Hari Bumi: Saatnya Mengingat Kearifan Lokal dalam Menjaga Keseimbangan Alam

Peringatan Hari Bumi Sedunia terkait erat dengan perubahan iklim yang terjadi. Perubahan iklim menjadi salah satu isu terpenting dalam kehidupan manusia saat ini. Sejak terjadinya revolusi industri sekitar abad ke-18, telah terjadi peningkatan produksi dan berkurangnya luas tutupan hutan di seluruh dunia. Menurut harian The Guardian (www.guardian.com) pada 12 September 2019, setiap tahunnya dunia kehilangan hutan 26 juta hektar atau seluas wilayah Inggris, dengan sebagian besarnya adalah wilayah hutan hujan tropis termasuk di wilayah Indonesia. Di Indonesia sendiri Forest Watch Indonesia (FWI) menyebutkan pada kurun waktu 2013-2017 seluas 1,47 juta hektar hutan hilang per tahunnya. Kerusakan ini terhitung sangat cepat, masif dan berdampak terhadap masyarakat, hidupan liar dan iklim.

Menurut Laporan KOMNAS HAM “Konflik Agraria Masyarakat Hukum Adat Atas Wilayahnya di Kawasan Hutan” (Cahyono, dkk (ed) 2016: ix), lebih dari 70 juta atau 20% dari total penduduk Indonesia adalah masyarakat adat, dan setengah darinya bergantung terhadap hutan di sekitar mereka. Pengrusakan hutan menyebabkan perikehidupan masyarakat adat terancam.

Perusakan hutan bertentangan dengan masyarakat adat yang dalam praktik-praktik kehidupannya masih memperhatikan keseimbangan alam dan kelestarian lingkungan, misalnya Masyarakat Adat Kasepuhan, dan Masyarakat Adat Baduy di Provinsi Jawa Barat dan Banten.

Adat di Kasepuhan dan Baduy masih sangat ketat mengatur sendi-sendi kehidupan masyarakatnya, misalnya dalam pengaturan pengelolaan sumber daya alam. Adat masyarakat Kasepuhan dan Baduy yang sarat akan perspektif penjagaan keseimbangan alam tersebut kemudian menghadirkan kearifan-kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam, seperti siloka-siloka (petuah-petuah)  di bawah ini:

Bakti ka Indung anu Ngandung, ka Bapa’ anu Ngaguya- Seperti dikutip dari Santosa, dkk (2007) Bumi adalah Ibu dan Langit adalah Bapak. Masyarakat Adat Kasepuhan percaya bahwa bumi adalah simbol “ibu” dan langit adalah simbol “bapak.” Tak elok jika Ibu “melahirkan” lebih dari satu kali dalam setahun, jika dipaksakan maka bumi akan rusak.  Oleh sebab itu untuk menjaga kelestarian ibu bumi Masyarakat Adat Kasepuhan mematuhi filosofi ini dengan hanya menanam padi satu kali dalam setahun. Dilihat dari sisi ekologis penanaman dan pemanenan padi satu kali setahun secara serentak memutus siklus hama dan memberikan waktu bagi tanah untuk memulihkan kesuburannya.

Gunung kayuan, lamping awian, lebak sawahan, legok balongan, jeung datar imahan. Seperti dikutip dari Santosa, dkk (2007) bahwa Masyarakat Adat Kasepuhan percaya bahwa daerah pegunungan harus ditanami oleh pohon berjenis kayu-kayuan. Daerah yang memiliki kemiringan cukup tinggi harus ditanami dengan bambu (mewakili tanaman multifungsi dan menjadikan daerah tersebut sebagai zona penyangga bagi daerah yang lebih rendah). Daerah yang rendah dengan ketersediaan air yang cukup cocok sebagai areal persawahan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat. Daerah yang cekung dan memiliki akses sumber air berlimpah hendaknya dijadikan kolam untuk menampung air atau sumber mata pencaharian di bidang perikanan. Terakhir, daerah yang datar sebaiknya dijadikan areal perkampungan tempat tinggal masyarakat.

Gunung teu menang dilebur, lebak teu menang diruksak – seperti dikutip dari Santosa, dkk (2007), yang artinya gunung tidak boleh dilebur, hutan tidak boleh dirusak. Gunung dan hutan tidak hanya dimaknai sebagai bagian dari bentang alam, namun Masyarakat Adat Kasepuhan memahami adanya fungsi-fungsi ekologis dari gunung dan hutan yang harus dipertahankan untuk menjaga keseimbangan ekosistem bumi secara keseluruhan. 

Gunung aya maungan, lebak aya badakan, lembur aya kokolotan, leuwi aya buayaan- seperti diceritakan oleh masyarakat adat Baduy bahwa di gunung ada macan, di tempat yang lebih rendah ada badak, di kampung ada orang tua, di sungai ada buaya. Masyarakat adat Baduy percaya bahwa setiap tempat ada yg menjaganya, maka tidak boleh gegabah (tidak hati-hati) untuk merusak dan mengganggu alam.

Hareup teuing bisi tijongklok, tukang teuing bisi tijengkang, siger  tengah. Dahar tamba lapar, nginum tamba hanaang – seperti dikutip dari tulisan Kusnaka (1992), yang artinya adalah terlalu depan bisa tersungkur, terlalu belakang bisa tertelentang, lebih baik di tengah-tengah. Makan sekedar menghilangkan rasa lapar, minum sekedar menghilangkan rasa haus.  Masyarakat Kasepuhan sebagai bagian dari masyarakat sunda percaya bahwa segala hal yang berlebihan itu kurang baik, lebih baik dikontrol agar tidak berlebihan, wajar, dan seimbang. Filosofi ini juga mengingatkan masyarakat agar tidak melakukan eksploitasi berlebihan terhadap alam.  

Masih banyak lagi petuah-petuah yang mengatur pengelolaan sumber daya alam di masyarakat adat Baduy dan Kasepuhan. Berbagai prinsip tersebut telah mencegah pemanfaatan sumber daya alam secara eksploitatif dan membantu mengurangi dampak dan memperlambat perubahan iklim, minimal di wilayah-wilayah kelola masyarakat adat.

Sayangnya, bahkan sebelum ada produk perundang-undangan yang dapat mengakui, melindungi, dan memberdayakan masyarakat adat di Indonesia, ancaman legislasi lain sudah menghantui. Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Masyarakat adat adalah kelompok yang paling rentan dan terancam perampasan tanah yang akan dilegalkan melalui RUU Cipta Kerja. Tidak hanya itu, RUU Cipta Kerja juga meniadakan perangkat-perangkat penjamin lingkungan dalam proses perizinan dan investasi, Amdal misalnya. Akibatnya, pemanfaat sumber daya alam secara eksploitatif akan semakin memburuk dan yang menjadi korbannya adalah masyarakat adat yang masih sangat dekat dan bergantung penghidupannya pada sumber daya alamnya. 

 

Penulis: Siti Marfu’ah

Editor: Indra N. Hatasura dan Wahyubinatara Fernandez

 

Referensi

Adimihardja, Kusnaka.(1992).Kasepuhan yang tumbuh di atas yang luruh : Pengelolaan lingkungan secara tradisional di kawasan Gunung Halimun. Jawa Barat. Bandung : Tarsito.

Andri Santosa, A. A, dkk. (2007). Nyanghulu Ka Hukum, Nyanghunjar Ka Nagara: Sebuah Upaya Masyarakat Adat Cibedug Memperoleh Pengakuan. Bogor: RMI-The Indonesian Institute For Forest And Environment.

Cahyono, Eko, dkk (ed). 2016.Inkuiri Nasional Komnas HAM, Hak Masyarakat Hukum Adat atas Wilayahnya di Kawasan Hutan,  Konflik Agraria Masyarakat Hukum Adat Atas Wilayahnya di Kawasan Hutan, Sumatra-Jawa-Kalimantan-Sulawesi-Maluku-Bali-Nusa Tenggara-Papua. Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

Harvey, Fiona. 2019. World Losing Area of Forest the Size of UK Each Year Report Finds. https://www.theguardian.com/environment/2019/sep/12/deforestation-world-losing-area-forest-size-of-uk-each-year-report-finds diakses pada 22 April 2020

Tim FWI. 2019. Angka Deforestasi sebagai “Alarm” Memburuknya Hutan Indonesia. http://fwi.or.id/wp-content/uploads/2019/10/FS_Deforestasi_FWI_small.pdf diakses pada 22 April 2020

Short Course Batch 4: Pembekalan Pemuda untuk Isu Sosial dan Lingkungan

Pentingnya generasi muda berwawasan lingkungan, sosial dan berjiwa kepemimpinan, menjadi motivasi utama RMI mengadakan kegiatan Short Course atau Kursus Singkat seputar isu sosial dan lingkungan. Kursus singkat Relawan Lingkungan Untuk Perubahan Sosial yang dilakukan kali ini adalah Batch yang ke- 4, dilaksanakan di Bogor, 4-8 Maret 2020.

Kegiatan ini merupakan salah satu model pembelajaran yang dikembangkan RMI sejak 2016. Hingga saat ini, Short Course RMI sudah menelurkan 60 alumni dari tiga kali penyelenggaraan. Short Course ini diikuti oleh mahasiswa dari berbagai universitas, mulai dari Universitas IPB, Universitas Islam Negeri Jakarta, Universitas Islam Negeri Semarang, Universitas Pembangunan Jaya, Universitas Indraprasta, Universitas Kristen Indonesia, dan juga oleh para penggerak lingkungan muda yang tidak duduk  di bangku pendidikan tinggi.

Selama lima hari berkegiatan bersama, 18 peserta yang terdiri dari 12 perempuan dan 6 laki-laki ini mempelajari isu-isu sosial dan lingkungan, serta keterhubungan antar berbagai isu tersebut beserta konteks yang melatarbelakanginya. Seperti bagaimana peran integral pemudi/a untuk mengatasi berbagai permasalahan yang ada saat ini. Pada kegiatan ini peserta diajak untuk berpikir kritis, sistematis, dan menyeluruh dalam menganalisa persoalan-persoalan di lingkungan mereka.

Narasumber, Wahyu Binatara, sedang menyampaikan materi tentang Kepemimpinan.

Materi yang disampaikan pada pelatihan ini antara lain Mindfulness & Kepemimpinan, Kebijakan dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA), Kesetaraan Jender & Inklusi Sosial, Etika Lingkungan, Ekologi Politik, Kebijakan dalam PSDA, Kemiskinan Struktural, Ekonomi dan Kearifan Lokal, kemudian dilanjutkan dengan observasi sosial di lingkungan sekitar lokasi pelatihan. Materi short course ini disusun secara sistematis, dan disampaikan dengan metode-metode yang menyenangkan,  sehingga membuat peserta tidak bosan, serta memudahkan peserta untuk menemukan benang merah yang mengikat tiap materi yang disampaikan sehingga menjadi satu pemahaman utuh. 

Materi yang dipelajari

Pada hari pertama, kegiatan yang dilakukan adalah saling mengenal satu sama lain, baik sesama peserta maupun dengan panitia. Perkenalan dilakukan dengan menggunakan permainan-permaianan, seperti ‘Box Gua Banget’, di mana peserta diminta untuk mengkreasikan kotak yang sudah disediakan sehingga bisa menggambarkan diri masing-masing, setelah itu dipersentasikan. Kemudian, dilanjutkan dengan pengenalan isu-isu yang sesuai dengan materi short course, di mana ditekankan bagaimana isu-isu yang akan dipelajari tidak benar-benar berdiri sendiri. Setelah itu peserta juga diajarkan metode melatih Mindfulness, di mana peserta diajak untuk sama-sama melatih fokus dengan cara mengatur pernafasannya. Hal ini dilakukan untuk membantu peserta untuk memusatkan perhatian sedemikian rupa dan menghayati apa yang sedang dilakukan, sehingga peserta sadar dan peka terhadap diri sendiri dan lingkungan sekitar, serta menjadi pribadi yang tidak mudah menghakimi. Short Course hari pertama ditutup dengan menonton film pendek tentang peran jender di tengah masyarakat, yang berjudul The Impossible Dream.

Penyampaian materi mengenai Etika Lingkungan oleh Mardha Tillah

Hari kedua, peserta diajak untuk menuliskan kriteria perempuan dan laki-laki, sebagai materi lanjutan dari sesi menonton film pendek The Impossible Dream, yaitu materi ‘Penganalan Konsep Jender’. Selain itu peserta juga diajak untuk menguji bias implisit yang ada dalam benak diri masing-masing. “Apa yang terlintas ketika mendengar kata jomblo, orang Cina, santri, anak-anak, perempuan, orang kota, orang kampung, dan orang orang terpelajar, dan lain-lain”. Dalam sesi ini peserta menyadari bahwa mereka sulit untuk menuliskan bias-bias apa saja yang ada pada kelompok-kelompok tersebut. Pemateri, menutup sesi ini dengan menjelaskan bahwa bias itu bersifat subjektif dan cenderung tidak bisa dihindari. Namun, yang terpenting adalah setiap orang perlu membuka pikiran agar bisa mengurangi bias-bias tersebut dan sadar bahwa sedang dalam kondisi bias. Pada sesi yang lainnya,  peserta lebih banyak diajak untuk diskusi dan memainkan peran. Materi-materi yang dipelajari antara lain Kepemimpinan Inklusif, Komunikasi dan Negosiasi, dan Etika Lingkungan. Narasumber dalam sesi Etika Lingkungan menyampaikan materi mengenai sejarah perkembangan etika lingkungan serta gagasan-gagasan utamanya, mulai dari antroprosentrisme hingga ekofeminisme.

Hari ketiga, peserta mempelajari materi tentang Kebijakan PSDA,  Jender dan PSDA, Ekologi Politik, Persiapan Observasi Sosia, dan Kemiskinan Struktural.

Peserta diajak untuk menyusun puzzle-puzzle yang melingkupi kompleksnya PSDA di Indonesia. Masalah PSDA saat ini tidak dapat dipisahkan dari sejarah penguasaan lahan sejak jaman kolonial. Permasalahan semakin kompleks ketika kebijakan PSDA yang dibuat oleh pemerintah saat ini, jarang membuka ruang keterlibatan masyarakat. Hal-hal tersebut dianggap menjadi pemicu konflik antara masyarakat dan negara. Peserta juga diajak merasakan menjadi masyarakat yang dirugikan dari peraturan dan kebijakan-kebijakan tersebut sehingga membuat masyarakat marjinal tidak memiliki kesempatan untuk berkembang.

Peserta sedang mempresentasikan hasil observasi yang sudah dilakukan.

Hari keempat, dimulai dengan pemaparan materi mengenai Ekonomi dan Kearifan Lokal. Sesi ini menjelaskan tentang bagaimana kearifan lokal bisa mendukung ekonomi masyarakat pedesaan sambil secara bersamaan melestarikan lingkungan, tentunya didukung dengan pembangunan manusia. Kegiatan hari keempat kemudian dilanjutkan dengan observasi sosial di lingkungan sekitar lokasi penginapan.

Hari terakhir, peserta diajak bermain untuk mempelajari tentang Keberlanjutan SDA, Sharing Tentang Kerelawanan, dan membuat rencana tindak lanjut kemudian dilanjutkan dengan orientasi peserta.

Metode yang menyenangkan

Penggunaan metode yang menyenangkan juga membuat kegiatan  ini menjadi seru, dan juga membuat materi yang disampaikan dapat terserap optimal oleh peserta. Seperti, diskusi kelompok, permainan, melakukan seni peran, tugas individu, dan team building merupakan metode yang digunakan untuk menyampaikan materi-materi yang terkesan berat selama kegiatan.

Peserta sedang mencari kode yang diberikan oleh fasilitator dalam permainan Treasure Hunt

Pemateri dan fasilitator memahami betul bagaimana cara menyampaikan materi yang terkesan berat dengan metode-metode yang sederhana, seperti permainan “Minta Dong!” yang digunakan untuk menyampaikan materi Kemiskinan Struktural pada hari ketiga dan  permainan. “Mancing Mania” yang digunakan untuk menyampaikan materi Keberlanjutan SDA hari terakhir.

Misalnya pada permainan “Mancing Mania”, awalnya pemateri meminta komitmen seluruh peserta untuk bermain, kemudian dibentuk menjadi 4 kelompok. Setiap kelompok menentukan nama yang akan dipakai dan diberikan alat pancing. Pemateri telah menyiapkan ikan-ikan yang dibuat dari kertas dan sudah bersebaran. Permainan ini dilakukan dalam delapan babak, setiap babak peserta hanya boleh mengambil lima ekor ikan, jika lebih maka akan dikembalikan ke tempat semula. Setiap berakhirnya babak memancing ikan, poin yang didapat di list oleh panitia, dan setiap babak pemateri akan menaruh 10% dari sisa ikan yang masih tersedia.

Permainan ini diluar dugaan peserta karena berhasil mendekatkan konsep keberlanjutan kepada peserta. Dalam realita ada masyarakat atau perusahaan yang mengambil sumber daya alam secara terus-menerus atau ekstraktif-eksploitatif, sehingga membuat sumber daya alam yang tersedia menipis. Bahkan, kegiatan-kegiatan tersebut terkadang juga didukung oleh pemerintah dalam rangka menaikan pertumbuhan ekonomi.

Peserta sedang melakukan permainan Mancing Mania, dalam penyampaian materi Keberlanjutan PSDA.

Refleksi dari permainan ini antara lain perubahan sistem, dan cara pandang mengenai konsep keberlanjutan sumber daya alam. Di mana antar kelompok perlu melakukan diskusi untuk menjaga sumber daya alam yang tersedia, sehingga tidak menipis atau punah. Tapi hal tersebut bukan satu-satuya cara. Melihat suatu kebijakan yang disusun oleh pemerintah lebih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi dan politik, maka kontribusi Organisasi Masyarakat Sipil menjadi vital karena  mereka memiliki potensi dalam merancang program pemberdayaan masyarakat yang lebih berkelanjutan dan berorientasi pada perubahan perilaku (behavioural change) masyarakat.

Akhirnya, rangkaian kegiatan short course ditutup. Kegiatan ini menjadi salah satu bagian yang mengesankan karena setiap peserta menyampaikan rencana mereka ke depan setelah mengikuti kegiatan short course, setelah itu mereka melompat ke kolam renang. Setelah kegiatan ini diitutup, peserta diharapkan dapat menyebarluaskan kebermanfaatan dari kegiatan ini, dan lebih banyak pemuda yang dapat bergerak dan menggerakkan di lingkungannya masing-masing.

 Penulis: Siti Marfu’ah

Editor: Wahyubinatara Fernandez & Dinda Tungga Dewi

Silakan klik link berikut untuk melihat tanggapan peserta mengenai kegiatan Kursus Singkat ini :

Cerita Dhanti: https://relawan4life.wordpress.com/2020/04/02/1176/

Cerita Nadira: https://relawan4life.wordpress.com/2020/04/02/same-heart-same-spirit/

Selamat Hari Ibu Bumi, Ibu Bangsa

22 Desember diperingati oleh seluruh masyarakat Indonesia sebagai Hari Ibu sejak sebelum Indonesia merdeka. Penentuan tanggal 22 Desember diputuskan pada Kongres Perempuan Indonesia ke-III tahun 1938 untuk memperingati semangat perjuangan perempuan. Kongres yang dihadiri sekitar 30 organisasi wanita dari 12 kota di Jawa dan Sumatera ini pertama kali dilaksanakan tahun 1928 di Yogyakarta. Semangat Sumpah Pemuda yang digaungkan Oktober di …