Belajar Lintas Kelompok di Pelatihan Kepemimpinan

Foto 1. KOMPAK, Pokdarwis Ciwaluh, dan Relawan4Life mengikuti Pelatihan Kepemimpinan (Amanda/RMI)

Pada hari Sabtu dan Minggu (28-29 November 2020), RMI mengadakan pelatihan kepemimpinan di wilayah Masyarakat Adat Kasepuhan Pasir Eurih, Desa Sindanglaya, Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Sejumlah 27 peserta, yang terdiri dari 11 orang pemuda perempuan dan 16 orang pemuda laki-laki, melakukan pembelajaran bersama dan mengaitkannya dengan program yang sedang dikerjakan di lokasi, yaitu perencanaan edu-ekowisata.

Selain diikuti oleh KOMPAK (Komunitas Pemuda Adat Kasepuhan) Pasir Eurih, pelatihan ini juga diikuti oleh kelompok di luar wilayah Kasepuhan, yaitu Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata) dari Kampung Ciwaluh dan dari komunitas Relawan4Life. Kedua kelompok ini memiliki pengalaman dalam mengelola program ekowisata dan mengelola kegiatan pendidikan lingkungan.  Dengan bergabungnya kedua kelompok tersebut pada pelatihan ini, maka diharapkan pembelajaran yang terjadi bersifat lintas kelompok. Konsep pembelajaran ini seringkali RMI istilahkan sebagai konsep belajar kampus-kampung-komunitas.

Evaluasi dan Mendulang Inspirasi

Pada hari pertama, para peserta melakukan evaluasi terhadap Rencana Tindak Lanjut (RTL) KOMPAK. Sesi ini difasilitasi oleh Indra NH (RMI) dan peserta yang berasal dari luar KOMPAK diminta memainkan peran sebagai “penyelidik” untuk mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya mengenai kegiatan-kegiatan KOMPAK. Kegiatan ini diatur agar peserta dari Relawan4Life dan Pokdarwis terinformasi akan beberapa rencana yang dibuat sebelumnya.

Adapun rencana yang sudah dibuat di antaranya terdiri dari: (1). Penggalian data dan pendokumentasian pengetahuan lokal, (2). Peggalian data dan pendokumentasian makanan lokal, (3). Pembenahan jalur trekking, dan (4). Penggalian data dan pendokumentasian tanaman obat. Untuk membahas rencana-rencana tersebut maka dibentuklah kelompok-kelompok berdasarkan 4 tema di atas. Diskusi dan presentasi kemudian dilakukan untuk memaparkan hasil. Presentasi dilakukan oleh peserta di luar KOMPAK. Adapun diskusi dan presentasi yang dilakukan bertujuan untuk melihat kemajuan dan hambatan pada setiap kegiatan, serta untuk menyamakan pengetahuan peserta akan program-program yang sedang disusun KOMPAK.

Gambar 1. Evaluasi rencana program edu-ekowisata KOMPAK (Amanda/RMI)
                   Foto 2. Proses evaluasi rencana program edu-ekowisata KOMPAK (Amanda/RMI)

Pada siang dan sore hari, giliran Pokdarwis Ciwaluh yang berbagi cerita dalam mengembangkan program edu-ekowisata di lokasi kaki Gunung Gede Pangrango.  Format sesi ini dibuat menyerupai talkshow dimana Novia F (RMI) berperan sebagai pemandu acara. Narasumber muda ini menceritakan mengenai sepak terjang para pemuda di Kampung Ciwaluh yang berorganisasi sejak 2009 sampai akhirnya memutuskan untuk mengembangkan wisata kampung. Fokus cerita mereka bukan hanya pada keberhasilan mendapatkan tambahan penghasilan dari kegiatan wisata alam, namun juga tantangan-tantangan yang sudah atau masih mereka hadapi saat ini.

Tantangan-tantangan tersebut misalnya adalah berupa pergantian-pembubaran dan pembentukan organisasi, kebutuhan regenerasi dalam kelompok, pengikutsertaan anak muda dan perempuan, persaingan dengan kelompok di luar kampung dalam mengembangkan wisata, konflik dengan pengelola taman nasional untuk lokasi wisata dan lahan garapan, sampai rencana mengembangkan wisata tanpa bantuan dana desa. Peserta dari Kasepuhan Pasir Eurih pun banyak melakukan tanya jawab dengan Pokdarwis, terutama mengenai cara membangun edu-ekowisata secara mandiri.  

Pada sesi tersebut, masukan dari peserta di luar KOMPAK (Pokdawris Ciwaluh dan Relawan 4 Life) dirasakan memberikan manfaat bagi KOMPAK. “Kami jadi yakin, bahwa yang kami miliki di sini dapat dikembangkan dan memang harus dikerjakan,” kata Maman Syahroni salah seorang peserta dari KOMPAK.

Relawan4Life misalnya, memberikan pendapat bahwa Kasepuhan Pasir Eurih kaya akan pengetahuan tradisional, budaya, dan kearifan lokal. Mereka berpendapat bahwa kekuatan itulah yang perlu dikedepankan dalam menjalankan program edu-ekowisata. Bagi mereka, mendengarkan cerita mengenai 40-an varietas padi lokal yang ada di Kasepuhan atau bagaimana masyarakat Kasepuhan menyimpan padi di leuit, yang tetap dapat dimakan setelah usianya 20 tahun sangatlah “wah.”

“Sangat menarik, budaya yang ada di sini jika dikembangkan menjadi edu-ekowisata,” tutur Nuri Ikhwana, salah seorang peserta dari Relawan4Life yang juga berstatus mahasiswi dari Institut Pertanian Bogor. Pernyataan ini dikuatkan oleh kedua temannya yang lain.

Bagi peserta KOMPAK, masukan-masukan dari kelompok luar kampungnya tersebut memperkuat mereka dalam membuat keputusan yang strategis dan bermanfaat dalam pengembangan program edu-ekowisata yang sedang disusun.

Acara pada hari itu diselesaikan dengan diskusi ringan mengenai program-program KOMPAK yang perlu diselesaikan atau direvisi. Dalam obrolan yang dilakukan, disepakati juga jika pelatihan hari kedua akan dilakukan lebih siang karena banyak masyarakat yang sedang  menandur (menanam padi secara mundur), sebagai kegiatan yang dilakukan oleh para petani  pare gede yang mengikuti tatali paranti karuhun (adat istiadat yang dipercaya masyarakat adat Kasepuhan).

Khusus untuk Pokdarwis Ciwaluh dan Relawan4Life, waktu malam hari dipergunakan utuk melakukan evaluasi perjalanan dan proses pembelajaran. Masing-masing kelompok menyampaikan pengalaman dan pembelajarannya dalam mengikuti pelatihan atau saat berbaur dengan masyarakat di kampung. Mereka meyampaikan bahwa tinggal dan berinteraksi bersama Masyarakat Adat Kasepuhan Pasir Eurih membuat mereka banyak belajar tentag kearifan lokal masyarakat. Beberapa kata yang mereka anggap baru didiskusikan kembali malam itu pare gede (padi besar), leuit (lumbung padi), rukun tujuh (tahapan bertani yang mengikuti adat), Kasepuhan (nama kelompok masyarakat adat di Banten dan Jawa Barat), dan lainnya.

Prinsip-prinsip Keorganisasian dan Dokumentasi Budaya

Pelatihan hari kedua dimulai pada pukul 10.00 pagi. Kegiatan hari kedua diawali dengan bermain permainan Zombie untuk proses team building yang juga dapat direfleksikan kepada isu-isu kepemimpinan, inisiatif pribadi, dan kedisiplinan. Permainan ini juga menjadi aktivitas pembuka untuk mendiskusikan kepemimpinan pada level organisasi.

Sesi berikutnya merupakan sebuah sesi yang dirancang untuk memberikan pengetahuan dan dorongan bagi para peserta untuk mengkampanyekan budaya lokal dengan memanfaatkan handphone dan internet. Sesi yang berjudul “Dokumentasi Budaya dan Kampanye untuk Membangun Identitas Masyarakat Adat” ini disampaikan secara daring oleh Karlina Octaviany, seorang antropolog digital dan spesialis strategi komunikasi digital. Karlina menyampaikan bahwa kemajuan teknologi jika tidak disikapi dengan bijak dapat merusak kearifan lokal masyarakat adat.

“Bersama-sama masyarakat harus sadar bahwa semua hal bisa punya dampak buruk, termasuk penggunaan internet. Nah itu yang disepakati bersama secara adat. Sampai batas mana pemanfaatan internet itu sudah mengkhawatirkan dan bagaimana cara mencegahnya,” terang Karlina.

Foto 3. Sesi Dokumentasi Budaya dan Kampanye untuk Membangun Identitas Masyarakat Adat  (Supriadi/RMI)

Sesi ini mengingatkan kembali Masyarakat Adat Kasepuhan Pasir Eurih bahwa di tengah-tengah dunia yang semakin terdigitalisasi, internet dan kemajuan teknologi harus diposisikan sebagai alat untuk memberdayakan masyarakat dan memperkuat tradisi-tradisi adat. Kesempatan ini juga peserta juga bertanya mengenai teknis penggunaan handphone dan media sosial untuk menjangkau masyarakat luas dan menyebarkan informasi mengenai adat Kasepuhan.

Setelah sesi makan siang, kegiatan pelatihan kepemimpinan dilanjutkan dengan materi keorganisasian yang diramu dalam bentuk permainan Rawa Beracun.  Pada permainan ini semua peserta diminta untuk berkompetisi, bekerjasama, mencapai target permainan sekaligus berstrategi. Permainan ini berlangsung cukup lama sekitar 2 jam dan dilakukan di bawah rintik hujan. Namun demikian, para peserta mempertahankan semangat mereka untuk menyelesaikan permainan ini, sama seperti yang mereka lakukan saat itu, bekerjasama, konsisten, kreatif dan belajar dari kesalahan untuk mencapai tujuan-tujuan jangka pendek.  Kondisi dan rintangan lainnya dalam permainan memang dikondisikan untuk menimbulkan refleksi-refleksi yang dihubungkan dengan program yang sedang dikerjakan KOMPAK.

Walaupun permainan Rawa Beracun cukup melelahkan, namun peserta masih cukup antusias mengikuti sesi terakhir yaitu pendalaman material keorganisasian yang dikaitkan dengan permainan Rawa Beracun tersebut. Sesi ini merupakan sesi pamungkas sekaligus penutup kegiatan. Pada sesi terakhir ini, para peserta diminta berbicara mengutarakan pendapat mereka mengenai pembenahan-pembenahan yang perlu dilakukan untuk mencapai target-target jangka pendek dan panjang dalam program edu-ekowisata.  Dengan mengkaitkannya dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam permainan, para peserta lebih mudah untuk melihat keterhubungan antara bagian-bagian dalam organisasi.

                              Foto 4. Peserta mengikuti permainan rawa beracun (Amanda/RMI)

Sebagai langkah terakhir dari pelatihan adalah dengan menyusun kesepakatan untuk menyelesaikan detail-detail pekerjaan termasuk tim, waktu dan bagaimana melakukannya. Community organizer RMI, Fauzan A,  yang mendampingi Masyarakat Adat Kasepuhan Pasir Eurih menyatakan bahwa kegiatan perbaikan RTL (Rencana Tindak Lanjut) akan dilakukan kembali pasca pelatihan, dengan melibatkan Marja sebagai pembina KOMPAK. Beliau sendiri mengaku senang dengan diadakannya kegiatan Pelatihan Kepemimpinan yang mendatangkan kelompok dari luar wilayah Kasepuhan.

“Kami senang dikunjungi oleh teman-teman dari luar. Namun di sini ya begini, apa adanya,” kata Marja, sesepuh kampung sekaligus pembina KOMPAK. Ia berharap bahwa kebuntuan-kebuntuan yang terjadi saat berpikir ‘sendiri’ dapat dipecahkan dengan adanya teman-teman baru.

Pembelajaran yang didapat oleh ketiga kelompok yang terlibat dalam pelatihan kepemimpinan ini mungkin berbeda-beda bagi setiap kelompoknya. Namun demikian, langkah kecil selalu diperlukan untuk mencapai tujuan yang letaknya jauh, seperi yang digambarkan dalam permainan dan diskusi-diskusi refleksi pasca permainan tersebut.

Kegiatan Pelatihan Kepemimpinan ini merupakan bagian dari platform ‘Being and Becoming Indigenous’—sebuah platform berlajar bersama generasi muda adat yang dilaksanakan di tiga komunitas adat di dua negara yaitu Kasepuhan Pasir Eurih dan Mollo di Indonesia (RMI dan Lakoat.Kujawas) serta Dumagat-Remontado di Filipina (AFA dan PAKISAMA).

 

Penulis: Indra N. Hatasura

Belajar Mengelola Lingkungan Dari Masyarakat Adat

Masyarakat adat memiliki kearifan lokal tersendiri dalam menjaga lingkungan dan mengelola sumber daya alamnya. BRWA (2009) menyatakan bahwa hutan yang berada di wilayah masyarakat adat memiliki kualitas yang baik. Melihat hal tersebut, kearifan lokal ini patut dicontoh oleh masyarakat luas, khususnya anak muda dalam menjaga kelestarian lingkungan.

Pada 25 Juli 2020, Relawan for Life, gerakan anak muda dampingan RMI, melakukan diskusi daring (Disaring) melalui aplikasi zoom, yang berjudul “Belajar Mengelola Lingkungan dari Masyarakat Adat”. Disaring kali ini bertujuan untuk mengajak anak muda lain agar lebih mengenal kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat adat.

Kegiatan ini dimoderatori oleh Febrianti Valeria, mahasiswa Ilmu Politik Universitas Kristen Indonesia, yang juga merupakan tim penggerak Relawan for Life. Disaring kali ini menghadirkan  dua orang narasumber yang merupakan masyarakat adat, yaitu Abah Maman Syahroni dari masyarakat adat Kasepuhan Pasir Eurih, Banten dan Pengendum Tampung dari masyarakat adat Orang Rimba, Jambi.  Kegiatan yang diikuti oleh 24 orang, terdiri dari 12 orang laki-laki dan 12 orang perempuan ini membahas tentang bagaimana masyarakat adat hidup harmonis dengan alam?

 

Kasepuhan Pasir Eurih

Abah Maman mengatakan bahwa ada berbagai macam kearifan lokal yang dimiliki masyarakat adat Kasepuhan Pasir Eurih, dan yang utama adalah rukun tujuh (7 rukun tani), karena kehidupan sehari-hari masyarakat adat Kasepuhan Pasir Eurih adalah bertani . Rukun tujuh adalah proses ritual adat penanaman padi varietas lokal (pare gede) yang dilakukan oleh masyarakat adat Kasepuhan Pasir Eurih, seperti asup leuweung (proses ritual adat membuka lahan pertanian secara bersama-sama); nibakeun (proses ritual adat meminta izin dan berdo’a untuk memulai menebar benih); ngubaran (proses ritual adat mengobati tanaman padi dari hama), mapag pare beukah (proses ritual adat memohon agar hasil pertanian bagus); beberes/,mipit (proses ritual adat meminta izin untuk memanen padi); ngadiukeun (proses ritual adat memasukan padi ke dalam lumbung padi/leuit); dan Serentaun (upacara adat meminta agar kesuburan dan kemakmuran untuk panen berikutnya).

Ketika menanam padi, masyarakat adat Kasepuhan Pasir Eurih melakukannya secara bersama-sama, dan rukun tujuh yang akan mengawal dari setiap proses pertanian yang dilakukan masyarakat. Hal tersebut dilakukan bertujuan agar masyarakat tidak saling mendahului ketika menanam padi,yang mengakibatkan tidak terputusnya siklus hama (hama berkembang biak sepanjang tahun karena ketersediaan makan secara terus menerus).

Kearifan lokal lainnya adalah ronda leuweung (jaga hutan). Menurut Abah Maman, salah satu tugas ronda leuweung adalah memastikan kondisi hutan agar tetap utuh, dan tidak ada penebangan liar. Abah Maman mengatakan orang yang bertugas untuk ronda leuweung biasanya dipilih oleh kepala adat.

Abah Maman menekankan, bahwa apa yang dilakukan oleh masyarakat adat Kasepuhan Pasir Eurih tidak terlepas dari ketahanan pangan dan penguatan kelompok masyarakat, agar masyarakat tetap menjaga nilai-nilai dari karuhun (leluhur).

Secara hukum masyarakat adat Kasepuhan Pasir Eurih sudah diakui oleh pemerintah daerah dengan adanya Peraturan Daerah Kabupaten Lebak No. 08 tahun 2015 tentang Pengakuan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Masyarakat Adat kasepuhan.

Abah Maman menceritakan bahwa masyarakat adat Kasepuhan Pasir Eurih bukan kelompok masyarakat adat yang tertutup sama sekali terhadap dunia luar. Contohnya adalah bahwa di Pasir Eurih, pendidikan formal diterima dengan baik oleh masyarakat. 

 Orang Rimba

Pengendum menceritakan bahwa masyarakat adat Orang Rimba adalah kelompok masyarakat adat yang tinggal di hutan Bukit Dua Belas Jambi. Kehidupan masyarakat adat Orang Rimba sehari-hari adalah berburu dan meramu hasil hutan. Meskipun begitu, masyarakat adat Orang Rimba mengambil hasil hutan secukupnya, jika untuk makan hari ini, maka orang rimba hanya mengambil hasil hutan untuk hari ini saja, karena masyarakat adat Orang Rimba khawatir jika sumber daya alam mereka diambil berlebihan makan akan habis.

Pengendum mengatakan bahwa masyarakat adat Orang Rimba memiliki sistem konservasi tradisional yang saat ini masih dipegang teguh. Seperti adanya lokasi-lokasi yang dianggap sakral, misalnya tanaperana’on (lokasi untuk melahirkan) yang dilindungi secara khusus, agar pohon-pohon yang di sekitar lokasi tidak ditebang, dan lokasi untuk melahirkan setiap anak akan berubah-ubah.

Selain lokasi untuk melahirkan, ada juga lokasi untuk pemakaman. Ketika ada yang meninggal, masyarakat adat Orang Rimba akan membangun satu rumah untuk menyimpan mayatnya, dan rumah tersebut dikelilingi pohon, di mana pohon-pohon tersebut tidak boleh ditebang. Hal ini bertujuan untuk, agar mayat orang yang meninggal terlindungi.

Pengendum juga menjelaskan bahwa masyarakat adat Orang Rimba juga diwajibkan untuk menjaga dua pohon, setiap melahirkan satu orang anak. Hal ini membuat banyak pohon yang tidak ditebang, dan dilindungi. Karena semakin banyak anak yang dilahirkan, maka semakin banyak pohon yang terjaga.

Selain hutan, masyarakat adat Orang Rimba juga menjaga sungai, seperti tidak boleh buang air dekat sungai, atau mandi dengan sabun. Narasumber mengatakan,  selain hal tersebut bisa merusak sungai, masyarakat adat Orang Rimba percaya bahwa sungai merupakan jalan yang dilalui oleh dewa. Jika sungai rusak, maka dewa akan marah.

Narasumber juga menjelaskan, bahwa jauh sebelum adanya pandemi, masyarakat adat Orang Rimba sudah mengenal physical distancing. Masyarakat adat Orang Rimba menyebutnya besesandingon, yaitu ketika ada yang orang sakit, maka orang tersebut harus mengisolasi diri dari keluarga dan masyarakat lainnya. Hal ini untuk mencegah tertularnya penyakit yang diderita.

Begitu banyak kearifan lokal masyarakat adat yang berkontribusi pada lingkungan. Mengutip komentar dari salah satu peserta Disaring, “masyarakat adat adalah jawaban dari berbagai permasalahan kita, kita harusnya juga belajar dari mereka”.

Silakan klik link berikut, untuk melihat Disaring 6.0 – Belajar Mengelola Lingkungan dari Masyarakat Adat.

Disaring, Kegiatan Relawan 4 Life Di Tengah Pandemi

Sejak pandemi Covid-19 terjadi di Indonesia, gerakan anak muda dampingan RMI, Relawan 4 Life, aktif  melakukan kegiatan sederhana dan bermanfaat, seperti Diskusi Daring (Disaring). Sebagai kegiatan yang mendukung gerakan #physicaldistancing, diskusi ini dilakukan secara online, baik melalui aplikasi Zoom dan siaran langsung di Youtube Relawan 4 Life, atau siaran langsung di instagram @relawan4life. Disaring dilakukan untuk saling bertukar pikiran terkait isu-isu yang terjadi di lingkungan dan sosial.

Kegiatan Disaring dilakukan sejak April hingga saat ini. Berbagai macam topik sudah dibahas, seperti penyakit manusia dan hewan liar, menjaga kesehatan diri dengan herbal, strategi penggunaan buzzer dalam kampanye isu lingkungan dan sosial, pemanfaatan keanekaragaman hayati sebagai pangan liar, ada apa dengan Mei 1998?, dan yang masih hangat adalah tentang konsep gender dalam agama Islam.

Pada 21 dan 28 Juni 2020 diadakan Disaring 5. Disaring 5 ini dilakukan dua sesi, sesi pertama dengan topik “Konsep Gender Dalam Agama Islam”, dan sesi kedua dengan topik “Model Pergaulan Dalam Islam Apakah Sudah Final?”. Untuk baca artikel lengkapnya, silakan klik link berikut https://relawan4life.wordpress.com/2020/07/08/gender-dan-model-pergaulan-dalam-islam/

 

Pengumuman Seleksi – Peserta Short Course Relawan Lingkungan untuk Perubahan Sosial (Batch 3)

Terima kasih atas antusias para pendaftar Short Course Relawan Lingkungan untuk Perubahan Sosial Batch ke-3. Setelah melalui proses seleksi, telah terpilih 13 anak muda yang memenuhi kualifikasi untuk mengikuti kegiatan ini:

  1. Ahmad Syufri
  2. Indriani Widyawati
  3. Yuli lindiawati
  4. Nurrahmat Saputra
  5. Sindy Indah Oktaviani
  6. Alfina Khairunnisa
  7. Nadia Alam Qosbi
  8. Eli Martika Sari
  9. Nadyati Fazrin
  10. Alfiatus Zulfa
  11. Diah Rosita Dewi
  12. Arif Hermanto
  13. Nafisah Nur Alifah

Selamat untuk peserta yang terpilih!

Terkait teknis pelaksanaan short course ini, perlu disampaikan kembali beberapa hal berikut ini:

  • Peserta terpilih diharapkan membayarkan commitment fee sebesar Rp. 150.000,- selambat-lambatnya hari Rabu, 25 September 2019 pukul 23.59 WIB. Pembayaran dapat dilakukan dengan transfer ke Rekening Bank Syariah Mandiri dengan Nomor 7103375139 atas nama Siti Marfuah. Harap melakukan konfirmasi ke nomor 0818 0711 7488 (WA) setelah melakukan pembayaran. Commitment fee ini akan dikembalikan pada saat penyelenggaraan short course.
  • Beasiswa yang diberikan hanya meliputi transport lokal antara kantor RMI dan lokasi short course serta akomodasi dan berbagai keperluan selama pelaksanaan short course. Transportasi dari domisili masing-masing menuju dan dari kantor RMI tidak ditanggung.
  • Peserta diharapkan tiba di Bogor pada Kamis, 26 September 2019 karena kegiatan akan dimulai pada pagi hari Jumat, 27 September 2019. RMI menyediakan tempat menginap seadanya di kantor RMI bagi yang telah berada di Bogor sejak tanggal 27 September 2019 (harap membawa peralatan tidur seperti sleeping bag dan anti nyamuk).

 

Green Camp: Media Memperkuat Generasi Muda Pengusung Perubahan Sosial dan Lingkungan

Ada yang berbeda dengan suasana di Kampung Ciwaluh, Kecamatan Cigombong, Jawa Barat siang itu, Jumat 19 Juli 2019. Riuh rendah tertawa renyah dari puluhan remaja dari berbagai kota dan desa dari 10 kabupaten/kota secara mengalir mengisi kesyahduan kampung yang terletak di wilayah paling Selatan Kabupaten Bogor, dimana salah satu hulu Sungai Cisadane berada. Sambil berkenalan satu sama lain, mereka membicarakan hal-hal yang mereka lihat selama berjalan kaki menuju lokasi acara. Sawah, ladang, pepohonan, bergantian dengan sungai, setelah sebelumnya juga terlihat pemandangan tambang pasir di beberapa titik, serta wilayah yang sedang dibangun menjadi salah satu wilayah hiburan terbesar di Asia Tenggara.

Memasuki wilayah Kampung Ciwaluh, satu per satu remaja berusia 16-25 tahun itu berjalan di pematang sawah dan memenuhi lapangan rumput yang dihiasi tanaman liar khas hutan. Satu demi satu tiba di lokasi lapangan ini hingga berjumlah 67 orang membentuk formasi melingkar. Mereka antusias mengikuti acara Green Camp yang diadakan oleh Relawan 4 Life dan RMI.

Selama tiga hari, anak-anak muda ini berkumpul, berbagi pengalaman dan belajar dari masyarakat Kampung Ciwaluh dan Cipeucang dan narasumber dari berbagai institusi, termasuk dari Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) dan dari tetua kampung. Mengusung tema “Reduce, Reuse, Refuse”, Green Camp kali ini mengajak peserta untuk memahami situasi agraria dan lingkungan dari wilayah hulu, untuk mulai memahami governansi ruang yang ada di Indonesia, sambil juga belajar pengetahuan dan ketrampilan yang lebih praktis terkait isu sampah yang menjadi momok baik di wilayah perkotaan maupun perdesaan. Mereka juga mengembangkan keterampilan mengolah sampah melalui metode pembuatan ecobrick dan cara mengubah sampah menjadi media tanam.

Selain itu, anak-anak muda ini diajak untuk lebih tajam mengenal dan belajar menganalisa situasi lingkungan dan sosial melalui metode keliling kampung dan berbincang dengan masyarakat setempat guna mendapat informasi melalui metode observasi yang mendalam. Mereka membentuk kepercayaan dirinya untuk berbicara di depan umum untuk mempertanggungjawabkan temuan mereka, serta memperkaya khasanahnya soal kehidupan masyarakat hutan dan menyentuhkan diri dengan isu seputar kehidupan masyarakat hutan yang sehari-sehari bersinggungan dengan ekosistem hutan.

Tema “Reduce, Reuse, Refuse” dipilih, selain karena sampah merupakan isu universal yang dihadapi hampir seluruh wilayah di Indonesia, juga karena adanya kebutuhan masyarakat Kampung Ciwaluh dan Cipeucang yang sedang mengembangkan ekowisata berbasis masyarakat yang dikelola pemuda setempat, dimana pengelolaan sampah menjadi salah satu komponen di dalamnya. Program ekowisata saat ini menjadi salah satu pintu masuk masyarakat Ciwaluh-Cipeucang untuk mendapatkan akses legal dalam skema Kemitraan Konservasi ke wilayah-wilayah wisata dan garapan mereka yang kini berada di bawah kelola TNGGP.

Green Camp ini adalah Green Camp ke-6 yang digelar oleh RMI sejak 2011. Namun, sejak 2015, kegiatan ini telah dikelola oleh platform relawan dan fasilitator lingkungan muda bernama Relawan for Life (R4L) sebagai upaya pemberdayaan generasi muda dalam isu lingkungan dan agraria. Fasilitator kegiatan ini adalah anak-anak muda yang pernah menjadi peserta Green Camp pada tahun-tahun sebelumnya. Upaya regenerasi fasilitator terus dilakukan melalui kegiatan Green Camp ini.

Sejak pelaksanaannya pertama kali, Green Camp diadakan untuk menyediakan ruang bagi generasi muda perkotaan dan perdesaan, termasuk bagi anak muda dari komunitas adat untuk saling belajar, mendulang pengetahuan dari situasi ekosistem dan agraria di wilayah dimana Green Camp diadakan. Terbilang, 5 lokasi telah menjadi tempat dimana Green Camp ini diadakan, yaitu di wilayah hutan produksi di Kabupaten Bogor dan di wilayah kampung yang berada di lanskap yang juga memiliki fungsi konservasi yaitu Taman Nasional Gede Pangrango (di Ciwaluh, Kabupaten Bogor, Jawa Barat), Taman Nasional Halimun Salak (di wilayah adat Kasepuhan Karang, Desa Jagaraksa, Kabupaten Lebak, Banten) serta Taman Nasional Bukit Dua Belas (di wilayah adat Orang Rimba, Kabupaten Merangin, Jambi).

RMI menyadari bahwa generasi muda memiliki kemampuan untuk mengalirkan energinya dalam mengembangkan pengetahuan hingga dapat diubah menjadi aksi nyata untuk mengusung perubahan. Sayangnya, seringkali mereka tidak tersentuh oleh berbagai gerakan dan informasi yang memampukan mereka untuk dapat menjadi bagian dari warga negara, melalui pengetahuan yang mengekspos mereka pada situasi nyata di masyarakat, yang juga terkait dengan pengelolaan lingkungan dan sumber daya alamnya. Ketiadaan medium belajar ini terlihat lebih nyata di wilayah perdesaan. 

Terkait hal tersebut, Green Camp diadakan untuk mengasah kepedulian dan sensitivitas anak-anak muda ini terkait isu lingkungan dan sosial yang menjadi komponen penting dalam kehidupan bernegara. Pertemuan antara anak-anak muda perdesaan dan perkotaan ini juga diadakan untuk membangun solidaritas di antara mereka. Selanjutnya, pengetahuan, ketrampilan dan solidaritas yang terbangun diarahkan untuk menjadikan mereka sebagai generasi yang memiliki kepedulian lingkungan dan sosial.

Green Camp telah menjadi sebuah ruang yang berhasil dibawakan dengan cara yang dekat dengan alam, menyatu dengan situasi nyata yang dihadapi masyarakat, untuk mentransfer ilmu dan melatih ketrampilan. Tanpa meja, kursi, dan tanpa kekakuan orang dewasa yang biasanya sudah mahfum dengan birokrasi rumit dan rutinitas menjemukan. Tercatat lebih dari 400 orang telah mengikuti Green Camp. Beberapa orang yang pernah mengikuti Green Camp pada tahun-tahun sebelumnya menyatakan pembelajaran dalam event ini sangat mengena dan membekas.

Fithar, salah satu peserta Green Camp 2019 dari komunitas Groupertri yang sudah dua kali bergabung mengatakan bahwa ia mendapatkan banyak hal, lebih dari pengetahuan dan keterampilan sejak ikut Green Camp pertama kali di tahun 2017, karena itu ia menantikan Green Camp berikutnya dan merasa senang bisa ikut kembali. “Dari Green Camp saya jadi tahu banyak isu soal sosial dan lingkungan, dan menambah banyak teman baru juga”, ujarnya dengan sorot mata yang bersemangat dan penuh energi.

Fadlu, salah satu peserta Green Camp dari komunitas Teens Go Green yang kini sedang berkuliah di salah satu universitas di Depok menyampaikan antusiasmenya untuk mengikuti kegiatan ini pertama kalinya. Yang awalnya ia terdorong untuk mengetahui lebih dalam tentang hubungan antara kehidupan kota dan kehidupan desa, ternyata di Green Camp ini

Fadlu justru mendapatkan lebih jauh dari yang ia bayangkan. “Di Green Camp ini saya jadi lebih tahu tentang dampak sampah terhadap lingkungan, dan jadi tau mengenai alternative pengolahan sampah yang berkelanjutan. Selain itu, saya ingin sekali mengenal situasi masyarakat di pedesaan Jawa Barat, dan membandingkan dengan situasi saya yang besar di wilayah pedesaan di Pagar Alam, Sumatera Selatan”.
 

Green camp kali ini diikuti oleh komunitas pemuda dari berbagai kalangan pemudi dan pemuda yang selama ini aktif berjejaring dengan RMI, mulai dari Jaringan River Watch Group, Jaringan Suara Muda Nusantara, Teens Go Green, Dispora, pemuda dari Desa Cibarani, Desa Wates Jaya, Kabupaten Lebak, Desa Sindanglaya, Kebupaten Bogor, dan masyarakat umum dari DKI Jakarta, Depok, dan Bekasi.

 

Penulis: Dinda Tungga Dewi

Editor : Mardha Tillah
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

RMI – Relawan Lingkungan untuk Perubahan Sosial Batch II

Bogor – Rimbawan Muda Indonesia (RMI) mengadakan kursus singkat (short course) bagi anak muda selama tiga hari pada 20 – 22 Juli 2018. Sebelumnya pada tahun 2016 lalu, RMI telah mengadakan short course pertama dengan sasaran yang sama yakni anak muda. Short course batch 2 mengambil tema “Relawan Lingkungan untuk Perubahan Sosial di Masyarakat” dan diadakan di Telaga Cikeas, Bogor, …