Sekelumit Cerita dari Teh Jarsih bersama Kelompok Lodong dalam Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat di Kasepuhan Cibarani

Pada hari Sabtu tanggal 18 November 2023 RMI memulai perjalanannya untuk mengadakan agenda monitoring evaluasi program Estungkara selama satu tahun terakhir ini. Tempat pertama yang kami kunjungi adalah Kasepuhan Cibarani yang berlokasi di Desa Cibarani, Kecamatan Cirinten, Kabupaten Lebak, Banten. Salah satu teman kami di sana adalah teh Jarsih. Ia tergabung dalam kelompok Lodong Cibarani yaitu suatu kelompok usaha yang mengembangkan serta menjual produksi air nira yang telah diproses menjadi hasil produksi Gula Semut. Selain tergabung di kelompok Lodong, teh Jarsih juga turut membidani berdirinya kelompok kue ibu-ibu yang saat ini baru berjalan sekitar dua bulan.

Kasepuhan Cibarani memiliki banyak potensi alam yang dapat dimanfaatkan baik untuk sumber pangan maupun wisata. Disamping padi, hasil kebun pun juga cukup melimpah seperti durian, petai dan jengkol serta banyaknya warga yang memiliki pekerjaan sampingan menjadi penyadap nira yang kemudian membuat Kasepuhan Cibarani mulai terkenal akan produk gula cetaknya yang asli dan terjangkau. Sementara, untuk wisata alam terdapat banyak gua maka di Desa Cibarani dijuluki Desa 1000 gua.

Awal mula berdirinya kelompok Lodong Cibarani berawal dari ide bahwa hasil air nira yang seperti biasanya disadap dan diolah secara sederhana menjadi gula kemudian mulai dikembangkan menjadi produk gula semut. Akan tetapi, volume produksinya belum bisa dikatakan banyak karena masih belum ada tenaga yang cukup banyak untuk bisa melakukan skala produksi besar. Kemudian perubahan mulai dirasakan semenjak RMI masuk ke Cibarani. Tim CO (Community Organizer) RMI yang bertugas di lapangan ternyata melihat potensi yang ada, salah satunya adalah aktivitas masyarakat yang memproduksi gula aren. Dari situ, RMI menginisiasi berdirinya kelompok Lodong dan disambut antusias oleh masyarakat Cibarani.

Untuk meningkatkan kemampuan manajerial produksi dan pemasarannya anggotanya, RMI lalu mengadakan pelatihan. Dalam kegiatan pelatihan tersebut, masyarakat mendapat materi seperti cara pembukuan sederhana, mengatur anggota, melakukan presentasi, dan belajar tentang pengemasan untuk hasil produksi gula semut. Dari hasil-hasil pelatihan inilah akhirnya terbentuk suatu kelompok masyarakat yang memiliki fokus untuk membuat hasil produksi gula semut dan memutuskan menggunakan nama “Lodong Cibarani” sebagai nama komunitas mereka.  

Lodong Cibarani memiliki arti tersendiri yaitu nama “Lodong” merupakan nama tempat yang dipakai untuk menampung air nira yang digunakan oleh para petani penyadap dan juga Lodong melambangkan suatu ‘tempat’ dimana komunitas ini merupakan sebuah wadah/tempat bagi mereka sebagai anggota. Sedangkan “Cibarani” merupakan nama kasepuhan mereka. Komunitas Lodong Cibarani ini baru berjalan sekitar dua tahun yaitu dimulai dari tahun 2021 hingga sekarang. 

Sejauh ini menurut pengakuan salah satu anggotanya, yaitu Teh Jarsih, mengatakan bahwa capaian manfaat terutama dalam bidang kesejahteraan sejak berdirinya Komunitas Lodong Cibarani ini jika dilihat secara ekonomi adalah perbandingan harga gula cetak dan gula semut cukup jauh dan dalam hal ini keuntungan yang dapat diperoleh dari hasil produksi gula semut jauh lebih tinggi dibandingkan gula cetak. Ditambah pula dengan ketahanan dari gula semut yang lebih lama daripada gula cetak. Gula semut bisa bertahan hingga jangka satu tahun jika disimpan di wadah tertutup namun untuk gula cetak hanya bertahan selama tiga sampai tujuh hari saja walaupun disimpan di wadah tertutup.

Disamping itu, dalam perjalanannya memang produksi gula semut masih memiliki banyak kendala untuk bisa menjadi stabil dan berkelanjutan dalam menghasilkan serta memasarkan produknya. Beberapa kendala yang sering muncul adalah terkait sistem yang ada di kelompok belum begitu terbentuk dan masih sangat sederhana sekali hanya terkait jual dan bagi hasil serta uang simpan tabungan kelompok. Selain itu kendala lainnya adalah tentang pemasaran yang masih kurang efektif. Hal ini dikarenakan skala untuk pemasaran masih sebatas di Cibarani dan wilayah sekitarnya saja, memang ada beberapa yang pernah meminta dari luar dengan jumlah yang banyak tetapi kelompok Lodong Cibarani sayangnya tidak bisa memenuhi permintaan tersebut karena permintaannya terlalu besar dan mereka hanya bisa memproduksinya sedikit. Kendala lainnya yang menghambat produksi dalam jumlah besar adalah produksi masih dilakukan secara manual. Agar dapat menghasilkan volume produksi dalam jumlah besar dapat terpenuhi maka dibutuhkan mesin pemasak atau kristalisator gula semut sehingga dapat memenuhi permintaan dalam partai besar. 

Seperti yang dikatakan teh Jarsih, “harapannya sih ingin banget untuk bisa membangun sistem tapi yang saling menguntungkan, jadi ga cuman bikin terus jual tapi bisa pengelolaannya teratur dan terus-menerus. Soalnya saat ini kan aku memang sudah belajar sedikit tentang pembukuan, akan tetapi masih sederhana banget, hanya mencatat terkait barang yang masuk dan barang yang dibeli.”

Selain itu, kendala dalam hal pengemasan juga terjadi, hal ini dikarenakan pengemasan untuk gula semut masih hanya menggunakan plastik zipper dan ditempelkan stiker. Hal ini rawan karena bisa saja stikernya dicabut dan diklaim ulang oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Selain itu, Lodong Cibarani juga belum berani untuk menjual produknya ke pasar yang lebih luas seperti di marketplace online karena belum mengurus persyaratan izin edar pangan ke pihak BPOM. Keterbatasan akan pengetahuan tentang birokrasi mengurus kelengkapan serta akses yang sulit menjadi penghalang besar bagi komunitas Lodong Cibarani.

Terlepas dari kendala yang ada, dengan menengok perjalanan selama satu tahun belakangan ini, harapan dari teh Jarsih tersendiri adalah agar mereka bisa lebih berdaya lagi dari segi sumber daya alam dan manusianya, terutama kaum ibu-ibu disini bisa memiliki kegiatan yang produktif, bermanfaat, serta menghasilkan. Harapan lainnya adalah agar perempuan-perempuan di Cibarani memiliki ruang untuk bisa lebih berdaya lagi, dan ruang untuk bisa mengekspresikan dan menyalurkan bakat maupun hobi. Tidak lupa pula teh Jarsih berharap dengan adanya keterlibatan perempuan di setiap kegiatan maupun forum masyarakat tentunya dapat meningkatkan partisipasi perempuan di kasepuhan. Karena selama ini perempuan di Cibarani hanya memegang urusan dapur saja di setiap kegiatan maka untuk itulah penting sekali perannya untuk terlibat aktif di setiap agenda kasepuhan seperti menjadi bagian pengambil keputusan dan berbicara di depan forum. Teh Jarsih juga berharap agar kemitraan yang dilakukan oleh RMI bersama masyarakat bisa berjalan lancar sampai masyarakat di Kasepuhan Cibarani bisa mandiri dan terbuka akan ide-ide maupun masukan-masukan positif.

Penulis: Amara Elvita

Editor: Renal Rinoza

Fina, Partisipan Perempuan Baru Forum KAWAL

Kasepuhan Bongkok tergabung dalam Forum KAWAL sejak pertemuan di Cangkuem, salah satu perkampungan Baduy, pada Desember 2022. Salah satu partisipan aktif Forum KAWAL[1] dari Kasepuhan Bongkok tersebut adalah perempuan berusia 16 tahun bernama Fina. Setiap harinya ia memiliki kegiatan yang cukup padat. Mulai dari bersekolah, berkegiatan dalam OSIS[2], berkegiatan ekstrakurikuler rohani Islami dan ngobong[3]. Ia berangkat ke sekolah pukul 07.30 dan pulang pukul 17.00 petang. Setelah maghrib, ia ngobong sampai pukul 22.00 malam dan tiba di rumah pukul 22.30 malam. Melakukan banyak hal dalam satu waktu membuat waktunya banyak sekali tersita, belum lagi pekerjaan-pekerjaan domestik yang harus ia kerjakan.

Fina dan Abah Maman sedang mengobrol

Fina merupakan satu dari enam partisipan yang berasal dari Kasepuhan Bongkok yang tergabung dalam komunitas Burakok[4] yang didirikan pada tahun 2022. Forum KAWAL sesi kelima yang diselenggarakan pada tanggal 26-28 Mei 2023 di wilayah adat Kasepuhan Pasir Eurih adalah forum pertama yang diikutinya. Ia menganggap pengalaman ini menarik dan bermanfaat baginya untuk lebih aktif di masyarakat.

“Kayaknya seru. Terus menambah pengalaman juga ke Finanya. Terus, kayaknya, ini yang bikin Fina lebih aktif deh di masyarakat. Jadi Fina lebih tau. Kan Fina gak tahu sama sekali kalau di (Kasepuhan) Bongkok itu ternyata belum merdeka (wilayah adatnya masih belum diserahkan oleh negara) kan, (gak) kayak di Pasir Eurih[5]. Fina cuman tau disini (forum KAWAL) aja. Disana tuh Fina gak pernah diceritain kalau di Bongkok itu belum merdeka.”

Fina sedang mengikuti Ice breaking.

Forum KAWAL seri kelima ini mewadahi peserta untuk menggali dan merefleksikan pengalaman personal; merencakana perencanaan kelompok/komunitas; dan pengenalan dan simulasi pemetaan partisipatif melalui berbagai sesi yang dibagi ke dalam tiga hari. Fina terlibat dan mengikuti setiap sesi dengan antusias. Meskipun interaksinya terbatas pada teman-teman peserta perempuannya lainnya dan beberapa orang yang sudah ia kenali. Meskipun ia masih canggung untuk mengutarakan pendapatnya dalam diskusi besar, ia aktif ketika dalam diskusi kelompok. 

Dalam sesi “Sepanjang Jalan Kenangan” yang bertujuan menceritakan pengalaman personal peserta, Fina dan peserta diajak berefleksi melalui media gambar gelombang naik-turun yang menggambarkan jatuh-bangkit kehidupan, bagaimana cara bangkit dari situasi sulit dan siapa saja yang terlibat dalam prosesnya. Sesi ini membuat Fina lebih bersyukur dengan merefleksikan orang-orang yang yang berjasa dalam hidupnya. Sepanjang hidupnya, ia sempat keluar masuk pesantren karena ditinggalkan teman dekat hingga pindah ke Kampung Bongkok dan mulai beradaptasi dengan lingkungan baru, teman baru dan aktivitas baru.

Hari selanjutnya, dalam sesi perencanaan kelompok/komunitas, Fina beserta anggota Burakok lainnya melihat kembali kelompok dan kampungnya lalu mencoba merencanakan tujuan bersama dalam kurun waktu satu tahun kedepan. Proses ini digambarkan melalui rute jalan perencanaan tujuan kelompok. Nampaknya mereka berencana untuk memajukan salah satu obyek wisata potensial yang ada di Kasepuhan Bongkok. Meskipun begitu mereka sadar bahwa rencana tersebut merupakan rencana jangka panjang yang memerlukan banyak langkah-langkah kolektif untuk mencapainya, termasuk para orang muda di kampunya. Di sisi lain, menyoroti kampungnya, Fina menambahkan bahwa pemuda-pemudi yang telah lulus SMA jarang menetap di Kampung Bongkok: “Disana tuh gak ada pemuda yang udah lulus SMA. Di Bongkok itu, mayoritasnya, kalau udah SMA, dia kerja di luar kota.”

Selanjutnya, dalam sesi pemetaan partisipatif, peserta Forum KAWAL diberikan materi pengantar pemetaan partisipatif oleh Slamet Widodo, Community Organizer RMI yang mengaitkan urgensi pemetaan partisipatif dengan tata laksana pembangunan nasional:

“Selama ini peta menjadi acuan tata ruang dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Tapi sayang, pembangunan yang dilakukan pemerintah lebih berpihak kepada pengusaha dan kurang memperhatikan hak-hak masyarakat setempat sehingga sering terjadi penyerobotan lahan, tumpang tindih kawasan, ketidajelasan tata batas dan sebagainya. Masyarakat yang hidup dan bekerja di wilayah itulah yang memiliki pengetahuan mendalam mengenai wilayahnya. Hanya mereka yang bisa membuat peta secara lengkap dan akurat mengenai sejarah, tata guna lahan, pandangan hidup dan harapan masa depannya.”

Pemetaan partisipatif—yang menjadi salah satu materi yang dirasa paling dibutuhkan oleh peserta Forum KAWAL—menarik perhatian peserta karena dilengkapi dengan pengenalan perangkat pemetaan, tukar cerita pengalaman pemetaan partisipatif oleh Carik Jajuli dari Kasepuhan Pasir Eurih, dan simulasi kelompok untuk melakukan pemetaan partisipatif. Fina yang terlibat langsung dalam sesi ini mengatakan bahwa:

“… KAWAL itu membantu sebagai wadah. Kalau misalkan di wilayah kita mau ada pemetaan, nanti dibantu sama KAWAL. Tadinya Fina gak bisa pake GPS, baru belajar juga kemarin. Terus pokoknya banyak banget (yang didapat) karena Fina baru. Menariknya GPS ini abis belajar langsung dipraktekin.”

Sebagai peserta baru, Fina cukup antusias mengikuti kegiatan Forum KAWAL. Antusiasmenya terlihat dari keinginannya untuk ikut kegiatan Forum KAWAL selanjutnya yang menurutnya adalah kegiatan yang membuatnya berpikir kritis. Selain itu Fina mengaku ingin mengetahui lebih dalam mengenai hutan adat yang masih asing dimatanya.

Fina, dengan kesehariannya menghabiskan waktu sekitar 13 jam di sekolah dan pesantren, memiliki waktu yang lebih minim untuk terlibat dalam proses-proses yang tengah terjadi di kampungnya. Sedangkan sebagai perempuan yang bertempat tinggal dan beraktivitas di wilayah adat Kasepuhan Bongkok, Fina juga memiliki banyak keterbatasan-keterbatasan termasuk dalam Forum KAWAL itu sendiri. Sejauh ini interaksinya terbatas pada peserta perempuan lain dan beberapa yang ia sudah kenal.

Tanpa mengecilkan usaha afirmatif fasilitator di lapangan kepada peserta perempuan dengan sering-sering mengajukan pertanyaan khusus bagi mereka (“ti perempuanna kumaha? Aya nu rek dicaritakeun?”[6]), usaha tersebut belum mampu memantik mayoritas peserta perempuan untuk mengutarakan pendapatnya. Entah karena merasa tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman, entah karena takut salah berpendapat, entah karena tidak berminat atau faktor-faktor lain yang merintanginya; namun yang jelas kehadiran Fina sebagai peserta baru Forum KAWAL merupakan langkah baik yang perlu disyukuri di tengah pusaran lemahnya artikulasi konsep partisipasi orang muda dan perempuan di konteks Kasepuhan.


[1] Konsolidasi dan Advokasi Wilayah Adat Lebak

[2] Organisasi Intra Sekolah

[3] Santri di suatu ‘Kobong’ dalam bahasa Sunda yang artinya ‘pesantren’ dalam bahasa Indonesia.

[4] Budak Ngora Kampung Bongkok (pemuda kampung bongkok)

[5] Salah satu Kasepuhan yang sudah mendapatkan SK Hutan Adat.

[6] Dari perempuannya bagaimana? Ada yang mau diceritakan?


Penulis: Rifky P.K.

Editor: Supriadi

Agensi Perempuan Kasepuhan Cirompang dalam Menciptakan Ketahanan Pangan Keluarga

“Lelaki tua dengan iket khas Sunda di kepala terlihat tersenyum ramah menyambut kedatangan kami. Sosok ini adalah Olot A, beliau merupakan salah satu Ketua Adat di Kasepuhan Cirompang. Saat tiba di sana, kami langsung dipersilakan masuk dan duduk bercengkrama di area dapur. Nuansa dapur yang dominan dengan bahan kayu ditambah geliat asap dari tungku yang menyala menciptakan suasana hangat khas pedesaan. Di dekat tungku tersebut, terlihat Ambu O (istri Olot A) yang sedang sibuk ‘ngakeul’ nasi putih di dalam sebuah dulang. Beliau begitu terampil mengaduk nasi tersebut. Tangan kirinya memegang hihid (kipas) dan tangan kanannya mengaduk nasi menggunakan pangarih (centong yang terbuat dari kayu). Sembari berbincang dengan kami, Ambu O terlihat sibuk melanjutkan proses pembuatan nasi untuk dihidangkan kepada kami.”

Kegiatan yang dilakukan perempuan dalam masyarakat adat Kasepuhan Cirompang  masih sangat identik dengan kegiatan yang ada di ranah domestik. Seperti pada kutipan di atas yang menggambarkan suasana ketika pertama kali kami tiba di Kasepuhan Cirompang. Terlihat jelas bagaimana pembagian peran antara Ambu O dan Olot A yang merepresentasikan pembagian peran dalam keseharian keluarga ini. Ketika kami datang, Ambu O terlihat sangat sibuk menyiapkan kopi, nasi, dan sayur untuk dihidangkan. Sedangkan Olot A duduk dan berbincang dengan kami. Pembagian peran yang sekilas terlihat biasa saja ini justru menjadi suatu hal yang menarik untuk kami telusuri lebih lanjut. Dari kegiatan “ngakeul” yang sedang dilakukan Ambu O kala itu menciptakan rasa ingin tahu kami tentang bagaimana perempuan adat Kasepuhan Cirompang menjalankan perannya dalam keseharian, terutama dalam kaitannya dengan agensi mereka dalam menciptakan ketahanan pangan dalam keluarga. Sekilas tentang Kasepuhan Cirompang, letak Kasepuhan ini berada di Desa Cirompang, Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Suasana bersih dan asri menjadi kesan pertama ketika kami menginjakkan kaki di Kasepuhan Cirompang pada 20 Oktober 2022 silam. Berjarak sekitar 79 km dari pusat kota Bogor, kami memerlukan waktu sekitar 4 jam untuk tiba di Kasepuhan Cirompang. Sebuah desa yang didiami oleh masyarakat adat yang masih kental dan memegang teguh berbagai aturan adat di dalamnya. Saat ini, masyarakat yang tinggal di Desa Cirompang merupakan masyarakat adat yang terdiri dari keturunan/incu putu dari Kasepuhan Citorek dan Ciptagelar. Desa Cirompang dikelilingi oleh pegunungan yang masih sangat hijau. Desa ini berbatasan langsung dengan Desa Sukaresmi (Kecamatan Sobang) di bagian utara dan berbatasan dengan Desa Citorek (Kecamatan Cibeber) di bagian selatan. Sedangkan di sebelah timur berbatasan langsung dengan Desa Sukamaju (Kecamatan Sobang), serta berbatasan dengan Desa Sindanglaya (Kecamatan Sobang) di bagian baratnya. Luas Desa Cirompang yaitu 637,608 ha (Data RMI, 2017).

Sebagian besar mata pencaharian masyarakat Cirompang yaitu berasal dari hasil pertanian (tatanen). Sehingga, aturan adat yang mengatur masyarakat Kasepuhan Cirompang kemudian juga berkaitan erat dengan kegiatan tetanen. Sebagai masyarakat adat yang dekat dengan kegiatan tetanen, salah satu hal yang membedakan masyarakat Cirompang dengan masyarakat lain yaitu berkaitan dengan cara pengelolaan bahan pangan yang dikonsumsi sehari-hari. Masyarakat adat masih memiliki pegangan dan tata cara adat tersendiri dalam proses produksi pangannya. Dalam upaya menciptakan ketahanan pangan, dahulu masyarakat adat Kasepuhan Cirompang menanam padi dengan varietas lokal (jenis pare gede) yang biasanya ditanam satu tahun sekali. Namun saat ini masyarakat menanam padi setahun dua hingga tiga kali (jenis pare leutik/pare handap). Padi yang ditanam tidak sepenuhnya dikonsumsi masyarakat sekaligus secara langsung. Namun biasanya mereka menyimpannya dalam leuit sehingga padi tersebut awet. Leuit merupakan lumbung yang digunakan untuk menyimpan padi (lihat gambar xx.xx). Adanya leuit merupakan bentuk dari sistem ketahanan pangan masyarakat Cirompang untuk menyimpan padi selama kurang lebih enam tahun. Keberadaan dan penggunaan leuit di desa ini sudah lama diwariskan secara turun menurun. Menariknya, dalam proses menciptakan ketahanan pangan keluarga di masyarakat Kasepuhan Cirompang, perempuan memiliki peran yang cukup dominan dibandingkan peran laki-laki. Perempuan terlibat mulai dari proses pengelolaan padi di sawah hingga mengolah beras menjadi nasi yang dapat disajikan untuk seluruh anggota keluarga. Sebelum menanam padi, perempuan melakukan kegiatan macul (menggemburkan tanah). Utamanya kegiatan ini dilakukan oleh laki-laki, tetapi perempuan seringkali “macul” untuk membantu laki-laki. Ketika tanah sudah siap ditanami padi, perempuan melakukan proses sebar/tebar (aktivitas menyebar benih padi) yang dilakukan selama satu hari. Selanjutnya, perempuan memindahkan benih padi dari tempat pabinihan ke sawah yang lebih luas. Proses ini dilakukan selama satu hari. Sama seperti macul, kegiatan ini dapat dilakukan oleh perempuan dan laki-laki. Setelah padi dipindahkan ke sawah, perempuan melakukan proses tandur (kegiatan menanam padi di sawah) selama 1-7 hari. Ketika padi mulai tumbuh (belum berbuah), selama seminggu perempuan membersihkan rumput yang mengganggu pertumbuhan padi. Setelah lima belas hari, perempuan kembali melakukan kegiatan ngoyos untuk kedua kalinya.

Kegiatan selanjutnya adalah ngubaran yaitu selamatan dan pemupukan untuk mengobati hama penyakit. Ngubaran ini biasanya menggunakan panglai (tanaman rempah sejenis kunyit dan jahe)dari Kasepuhan (Ritual Adat Kasepuhan). Pelaksanaan ngubaran biasanya dilakukan oleh laki-laki dan perempuan selama empat puluh hari lamanya. Usai ngubaran, upacara dilanjutkan dengan kegiatan selamatan ketika padi berbunga, menabuh lisung, dan gegenek (Ritual Adat Kasepuhan). Upacara ini disebut dengan apag pare beukah. Ketika padi tumbuh dan akan dipanen,dilakukanupacara selamatan yang disebut dengan beberes (Ritual Adat Kasepuhan). Kegiatan ini biasanya dilakukan oleh laki-laki dan perempuan selama empat puluh hari. Prosesi usai beberes disebut dengan mipit, yaitu kegiatan memanen padi yang dilakukan selama satu hari. Pelaksanaan mipit inimelibatkan peran perempuan dan laki-laki. Setelah padi dipanen kemudian padi dikeringkan dan diikat, hal ini disebut dengan mocong. Mocong biasanya dilakukan oleh laki-laki dan perempuan berperan membantu laki-laki. Kegiatan ini dilakukan selama setengah bulan. Setelah mocong dilakukan, proses selanjutnya adalah laki-laki ngunjal (memindahkan padi dari lantaian ke leuit), sedangkan perempuan berperan membantu proses menyalurkan padi yang akan dimasukkan ke leuit. Ngunjal ini berlangsung selama satu hari. Setelah ngunjal selesai, kegiatan selanjutnya adalah netepkeun, yaitu selametan padi selama berada di leuit (Ritual Adat Kasepuhan). Kegiatan ini biasanya dilakukan oleh laki-laki. Selanjutnya, prosesi terakhir adalah seren tahun yaitu selametan atas hasil bumi (padi) yang didapat (biasanya setiap minggu atau senin) dan jatuh pada bulan haji/rowah. Kegiatan ini melibatkan peran laki-laki dan perempuan dalam pelaksanaannya. (Data RMI, 2017).

Ketika peran laki-laki telah usai (dari proses pengelolaan sawah hingga puncak kegiatan penyimpanan padi ke dalam leuit), tetapi peran yang harus dijalani perempuan masih sangat panjang. Perempuan masih melanjutkan pengelolaan padi menjadi beras, dan mengolah beras menjadi nasi hingga dapat dimakan untuk seluruh anggota keluarga. Seperti yang terlihat pada gambar xx.xx di atas yang merupakan gambar kegiatan nutu padi dengan menggunakan lisung atau lesung. Nutu padi merupakan kegiatan menumbuk padi di dalam lisung. Kegiatan ini seutuhnya dilakukan oleh para perempuan (biasanya secara berkelompok). Nutu padi dilakukan oleh dua orang yang memegang halu (tongkat penumbuk padi) dan menumbuk padi dalam lisung secara bergantian.  Kemudian dua orang lainnya memisahkan padi dari huut (kulit padi) dengan menggunakan tampah. Kegiatan memisahkan padi dari kulitnya ini disebut dengan napi. Jika padi sudah terpisah dari huut-nya, jadilah beras yang kemudian dapat dikonsumsi rumah tangga.

Setelah memisahkan padi dari kulitnya, para perempuan Kasepuhan Cirompang juga memiliki cara khusus dalam proses pengelolaan beras menjadi nasi. Proses yang dilalui dalam pengelolaan nasi ini lebih panjang dan membutuhkan waktu yang lebih lama dari proses pembuatan nasi pada umumnya. Pertama proses tersebut dimulai dengan memasukkan beras ke dalam bakul kecil (disebut boboko) lalu beras dicuci hingga bersih. Kegiatan ini dinamakan dengan ngisikan/diisikan. Usai ngisikan dilakukan, beras tersebut dituang ke wadah berbentuk anyaman kerucut yang disebut asepan dan diletakkan di atas dandang (seeng). Proses ini dilakukan di atas dandang yang berada di atas tungku (hau) yang masih menggunakan bahan kayu bakar. Beras dalam asepan didiamkan hingga dandang terlihat mengeluarkan asap sampai timus (mengebul).

Kemudian setelah nasi dalam asepan terlihat setengah matang, nasi tersebut diangkat dan dipindahkan ke dalam dulang dan dituangi sedikit air kemudian diaduk dengan pangarih (centong yang terbuat dari kayu). Kemudian nasi yang setengah matang ini diaduk. Setelah dirasa air meresap dalam nasi, nasi tersebut kembali ditaruh ke dalam asepan dan ditutup menggunakan penutup (dikekeb). Setelah nasi matang, proses selanjutnya yaitu ngakeul, yaitu proses mengaduk nasi sebelum disajikan dan dilakukan di dalam dulang. Kegiatan ini dilakukan dengan tangan kiri memegang hihid (kipas) dan tangan kanan mengaduk nasi menggunakan pangarih (centong yang terbuat dari kayu) dan dilakukan secara bersamaan. Proses pembuatan nasipun selesai dan nasi tersebut dapat disajikan untuk seluruh anggota keluarga.

Selain proses pembuatan nasi, hal lain yang menarik perhatian kami yaitu ketika kami melewati pekarangan rumah dan galengan sawah di sekitar Kasepuhan Cirompang. Disana terlihat para perempuan yang menanam tanaman sayur untuk dimasak dan memenuhi kebutuhan sayur sehari-hari mereka. Kegiatan menanam sayur yang dilakukan para perempuan di Kasepuhan Cirompang ini bermula karena sulitnya akses kebutuhan sayur yang dibudidaya di Desa Cirompang. Para perempuan di Kasepuhan Cirompang membentuk kelompok perempuan adat yang bernama Sompang Kisancang. Salah satu kegiatan kelompok perempuan ini yaitu berupaya menciptakan ketahanan pangan keluarga dengan belajar menanam sayur di pekarangan rumah, di pinggiran kolam Saung Kisancang, serta di galangan sawah yang mereka miliki.

Berdasarkan penuturan Teh IW (ketua kelompok Sompang Kisancang), kegiatan yang dilakukan kelompok perempuan Sompang Kisancang sangatlah beragam. Mulai dari belajar menanam sayur bersama RMI sehingga sayur tersebut bisa memenuhi kebutuhan dan dijual keluar desa, membuat keripik dan kerupuk, membuat kue, hingga belajar membuat nugget dari bahan ikan nila dan ayam bersama Sobat Mengajar. Namun sayangnya, keterlibatan perempuan di Sompang Kisancang masih sangat rendah, jumlah maksimal perempuan yang aktif dalam kelompok perempuan ini hanyalah sepuluh orang. Kendala yang mempengaruhi kegiatan tersebut biasanya dikarenakan bertubrukan dengan jadwal musim tandur dan urusan domestik yang kemudian menjadi kendala berjalannya kegiatan kelompok perempuan tersebut. Namun meskipun begitu, para perempuan secara mandiri tetap berupaya menanam kebutuhan sayur di depan pekarangan rumah (dengan polibek/bekas karung beras) dan galengan sawah mereka.

Dari seluruh uraian peran yang diemban oleh perempuan Kasepuhan Cirompang, keterlibatan diri perempuan di banyak lini kesempatan yang ada membuat kita menyadari bahwa masih ada pembagian peran yang timpang. Hal ini membuktikan adanya pandangan patriarki yang masih terasa kental di Kasepuhan Cirompang. Timpangnya pelibatan perempuan terlihat dari pembagian tugas domestik dalam keseharian yang banyak dibebankan pada perempuan. Perempuan menanggung beban yang cukup dominan dalam pekerjaan rumah tangga dibandingkan laki-laki. Selain memasak, perempuan di Kasepuhan Cirompang juga memiliki tugas dalam penggarapan sawah, mencuci, membersihkan rumah, dan beragam tugas rumah tangga lainnya.

Banyaknya tugas yang harus dilakukan perempuan dalam keseharian ini juga secara tidak langsung kemudian mempengaruhi keterlibatan perempuan dalam ruang publik. Seperti ketika terjadi rapat pengambilan keputusan yang berkaitan dengan urusan adat, perempuan seringkali tidak diajak, atau bahkan ketika diajak dan perempuan hadir dalam pertemuan tetapi pendapatnya tidak didengarkan. Sehingga suara perempuan acapkali tidak terwakilkan dalam rapat pengambilan keputusan adat. Bahkan Teh IW menyatakan ketika ada beberapa perempuan yang ikut hadir dalam rapat adat dan mencoba memberi masukan, pendapat mereka tidak seutuhnya didengar ataupun dijadikan rujukan dalam pengambilan keputusan adat yang ada. Tentu hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi perempuan adat dalam menegosiasikan perannya di ruang publik namun di sisi lain mereka juga harus hidup berdampingan dengan struktur adat yang telah terpatri. Meskipun perempuan di Kasepuhan Cirompang masih mengalami subordinasi dalam struktur adat dan kondisi ini sekilas terlihat fixed (tidak dapat dinegosiasikan), namun kami juga melihat dari sisi lain bahwa adanya semangat yang tinggi para perempuan Cirompang dalam mewujudkan posisi perempuan dalam masyarakat adat. Peran dominan pelibatan diri perempuan Kasepuhan Cirompang dalam menciptakan ketahanan pangan keluarga hingga terbentuknya kegiatan kelompok perempuan Sompang Kisancang menjadi bukti adanya agensi perempuan dalam menegosiasikan posisi mereka di Kasepuhan Cirompang. Selain memiliki tugas-tugas yang telah diidentikkan dengan tugas perempuan, namun perempuan Kasepuhan Cirompang tetap berupaya fleksibel membantu peran laki-laki di setiap kesempatan yang ada. Peran perempuan mulai dari pengelolaan tanah di sawah, pengelolaan tanaman padi, menumbuk padi hingga menjadi beras, mengelola beras dengan cara tradisional agar menjadi nasi, menanam sayur, hingga berinisiatif dan bergerak terlibat dalam kelompok perempuan Sompang Kisancang (menciptakan berbagai produk olahan rumah tangga) secara tidak langsung menjadi penanda bahwa negosiasi posisi perempuan di dalam Kasepuhan Cirompang sedang berlangsung. Fleksibilitas perempuan dalam membantu laki-laki menjalankan peran kesehariannya namun tetap menjalani kewajiban tugas perempuan sesuai aturan adat justru mendorong kreativitas perempuan Kasepuhan Cirompang dalam membentuk power perempuan itu sendiri. Sehingga peran yang diambil perempuan Kasepuhan Cirompang justru membawa mereka pada kondisi ‘berdaya’ dan tidak bergantung pada apapun. Tanpa peran aktif perempuan Kasepuhan Cirompang, ketahanan pangan di Kasepuhan Cirompang sulit untuk dapat terwujud.


Ditulis oleh: Murti Aria Saputri

Diedit oleh: Siti Marfu’ah

Cerita Perubahan : Perawatan Kepedulian Pemuda Terhadap Kampung Sendiri

Terhitung sudah berjalan tiga bulan, kegiatan yang berfokus untuk membersamai kemajuan penciptaan ruang-ruang inklusif lewat pemberdayaan perempuan, pemenuhan hak-hak disabilitas dan inklusi sosial serta penguatan masyarakat sipil di empat Masyarakat Adat Kasepuhan dan Masyarakat Adat Baduy yang berlokasi di Kabupaten Lebak, Banten. Di awali dengan kegiatan penyusunan baseline data program.

Sejak disosialisasikan, kegiatan ini berkomitmen untuk melibatkan kelompok pemuda dan perempuan dalam proses pengambilan data. Dengan keterlibatannya, kelompok pemuda dan perempuan memperlihatkan kemauan keras untuk belajar  dan  kapabilitas mereka sebagai kelompok yang partisipasinya minim di kampung untuk tujuan pendataan. Hal ini tampak dari kerja sama antar enumerator kader lokal yang bergerak dengan dua cara yaitu berkelompok dan individu dalam suatu jangkauan kampung. Mereka berkoordinasi, membagi peran dan tanggung jawab dalam proses pendataan.

Selain itu, dari proses pendataan ini, enumerator kader lokal mampu melihat permasalahan yang muncul secara tersirat dari pertanyaan yang mereka tanyakan ke masyarakat yang ada  di kampung mereka. Beberapa diantaranya bercerita mengenai pendapatan yang lebih sedikit daripada pengeluaran setiap bulannya, banyaknya yang belum mendapatkan bantuan dalam bentuk apapun, sampai layanan administrasi kependudukan yang belum dimiliki oleh masyarakat.

Cerita menarik, salah satunya datang dari Kasepuhan Cibedug. Enumerator kader lokal disana terdiri dari dua orang yaitu Ega Juanda dan Ahmad Setiadi. Selama proses tiga bulan pendataan baseline data ini, mereka selalu terlibat dalam proses pelatihan pendataan yang diberikan terhitung tiga kali oleh RMI. Setelah itu, keduanya juga sering menanyakan kepada RMI mengenai permasalahan yang dihadapi saat pendataan, menanyakan teknis secara mendalam dan menyatakan alasan macetnya pendataan yaitu musim panen di Cibedug yang membuat orang-orang di Kasepuhan Cibedug sibuk dan menghambat proses pendataan. Alhasil, Ega Juanda mampu mengumpulkan paling banyak data dengan 82 data dan Ahmad Setiadi mengumpulkan 55 data tertinggi ketiga dibandingkan seluruh enumerator.

Dari proses selama tiga bulan tersebut, kedua enumerator dari Cibedug menunjukkan rasa ingin belajar, mau mengakui kesalahan dan belajar dari kesalahan. Menurut RMI, disinilah sisi inklusivitasnya, karena sebelumnya aktivitas pemuda di Kasepuhan Cibedug minim. Dengan terlibatnya kedua enumerator kader lokal disana, membuat mereka terlibat aktif dalam kegiatan di Kasepuhan Cibedug dan mampu melihat permasalahan yang muncul selama proses pendataan.

Hal positif lain yang bisa dilihat adalah praktik baik yang diperlihatkan oleh pemuda yang terlibat dalam pengumpulan data, ini memberikan dampak ke pemuda yang lain menjadi semangat untuk meningkatkan kapasitas dan mengembangkan diri. Karena memang pemuda dan perempuan bisa dikategorikan kedalam kelompok marjinal, di mana kesempatan untuk belajar dan partisipasi mereka masih sangat minim, baik dalam level desa maupun komunitas.

Berkerjasama dengan Kemitraan Partnership melalui program ESTUNGKARA “Kesetaraan untuk Menghapus Ketidakadilan dan Diskriminasi” RMI melakukan kegiatan yang sudah dijelaskan di atas.  

Penulis : Rifky Putra K  dan Slamet Widodo

Editor: Siti Marfu’ah

Inisiatif Kebun Pekarangan; Sebuah Usaha Memartabatkan Lahan dan Pangan Lokal

Bertempat di Imah gede Kasepuhan Cibarai, RMI memfasilitasi pertemuan diskusi bersama Kelompok Perempuan, Kelompok PKK dan Kader Posyandu. Tak kurang ada 35 peserta yang terdiri dari 33 perempuan dan dua orang laki-laki, mengikuti kegitan ini yang hampir semuanya perempuan.

Hari jumat  merupakan waktu libur beraktifitas bagi masyarakat kasepuhan Cibarani, khususnya akitifitas pertanian di sawah. Selain hari jumat, ada dua hari lagi yang pamali untuk aktifitas yang sama, yaitu hari Selasa dan Minggu. Sedangkan untuk kegiatan berkebun, mencari kayu bakar dan kegitan lainnya diperbolehkan.

Fasilitator menyampaikan maksud dan tujuan agenda hari ini, memantik diskusi bersama peserta terkait pengalaman berkebun, khususnya kebun pekarangan. Menariknya, hampir semua peserta memiliki pengalaman berkebun di perkarangan rumahnya.  Berangkat dari pengalaman itu, ada potensi dari masing-masing peserta yang mayoritas ibu rumah tangga kembali giat berkebun. Hal utama yang ditekankan dari kegiatan berkebun ini tujuannya untuk gizi keluarga dan anak. Mengingat fakta tentang gizi buruk, Kecamatan Cirinten menempati ranking teratas yang menyumbang angka stunting se kabupaten Lebak. Berangkat dari kegelisahan ini, maka perlu adanya kegitan kolaboratif dari kelompok perempuan, kelompok PKK dan Kader Posyandu.

Tujuan lain dari kegiatan berkebun yang bisa dipahami bersama yaitu menekan biaya pengeluaran rumah tangga, khususnya untuk kebutuhan pangan rumah tangga. Berkebun pekarangan juga dimaksudkan untuk memartabatkan lahan yang ada disekitar pemukiman. Biasanya lahan-lahan tersebut hanya dimanfaatkan sebagai tempat pembuangan sampah.

Pertemuan ini menyepakati pembentukan kelompok yang disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing RT, misalnya untuk memudahkan pengerjaan kelompok diusahakan berasal dari kampung yang sama dan atau bertetangga dekat. Dari kesepakatan bersama ada 7 kelompok terbentuk dari 4 kampung; Cibarani, Sukawari, Sempur, Gunung Batu dan Pasir Gembong sesuai dengan asal peserta. Selain ber kebun dengan cara berkelompok, peserta akan mengupayakan berkebun sesuai kebutuhan di halaman rumah masing-masing.

Sedangkan jenis-jenis sayuaran yang rencana akan ditanam mengusahakan dari benih yang tersedia di lokal, seperti cabe, tomat, kacang panjang, buncis dst. Sesuai dengan prinsipnya, agenda ini selain untuk memenuhi kebutuhan gizi keluarga dan anak, juga memartabatkan lahan dan pangan lokal. Harapannya, kerja kolaborasi ini menjadi percontohan pengelolaan kebun pekarangan yang baik, terutama di level Desa se-kecamatan Cirinten sebagai upaya menanggulangi banyaknya kasus gizi buruk (stunting). 

Penulis: Abdul Waris

Perjalanan SK Hutan Adat Empat Kasepuhan

Foto 1: Seorang perempuan adat Kasepuhan Cibarani tengah menyiangi gulma di lahan garapannya (Foto: RMI/Waris)

Awal tahun 2021, sebuah pesan di aplikasi WhatsApp diterima RMI dari kawan-kawan Kasepuhan. Beritanya adalah bahwa perwakilan Kasepuhan Cibarani diundang hadir ke Jakarta dua hari lagi, tanggal 6 Januari 2021. Sebuah undangan juga dilampirkan dalam pesan ini, menyusul pesan sebelumnya yang meminta Abah Dulhani, Kepala Desa sekaligus tetua adat Kasepuhan Cibarani untuk hadir di Jakarta. Begitu dokumen undangan diunduh, terbaca penjelasan acara tanggal 7 Januari 2021. Acara yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat adat Kasepuhan Cibarani sejak setahun terakhir: penyerahan Surat Keputusan (SK) penetapan Hutan Adat Kasepuhan Cibarani seluas 490 Hektare yang berada di Desa Cibarani, Kecamatan Cirinten, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.

Dalam daftar undangan terbaca juga nama-nama Kasepuhan lain. Kasepuhan Cirompang, Kasepuhan Citorek dan Kasepuhan Pasir Eurih. Perwakilan dari Kasepuhan-kasepuhan tersebut diundang ke Jakarta untuk acara yang sama. Keempat Kasepuhan ini memang sudah mendapatkan penetapan Hutan Adatnya sebelumnya, yang diakui oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Hanya saja, mereka belum menerima dokumen utuh yang, secara tradisi sejak 2016, akan diserahkan langsung oleh Presiden.

Kasepuhan Cirompang dan Kasepuhan Pasir Eurih, yang difasilitasi oleh RMI, mengajukan penetapan Hutan Adatnya pada Oktober 2017. Kedua Kasepuhan masing-masing mengajukan luas 306 Hektare dan 580 Hektare hutan adatnya dikeluarkan dari status Hutan Negara berfungsi konservasi di bawah kelola Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Selanjutnya pihak KLHK melakukan verifikasi lapangan pada 29-30 Agustus 2018. Sesudah lama tidak terdengar kabar, termasuk tanpa melalui Gelar Hasil, penetapan Hutan Adat Kasepuhan Cirompang dan Kasepuhan Pasir Eurih diumumkan langsung oleh Menteri LHK Siti Nurbaya saat hadir dalam Riungan Gede Kasepuhan pada 1 Maret 2019 di Kasepuhan Citorek. Kedua Kasepuhan mendapatkan penetapan Hutan Adatnya seluas yang diajukan pada tahun 2017. Perlu dicatat bahwa dalam acara tersebut, baru terjadi pengumuman lisan penetapan Hutan Adat, belum penyerahan SK.

Lain lagi dengan Kasepuhan Cibarani. Pengajuan penetapan Hutan Adatnya dilakukan pada 5 November 2018 bersama komunitas Kampong Mului (Kalimantan Timur), enam komunitas dari Kalimantan Barat, dan 12 komunitas dari Bengkulu yang difasilitasi oleh Koalisi Hutan Adat—dikoordinir oleh HuMa dengan anggota antara lain AKAR, LBBT, PADI dan RMI. Pengajuan penetapan Hutan Adat ini diterima langsung oleh Menteri LHK. Sesudah menunggu delapan bulan, akhirnya tiba waktu verifikasi lapangan oleh KLHK pada 31 Juli – 1 Agustus 2019. Selanjutnya, RMI diundang pada tanggal 30 Agustus 2019 untuk mendiskusikan hasil verifikasi. Saat itu masyarakat Kasepuhan Cibarani tidak dilibatkan dalam diskusi karena rencananya akan dilibatkan pada diskusi terpisah, yang pada akhirnya tidak terjadi. Beberapa hal dibicarakan dalam diskusi tersebut, termasuk keberatan pihak Perhutani yang merasa masih ada aset Perhutani pada wilayah yang diajukan penetapannya sebagai Hutan Adat Kasepuhan Cibarani tersebut. Kasepuhan Cibarani memang satu-satunya Kasepuhan yang wilayah adatnya tumpang tindih dengan Hutan Negara berfungsi produksi. Tentunya di bawah kelola Perum Perhutani.

Foto 2. Masyarakat Adat menerima SK penetapan Hutan Adatnya pada Kamis, 7 Januari 2021 di Jakarta (Foto: BPMI Setpres)

Informasi penetapan Hutan Adat Kasepuhan Cibarani akhirnya didapatkan tanpa pengumuman resmi seperti yang terjadi saat pengumuman penetapan Hutan Adat Kasepuhan Cirompang dan Kasepuhan Pasir Eurih. Informasi tersebut didapat antara lain saat perwakilan Kasepuhan Cibarani turut menemani perwakilan Kasepuhan Cibedug mengajukan permohonan penetapan Hutan Adatnya ke Gedung Manggala Wanabakti, yang diterima langsung oleh Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) Bambang Supriyanto. Menurut informasi, Hutan Adat Kasepuhan Cibarani yang ditetapkan adalah 490 Hektare dari yang diajukan seluas 644 Hektare. Jadi, 154 Hektare hutan adat yang diajukan penetapannya oleh Kasepuhan Cibarani masih berstatus Hutan Negara, padahal dalam Peraturan Daerah (Perda) Lebak no. 8 tahun 2015 tentang Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan Kasepuhan, wilayah tersebut sudah ditetapkan sebagai wilayah adat Kasepuhan Cibarani.

Kasepuhan Citorek, yang pengajuan penetapan Hutan Adatnya difasilitasi oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), malah mengalami pengurangan wilayah Hutan Adat yang ditetapkan lebih dari separuh. Kasepuhan Citorek mengajukan 4.439 Hektare Hutan Adatnya, dan mendapatkan penetapan seluas 1.647 Hektare. Lagi-lagi, wilayah adat Kasepuhan Citorek pun sudah diakui oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Lebak dalam Perda yang sama, yaitu Perda Lebak 8/2015. Perwakilan Kasepuhan Citorek yang hadir di Jakarta, yaitu Oyok Didi dan Kepala Desa (Jaro) Jajang tidak mengetahui alasan pengurangan Hutan Adat Kasepuhan Citorek dari yang mereka ajukan pada Januari 2019. Adapun luasan Hutan Adat empat Kasepuhan yang telah ditetapkan dapat dilihat dalam tabel di bawah ini:

Pengurangan luasan penetapan ini sudah terjadi sejak penetapan pertama Hutan Adat di 2016. Hutan Adat Kasepuhan Karang, salah satu dari delapan Hutan Adat yang pertama kali ditetapkan, hanya memuat wilayah hutan tutupan dalam wilayah adat mereka seluas 486 Hektare, sementara kawasan hutan yang telah dikelola secara produktif selama  turun temurun oleh masyarakat seluas lebih dari 200 Hektare hingga kini justru masih berstatus Hutaan Negara dengan fungsi konservasi. Tidak diketahui alasan pengurangan tersebut, bahkan saat Gelar Hasil pada Desember 2016 tidak ada informasi mengenai pengurangan wilayah yang ditetapkan sebagai Hutan Adat Kasepuhan Karang.

Kembali ke masa kini, awal Januari 2021. Kabar undangan penyerahan SK Hutan Adat oleh Presiden langsung di awal tahun ini benar-benar kabar yang mengejutkan. Di saat tidak lagi ditunggu-tunggu penyerahannya, tiba-tiba undangan ini  datang. Bersyukur bahwa Direktorat Jenderal PSKL terus bekerja dalam senyap mewujudkan tahap akhir proses pengumuman pengakuan legal Hutan Adat Kasepuhan, dan 31 Hutan Adat masyarakat adat lainnya di seluruh Indonesia.

Secara total, Kasepuhan Cirompang dan Kasepuhan Pasir Eurih menunggu 1,5 tahun sejak pengajuan hingga ditetapkan Hutan Adatnya. Selanjutnya, kedua Kasepuhan ini harus menunggu 22 bulan untuk mendapatkan SK penetapan tersebut secara resmi dari presiden RI.

Di samping itu, Kasepuhan Cibarani harus menunggu 14 bulan sejak pengajuan hingga penetapan Hutan Adatnya. Selanjutnya, 13 bulan berikutnya adalah waktu yang harus mereka tempuh sejak penetapan Hutan Adatnya hingga penyerahan resmi SK Hutan Adat mereka oleh Presiden RI.

Catatan penting lainnya adalah baik Kasepuhan Cibarani, Kasepuhan Citorek dan Kasepuhan Karang tidak memahami mengapa pengajuan penetapan Hutan Adatnya tidak dipenuhi seluruhnya, yang sesungguhnya sudah diakui dalam Perda Kabupaten Lebak 8/2015.

Walaupun syukur tetap perlu terus dipanjatkan atas event menggembirakan pada awal tahun ini, namun perbaikan untuk pemberlakuan sistem yang tepat dan lebih ringkas tetap perlu dilakukan. Selain perlu adanya konsultasi dan kesepakatan yang jelas dalam menetapkan Hutan Adat antara masyarakat adat dengan Pemerintah, Kami membayangkan Menteri LHK dapat langsung memberikan SK Hutan Adat ini ke masyarakat adat, sehingga keluarnya SK penetapan Hutan Adat masyarakat adat bisa langsung dinikmati oleh mereka, tanpa harus mengalami fase menggantung tidak jelas karena menunggu jadwal Presiden.

 

Catatan: Kasepuhan adalah masyarakat adat yang mendiami wilayah ekosistem Halimun yang berada di wilayah administratif Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, Kabupaten Bogor dan Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat. Pemerintah daerah Kabupaten Lebak telah mengakui keberadaan masyarakat adat Kasepuhan pada tahun 2015 melalui Peraturan Daerah (Perda) No. 8 tahun 2015 tentang Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan Kasepuhan. Dalam lampiran Perda tersebut, tertulis 590 komunitas yang merupakan bagian dari Masyarakat Adat Kasepuhan yang terdiri dari Kasepuhan induk (kasepuhan utama), kasepuhan rendangan (kasepuhan pengikut), dan unit lebih kecil lagi seperti sesepuh kampung.

RMI sendiri belajar bersama masyarakat di wilayah ekosistem Halimun sejak 1995 dan mendampingi proses untuk pengakuan wilayah adat masyarakat adat Kasepuhan terutama sejak 2003.