Indonesia merupakan Negara Mega Biodiversitas dengan keanekaragaman hayati nomor dua tertinggi di dunia setelah Brazil. Tercatat sebanyak 15,3% keanekaragaman hayati berada di Indonesia[1]. Hal tersebut membuat Indonesia memiliki sumber pangan, sumber obat-obatan, dan sumber ekologi yang lebih beragam dibandingkan dengan negara lain. Dalam buku Keanekaragaman Hayati, Amien S. Leksono mengatakan bahwa masyarakat Indonesia telah menggunakan 4.000 jenis tumbuhan dan hewan sebagai makanan, obat-obatan, atau produk lainnya[2]. Beberapa sumber pangan saat ini sudah sulit ditemukan karena jarang dimakan.
Untuk mengetahui keanekaragaman hayati sebagai sumber pangan dan untuk menambah wawasan anak muda, Relawan 4 Life, sebuah gerakan anak muda dampingan RMI, mengadakan diskusi melalui Instagram Live. Diskusi diadakan bertepatan dengan Hari Keanekaragaman Hayati Sedunia, 22 Mei 2020. Diskusi dipandu oleh Nadira Siti Nurfajrina, salah satu tim inti dari Relawan 4 Life, dan menghadirkan seorang narasumber, ahli pangan liar dan Founder Mantasa, Hayu Dyah. Awalnya, Hayu tertarik dengan pangan liar, karena Indonesia merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman hayati, namun masih banyak rakyatnya yang kelaparan. Maka ia mendirikan Mantasa, fokus pada pangan dari alam, agar masyarakat dapat mengkonsumsi keanekaragaman hayati yang jumlahnya banyak tersebut. Hutan, lahan basah, lahan gambut, termasuk juga mikroorganisme di dalam tanah, membuat tumbuhan liar bergizi, dan dapat dikonsumsi. Banyak masyarakat belum mengetahui, tumbuhan liar apa saja yang aman dikonsumsi dan memiliki kandungan yang baik untuk tubuh
Narasumber juga memberikan tips untuk memilih tanaman liar yang tidak beracun. Tanaman bisa dikatakan beracun jika warna dari buahnya itu cerah dan sangat kontras. Cara membedakan tanaman beracun, bisa juga dengan cara mencicipi tanaman tersebut. Jika terasa pahit, gatal, dan tidak enak, maka biasanya tanaman itu beracun.
Dijelaskan juga, hal dasar yang mempengaruhi menurunnya keanekaragaman hayati, karena adanya revolusi hijau. Revolusi hijau membuat petani menggunakan bibit dari pemerintah. Hal tersebut menyebabkan bibit lokal banyak yang punah karena tidak lagi dikonsumsi.
Kepunahan massal bisa terjadi kurang dari 30 tahun, bila kebijakan pemerintah mendukungnya. Ia pernah mewawancarai beberapa ibu di Flores tahun 1970-an. Pada masa itu ada program pemerintah tentang Rumah Sehat. Pemerintah menganggap rumah adat mereka tidak sehat. Rumah adat mereka berbentuk kotak, di tengahnya ada penyimpanan abu leluhur. Abu itu digunakan untuk mengawetkan benih, dan bahan pangan yang bersumber dari keanekaragaman hayati. Cara pengawetan benih secara tradisional ini sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Tradisi itu telah hilang ketika diberlakukannya program Rumah Sehat. Tidak hanya menghilangkan keanekaragaman hayati, tetapi juga menghilangkan budaya dan identitas mereka.
Diskusi selama satu setengah jam berjalan cukup hangat dengan banyaknya tanggapan dari para peserta. Salah satu peserta menanggapi penjelasan warna tanaman liar yang lebih gelap, tidak seperti mie instan yang warnanya sangat banyak tergantung rasanya. Keinginan menulis buku sebagai pengetahuan bagi kaum muda, masih mengalami kendala, narasumber menjawab pertanyaan seorang peserta.
Pada akhir diskusi, narasumber berpesan agar kita memperhatikan bahan pangan seperti memperhatikan isi piring saat makan. Perhatikan berapa macam jenis pangan yang kita konsumsi dalam seminggu, dan mulai terhubung dengan alam dan tanah. Hal seperti itulah yang memberikan gizi pada tubuh kita. Ia mengingatkan agar tidak takut mencoba menu baru yang berasal dari alam. mengajak kita untuk mengkonsumsi bahan pangan sesuai musim.
Diskusi ini dapat dilihat di Instagram @relawan4life
Malnutrisi masih menghantui masyarakat Indonesia saat ini. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan 2018 menunjukkan bahwa 17,7% bayi usia di bawah 5 tahun (balita) masih mengalami masalah gizi. Angka tersebut terdiri atas balita yang mengalami gizi buruk sebesar 3,9% dan yang menderita gizi kurang sebesar 13,8% (Kementrian Kesehatan, 2018). Adapun balita yang mengalami stunting (tinggi badan di bawah standar menurut usia) sebesar 30,8% (Riskedas, hal. 11, 2018). Tidak hanya itu, angka anemia pada ibu hamil juga cukup tinggi, yaitu sebesar 48,9%. Masalah tersebut berhubungan dengan fakta yang menunjukkan 70-80% ibu hamil belum tercukupi konsumsi energi dan proteinnya (Studi Diet Total: Survei Konsumsi Makanan Individu Indonesia. hal. 9, 2014). Padahal seribu hari pertama (sejak janin dalam kandungan hingga berusia dua tahun) anak sedang dalam masa emas pertumbuhannya. Mengingat pentingnya pemenuhan gizi bagi tumbuh kembang bayi dan ibu yang mengandung ditengah-tengah tingginya angka malnutrisi ini memperlihatkan bahwa masih ada permasalahan dalam hal konsumsi pangan.
Di sisi lain pangan termasuk salah satu bentuk hak asasi manusia paling dasar yang pemenuhannya dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945. Lebih lanjut, pembukaan UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan juga menyatakan bahwa negara berkewajiban mewujudkan ketersediaan, keterjangkauan, dan pemenuhan konsumsi pangan yang cukup, aman, bermutu, dan bergizi seimbang, baik pada tingkat nasional maupun daerah hingga perseorangan secara merata di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sepanjang waktu dengan memanfaatkan sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal.
Namun, pada pelaksanaannya Indonesia memiliki tantangan yang datang dari berbagai arah. Hironimus Pala dari Yayasan Tananua Flores, pada persentasinya (16/12/19) di Konfrensi Nasional Fian Indonesia, menyampaikan beberapa tantangan pemenuhan hak masyarakat akan pangan, seperti kebijakan yang kurang memberikan ruang bagi keberlanjutan sistem pangan lokal; tergusurnya nilai-nilai lokal akan pangan; belum dimanfaatkannya norma atau aturan komunitas yang hidup dengan kearifan lokal; dan hilangnya keanekaragaman varietas pangan lokal. Padahal, banyak masyarakat yang tinggal di sekitar dan di dalam hutan memanfaatkan pangan lokal dan tanaman pangan liar. Pernyataan tersebut didukung oleh FAO yang menyebutkan bahwa malnutrisi dapat diatasi dengan tanaman pangan liar (FAO Voluntary Guidelines for the Conservation and Sustainable Use of Crop Wild Relatives and Wild Food Plants, 2017).
Tanaman pangan liar adalah tanaman yang tumbuh di alam bebas dan masih mempunyai kemurnian dan dapat dikonsumsi sebagai makanan jika dipetik pada masa pertumbuhan yang sesuai dan dipersiapkan atau diolah dengan tepat. Tanaman pangan liar ini biasa tumbuh di pagar rumah, lapangan terbuka, pematang sawah, atau daerah yang dekat dengan air seperti selokan dan daerah sekitar sungai (Vesiano, L. 2017, FAO Voluntary Guidelines for the Conservation and Sustainable Use of Crop Wild Relatives and Wild Food Plants, 2017).
Tanaman pangan liar seperti terubuk atau bunga tebu, kluwek atau pucung, daun pohpohan, daun pakis dan daun ubi merupakan jenis tanaman yang bisa dikonsumsi oleh masyarakat. Daun kumis kucing, jahe, sereh, kunyit, dan kapulaga juga banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia sebagai bahan minuman herbal.
Ada keunikan tersendiri dalam cara mengolah tanaman-tanaman pangan liar tersebut. Terubuk, misalnya, yang biasa dimakan saat berumur sekitar lima bulan. Bagian yang dipanen adalah bagian malai yang masih muda, sedangkan yang dikonsumsi adalah bagian bunga yang terbungkus dengan pelepah daun atau dikenal dengan istilah kelobot. Terubuk biasa dimakan dalam bentuk mentah sebagai lalaban, dikukus atau ditumis. Selain itu, terubuk juga biasa dimasak menjadi sayur lodeh, sebagai campuran kare, dan juga sayur asem. Namun ada juga yang mengonsumsi dengan cara digoreng dengan menggunakan tepung atau dibuat perkedel. Terubuk sendiri kaya akan nutrisi dan zat-zat yang baik dan bermanfaat bagi tubuh. Kandungan mineralnya cukup tinggi terutama kalsium dan fosfor disamping vitamin C yang tak kalah tinggi. (Terubuk, Lezatnya si Bunga Tebu, 2009)
Selain terubuk, ada juga kluwek atau pucung. Kluwek atau pucung memiliki nama latin Pangium edule dan umumnya berwarna cokelat gelap hingga kehitaman. Kluwek biasa digunakan untuk membuat kuah rawon atau sop konro yang sangat khas berwarna cokelat gelap atau kehitaman. Nutrisi yang terdapat dalam kluwek di antaranya zat besi, vitamin C, vitamin B1, fosfor, kalium dan kalsium. Namun hati-hati, kluwek juga mengandung asam sianida, sejenis racun yang dapat membahayakan kesehatan jika dikonsumsi secara langsung. Kandungan asam sianida tertinggi terdapat dalam daging biji kluwek. Itulah mengapa sebelum mengonsumsinya kluwek harus direndam terlebih dahulu untuk menghilangkan racunnya sebelum diolah ke dalam masakan. (Berkenalan dengan Kluwek (Pucung) yang Menyimpan Segudang Khasiat, 2019).
Lain halnya dengan daun pakis. Pakis adalah sayuran yang dipanen dari batang tumbuhan paku yang masih muda. Daun pakis biasanya paling mudah ditemui pada saat musim semi atau musim hujan. Umumnya tumbuh di ngarai, pinggir sungai, atau tebing yang lembab. Tidak semua jenis tumbuhan paku bisa dikonsumsi pakisnya. Ada juga yang beracun, jadi sebaiknya hati-hati dalam memanennya. Pakis yang aman dan biasa dikonsumsi di Indonesia berasal dari spesies Diplazium esculentum. Daun pakis memiliki kandungan antioksidan, juga merupakan sumber asam lemak omega-3 dan omega-6, serta tinggi zat besi. Seratnya juga bermanfaat untuk kesehatan tubuh. Walaupun begitu daun pakis juga mengandung asam sikimat yang bisa menyebabkan gangguan pencernaan. Karena itu sayur pakis harus selalu dimasak sebelum dikonsumsi. Sebelum memetik daun ini, sebaiknya pilih pakis yang masih hijau dan pastikan batang masih belum berdaun. Cara pengolahan daun pakis sebaiknya juga dicuci dan dipotong dengan cara yang benar, seperti buang pangkal batangnya, cuci dengan garam, segera olah, dan rebus di air mendidih. Daun pakis biasa diolah menjadi cah pakis atau tumis pakis (Cara Mengolah Sayur Pakis, dari Pemilihan hingga Proses Memasak, 2019).
Gizi yang baik akan membuat pertumbuhan dan perkembangan kita menjadi optimal. Pada Hari Gizi Nasional yang diperingati setiap tanggal 25 Januari ini, mari kita melihat kembali potensi tanaman liar di sekitar kita sebagai bahan alternatif pangan, dan konsumsilah jenis makanan yang beragam untuk pemenuhan gizi yang seimbang.
Food and Agricultural Organization of the United Nations. (2017). Voluntary Guidelines for the Conservation and Sustainable Use of Crop Wild Relatives and Wild Food Plants. Rome, Rome, Italy. Diambil kembali dari fao.org.
Siswanto, d. (2014). Studi Diet Total: Survei Konsumsi Makanan Individu Indonesia 2014. Jakarta: Lembaga Penerbitan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementrian Kesehatan RI.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan.
Vesiano, L. (2017). Perancangan Buku Instruksional Tumbuhan Liar di Indonesia Sebagai Bahan Pangan. Jurnal Tugas Akhir.