuda Tani Merdeka, Lumbung Ilmu Kasepuhan Cirompang, Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN), dan Kompak Pasir Eurih.

 

Penulis: Alfina dan Novia

Editor: Siti Marfu’ah

Memanfaatkan Strategi Buzzer Dalam Kampanye Isu Lingkungan Dan Sosial

#sawitbaik, merupakan kampanye yang diluncurkan  oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) di tengah kian meluasnya kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Sumatra dan Kalimantan yang terjadi pada saat itu[1]. Masih jelas di ingatan, kampanye tersebut menjadi trending  di media sosial, seperti twitter pada tahun 2019.

Melihat kejadian tersebut, tidak bisa dipungkiri bahwa Kemenkominfo melibatkan para buzzer/influencer melalui laman sawitbaik.id dan akun Twitter @SawitBaikID untuk menciptakan dukungan publik atas produksi sawit di Indonesia. Selain itu, tidak hanya “sawit baik”, ada juga kampanye #dukungomnibuslaw yang sampai saat ini masih ramai di media sosial (Twitter).

Untuk mencari tahu mengenai buzzer/influencer yang sering terlibat dalam pembentukan opini publik di era kampanye digital saat ini, Relawan 4 Life yang difasilitasi oleh RMI mengadakan Diskusi Daring (Disaring) 3.0 dengan tema “Strategi Kampanye Digital Melalui Penggunaan Buzzer/Influencer”.

Sebagai kegiatan yang mendukung gerakan #dirumahaja, diskusi ini dilakukan secara online melalui aplikasi Zoom, pada Jumat, 08 Mei 2020. Disaring diikuti oleh 18 orang, yang terdiri dari 9 orang perempuan, dan 9 orang laki-laki. Acara ini dimoderasi oleh Indra N. Hatasura dari RMI dan diikuti oleh peserta yang berasal dari latar belakang aktivis  mahasiswa, pekerja profesional dan aktivis sosial-lingkungan.

Diskusi ini menghadiri seorang narasumber (yang namanya tidak ingin disebutkan),sebut saja Ani. Ani memiliki pengalaman bekerja di sebuah agensi buzzer selama lebih dari dua tahun. 

Diskusi dibuka dengan pengertian buzzer dan influencer. Ani menyampaikan bahwa kedua kata ini memiliki beberapa kesamaan diantaranya memberikan informasi. Buzzer sendiri berasal dari kata “buzz” yang artinya mendengung. Jadi buzzer artinya adalah mendengungkan berita supaya ramai diperbincangkan banyak orang secara sistematis. Sedangkan influencer adalah orang yang mempengaruhi pandangan orang lain terhadap suatu permasalahan, biasanya dilakukan orang yang mempunyai banyak follower pada akun media sosialnya.

Menurut narasumber, buzzer sudah ada sejak sekitar tahun 2008. Istilah buzzer semakin populer di tahun 2012 ketika adanya pemilihan gubernur di Jakarta. Buzzer ini dibuat untuk kepentingan partai politik, organisasi masyarakat dan orang perorangan. Dalam perkembangannya buzzer umumnya berkaitan dengan politik, yang kemudian dikaitkan dengan isu-isu sosial dan lingkungan, kemudian dikampanyekan , seperti #SawitBaik.

Setelah dilakukan pembukaan, diskusi mengalir dengan lebih interaktif yaitu peserta dapat bertanya langsung kepada narasumber dan kemudian dijawab. Para peserta terlihat sangat antusias karena kolom chat ramai dengan pertanyaan peserta dan peserta yang ingin bertanya melalui microphone. Beberapa pertanyaan yang diajukan oleh peserta adalah seperti:

Apakah buzzer merupakan individual atau kelompok? Narasumber menjawab bahwa buzzer ini ada yang merupakan individual maupun kelompok. Mereka yang berkelompok biasanya tergabung dalam sebuah agensi. Agensi ini hanya bekerja jika ada proyek atau pekerjaan yang diberikan dari pihak-pihak tertentu. Pegawai dari agensi ini pun tidak tetap. Ada juga buzzer independen, tetapi buzzer independen sangatlah beresiko karena biasanya tidak memiliki pendukung canggih akan hal-hal yang dilakukannya (misalnya keamanan, karena para buzzer ini juga menggunakan VPN premium agar tidak terdeteksi alamat IP address nya saat bekerja).

Apakah buzzer memiliki tujuan jangka panjang seperti sebagai media alternatif atau hanya dalam jangka pendek? buzzer tidak memiliki target jangka panjang melainkan hanya bertujuan untuk mengangkat isu pada waktu tertentu sehingga banyak orang yang aware terhadap suatu isu dan diharapkan isu tersebut bisa sampai kepada pihak yang ditujukan yang menyebabkan terjadinya suatu tindakan.

Apakah buzzer memiliki cara lain untuk menaikan suatu isu? Selain membuat status, buzzer juga biasanya melakukan “giveaway”. Giveaway adalah pembagian hadiah secara cuma-cuma dengan syarat harus memposting dengan menyertakan hashtag tentang isu tersebut. Tak sedikit orang yang mengikuti giveaway ini sehingga hashtag akan semakin populer. Cara lain adalah dengan membuat meme.

Narasumber juga menjawab pertanyaan-pertanyaan lain seperti berapa banyak umumnya tim buzzer, pertentangan moral saat mengerjakan pekerjaan, software/mesin/robot yang juga berperan untuk mempertinggi traffic, akun-akun palsu yang digunakan untuk memposting, perang psikologi yang dilakukan buzzer dengan korban, jenis-jenis proyek yang dikerjakan, perang antar tim buzzer, sampai perlawanan penyedia media sosial  (Twiter dalam menghambat para buzzer) dan cara mengakalinya.

Perlu diketahui juga bahwa buzzer tidak hanya bertujuan untuk menaikkan isu yang menguntungkan bagi pihak tertentu, tetapi ada juga buzzer yang independen dalam menaikkan isu (sering juga disamakan dengan influencer). Diskusi ditutup dengan ide-ide dari peserta tentang rencana kampanye digital dengan memanfaatkan cara kerja buzzer. Di akhir diskusi para peserta yang terdiri dari organisasi-organisasi gerakan sosial juga banyak yang merasa perlu juga untuk menggunakan cara kerja buzzer dalam mengkampanyekan isu-isu yang ada, tetapi dengan cara yang berbeda.


[1] Chadijah, R. (2019, 09, 17). Pemerintah Didesak Hentikan Kampanye “Sawit Baik”

https://www.benarnews.org/indonesian/berita/kampanye-sawit-baik-09172019154315.html

Penulis: Siti Marfu’ah

Editor: Indra N. Hatasura

Tulisan ini juga bisa dibaca di link berikut:

Disaring 3.0: Memanfaatkan Strategi Buzzer Dalam Kampanye Isu Lingkungan Dan Sosial

Hari Bumi: Saatnya Mengingat Kearifan Lokal dalam Menjaga Keseimbangan Alam

Peringatan Hari Bumi Sedunia terkait erat dengan perubahan iklim yang terjadi. Perubahan iklim menjadi salah satu isu terpenting dalam kehidupan manusia saat ini. Sejak terjadinya revolusi industri sekitar abad ke-18, telah terjadi peningkatan produksi dan berkurangnya luas tutupan hutan di seluruh dunia. Menurut harian The Guardian (www.guardian.com) pada 12 September 2019, setiap tahunnya dunia kehilangan hutan 26 juta hektar atau seluas wilayah Inggris, dengan sebagian besarnya adalah wilayah hutan hujan tropis termasuk di wilayah Indonesia. Di Indonesia sendiri Forest Watch Indonesia (FWI) menyebutkan pada kurun waktu 2013-2017 seluas 1,47 juta hektar hutan hilang per tahunnya. Kerusakan ini terhitung sangat cepat, masif dan berdampak terhadap masyarakat, hidupan liar dan iklim.

Menurut Laporan KOMNAS HAM “Konflik Agraria Masyarakat Hukum Adat Atas Wilayahnya di Kawasan Hutan” (Cahyono, dkk (ed) 2016: ix), lebih dari 70 juta atau 20% dari total penduduk Indonesia adalah masyarakat adat, dan setengah darinya bergantung terhadap hutan di sekitar mereka. Pengrusakan hutan menyebabkan perikehidupan masyarakat adat terancam.

Perusakan hutan bertentangan dengan masyarakat adat yang dalam praktik-praktik kehidupannya masih memperhatikan keseimbangan alam dan kelestarian lingkungan, misalnya Masyarakat Adat Kasepuhan, dan Masyarakat Adat Baduy di Provinsi Jawa Barat dan Banten.

Adat di Kasepuhan dan Baduy masih sangat ketat mengatur sendi-sendi kehidupan masyarakatnya, misalnya dalam pengaturan pengelolaan sumber daya alam. Adat masyarakat Kasepuhan dan Baduy yang sarat akan perspektif penjagaan keseimbangan alam tersebut kemudian menghadirkan kearifan-kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam, seperti siloka-siloka (petuah-petuah)  di bawah ini:

Bakti ka Indung anu Ngandung, ka Bapa’ anu Ngaguya- Seperti dikutip dari Santosa, dkk (2007) Bumi adalah Ibu dan Langit adalah Bapak. Masyarakat Adat Kasepuhan percaya bahwa bumi adalah simbol “ibu” dan langit adalah simbol “bapak.” Tak elok jika Ibu “melahirkan” lebih dari satu kali dalam setahun, jika dipaksakan maka bumi akan rusak.  Oleh sebab itu untuk menjaga kelestarian ibu bumi Masyarakat Adat Kasepuhan mematuhi filosofi ini dengan hanya menanam padi satu kali dalam setahun. Dilihat dari sisi ekologis penanaman dan pemanenan padi satu kali setahun secara serentak memutus siklus hama dan memberikan waktu bagi tanah untuk memulihkan kesuburannya.

Gunung kayuan, lamping awian, lebak sawahan, legok balongan, jeung datar imahan. Seperti dikutip dari Santosa, dkk (2007) bahwa Masyarakat Adat Kasepuhan percaya bahwa daerah pegunungan harus ditanami oleh pohon berjenis kayu-kayuan. Daerah yang memiliki kemiringan cukup tinggi harus ditanami dengan bambu (mewakili tanaman multifungsi dan menjadikan daerah tersebut sebagai zona penyangga bagi daerah yang lebih rendah). Daerah yang rendah dengan ketersediaan air yang cukup cocok sebagai areal persawahan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat. Daerah yang cekung dan memiliki akses sumber air berlimpah hendaknya dijadikan kolam untuk menampung air atau sumber mata pencaharian di bidang perikanan. Terakhir, daerah yang datar sebaiknya dijadikan areal perkampungan tempat tinggal masyarakat.

Gunung teu menang dilebur, lebak teu menang diruksak – seperti dikutip dari Santosa, dkk (2007), yang artinya gunung tidak boleh dilebur, hutan tidak boleh dirusak. Gunung dan hutan tidak hanya dimaknai sebagai bagian dari bentang alam, namun Masyarakat Adat Kasepuhan memahami adanya fungsi-fungsi ekologis dari gunung dan hutan yang harus dipertahankan untuk menjaga keseimbangan ekosistem bumi secara keseluruhan. 

Gunung aya maungan, lebak aya badakan, lembur aya kokolotan, leuwi aya buayaan- seperti diceritakan oleh masyarakat adat Baduy bahwa di gunung ada macan, di tempat yang lebih rendah ada badak, di kampung ada orang tua, di sungai ada buaya. Masyarakat adat Baduy percaya bahwa setiap tempat ada yg menjaganya, maka tidak boleh gegabah (tidak hati-hati) untuk merusak dan mengganggu alam.

Hareup teuing bisi tijongklok, tukang teuing bisi tijengkang, siger  tengah. Dahar tamba lapar, nginum tamba hanaang – seperti dikutip dari tulisan Kusnaka (1992), yang artinya adalah terlalu depan bisa tersungkur, terlalu belakang bisa tertelentang, lebih baik di tengah-tengah. Makan sekedar menghilangkan rasa lapar, minum sekedar menghilangkan rasa haus.  Masyarakat Kasepuhan sebagai bagian dari masyarakat sunda percaya bahwa segala hal yang berlebihan itu kurang baik, lebih baik dikontrol agar tidak berlebihan, wajar, dan seimbang. Filosofi ini juga mengingatkan masyarakat agar tidak melakukan eksploitasi berlebihan terhadap alam.  

Masih banyak lagi petuah-petuah yang mengatur pengelolaan sumber daya alam di masyarakat adat Baduy dan Kasepuhan. Berbagai prinsip tersebut telah mencegah pemanfaatan sumber daya alam secara eksploitatif dan membantu mengurangi dampak dan memperlambat perubahan iklim, minimal di wilayah-wilayah kelola masyarakat adat.

Sayangnya, bahkan sebelum ada produk perundang-undangan yang dapat mengakui, melindungi, dan memberdayakan masyarakat adat di Indonesia, ancaman legislasi lain sudah menghantui. Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Masyarakat adat adalah kelompok yang paling rentan dan terancam perampasan tanah yang akan dilegalkan melalui RUU Cipta Kerja. Tidak hanya itu, RUU Cipta Kerja juga meniadakan perangkat-perangkat penjamin lingkungan dalam proses perizinan dan investasi, Amdal misalnya. Akibatnya, pemanfaat sumber daya alam secara eksploitatif akan semakin memburuk dan yang menjadi korbannya adalah masyarakat adat yang masih sangat dekat dan bergantung penghidupannya pada sumber daya alamnya. 

 

Penulis: Siti Marfu’ah

Editor: Indra N. Hatasura dan Wahyubinatara Fernandez

 

Referensi

Adimihardja, Kusnaka.(1992).Kasepuhan yang tumbuh di atas yang luruh : Pengelolaan lingkungan secara tradisional di kawasan Gunung Halimun. Jawa Barat. Bandung : Tarsito.

Andri Santosa, A. A, dkk. (2007). Nyanghulu Ka Hukum, Nyanghunjar Ka Nagara: Sebuah Upaya Masyarakat Adat Cibedug Memperoleh Pengakuan. Bogor: RMI-The Indonesian Institute For Forest And Environment.

Cahyono, Eko, dkk (ed). 2016.Inkuiri Nasional Komnas HAM, Hak Masyarakat Hukum Adat atas Wilayahnya di Kawasan Hutan,  Konflik Agraria Masyarakat Hukum Adat Atas Wilayahnya di Kawasan Hutan, Sumatra-Jawa-Kalimantan-Sulawesi-Maluku-Bali-Nusa Tenggara-Papua. Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

Harvey, Fiona. 2019. World Losing Area of Forest the Size of UK Each Year Report Finds. https://www.theguardian.com/environment/2019/sep/12/deforestation-world-losing-area-forest-size-of-uk-each-year-report-finds diakses pada 22 April 2020

Tim FWI. 2019. Angka Deforestasi sebagai “Alarm” Memburuknya Hutan Indonesia. http://fwi.or.id/wp-content/uploads/2019/10/FS_Deforestasi_FWI_small.pdf diakses pada 22 April 2020

Pengumuman Seleksi – Peserta Short Course Relawan Lingkungan untuk Perubahan Sosial (Batch 3)

Terima kasih atas antusias para pendaftar Short Course Relawan Lingkungan untuk Perubahan Sosial Batch ke-3. Setelah melalui proses seleksi, telah terpilih 13 anak muda yang memenuhi kualifikasi untuk mengikuti kegiatan ini:

  1. Ahmad Syufri
  2. Indriani Widyawati
  3. Yuli lindiawati
  4. Nurrahmat Saputra
  5. Sindy Indah Oktaviani
  6. Alfina Khairunnisa
  7. Nadia Alam Qosbi
  8. Eli Martika Sari
  9. Nadyati Fazrin
  10. Alfiatus Zulfa
  11. Diah Rosita Dewi
  12. Arif Hermanto
  13. Nafisah Nur Alifah

Selamat untuk peserta yang terpilih!

Terkait teknis pelaksanaan short course ini, perlu disampaikan kembali beberapa hal berikut ini:

  • Peserta terpilih diharapkan membayarkan commitment fee sebesar Rp. 150.000,- selambat-lambatnya hari Rabu, 25 September 2019 pukul 23.59 WIB. Pembayaran dapat dilakukan dengan transfer ke Rekening Bank Syariah Mandiri dengan Nomor 7103375139 atas nama Siti Marfuah. Harap melakukan konfirmasi ke nomor 0818 0711 7488 (WA) setelah melakukan pembayaran. Commitment fee ini akan dikembalikan pada saat penyelenggaraan short course.
  • Beasiswa yang diberikan hanya meliputi transport lokal antara kantor RMI dan lokasi short course serta akomodasi dan berbagai keperluan selama pelaksanaan short course. Transportasi dari domisili masing-masing menuju dan dari kantor RMI tidak ditanggung.
  • Peserta diharapkan tiba di Bogor pada Kamis, 26 September 2019 karena kegiatan akan dimulai pada pagi hari Jumat, 27 September 2019. RMI menyediakan tempat menginap seadanya di kantor RMI bagi yang telah berada di Bogor sejak tanggal 27 September 2019 (harap membawa peralatan tidur seperti sleeping bag dan anti nyamuk).