Refleksi Destinasi Super Prioritas di Labuan Bajo dari Pelatihan Kepemimpinan 3 Kampung Katong

Melihat fenomena pembangunan pariwisata melalui kacamata penduduk lokal memerlukan kesadaran kritis-kontekstual karena seringkali kemewahan yang ditawarkan oleh pembangunan sangat membuai dan meninabobokan. Dampak pembangunan pariwisata merupakan hasil dari proses sistemik yang serba saling memengaruhi secara timbal balik.  Hal inilah yang disoroti Konsorsium Kampung Katong melalui “Pelatihan Kepemimpinan 3” yang mengangkat tema kepemimpinan di level sistemik dalam konteks perebutan ruang hidup dan pengelolaan sumber daya alam.

Pelatihan Kepemimpinan 3 Kampung Katong mengajak orang muda dari tiga komunitas–Simpasio Institute, Lakoat.Kujawas dan Kolektif Videoge–untuk menganalisis, merefleksi dan menyikapi pembangunan pariwisata di Labuan Bajo menggunakan perspektif etika lingkungan, ekologi politik, pembangunan inklusif dan pembangunan berkelanjutan.

Pola interaksi manusia-alam yang eksploitatif telah memicu berbagai krisis sosial dan lingkungan. Interaksi ini lahir dari pandangan bahwa manusia adalah entitas yang terpisah dengan alam. Bukan sebagai satu kesatuan utuh yang berinteraksi timbal-balik. Peserta pelatihan mempelajari hal ini dalam sesi etika lingkungan. Antroposentrisme–pandangan yang menempatkan manusia sebagai pusat dari alam semesta–begitu kuat mengakar, sehingga hubungan antara manusia dengan alamnya pun dilandaskan pada ukuran-ukuran yang menguntungkan manusia semata. Dengan kata lain,  “sebesar apa manfaat alam bagi manusia?”

Pemahaman pegiat komunitas yang hadir dalam pelatihan selanjutnya diperkuat ketika materi ekologi politik disampaikan. Sesi ini dibawakan oleh Marta ‘Ica’ Muslin, seorang pegiat lingkungan yang berbasis di Labuan Bajo. Warga Labuan Bajo menyaksikan bagaimana kampung halamannya disulap menjadi kota dalam sekejap. Acara Komodo Sail 2013 dan ditetapkannya Labuan Bajo sebagai destinasi pariwisata super premium melalui Perpres No. 32 Tahun 2018 adalah di antara dua hal yang berdampak signifikan terhadap berubahnya rupa Labuan Bajo. Ica menjelaskan bahwa pembangunan pariwisata di Labuan Bajo memiliki sisi baik dan sisi buruk sekaligus seperti dua sisi mata uang.

Foto bersama Martha Muslin, Narasumber Politik Ekologi dalam Pelatihan Kepemimpinan III
Foto bersama Martha Muslin, Narasumber Politik Ekologi dalam Pelatihan Kepemimpinan III

Ia banyak bercerita mengenai pengalaman advokasi dan kolaborasi dengan pemerintah setempat. Ia mengatakan bahwa dengan masuknya pariwisata telah memicu membaiknya layanan publik khususnya rumah sakit dan sekolah tinggi pariwisata di Labuan Bajo. Meskipun begitu, pariwisata membawa dampak lain. Salah satunya adalah permasalahan air. Nyatanya, akses terhadap air bersih terbatas. Hal ini ditengarai oleh pesatnya kemajuan pariwisata yang mengeksploitasi air tanah besar-besaran untuk hotel, alih fungsi lahan, dan lain sebagainya.

“Untuk masalah air, (pengaruh) pariwisata terhadap air (yaitu) satu orang tamu bintang 5 itu setara 100x pemakaian air orang biasa… (di sisi lain) ada juga kasus di rumah tangga karena malamnya suami tunggu air dan paginya harus mengantar tamu (wisatawan) sehingga ada konflik. Ada 12 kasus suami istri yang sampai bercerai. Sekarang distribusi air sudah lebih bagus, tapi orang sudah harus berpikir untuk untuk mendaur ulang air dengan izin hotel bintang 5… Permasalahan air di seluruh manusia memang (menjadi) masalah tapi disini lebih masalah lagi karena pariwisata.”

Selain itu, kasus penyempitan wilayah tangkap adalah contoh persoalan bermuatan ekologi politik yang harus dihadapi warga Labuan Bajo sehari-hari. Sebagaimana disampaikan oleh Ica sebagai berikut:

“Dalam konteks Labuan Bajo, zona pariwisata meluas, zona bahari mengecil. Tapi tidak ada yang memberikan program langsung dan signifikan untuk nelayan. Sehingga nelayan kadang membawa pisau, jaga-jaga jika bersitegang dengan orang yang diving. Itulah asalnya konflik. Karena perebutan ruang.”

Realitas laju pembangunan di Labuan Bajo yang meminggirkan masyarakat lokal memantik diskusi lebih lanjut tentang topik pembangunan inklusif. Melalui permainan Maju Satu Langkah[1], muncul kesadaran bahwa setiap orang memiliki kondisi terberi (given) lalu sejauh mana setiap individu menyikapi dan mau bekerja keras untuk memperbaiki hidupnya meskipun kebijakan negara tetap memainkan peran. Seperti yang dikatakan Marto dari Kolektif Videoge:

“Kita semua punya modal tergantung cara pandang kita. Ada modal sosial dan modal ekonomi. Kalau tidak bisa mengolahnya, saya tidak akan maju. Tergantung modal apa yang mau dimainkan.”

Sedangkan dari sisi keberlanjutan pengelolaan sumber daya alam, isu ini disampaikan melalui permainan tangkap ikan.[2] Indra, fasilitator, merefleksikan bahwa:

“Perasaan senang yang muncul ketika bermain tadi ada saat kita berbisnis. Senang mendapatkan ikan banyak membuat kita ketagihan. Sebetulnya menurut saya, semuanya kalah (karena ikan tinggal sedikit). Perusahaan bisa mendapat ikan dengan tidak terbatas, lalu baru sadar ketika SDA (ikan) sudah menipis. Karena ada aturan yang menyebutkan bahwa ikan akan ditambah 10 persen dari total populasi, peserta yang berperan sebagai perusahaan tidak awas dengan peringatan itu. Ini ngomongin keberlanjutan. Tadi itu adalah eksploitasi dan perasaan yang menyenangkan itu timbul dari profit. Bisa saja untung perusahaan kecil tapi berkesinambungan. Perusahaan akan cenderung melanggar aturan karena visinya profit dan itu karakteristik mereka. Investasi berpengaruh pada beberapa hal: SDA mulai kritis dan tidak sensitif bahwa praktik yang mereka lakukan merugikan orang lain. Seringkali pembangunan dijalankan tanpa konsep yang bagus. Kadang kita juga tidak mau berhenti sebentar untuk melihat ulang. Sulit berhenti walaupun sudah tahu caranya salah.”

Merangkum isu pembangunan pariwisata di Labuan Bajo dapat diilustrasikan  dengan baik oleh Aden dari Videoge:

“Kami merasa sadar/tidak sadar terpapar sangat kuat (oleh pembangunan). Ilustrasi kami itu (seperti) kami sedang belajar mengendarai motor. Sudah bonceng orang. Kita mesti gas, tapi kita mesti menurunkan lagi gas untuk memperhatikan sekeliling kita. Karena kecepatan tinggi, kita tidak sempat memperhatikan kiri-kanan kita. Apakah kita harus merelakan dua atau tiga generasi di Labuan menjadi tidak kritis, rapuh. Itu juga yang menjadi refleksi. Mau menyelamatkan orang, tapi kita sendiri tidak selamat.”

Aden & Saddam, crew Videoge, sedang cerita tentang Kolektif Videoge

Pernyataan Aden, Videoge, menggambarkan kegelisahannya sebagai warga Labuan Bajo yang harus beradaptasi dengan arus pembangunan sambil berefleksi akan perubahan-perubahan yang terjadi di sekelilingnya yang terjadi begitu cepat. Ia harus menghadapi pembangunan pariwisata di Labuan Bajo yang didorong oleh negara (state driven) sepanjang rezim pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo yang dibuktikan dengan serangkaian peraturan perundang-undangan seperti  Peraturan Pemerintah (PP) No. 50 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010-2025 dan Perpres nomor 32 Tahun 2018 tentang Badan Otorita Pengelolaan Kawasan Pariwisata Labuan Bajo Flores, membuat Labuan Bajo masuk ke dalam daftar 10 destinasi wisata prioritas sejak 2015 untuk kemudian tetap masuk ke dalam 5 lokasi DSP hasil pengerucutan di tahun 2019.

Dorongan pemerintah untuk pembangunan daerah pariwisata di Labuan Bajo beriringan dengan momen ditetapkannya Pulau Komodo sebagai tujuh keajaiban dunia di tahun 2012 dan Komodo Sail di tahun 2013 yang menjadi dua peristiwa penting yang ikut bersumbangsih untuk mengakselerasikan pembangunan pariwisata di Labuan Bajo sebagai lambang destinasi pariwisata di Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Dapat dilihat bahwa pembangunan pariwisata di Labuan Bajo berbasiskan transformasi ruang dan pemgambilalihan ruang. Inisiasi pemerintah untuk membuat “Bali baru” dengan label destinasi super prioritas (DSP) Indonesia dapat dikatakan berhasil. Tidak heran jika kita berada di pusat keramaian yaitu di Jalan Soekarno Hatta, Labuan Bajo, kita merasa seperti sedang berada di kawasan Pantai Kuta, Bali. dengan trotoar lebar bagi pejalan kaki dan tempat-tempat makan bervariasi di kiri dan kanan jalan. Transformasi ruang terlihat sangat jelas dalam waktu 11 tahun sejak Pulau Komodo menjadi salah satu dari tujuh keajaiban dunia.

Transformasi ruang tentunya tidak murah. Dilansir dari ekonomi.bisnis.com, Menteri PUPR Basuki Hadimuljono mengatakan bahwa pada tahun ini, pemerintah telah mengalokasikan anggaran pembangunan infrastruktur untuk pengembangan KSPN Labuan Bajo sebesar Rp1,30 triliun atau lebih besar dari 2019 sebesar Rp83,20 miliar. (Gunawan, 2020) Dengan begitu, pembangunan akan bertumpu pada konsentrasi modal pemerintah yang melibatkan pemilik modal swasta untuk melegitimasi transformasi dan pengambilalihan ruang. Adapun pembangunan ini ditopang oleh konektivitas komunikasi dan transportasi sehingga aktor baru, pengusaha-pengusaha, dapat bermigrasi dan mempercepat pembangunan. Tak mengherankan jika dalam waktu sebelas tahun sejak 2012, pembangunan di sini melesat jauh meninggalkan daerah-daerah di sekitarnya.

Sejatinya label DSP sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) yang disematkan pada Labuan Bajo membuatnya dilabeli menjadi daerah beridentitas tunggal yaitu kawasan pariwisata. Hal ini menggerus identitas lain seperti masyarakat pesisir dan nelayan. Terjadi juga perubahan mata pencaharian yang terkonsentrasi pada sektor pariwisata. Sektor pariwisata tersebut menawarkan bentuk usaha baru yakni usaha jasa wisata, penginapan, oleh-oleh dan food and beverages. Sayangnya usaha yang berkembang ini membutuhkan modal besar yang seringkali tidak dimiliki warga lokal. Alhasil, warga lokal yang diuntungkan hanya mereka yang menyewakan atau menjual tanah dan bangunannya. Mengeksklusi individu yang tidak memiliki modal.

Ditambah lagi perubahan sosial muncul di beberapa isu lain sebagai konsekuensi dari pembangunan yang tidak inklusif. Hal ini juga tergambarkan melalui tulisan Kiwang dan Arif, yang termuat dalam Jurnal Studi Sosial berjudul Perubahan Sosial Ekonomi Masyarakat Labuan Bajo Akibat Pembangunan Pariwisata sebagai berikut:

Secara sosial kehidupan masyarakat juga berubah seperti nelayan yang tidak lagi bebas untuk melaut dan menangkap ikan di semua zona laut dikarenakan pemberlakukan larangan penangkapan ikan pada zona tertentu, pergeseran kepemilikan dimana banyak lahan-lahan milik penduduk beralih kepemilikan kepada para investor, tergerusnya budaya lokal, dan timbul kejahatan. Anak-anak muda mulai nongkrong dan mabuk-mabukan, mereka mulai mengikuti gaya hidup wisatawan, mulai dari menggunakan bahasa asing sampai berpakaian dan berperilaku seperti wisatawan asing. Muncul juga balapan liar, pencurian termasuk narkoba.

(Kiwang & Arif, 2020)

Meskipun begitu, pembangunan ini juga memberikan kemajuan khususnya pada aspek pelayanan publik. Dengan masifnya pembangunan di sini; rumah sakit didirikan, transportasi lebih nyaman, jalan raya dan sekolah tinggi jurusan pariwisata didirikan. Tetapi, tidak semuanya mampu merasakan dampak positif dari pembangunan. Lalu bagaimana nasib mereka yang tersisih?

Daftar Pustaka

Kiwang, A. S., & Arif, F. M. (2020, November 18). Perubahan Sosial Ekonomi Masyarakat Labuan Bajo Akibat Pembangunan Pariwisata. Jurnal Studi Sosial, 87-97.

Gunawan, A. (2020, September 11). Anggaran Pengembangan KSPN Labuan Bajo Tahun Ini Rp1,3 Triliun. Retrieved from Ekonomi.bisnis.com: https://ekonomi.bisnis.com/read/20200911/45/1290435/anggaran-pengembangan-kspn-labuan-bajo-tahun-ini-rp13-triliun


[1] Setiap peserta diberi peran tertentu kemudian maju atau diam ketika disebutkan narasi pembangunan. Misalnya fasilitator memberikan narasi “Program bantuan UMKM” maka peserta maju satu langkah jika merasa cocok, bermanfaat dan sejalan dengan narasi pembangunan yang disampaikan.

[2] Permainan tangkap ikan adalah permainan memancing menggunakan tali, penjepit kertas dan ikan yang terbuat dari kertas. Peserta dibagi menjadi beberapa kelompok dan mengumpulkan tangkapan dalam beberapa babak. Aturannya, populasi ikan akan bertambah 10% setiap babak. Permainan berhenti setelah beberapa babak dengan hasil akhir ikan lestari, sedikit atau habis. 

Penulis: Rifky P.K.

Editor: Supriadi

Seberapa Mendesaknya RUU Masyarakat Adat bagi Generasi Muda Adat?

Foto 1: Anak-anak Kasepuhan Karang bermain di tempat ekowisata di dalam kawasan Hutan Adat Kasepuhan Karang, Lebak, Banten yang ditetapkan akhir tahun 2016 (sumber foto: RMI)

Sekitar 370 juta orang—atau setara dengan 5 persen penduduk dunia—adalah Masyarakat Adat (Interfaith Rainforest Initiative, 2019) yang kemudian diperkirakan bahwa 70 juta orang diantaranya hidup tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Di sisi lain narasi dan hasil studi kerap menyatakan bahwa meskipun mereka “hanya” menyumbang 5 persen dari total populasi dunia, namun Masyarakat Adat mengelola lebih dari 80 persen keanekaragaman hayati global. Menilik pentingnya peran masyarakat adat dalam menjaga keberagaman biodiversitas—apalagi di tengah laju krisis iklim yang kian mengkhawatirkan—sudah sepatutnya hak dan keberlanjutan penghidupan mereka dilindungi oleh tiap negara di mana Masyarakat Adat tinggal. Dalam konteks Indonesia sendiri, pemerintah Indonesia merupakan salah satu dari 144 negara yang mendukung pengesahan deklarasi PBB mengenai Hak Masyarakat Adat (United Nations Declarations on the Rights of Indigenous PeoplesUNDRIP) di Sidang Umum PBB pada 13 September 2007. 14 tahun telah berlalu sejak UNDRIP disahkan, namun Indonesia tak kunjung memiliki payung hukum yang memastikan terjaminnya hak-hak Masyarakat Adat.

Masyarakat Adat di Indonesia memiliki latar belakang sosial budaya beserta pola penghidupan yang relatif berbeda antara satu dan yang lainnya. Namun diantara perbedaan tersebut, terdapat kesamaan cara hidup dan sistem kepercayaan yang mengikat mereka menjadi satu kesatuan Masyarakat Adat yaitu penghormatan terhadap alam dan roh leluhur. Perampasan ruang hidup dengan dimasukannya wilayah adat ke dalam hutan negara maupun eksploitasi wilayah kelola Masyarakat Adat oleh perusahaan perkebunan dan pertambangan selama puluhan tahun, di sisi lain, telah menunjukkan dampak merugikan bagi kelestarian alam dan keberlangsungan hidup Masyarakat Adat. Situasi konflik dengan perusahaan dan negara seringkali memicu disintegrasi diantara anggota Masyarakat Adatnya sendiri, selain juga makin membatasi ruang tumbuh perempuan dan generasi muda adat yang masih diposisikan sebagai kelompok masyarakat kelas dua.

Persoalan Masyarakat Adat Mentawai dan perspektif anak muda

Hidup selaras dengan alam selama ratusan tahun lamanya, Masyarakat Adat Mentawai bertahan hidup dengan mengandalkan sumber daya hutan dan laut Kepulauan Mentawai dari generasi ke generasi. Meskipun demikian, laju deforestasi dan perusakan ekosistem akibat eksploitasi hutan oleh beberapa perusahaan pemegang izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) sejak tahun 1970-an kian membuat orang Mentawai khawatir akan masa depannya. “Perusahaan saat ini akan hadir di wilayah adat kami. Kalau itu [wilayah adat] rusak, kami akan kehabisan sumber daya dan mata pencaharian. Tanpa wilayah adat kami tidak bisa berbuat apa-apa,” kata Gayus Sihan, salah seorang generasi muda adat Mentawai.

Bertahun-tahun para pemodal mengincar wilayah adat Mentawai untuk dieksploitasi, bertahun-tahun pula Masyarakat Adat Mentawai berjuang menolak mereka masuk. Gayus menambahkan bahwa perjuangan tersebut sangatlah berat, terutama karena masyarakat sendiri terpecah menjadi golongan yang pro dan kontra terhadap rencana masuknya investor tersebut. Pemilik wilayah atau lembaga adat memang menolak secara secara tegas masuknya perusahaan karena mereka menilai alam dan tradisi adatnya secara otomatis akan hancur. Sedangkan mereka yang mendukung berargumen bahwa peluang pekerjaan akan terbuka apabila ada perusahaan yang beroperasi di sekitar mereka dan mereka tidak perlu lagi bertani: cukup bekerja dan menerima upah setiap hari.

Pemikiran kelompok yang menerima pendirian perusahaan tersebut utamanya bersumber dari kalangan anak-anak muda Mentawai saat ini. Pemikiran itu didasari oleh persoalan sumber penghidupan di kampung yang diperkeruh juga oleh adanya persepsi bahwa bekerja di perusahaan akan jauh lebih menghasilkan dibanding berlelah-lelah menggarap lahan pertanian—apalagi hasil dari bertani dianggap tidak seimbang dengan penghasilan yang didapat. “Jadi kesannya mereka lebih senang menjadi kuli disbanding mengelola wilayah adatnya sendiri,” ujar Gayus.

Generasi muda adat Mentawai yang kontra dengan keberadaan perusahaan lebih jauh berpandangan bahwa daripada mereka harus pergi ke luar kampung untuk mencari nafkah dan menjadi kuli seumur hidup, lebih baik mengelola wilayah adatnya yang terbentang luas di depan mata karena otomatis hasil jerih payahnya tersebut akan dinikmati oleh dirinya serta dapat diwariskan ke anak cucu. Ketika mendengar rencana masuknya investasi ke wilayah kampungnya, Gayus mengaku sempat berdebat dengan golongan tua yang menyambut kehadiran perusahaan dengan tangan terbuka. “Bagi saya wilayah adat itu adalah ibu yang menyusui saya karena di wilayah adat ini ada sumber penghidupan yang tidak akan habis. Di sini saya bisa menata masa depan yang lebih cerah dibanding menjadi guru atau menjadi kuli di perusahaan. Jangan jadikan kami kuli di Tanah kami sendiri,” pungkasnya.

Di kampungnya, anak muda Mentawai aktif berkegiatan termasuk mengenal tradisi adatnya sendiri. Mereka telah mencoba menelusuri sejarah leluhur, menginisiasi diskusi dan pelatihan terkait kedaulatan pangan, belajar memetakan wilayah adat, dan mengikuti diskursus seputar Masyarakat Adat yang salah satunya adalah terkait mandeknya pengesahan UU Masyarakat Adat yang sudah dibahas di DPR sejak tahun 2009 namun hingga hari ini tak kunjung disahkan. Mereka berusaha mencari aturan-aturan yang berlaku di negara kita kalau seandainya wilayah adat dikelola oleh perusahaan. Menurutnya penting untuk mendesak pejabat negara agar segera mengesahkan UU Masyarakat Adat supaya kami dapat terus menjaga wilayah adat dan nilai-nilai yang menyertainya.

Pengesahan RUU Masyarakat Adat terseok-seok

Posisi Masyarakat Adat sangatlah istimewa karena keberadaan mereka sudah ada sejak ribuan tahun lalu. Namun persoalannya kedudukan mereka tidak dilindungi atau diatur dalam sistem hukum di Negara Indonesia. RUU Masyarakat Adat adalah suatu rancangan UU yang dasar pembentukannya  diamanatkan oleh oleh konstitusi UUD 1945 pasal 18 ayat 2. Namun sudah 76 tahun Indonesia merdeka, UU Masyarakat Adat belum juga disahkan. Padahal harusnya ia hadir sebagai payung hukum yang memastikan pemulihan, perlindungan, pengakuan hak, dan pemberdayaan Masyarakat Adat. Misalnya Masyarakat Adat Mentawai yang telah memiliki kepercayaan asli bernama arat sabulungan, mereka harusnya itu diakui dan dihormati oleh siapapun termasuk negara. Namun yang terjadi malah agama leluhur ini tersingkir karena tidak diakui.

Selain terkait kepercayaan, permasalahan terbesar Masyarakat Adat di Indonesia adalah perampasan paksa wilayah adat yang mereka kelola. Tidak terhitung banyaknya izin konsesi yang tidak melalui proses adat, tidak ada pemberitahuan, apalagi minta izin kepada Lembaga adat. Masyarakat adat mengalami pemiskinan, setelah itu perusahaan pergi ke tempat lain dan melakukan kerusakan ekologi di wilayah lainnya. Kondisi yang merugikan Masyarakat Adat ini seharusnya dapat dihindari jika UU Masyarakat Adat telah lama terbentuk sebab ia mampu mendasari pembentukan program-program yang memprioritaskan kesejahteraan Masyarakat Adat di Indonesia.

Foto 2: Kegiatan Skol Tomolok yang diinisasi oleh Masyarakat Adat Mollo di Timor Tengah Selatan, NTT (sumber foto: Lakoat.Kujawas)

UU Masyarakat Adat tidak disahkan sampai saat ini, menurut Abdon Nababan, karena belum adanya kemauan politik (political will) yang kuat dari negara. Kendati sejak era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono hingga Joko Widodo RUU Masyarakat Adat masuk ke dalam program legislasi nasional (prolegnas) tiap tahunnya, RUU ini tidak kunjung rampung dibahas dan disahkan. “Memang masih ada yang merasa bahwa kalau wilayah adat dikembalikan ke masyarakat adat, nanti mereka tidak bisa lagi mengeksploitasinya. Sedangkan izin konsesi telah disebarkan ke berbagai wilayah masyarakat adat, terutama pada masa Orde Baru. Jadi ada kekuatan kekuatan politik ekonomi yang secara terus-menerus berusaha agar RUU ini tidak disahkan,” terang Abdon.

Pembahasan mengenai RUU Masyarakat Adat dimulai sejak tahun 2006 ketika peringatan Hari Masyarakat Adat Internasional di Taman Mini Indonesia Indah. Saat itu Presiden SBY menyatakan bahwa RUU Masyarakat Adat ini sangat penting dan berdasarkan itu kemudian terjadi proses dialog-dialog dengan pemerintah. RUU ini kemudian masuk prolegnas sejak tahun 2012, bahkan di tahun 2014 sudah dibentuk panitia khusus yang dipimpin oleh Himmatul Aliyah Shintyawati—meskipun semua proses yang telah dilalui menguap begitu saja. Kelompok LSM sendiri mencurigai bahwa ada kepentingan-kepentigan pejabat pemerintah yang menghalangi rampungnya pembahasan RUU Masyarakat Adat.

Zulkifli Hasan, Menteri Kehutanan pada saat itu, terkesan mengulur-ulur waktu dan mengutus orang yang tidak punya kapabilitas untuk membahas RUU ini. Karena di tahun 2014 gagal disahkan, memasuki periode kepemimpinan Joko Widodo, RUU ini kemudian harus disusun lagi dari nol—meskipun secara substansi sudah cukup dan tinggal disahkan saja pada tahun 2014 lalu. Meskipun masuk prolegnas setiap tahun, nyatanya Joko Widodo nampak tidak memprioritaskan perlindungan dan pemajuan Masyarakat Adat sebagaimana dijanjikan olehnya ketika masa pemilihan presiden 2014 lalu dan tertuang dalam Nawacita.

Secara keseluruhan memang nampak terlihat adanya upaya untuk menyingkirkan RUU Masyarakat Adat dari agenda politik nasional. Misalnya pernyataan fraksi Golkar pada 14 Januari 2021 lalu yang secara terang-terangan menolak pengesahan RUU Masyarakat Adat untuk masuk ke dalam prolegnas prioritas 2021. “Seberapapun kuatnya kepentingan politik ekonomi yang berusaha meminggirkan RUU Masyarakat Adat, kita harus terus perjuangkan karena ini bukan hanya untuk Masyarakat Adat tapi untuk kita semua, untuk bangsa dan negara Indonesia. Ini adalah perjuangan menyelamatkan 57 juta hektar kawasan hutan yang kita miliki saat ini yang sebenarnya wilayah adat dan 40 juta hektar diantaranya adalah hutan hutan hutan terbaik negeri ini,” tambah Abdon.

Penting dan mendesak, segera sahkan RUU Masyarakat Adat!

Selain menjalankan perintah konstitusi UUD 1945, hadirnya UU Masyarakat Adat dapat menjamin kepastian hukum bagi keberadaan Masyarakat Adat seluruh Indonesia. Selama ini kriminalisasi dan perampasan paksa ruang hidup Masyarakat Adat ditengarai terjadi salah satunya karena belum adanya satu UU yang menjamin perlindungan dan pemastian hak-hak Masyarakat Adat. Keberadaan UU Masyarakat Adat mampu menginisiasi peraturan turunan yang dapat mengembalikan wilayah adat kepada pengelola asalnya yang telah menjaganya selama ratusan tahun yaitu Masyarakat Adat itu sendiri. Mana daerah-daerah yang tidak dapat dan dapat dieksploitasi akan tergambar jika RUU Masyarakat Adat telah disahkan.

“Mengingat besar dan terhubungnya dampak dari disahkannya RUU ini, maka RUU Masyarakat Adat harus kita perjuangkan bersama—bukan hanya oleh golongan Masyarakat Adat dan LSM saja. Kalau ini tidak kita perjuangkan, maka bukan hanya Masyarakat Adat saja yang mengalami kerugian; namun seluruh bangsa ini akan mengalami kerusakan-kerusakan ekologis yang besar. [Perjuangan] Ini menjadi tanggung juga semua orang, bukan hanya oleh masyarakat adat yang di kampung-kampung tapi juga warga Indonesia juga anak muda yang ada di kota-kota,” papar Abdon. Keberadaan UU Masyarakat Adat, beserta kepastian perlindungan dan pemberdayaan Masyarakat Adat yang menyertainya, diproyeksikan mampu menyediakan sumber penghidupan bagi generasi muda adat di kampung sehingga mereka tidak harus meninggalkan kampung untuk bekerja di kota.

Jika anak muda adat dibekali dengan pengetahuan adat, pengetahuan tentang bagaimana mengurus dan mengelola wilayah adatnya; tentu mereka akan bisa menjadi bagian dari pemajuan kesejahteraan Masyarakat Adatnya itu. Anak-anak muda adat yang kemudian masuk ke sekolah-sekolah formal hanya untuk mempelajari “ilmu pergi”—belajar untuk mendapatkan gelar atau level pendidikan tertentu untuk bekal keluar dari wilayah adatnya—juga diharapkan dapat berkurang apabila peluang penghidupan di wilayahnya sendiri sudah memadai sehingga dapat berkontribusi membangun komunitas adatnya sendiri. Akan lebih banyak potensi kerusakan bagi Masyarakat Adat, penghidupan, dan lingkungan mereka yang dapat dihindari jika RUU Masyarakat Adat ini disahkan saat ini juga.

Keinginan agar segera disahkannya RUU Masyarakat Adat juga disampaikan oleh Gayus, mewakili harapan dan suara generasi muda adat Mentawai yang ruang hidupnya terancam oleh kehadiran investasi. “Saya sempat baca draft RUU Masyarakat Adat itu, saya lihat negara dapat melindungi, mengakui, dan melakukan pemberdayaan seperti menyediakan anggaran untuk Masyarakat Adat. Artinya kalau RUU ini disahkan otomatis kami sebagai Masyarakat Adat yang tinggal di komunitas akan memperoleh akses untuk bebas mengelola sumber daya yang ada di wilayah adat kami sesuai dengan kearifan lokal,” tutup Gayus.

Penulis: Supriadi