Perjalanan Berliku Masyarakat Ciwaluh – Cipeucang untuk Memperoleh Kesepakatan Kemitraan Konservasi dengan TNGGP

Penandatanganan Perjanjian Kerjasama antara pihak Masyarakat Ciwaluh dan Kepala Balai TNGGP dan disaksikan oleh Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem.

Akhir tahun 2021, RMI menerima pesan WhatsApp dari kawan-kawan Ciwaluh dan Cipeucang mengenai undangan  dari Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP). Kawan-kawan Kampung Ciwaluh dan Kampung Cipeucang diundang datang ke Jakarta besok, yaitu 29 Desember 2021. Setelah dokumen undangan diunduh terbaca acara tersebut adalah penandatangan kerjasama Kemitraan Konservasi dengan TNGGP. Acara yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat Kampung Ciwaluh  dan kampung Cipeucang sembilan tahun terakhir, sejak pertemuan pertama dengan Kepala Balai Taman Nasional untuk mencari kesepakatan terkait aktivitas masyarakat di wilayah kawasan hutan TNGGP.  

Proses Mendapatkan Kembali Hak Kelola Lahan di Wilayah Kawasan Hutan TNGGP

RMI pertama kali masuk ke Kampung Ciwaluh guna pemberdayaan generasi muda melalui pendidikan lingkungan hidup pada tahun 2009. Dari proses ini ditemukan bahwa terdapat permasalahan akses lahan garapan masyarakat di wilayah TNGGP, juga tanah-tanah di wilayah kampung ini sudah di bawah kepemilikan PT. Pengembangan Agro Prima (PAP). Masyarakat tidak memiliki lahan mereka.

Satu tahun berikutnya, masyarakat, difasilitasi oleh RMI, melakukan pemetaan partisipatif di wilayah kampung untuk mengetahui luas kampung sesuai pemahaman masyarakat. Kemudian di tahun 2011, masyarakat melakukan pengembangan ekowisata yang diorganisir oleh masyarakat, terutama generasi muda. Dari proses pengembangan ekowisata ini, masyarakat Ciwaluh dengan RMI melaksanakan Green Camp pertama dengan menghadiri pihak Kementerian Lingkungan Hidup (saat itu).

Inisiasi untuk mencari kesepakatan terkait aktivitas masyarakat Ciwaluh dan Cipeucang di wilayah kawasan hutan dilakukan pada tahun 2012 melalui diskusi dengan Kepala Balai TNGGP. Namun, belum didapati jalan tengah untuk mengakomodir keberadaan dan aktivitas masyarakat di wilayah TNGGP.

Pada tahun 2013, generasi muda di wilayah setempat membuat film Suara Hulu Cisadane, yang kemudian ditayangkan di Jogja Netpac Asian Film Festival ke-8 tahun 2014. Pembuatan film tersebut berkembang menjadi pengorganisasian untuk peningkatan ekonomi lokal melalui ekowisata air terjun dan produk kopi lokal. Di tahun 2015, bekerjasama dengan RMI dan Kopi Ranin, Trip Piknik Kopi pertama dilaksanakan. Di tahun yang sama, timbul peluang Inventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (IP4T), berdasarkan peraturan bersama empat menteri tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang Berada di dalam Kawasan Hutan. Saat itu masyarakat mulai memetakan wilayah garapan di wilayah TNGGP.

Piknik Kopi Ciwaluh

Namun, proses advokasi harus terhenti pada tahun 2017, karena kemungkinan lahirnya Perpres No.88 tahun 2018 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan. Perpres tersebut menggantikan IP4T, dan di dalamnya mengatur penyelesaian penguasaan tanah di wilayah hutan konservasi hanya dapat dilakukan melalui realokasi warga.

Peluang mendapatkan hak kelola atas tanah kemudian timbul kembali seiring akan diterbitkannya Perdirjen No.6 tahun 2018 tentang Kemitraan Konservasi. Merespon hal tersebut, pada Desember 2017, masyarakat Ciwaluh dan Cipeucang dengan difasilitasi oleh RMI, melakukan pertemuan dengan Kepala Bidang Wilayah III TNGGP untuk membuka kemungkinan akses legal garapan masyarakat.

Kemudian di Januari tahun 2018, pertemuan untuk membicarakan zonasi di Kampung Ciwaluh dan Cipeucang berlangsung di Cibodas. Dari pertemuan tersebut diperoleh hasil scan peta zonasi yang diperbarui pada tahun 2016, sayangnya dokumen tersebut tidak dapat dimanfaatkan untuk mengetahui secara pasti zonasi di kampung Ciwaluh, Cipeucang, dan Lengkong, karena resolusi dokumen yang buruk.  Setelah itu, di bulan yang sama, masyarakat Ciwaluh dan Cipeucang, difasilitasi RMI, melakukan pertemuan untuk menyepakati strategi advokasi untuk kedepannya. Dari pertemuan tersebut, disepakati untuk meneruskan pemetaan partisipatif untuk memperbarui dan mencakup wilayah garapan masyarakat Cipeucang dan Lengkong yang belum terpetakan. Hasil lainnya adalah untuk bersama meminta TNGGP melakukan sosialisasi zonasi. Setelah pertemuan tersebut hingga April 2018, pemetaan partisipatif dilakukan secara swadaya untuk memperbarui sekaligus meluaskan cakupan areal yang dipetakan di tiga kampung (Ciwaluh, Cipeucang, dan Lengkong). Sebulan berikutnya sosialisasi zonasi wilayah oleh TNGGP dilakukan. Dari sosialisasi tersebut, diketahui bahwa sebagian besar wilayah garapan Ciwaluh, Cipeucang, dan Lengkong berada dalam zona Rehabilitasi. Diketahui juga bahwa pada proses penyusunan dan penetapan zonasi pada tahun 2016, hanya Kades Wates Jaya dan Pasir Buncir yang diundang dalam Konsultasi Publik. Pun keduanya tidak meneruskan informasi tersebut ke tingkat kampung sementara ketiga kampung terletak cukup terpencil.

Bulan Oktober-Desember di tahun yang sama, masyarakat membentuk Kelompok Tani Hutan (KTH) untuk memenuhi persyaratan Kemitraan Konservasi, walaupun sebelumnya masyarakat sendiri sudah memiliki kelompok tani dengan nama Ciwaluh Berkah, dan kelompok generasi muda yang bernama Senandung Nada Hijau. Setelah pembentukan kelompok tersebut, penyusunan proposal kemitraan konservasi di mulai dan diajukan kembali pada 19 Desember 2018 di kantor Balai Besar TNGGP, di Cibodas.

Sawah dan petani perempuan di Kampung Ciwaluh, Desa Wates Jaya, Kec. Cigombong, Kab. Bogor

Pada 6 Februari 2019, proposal yang diajukan dibalas dengan surat dari TNGGP bernomor TNGGP No. S.194/BBTNGGP/BTU/KS/2/2019 diterima KTH Ciwaluh dan Cipeucang. Surat tersebut berisi arahan untuk mendetailkan rencana pengelolaan Kemitraan Konservasi untuk tiap blok dan agar berkonsultasi dengan Kepala Bidang Pengelolaan Taman Nasional (Kabid PTN) Wilayah III Bogor untuk melanjutkan proses. Proses berlanjut pada bulan April, RMI didatangi oleh Kabid PTN Wilayah III Bogor dan Kepala Seksi V TNGGP, yang menjelaskan bahwa Ada opsi yang bisa disepakati bila masing-masing mau menurunkan ekspektasi, yaitu melanjutkan proses dengan skema Kemitraan Konservasi Pemulihan Ekosistem karena sebagian besar areal yang diajukan berada dalam zona Rehabilitasi. Kabid PTN Wilayah III Bogor berharap RMI dapat menyampaikan hal tersebut kepada masyarakat pada saat pertemuan bersama yang telah direncanakan sebelumnya.

Sepanjang tahun 2019, berbagai pertemuan dilakukan dengan berbagai pihak, seperti TNGGP dan Subdit Pemulihan Ekosistem di KLHK. Dari pertemuan-pertemuan tersebut disimpulkan bahwa pihak-pihak tersebut tetap menyarankan skema pemulihan ekosistem tetap diproses dan dijalankan, lahan-lahan di zona rehabilitasi perlu ditanami dengan tanaman buah yang bisa dimanfaatkan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). Pada Desember 2019, Masyarakat Ciwaluh dan Cipeucang, bersama RMI, beraudiensi dengan Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (Ditjen KSDAE). Dari audiensi tersebut Kemitraan Konservasi yang semula diarahkan skema pemulihan ekosistem mendapat sambutan baik dari Dirjen KSDAE, beliau akan segera memanggil kepala balai TNGGP untuk menginstruksikan perubahan zonasi di TNGGP. Termasuk usulan Kemitraan Konservasi Ciwaluh dan Cipeucang yang masih berstatus zona rehabilitasi akan diubah menjadi zona tradisional yang dapat mengakomodir kemitraan konservasi skema pemberdayaan masyarakat.

Di tahun 2020, verifikasi data penggarap dan penandatangan kesepakatan hasil verifikasi dan validasi dilakukan. Di bulan April tahun 2021, proposal kemitraan konservasi diajukan ulang menyusul adanya arahan dri TNGGP dalam rangka penyesuaian perubahan zonasi. Dilanjutkan di bulan September, yaitu pembahasan draft Perjanjian Kerjasama Kemitraan Konservasi di Kantor Bidang Wilayah III Bogor, dari sesi ini masyarakat mendapatkan salinan Surat Keputusan perubahan zonasi TNGGP. Kemudian di tanggal 10 Desember 2021, pembahasan draft Perjanjian Kerjasama Kemitraan Konservasi dilakukan kedua kalinya.

Sejarah Masyarakat Ciwaluh dan Cipeucang berada di Wilayah Hutan

Masyarakat kampung Ciwaluh dan Cipeucang, yang difasilitasi oleh RMI sejak tahun 2009, telah meninggali wilayah tersebut sejak tahun 1930-an, diawali dengan kedatangan tiga orang yang kabur dari pemerintah Belanda, yaitu Uyut Usnan, Uyut Eri dan Uyut Undan. Semenjak Uyut Usnan dan yang lainnya tinggal dan bermukim di wilayah Kampung Ciwaluh, beliau mulai membuat rumah untuk tempat tinggal serta membuka lahan untuk ladang guna memenuhi kebutuhan hidup dan bersawah sehari-hari. Kurang lebih tahun 1942, Uyut Usnan mulai membuka kembali lahan untuk membuat sawah di wilayah yang sebelumnya masih berupa hutan. Saat itu, lahan-lahan di sekitar pegunungan wilayah tersebut hampir sama dengan daerah lain di Indonesia pada umumnya, yakni dijadikan areal perkebunan teh oleh Belanda.

Kemudian, beberapa tahun sebelum kemerdekaan, Kampung Ciwaluh dijadikan markas tentara Indonesia yang dipimpin oleh Irsak Djuarsa, yang berjuang melawan Belanda dan pemberontak DI/TII pada tahun 1942 di Jawa Barat. Pada masa tersebut, Irsak Djuarsa memerintahkan masyarakat Ciwaluh dan Cipeucang yang telah ada di sana untuk mengembangkan lahan pertanian mereka guna mencukupi kebutuhan makan mereka sendiri dan juga para tentara Indonesia.

Pada tahun 1945, pemerintah memberikan tanah-tanah tersebut kepada masyarakat setempat sebagai penghargaan atas perjuangan memerdekakan Indonesia, surat-surat tanah tersebut disimpan oleh salah satu tokoh masyarakat yang bernama Pak Kasim. Namun, pada tahun 1960an sebagian tanah-tanah tersebut diambil lagi oleh pemerintah dan ditanami dengan tanaman karet melalui PT. Perkebunan Nasional XI (PTPN XI). Masyarakat tidak bisa menggugat hak atas tanah mereka, karena bukti kepemilikan tanah sudah habis terbakar pada awal tahun 1961 ketika rumah Pak Kasim dibakar oleh pemberontak DI/TII. Tahun 1985 pohon karet milik PTPN XI ditebang karena  pengalihan Hak Guna Usaha (HGU) ke PT Pengembangan Agro Prima (PAP) dan tanah masyarakat pun jadi berpindah kepemilikan dan pengelolaan. Pada tahun 1985-1986, CV Kertajaya membeli sebagian tanah masyarakat yang masih tersisa untuk dieksploitasi menjadi pertambangan pasir.

Pertemuan sebelum penandatanganan perjanjian kerjasama Kemitraan Konservasi, di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

TNGGP berada di wilayah tersebut sejak tahun 1980 dengan luasan 15.196 Ha. Penetapan wilayah TNGGP tersebut tidak mencakup wilayah kelola masyarakat, saat itu wilayah kelola masyarakat berada di bawah penguasaan Perum Perhutani, sehingga masyarakat masih bisa mengelola wilayah tersebut dengan catatan harus membayar “pajak”. Pada tahun 2003, TNGGP diperluas menjadi 21.975 Ha. Hal ini menyebabkan terhapusnya wilayah kelola Perum Perhutani menjadi wilayah konservasi TNGGP, dan membuat masyarakat tidak dapat mengakses wilayah kelolanya lagi.

Kembali ke saat ini, pada 29 Desember 2021, Perjanjian Kerjasama Kemitraan Konservasi ditandatangani oleh pihak Balai Besar TNGGP dengan Masyarakat Ciwaluh dan Cipeucang. Perjanjian Kerjasama Kemitraan Konservasi tersebut akan berlaku selama lima tahun ke depan di zona tradisional TNGGP.  

Penulis: Siti Marfu’ah