Selamat untuk kamu yang terpilih sebagai peserta Kelas Online Kampanye Digital RMI-The Indonesian Institute for Forest Enviroenment 2021!
Berikut adalah nama-nama peserta terpilih:
Fenti nadia vista
T. Maria Sinaga
Gamaliel. M. Kaliele
Desra Ivana Sihombing
Al Rafi Rizqullah
Acip Spengko
Sandi
Fiahsani Taqwim
Satwika Satria Parahita
Badri Izinajmi
Arif Bagas Adi Satria
Muhammad Asyrof Naf’il Aufari
Agung Faris Anugrah
Revi Aulia Putri
Farradina Prima Putri
Yolanda Thalia
Sandi maulana
Ni Wayan Sri Utami Komaladewi
Melina Sari
Muhammadirsyad Kautsarshiddiq
Susi Sulistia
Siti aulia
David Nugroho
Maydi
Rosy Qoimatul Qolbiyah
Fina Niswah Bahjah
Informasi dan panduan lebih lanjut akan kami kirimkan di grup WhatsApp peserta. Link grup akan kami kirimkan melalui e-mail maupun WhatsApp masing-masing yang dikirimkan panitia. Peserta diharapkan bergabung pada grup WhatsApp paling lambat hari Jumat, 21 Mei 2021 pukul 12:00 WIB.
Keterlibatan generasi muda dan perempuan adat dalam Majelis Permusyawaratan Masyarakat Kasepuhan (MPMK) merupakan hal yang harus diapresiasi dan dikawal. Pasalnya, selama ini pemuda adat jarang dilibatkan dalam kegiatan adat, pengelolaan hutan, dan proses pengambilan keputusan lainnya. Mengingat pentingnya peran generasi muda sebagai generasi berikutnya yang melestarikan adat budaya Kasepuhan, sudah sepatutnya mereka dilibatkan. Terlebih lagi banyaknya ancaman yang hadir kemudian menyebabkan hilangnya wawasan adat budaya kasepuhan pada generasi muda.
MPMK sendiri adalah wadah komunikasi yang dibentuk oleh Masyarakat Kasepuhan dan terdiri dari unsur kokolot (tetua), unsur perempuan adat, unsur pemuda adat, dan unsur lainnya, seperti yang diamanatkan pada Bab 1 Ketentuan Umum Peraturan Daerah (Perda) Lebak No.8 Tahun 2015 tentang Pengakuan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Masyarakat Adat Kasepuhan. MPMK dibentuk pada 20 Desember 2020 melalui musyawarah adat di Kasepuhan Guradog, Kecamatan Curugbitung, Kabupaten Lebak. Pembentukan MPMK dinilai mendesak, mengingat saat ini sudah lima kasepuhan yang dikembalikan Hutan Adatnya.
Pada Selasa, 19 Januari 2021, bertempat di kantor DPRD Kabupaten Lebak, Banten, pengurus MPMK mensosialisasikan hasil musyawarah adat tersebut. Pertemuan sosialisasi MPMK melibatkan beberapa pihak, seperti unsur perempuan dan pemuda kasepuhan, Satuan Adat Banten Kidul (SABAKI). Dari organisasi masyarakat sipil hadir RMI, JKPP, dan HuMA yang telah lama bekerja sama dengan masyarakat Kasepuhan, untuk mendorong pemenuhan hak-hak mereka sebagai bagian dari masyarakat adat.
Junaedi Ibnu Jarta, atau yang akrab disapa Jun, selaku Ketua Umum menyampaikan bahwa MPMK merupakan organisasi yang memiliki visi “Menjadi Organisasi Terdepan yang PEDULI dan TURUT BERTANGGUNG JAWAB dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup dan kelangsungan Masyarakat Adat Kasepuhan” dengan tiga jenis keanggotaan, pertama Anggota biasa yaitu merupakan masyarakat keturunan masyarakat adat Kasepuhan. Kedua anggota luar biasa, adalah organisasi yang masyarakat adat kasepuhan dari masing-masing kasepuhan. Terakhir anggota luar biasa, yaitu masyarakat non adat yang memiliki perhatian dan kepedulian terhadap masyarakat adat kasepuhan.
Dalam kesempatan itu Jun juga menyampaikan bahwa MPMK memiliki sembilan ketua, yaitu Ketua Umum; Ketua Hukum dan HAM; Ketua Bidang Sosial dan Ekonomi; Ketua Bidang Penelitian, Pendidikan; Ketua Bidang Keagamaan dan Kebudayaan; Ketua Bidang Pemuda dan Infrastruktur Masyarakat Kasepuhan ; Ketua Bidang Kesehatan, Pemberdayaan Perempuan Adat dan Perlindungan Anak; Ketua Bidang Lingkungan Hidup, Kehutanan dan Pertanian; dan Ketua Bidang Organisasi, kaderisasi, dan Keanggotaan. Selain itu, dalam kepengurusan MPMK juga terdapat Direktur Eksekutif yang membawahi administrasi dan keuangan. MPMK juga memiliki Pelindung, Pembina dan Penasehat yang berada di struktur organisasinya.
Jun menyatakan bahwa pemuda perlu terlibat dalam kepengurusan MPMK, sehingga kemudian dipilih pemuda untuk berposisi di bagian keuangan dan di bidang pemuda MPMK. Dengan keterlibatan tersebut, Jun berharap ke depannya partisipasi pemuda akan semakin meningkat.
Adapun menurut pengamatan RMI, selama ini generasi muda adat Kasepuhan adalah kelompok yang suaranya kurang didengarkan. Padahal pemuda dan perempuan adat kasepuhan dinilai memberikan beragam perspektif baru yang mengisi ruang-ruang kosong dalam perjuangan masyarakat adat kasepuhan.
Dalam riungan SABAKI “Regenerasi: Adat dan Pengembangan Sumber Daya Alam di Mata Generasi Muda”, pada tahun 2019 di Kasepuhan Citorek, para pemuda yang mengikuti pelatihan menyatakan bahwa mereka belum banyak dilibatkan di organisasi tersebut. Namun demikian, keinginan mereka untuk berpartisipasi di organisasi dan kegiatan budaya sebenarnya sangat besar. Kendalanya adalah seringnya perasaan segan kepada orang-orang yang dituakan (baris kolot atau juru basa, misalnya) muncul, dan menahan mereka untuk berpartisipasi secara aktif.
Sebagai salah satu organisasi yang mengadvokasi pengakuan masyarakat adat Kasepuhan sejak 2003, RMI menilai Keterlibatan generasi muda dalam kepengurusan MPMK merupakan tahap dari jalan panjang yang harus ditempuh untuk mencapai kesejahteraan. Terlebih lagi setelah penyerahan Surat Keputusan Hutan Adat Kasepuhan Cibarani, Hutan Adat Kasepuhan Cirompang, Hutan Adat Kasepuhan Citorek, dan Hutan Adat Kasepuhan Pasir Eurih, pada 7 Januari 2021.
Selain memastikan keterlibatan generasi muda dalam pengurus MPMK, RMI bersama JKPP dan HuMA juga menyampaikan bahwa MPMK idealnya menjadi forum strategis dan independen yang menelurkan rekomendasi, gagasan untuk mendistribusikan kesejahteraan masyarakat kasepuhan dan pengamanan adat dan budaya kasepuhan agar tidak tergerus globalisasi, serta mengawasi kebijakan daerah atau organisasi lainnya yang terkait dengan masyarakat kasepuhan.
Matahari belum lama beranjak dari peraduannya ketika pemuda berusia 14 tahun melangkahkan kaki keluar rumah menggunakan baju lengan panjang, celana panjang, dan topi yang membuat ia terlihat sama dengan anak seumurannya. Anggapan tersebut sesaat berubah. Ia membawa pacul dan kaneron (tas yang terbuat dari karung).
“Arek ka sawah.”
Ingin ke sawah, katanya. Sawah adalah tempat yang paling sering ia kunjungi sejak dua tahun terakhir. Adut nama pemuda itu. Walaupun melelahkan, menurutnya, di sawah lebih baik daripada merasakan bosan di rumah.
Ketika modernitas dan gaya hidup di kota sudah menyergap, sawah bukanlah tempat yang menarik bagi anak muda seusianya, yang lebih memilih di rumah main gawai.
Bagi masyarakat adat Kasepuhan Cibedug, Lebak, Banten, sawah bagian dari hutan, tempat menggantungkan hidup karena sebagian besar kehidupan mereka dihabiskan di sawah. Lima hari dalam seminggu, dari pagi hingga petang mereka di leuweung garapan (hutan garapan, termasuk sawah, kebun, dan rumah), dan dua harinya di hutan untuk mengambil kayu bakar atau lalapan.
Kasepuhan Cibedug adalah komunitas masyarakat adat yang berada di wilayah yang berfungsi sebagai taman nasional, yaitu Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Kasepuhan ini berada di zona inti TNGHS dan saat ini sedang mengajukan Hutan Adat.
Saat kecil Adut tinggal di Lampung bersama ibu dan ayah tirinya. Adut mengenyam bangku pendidikan hanya 2 tahun, yaitu dari kelas 1 hingga 2 SD. Setelah itu ia menjadi buruh di perkebunan sawit, sebagai pengangkut buah kelapa sawit. Ibu dan ayah tirinya juga bekerja di perkebunan sawit sebagai penyemprot.
Dua tahun yang lalu, Adut pulang ke Kasepuhan Cibedug, kampung halaman ibunya. Ayah tirinya mengaku kalau Adut selama di Lampung tetap bersekolah, tetapi kenyataannya tidak. Dia diminta bekerja di perkebunan sawit. Adut pun telah lupa seperti apa ayah kandungnya. Ia tidak memiliki kenangan apa-apa dengan orang tersebut. Sekarang ayah tirinya pergi meninggalkan ia, ibu dan adik tirinya.
Sejak dua tahun lalu kehidupan Adut bukan lagi di perkebunan sawit, melainkan di sawah milik ibu dan paman-pamannya. Terkadang ia macul (pacul sawah). Terkadang ia ngebabat (membersihkan rumput liar di sawah) atau hanya sekedar memegang tali kokoprok (pengusir burung yang terbuat dari bambu). Adut juga seringkali ke hutan mengambil kayu bakar.
Adut mengakui ia takut dan malu sekolah lagi, meskipun sudah diminta oleh ibu dan pamannya. Ia tetap tidak ingin melanjutkan pendidikan formalnya. Saat ini Adut lupa apa saja yang telah ia pelajari semasa sekolah. Ia tidak bisa baca-tulis. Adut mungkin tidak tahu untuk apa bersekolah, dan ia juga tidak tahu apa dampaknya tidak sekolah.
“Kasihan,” kata sebagian orang melihat Adut. “Tega sekali orangtuanya,” kata sebagian yang lain. “Hebat,” kata sebagian petani yang anaknya tidak bisa bertani.
Apa yang perlu dikasihani? Adut adalah salah satu dari sekian banyak anak di Indonesia yang mengalami hal serupa, yang putus sekolah dan langsung bekerja. Yang tidak bisa baca-tulis. Yang ikut orangtua bertani. Yang tidak tahu apa cita-citanya.
Apa yang membuatnya hebat? Adut mungkin orang yang istimewa dan akan memimpin pertanian di Kasepuhan Cibedug kelak, karena di saat anak seusianya sibuk main atau pergi ke kota, ia memilih bertani dan mengambil kayu bakar di hutan sesuai dengan kearifan lokalnya. Ketika anak seusianya tidak memiliki pengetahuan terkait bertani padi varietas lokal (pare gede), ia malah menanamnya.
Perubahan Persepsi Kehidupan
Berkurangnya minat pada pertanian, dan kearifan lokal sebagai masyarakat adat, berawal dari perubahan persepsi tentang kehidupan Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug. Misalnya banyaknya anak muda yang memutuskan untuk cari pekerjaan ke kota atau kampung sebelah. Ketika mereka pulang ke Kasepuhan Cibedug, mereka membawa kehidupan baru—kehidupan yang berbeda.
Masih segar di ingatan, ketika kelompok anak muda bercerita bagaimana sepeda motor pertama kali masuk ke wilayah mereka. Saat itu yang membawa sepeda motor adalah salah satu warga yang telah lama tinggal di luar wilayah Kasepuhan Cibedug. Kelompok anak muda itu bercerita bagaimana mereka memegang dan memperhatikan secara seksama alat transportasi tersebut. Saat sepeda motor tersebut pergi mereka mengejarnya. Peristiwa masuknya sepeda motor di Kasepuhan Cibedug terjadi di awal tahun 2000an.
Saat ini generasi muda di Kasepuhan Cibedug berbondong-bondong pergi ke kota. Sebagian besar mereka kerja di lapak sampah. Pemudinya menjadi asisten rumah tangga, atau membantu di lapak sampah. Sepeda motor pun sudah banyak di Kasepuhan Cibedug.
Selain banyaknya anak muda yang pergi ke kota atau kampung sebelah, adanya serbuan teknologi informasi di Kasepuhan Cibedug juga mempengaruhi kehidupan mereka. Walaupun ini bukan kali pertama jaringan internet masuk ke wilayah mereka, tetapi ini yang paling masif.
Contoh yang mempengaruhi kehidupan Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug adalah berkurangnya anak-anak yang bermain permainan tradisional di luar rumah. Saat ini anak-anak yang bermain permainan tradisional tidak sebanyak tujuh bulan lalu, sebelum internet ada. Saat ini anak-anak lebih senang bermain gawai hingga larut malam. Hal ini dikhawatirkan akan mengurangi minat dan rasa tanggung jawabnya dalam melestarikan adat istiadat, tradisi dan budaya Kasepuhan Cibedug.
Kurangnya Minat di Pertanian
Pentingnya peran petani muda merupakan salah satu faktor keberhasilan pertanian berkelanjutan. Pada hakikatnya pertanian berkelanjutan adalah sistem pertanian yang dilakukan melalui pengelolaan secara optimal potensi sumber daya, baik sumber daya manusia, sumber daya alam, kearifan lokal, kelembagaan dan teknologi, untuk menjaga agar suatu upaya terus berlangsung dan tidak mengalami kemerosotan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
Menurut data Riset Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan (KRKP), 70% anak muda yang tinggal di pedesaan mengaku tidak berminat menjadi petani (KRKP, 2015). Hal ini menjadi sebuah dilema, mengingat saat ini 60,8% petani sudah berusia di atas 45 tahun (LIPI, 2017).
Sejauh pengamatan, modernitas dan perubahan persepsi kehidupan yang terjadi membawa dampak positif bagi Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug, apabila ditinjau dari aspek ekonomi. Namun jika ditelusuri lebih dalam, masyarakat tidak menyadari bahwa perubahan-perubahan tersebut dapat mengancam mereka. Bagaimana jika tidak ada yang bertani lagi? Bagaimana jika kearifan lokalnya sudah tidak dipraktekan lagi? Apakah generasi muda Kasepuhan Cibedug akan kehilangan identitas mereka sebagai masyarkat adat?
Anak pergi,
Tidak adalagi penerus kami,
Kearifan lokal tidak dijalani,
Hilangnya identitas diri,
Hidup sulit hingga mati.
Akhirnya, perubahan-perubahan yang terjadi dalam dimensi kehidupan Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug memang merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Perubahan yang berlangsung dapat membawa pengaruh positif dan negatif bagi Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug itu sendiri. Adaptasi terhadap perubahan itu memang diperlukan agar dapat membawa manfaat yang optimal, namun kelestarian adat istiadat mereka juga tetap perlu terjaga.
Walaupun Adut tidak tahu apa cita-citanya. Tetapi hingga saat ini ia masih konsisten untuk bertani. Menurutnya pergi ke sawah adalah kebiasaan untuk menghilangkan rasa bosan. Di sawah ia biasa macul, ngebabat atau hanya sekedar memegang tali kokoprok. Menurutnya, bukankah bekerja di sawah itu menyenangkan dan tidak membosankan. Semoga ada Adut-Adut lain yang kerasaan kerja berlama-lama di sawah, bukan hanya piknik ke sawah sejam lalu kembali lagi main gadget.
Sejak pandemi Covid-19 terjadi di Indonesia, gerakan anak muda dampingan RMI, Relawan 4 Life, aktif melakukan kegiatan sederhana dan bermanfaat, seperti Diskusi Daring (Disaring). Sebagai kegiatan yang mendukung gerakan #physicaldistancing, diskusi ini dilakukan secara online, baik melalui aplikasi Zoom dan siaran langsung di Youtube Relawan 4 Life, atau siaran langsung di instagram @relawan4life. Disaring dilakukan untuk saling bertukar pikiran terkait isu-isu yang terjadi di lingkungan dan sosial.
Pada 21 dan 28 Juni 2020 diadakan Disaring 5. Disaring 5 ini dilakukan dua sesi, sesi pertama dengan topik “Konsep Gender Dalam Agama Islam”, dan sesi kedua dengan topik “Model Pergaulan Dalam Islam Apakah Sudah Final?”. Untuk baca artikel lengkapnya, silakan klik link berikut https://relawan4life.wordpress.com/2020/07/08/gender-dan-model-pergaulan-dalam-islam/
Kehadiran generasi muda adat kasepuhan dalam Riungan Gede Kesatuan Masyarakat Adat Kasepuhan Banten Kidul (SABAKI) di tahun 2019 merupakan keterlibatan pemuda adat kasepuhan untuk pertama kalinya. Pasalnya sejak awal dibentuknya riungan SABAKI, baru di tahun ini—riungan kesebelas—kontribusi serta peran vital pemuda adat kasepuhan dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat adat kasepuhan benar-benar diperhitungkan. Bertempat di Desa Citorek, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak; pemuda …
Sindanglaya – Lebak, Bukan hanya baris kolot (sesepuh kasepuhan adat), entitas pemuda memainkan peranan penting dalam masyarakat adat Kasepuhan Pasir Eurih. Hal ini dapat kita lihat ketika Kasepuhan melangsungkan ritus atau perayaan adat. Misalnya pada saatacara rajaban (acara pengajian/doa bersama yang dilakukan pada bulan Rajab/Hijriah),untuk meringankan beban biaya dan mensukseskan acara para pemuda menginisiasi peggalangan bantuan baik berupa dana ataupun …