Pelatihan Kewirausahaan untuk Masyarakat dan Pendamping

Gelak tawa yang terselip diantara kegiatan diskusi hari itu terlihat mendominasi ruangan di Hotel Sahira, Bogor pada 9 Maret 2020.

Rasa ingin tau dan semangat terlihat di wajah para peserta Pelatihan Kewirausahaan untuk Masyarakat dan Pendamping yang difasilitasi RMI ini sejak tanggal 9 Maret sampai 11 Maret 2020.

Dijumpai sebelum acara pelatihan dimulai, salah seorang ibu dari Kasepuhan Cibedug yang menolak namanya dipublikasikan bercerita betapa perasaannya saat itu campur aduk, antara semangat tapi juga kuatir dengan beban domestik yang saat ini ia titipkan ke tetangganya di rumah.

Lain lagi dengan Agus Maedi salah satu pemuda dari Kasepuhan Cirompang, mengatakan sangat antusias mengikuti pelatihan ini karena sudah sejak lama ingin tau lebih banyak mengenai ilmu kewirausahaan dalam rangka mengembangkan potensi Sumber Daya alam di desa tempat ia tinggal.

Sejak 9 sampai 11 Maret 2020 kemarin, RMI yang disupport oleh The Samdhana Institute melalui program DGMI-Indonesia mengadakan Pelatihan Kewirausahaan untuk Masyarakat & Organisasi Pendamping sebagai upaya pengembangan perekonomian nasional berbasis kemanusiaan yang adil & beradab, berprinsip demokrasi, bertujuan keadilan sosial bagi rakyat.

Sebanyak 8 perempuan dan 15 laki-laki yang berasal dari Kasepuhan Pasir Eurih, Cibarani, Cirompang, Karang dan Cibedug Kabupaten Lebak Banten serta dari Kampung Ciwaluh Desa Cigombong dan Kampung Cipeucang Desa Pasir Buncir Kabupaten Bogor Jawa Barat, berpartisipasi aktif pada pelatihan ini dalam rangka berproses menumbuhkan inovasi usaha berbasis SDA lokal, juga meningkatkan kemampuan dasar keuangan & manajemen usaha. Kegiatan ini harapkan bisa menjadi ruang peningkatan kapasitas masyarakat dan organisasi pendampingnya dalam penguatan perekonomian komunitas.

                                                                           

Hari I

 

Di hari pertama, Catur Endah Prasetyani dari BUPSHA, Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memberikan paparan kepada peserta mengenai “Dukungan Program dan Kebijakan Pengembangan Usaha Perhutanan Sosial dan Hutan Adat”.

Ibu Catur menjelaskan tentang skema Perhutanan Sosial kepada masyarakat. Beliau juga memaparkan, menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.83/Menlhk/Setjen/Kum.1/10/2016 Tentang Perhutanan Sosial, masyarakat yang berdomisili di wilayah Taman Nasional bisa mengambil bagian dalam program Kemitraan konservasi jika ingin memanfaatkan sumber daya alamnya, di mana masyarakat dapat mengelola hasil SDAnya dengan tujuan utama untuk meningkatkan kesejahteraan, namun tetap menjaga keseimbangan lingkungan.

Ibu Catur juga menjelaskan bahwa sinergitas stakeholder baik pemerintah maupun non-pemerintah menjadi sangat penting, karena dalam pelaksanaan dan pemanfaatan ijin PS (Perhutanan Sosial) itu kuncinya adalah ber-jejaring atau networking. Sistem klustering berbasis komoditas yang dikelola secara berkelompok melalui KUPS-KUPS yang telah dibentuk di tiap daerah/kampung/desa akan memberikan kemudahan dalam berjejaring dengan pasar dan berhubungan dengan konsumen. Oleh karenanya berkelompok dalam pengelolaan usaha menjadi hal krusial dan harus dibentuk bagi para pengelola usaha Perhutanan Sosial.

Pada sesi selanjutnya, difasilitasi oleh Lukmi Ati dari RMI peserta dibagi kelompok berdasarkan desa masing-masing diminta untuk menentukan tiga komoditas unggulan yang ada dilokasi masing-masing. Selanjutnya dari tiga komoditas unggulan tersebut dipilih satu komoditas utama yang akan menjadi bahan dalam penyusunan rencana bisnis dalam pelatihan dua hari ke depan. Hasil identifikasi kelompok masing-masing Desa/Kasepuhan adalah sebagai berikut:

Komoditi unggulan Kasepuhan Cibedug adalah Opak singkong, Kasepuhan Karang kopi robusta,, Kasepuhan Pasir Eurih memilih gula kojor aren, Kasepuhan Cirompang gula kojor aren, Kasepuhan Cibarani gula semut aren, Ciwaluh memilih pengembangan ekowisata, dan Cipeucang pengembangan usaha penganan ranggining.

 

Hari II

 

Pelatihan hari II difasilitasi oleh Lukmi Ati dari RMI. Pada hari II akan dilanjutkan empat sesi, yaitu sesi motivasi, sesi inspirasi, sesi  inovasi dan sesi manajemen.

Sesi I adalah sesi motivasi di isi oleh The Local Enabler (TLE) dengan topik “Membangun Usaha Sosial Berkelanjutan”. TLE sendiri adalah sebuah ekosistem inklusif yang dirancanng sebagai model pengembangan kewirausahaan pemula berbasis kewirausahaan sosial. TLE dirancang sebagai poros kolaborasi para pemangku kepentingan Penta Helix yaitu melibatkan Akademisi, Pemerintahan, Komunitas, Bisnis dan Media. (https://thelocalenablers.id/#about-us)

Di sesi ini, peserta diperkenalkan dengan pengalaman TLE sejak 2014 dalam mendampingi desa-desa di Papua, Jawa barat dan Kalimantan yang berhasil mengembangkan produk lokal mereka hingga memiliki nilai tambah dan mampu meningkatkan perekonomian di desa mereka . Selain itu TLE juga berbagi pengalaman bagaimana seorang yang tadinya biasa saja dan memiliki latar belakang kehidupan yang kelam mampu menjadi seorang wirausahawan yang berhasil dan banyak mendapatkan penghargaan. Tidak ada sestau yang tidak mungkin apabila kita bersungguh-sungguh, dan selama kita belum bisa merubah mindset kita dengan baik percuma saja kita memiliki impian dan rencana usuaha yang bagus. Kuncinya adalah merubah manusianya terlebih dahulu yaitu mindset dan cara berfikirnya, selanjutnya yang lain akan mengikuti.

Sesi selanjutnya adalah sesi inspirasi oleh Martin Asda Krishna dari Timurasa yang menyampaikan tentang potensi produk-produk lokal di pasar nasional maupun internasional. Martin menyampaikan bagaimana produk-produk lokal seperti gula semut dan kopi saat ini sebetulnya masih berpeluang untuk dikembangkan dan masuk ke pasar nasional maupun internasional. Kuncinya adalah bagaimana produk tersebut bisa memenuhi standart yang telah ditetapkan. Jika di Indonesia harus ada persyaratan PIRT dan label halalnya jika ingin masuk ke pasar misalnya swalayan dan pasar sejenisnya. Hal lain yang disampaikan oleh Martin adalah mengenail pendekatan usaha masyarakat berbasis pengelolaan Sumber Daya Alam yang selama ini diterapkan Timurasa dengan masyarakat dampingannya; kolabarasi pengetahuan generasi tua dan generasi muda, tanpa melanggar nilai-nilai budaya yang dianut di wilayah tertentu.

Selepas makan siang dilanjutkan sesi inovasi yang disampaikan oleh Bapak Widya Wicaksana dari Unit Kerja Pengembangan Ekonomi RAPS yang menyampaikan materi tentang ” Pemasaran dan Segmentasi Pasar”. Sesi ini menjelaskan teori tentang konsep pasar dan segmentasi pasar, dan memberikan contoh bagaimana menentukan segmentasi pasar dari beberapa komoditas produk Perhutanan Sosial. Peserta diajak bagaimana memahami konsep pemasaran dengan menempatkan diri sebagai pembeli, sehingga apa yang diingini pembeli bsa dipenuhui oleh masyarakat sebagai produsen.

Sesi lanjutan adalah sesi manajemen yang disampaiakn oleh Bapak Indri Indrawan dari Dosen Teknologi Pangan dari Universitas Trilogi. Kepiawaian Bapak Indri dalam menyampaikan materi mampu membuat peserta hilang rasa kantuk. Materi manajamen yang mungkin sesuatu yang rumit dengan pembawaan yang ceria, santai namun serius mampu membuat peserta antusias untuk mengikuti sesi ini.

Pada sesi ini peserta diajak untuk mulai menghitung biaya investasi, biaya produksi, menghitung harga pokok dan harga jual, sampai memperkirakan jumlah pendapatan. Pada awal sesi Pak Indri sudah menjelaskan betapa pentingnya kita menghitung harga pokok produksi dalam memulai usaha, karena pengalaman selama ini masyarakat asal saja dalam menentukan harga jual sehingga kelihatannya untung padahal setelah dihitung rugi. Jadi sesi ini memang sengaja mengajak peserta untuk menghitung sendiri jenis biaya-biaya pada produk yang telah ditetapkan oleh masing-masing kelompok sesuai dengan panduan yang dijabarkan. Selain itu peserta juga diajak menghitung analisis titik impas (BEP), jangka waktu pengembalian modal (PBB), nilai investasi serta nilai keuntungan.

Sesi manajemen II dilanjutkan oleh Martin dari Timurasa yang membahas tentang sistem produksi dan distribusi hasil. Pada sesi ini intinya adalah mengajak masyarakat bagaimana bisa berproduksi secara komunal atau berkelompok. Hal ini akan memudahkan pembeli untuk berkoordinasi serta memudahkan untuk memenuhi standart baik dari segi kualitas maupun kontinyuitas. Berkelompok atau bekerja secara komunal sangat penting dalam membangun system produksi terutama di masyarakat. Selain memudahkan bagi pembeli juga memudahkan anggota kelompok untuk mendapatkan pasar dan informasi.

Sebagai sesi akhir di hari II, adalah bekerja kelompok. Lukmi sebagai fasilitator memandu sistem kerja kelompok ini. Tiap kelompok diminta menyusun rencana bisnis dengan panduan pertanyaan-pertanyaan yang telah ditetapkan, mulai dari penentuan produk, spesifikasi produk, keunggulan produk, pangsa pasar dan segmentasi pasar, penentuan biaya investasi, biaya produksi, HPP dan BEP. Pada sesi kerja kelompok ini untuk melihat apakah peserta mampu dan faham tentang materi pelatihan yang telah di ikutinya. Hasil kerja kelompok Ini akan di presentasikan di hari III esok harinya.

Di hari ke III Pelatihan, berbekal ilmu yang didapat di dua hari sebelumnya, peserta  mempresentasikan rencana usaha masing-masing kelompok sesuai arahan fasilitator.

Kelompok pertama dari kelompok Ciwaluh yang mempresentasikan usaha ekowisata yang saat ini sudah dijalankan oleh kelompok pemudanya, selanjutnya Kelompok Kasepuhan Pasir Eurih yang mengangkat produk dari sumber daya alam  hutannya berupa gula aren kojor.  Kelompok ketiga dari Kasepuhan Karang menyajikan rencana usaha kopi robusta hasil dari Hutan Adat mereka, diikuti oleh kelompok dari Kasepuhan Cibarani yang mempresentasikan gula aren semut sebagai produk unggulannya.  Kelompok selanjutnya adalah Kasepuhan Cirompang yang menyajikan rencana usaha Gula Aren kojor, dan ditutup olej kelompok dari Cipeucang yang menyajikan rencana usaha penganan dari tepung beras Ranggining.

Lukmi Ati selaku fasilitator selama pelatihan ini mengatakan bahwa dari presentasi yang disampaikan oleh setiap kelompok menunjukkan bahwa semua peserta mampu mengikuti pelatihan dengan baik, dan hampir semua materi bisa diikuti dan dicerna dengan baik. Jika ada kesalahan-kesalahan kecil itu bisa diperbaiki sambil jalan dengan bantuan pendamping yang akan mendampingi di lapangan. Yang terpenting adalah bagaimana agar hasil dari pelatihan ini tidak berhenti sampai disini saja dan bisa di implementasikan di kampung masing-masing dan berbagi ilmu ini kepada anggota kelompok di lokasi masing-masing.

Di akhir pelatihan, Patti Rahayu selaku Grant Coordinator DGM-Indonesia dari The Samdhana Institute sebagai Lembaga yang mendukung kegiatan ini menyampaikan harapannya bahwa melalui pelatihan ini, masyarakat akan jadi lebih mandiri dalam mengelola sumber daya alam di kawasan hutannya.

Direkam setelah mengikuti kegiatan, di cuitan ini adalah testimoni Ibu Jumana dan Bapak Samanan dari Kasepuhan Cibarani, dan Teh Erna juga Ibu Juju dari Kasepuhan Cibedug.

 

Penulis: Dinda Tungga Dewi dan Lukmy Ati

 

Policy Brief RUU Masyarakat Adat

Jika mendengar istilah ‘Masyarakat Adat’, masyarakat umum akan merujuk kepada sekelompok orang yang tinggal di perkampungan mengenakan baju adat, dan kerajinan tangan “etnik” yang menjadi cindera mata saat berkunjung ke daerahnya. Seromantis dan sesederhana itukah?

Terkait dengan definisinya dalam pandangan  semantik, normatif, dan politis, ada perdebatan panjang tentang apa dan siapa itu Masyarakat Adat.

Namun secara konseptual, sulit dipungkiri bahwa Masyarakat Adat dikenal oleh khalayak umum (terutama mereka yang lahir, besar, dan tinggal di wilayah urban) sebagai kelompok masyarakat yang terbelakang, terkungkung, dan minim akses layanan publik, namun sekaligus sebagai simbol pariwisata, hidup bahagia sentosa tanpa konflik yang berarti.

Bukan pula fakta yang asing bahwa masyarakat kebanyakan tidak menganggap keberadaan masyarakat adat memberikan dampak signifikan terhadap keberlangsungan keanekaragaman hayati ibu bumi. Tidak ada yang betul-betul menyadari peran dari Masyarakat Adat sehingga mereka sering kali terpinggirkan dalam berbagai rencana pembangunan bernuansa neo-liberalisme yang dilakoni pemerintah saat ini.

Padahal pada kenyataannya, praktik pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) oleh Masyarakat Adat, selain berkontribusi terhadap kelestarian lingkungan hidup, juga dapat memberikan kontribusi ekonomi. Riset yang dilakukan AMAN (2018) menunjukan bahwa nilai ekonomi pengelolaan sumber daya alam (SDA) di enam wilayah adat menghasilkan Rp 159,21 miliar per tahun, dan nilai jasa lingkungan mencapai Rp 170,77 miliar per tahun, dan hal ini berpotensi mendorong perekonomian di daerahnya.

Bahkan Konvensi ILO No.169 tahun 1986 sudah mengakui bahwa:
Mereka (Masyarakat Adat) bertekad untuk memelihara, mengembangkan, dan mewariskan daerah leluhur dan identitas etnik mereka kepada generasi selanjutnya; sebagai dasar bagi kelangsungan keberadaan mereka sebagai suatu sukubangsa, sesuai dengan pola budaya, lembaga sosial dan sistem hukum mereka.

Meskipun keberadaaan Masyarakat Adat Sudah diakui oleh negara melalui berbagai perangkat hukum, namun pengabaian hak terhadap Masyarakat Adat masih kerap terjadi, yang kemudian menyebabkan timbulnya kekerasan dan pengucilan di dalam banyak ruang hidup.

Policy Brief RUU Masyarakat Aday berikut disusun oleh Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, yang menganalisa bahwa setidaknya ada enam hak Masyarakat Adat yang terus-menerus terlanggar, di mana hak-hak tersebut satu sama lain tidaklah dapat terpisahkan (indivisibility) dan melekat (inheren). Dokumen ini juga merekomendasikan mengenai hal-hal yang harus diakomodasi dalam Undang-undang Masyarakat Adat yang masuk ke dalam Program Legislasi Nasional 2020, demi penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak Masyarakat Adat.

Klik di sini untuk mengakses Policy Brief RUU Masyarakat Adat.

Kewirausahaan dan Masyarakat Adat

Gelak tawa yang terselip diantara kegiatan diskusi hari itu terlihat mendominasi ruangan di Hotel Sahira, Bogor pada 9 Maret 2020.

Rasa ingin tau dan semangat terlihat di wajah para peserta Pelatihan Kewirausahaan untuk Masyarakat dan Pendamping yang difasilitasi RMI ini sejak tanggal 9 Maret sampai 11 Maret 2020.

Dijumpai sebelum acara pelatihan dimulai, salah seorang ibu dari Kasepuhan Cibedug yang menolak namanya dipublikasikan bercerita betapa perasaannya saat itu campur aduk, antara semangat tapi juga kuatir dengan beban domestik yang saat ini ia titipkan ke tetangganya di rumah.

 

Lain lagi dengan Agus Maedi salah satu pemuda dari Kasepuhan Cirompang, mengatakan sangat antusias mengikuti pelatihan ini karena sudah sejak lama ingin tau lebih banyak mengenai ilmu kewirausahaan dalam rangka mengembangkan potensi Sumber Daya alam di desa tempat ia tinggal.

 

Sejak 9 sampai 11 Maret 2020 kemarin, RMI yang disupport oleh The Samdhana Institute melalui program DGMI-Indonesia mengadakan Pelatihan Kewirausahaan untuk Masyarakat & Organisasi Pendamping sebagai upaya pengembangan perekonomian nasional berbasis kemanusiaan yang adil & beradab, berprinsip demokrasi, bertujuan keadilan sosial bagi rakyat.

 

Sebanyak 8 perempuan dan 15 laki-laki yang berasal dari Kasepuhan Pasir Eurih, Cibarani, Cirompang, Karang dan Cibedug Kabupaten Lebak Banten serta dari Kampung Ciwaluh Desa Cigombong dan Kampung Cipeucang Desa Pasir Buncir Kabupaten Bogor Jawa Barat, berpartisipasi aktif pada pelatihan ini dalam rangka berproses menumbuhkan inovasi usaha berbasis SDA lokal, juga meningkatkan kemampuan dasar keuangan & manajemen usaha. Kegiatan ini harapkan bisa menjadi ruang peningkatan kapasitas masyarakat dan organisasi pendampingnya dalam penguatan perekonomian komunitas.

                                                 

 

Hari I

 

Di hari pertama, Catur Endah Prasetyani dari BUPSHA, Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memberikan paparan kepada peserta mengenai “Dukungan Program dan Kebijakan Pengembangan Usaha Perhutanan Sosial dan Hutan Adat”.

 

Ibu Catur menjelaskan tentang skema Perhutanan Sosial kepada masyarakat. Beliau juga memaparkan, menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.83/Menlhk/Setjen/Kum.1/10/2016 Tentang Perhutanan Sosial, masyarakat yang berdomisili di wilayah Taman Nasional bisa mengambil bagian dalam program Kemitraan konservasi jika ingin memanfaatkan sumber daya alamnya, di mana masyarakat dapat mengelola hasil SDAnya dengan tujuan utama untuk meningkatkan kesejahteraan, namun tetap menjaga keseimbangan lingkungan.

 

Ibu Catur juga menjelaskan bahwa sinergitas stakeholder baik pemerintah maupun non-pemerintah menjadi sangat penting, karena dalam pelaksanaan dan pemanfaatan ijin PS (Perhutanan Sosial) itu kuncinya adalah ber-jejaring atau networking. Sistem klustering berbasis komoditas yang dikelola secara berkelompok melalui KUPS-KUPS yang telah dibentuk di tiap daerah/kampung/desa akan memberikan kemudahan dalam berjejaring dengan pasar dan berhubungan dengan konsumen. Oleh karenanya berkelompok dalam pengelolaan usaha menjadi hal krusial dan harus dibentuk bagi para pengelola usaha Perhutanan Sosial.

 

Pada sesi selanjutnya, difasilitasi oleh Lukmi Ati dari RMI peserta dibagi kelompok berdasarkan desa masing-masing diminta untuk menentukan tiga komoditas unggulan yang ada dilokasi masing-masing. Selanjutnya dari tiga komoditas unggulan tersebut dipilih satu komoditas utama yang akan menjadi bahan dalam penyusunan rencana bisnis dalam pelatihan dua hari ke depan. Hasil identifikasi kelompok masing-masing Desa/Kasepuhan adalah sebagai berikut:

Komoditi unggulan Kasepuhan Cibedug adalah Opak singkong, Kasepuhan Karang kopi robusta,, Kasepuhan Pasir Eurih memilih gula kojor aren, Kasepuhan Cirompang gula kojor aren, Kasepuhan Cibarani gula semut aren, Ciwaluh memilih pengembangan ekowisata, dan Cipeucang pengembangan usaha penganan ranggining.

 

Hari II

 

Pelatihan hari II difasilitasi oleh Lukmi Ati dari RMI. Pada hari II akan dilanjutkan empat sesi, yaitu sesi motivasi, sesi inspirasi, sesi  inovasi dan sesi manajemen.

 

Sesi I adalah sesi motivasi di isi oleh The Local Enabler (TLE) dengan topik “Membangun Usaha Sosial Berkelanjutan”. TLE sendiri adalah sebuah ekosistem inklusif yang dirancanng sebagai model pengembangan kewirausahaan pemula berbasis kewirausahaan sosial. TLE dirancang sebagai poros kolaborasi para pemangku kepentingan Penta Helix yaitu melibatkan Akademisi, Pemerintahan, Komunitas, Bisnis dan Media. (https://thelocalenablers.id/#about-us)

Di sesi ini, peserta diperkenalkan dengan pengalaman TLE sejak 2014 dalam mendampingi desa-desa di Papua, Jawa barat dan Kalimantan yang berhasil mengembangkan produk lokal mereka hingga memiliki nilai tambah dan mampu meningkatkan perekonomian di desa mereka . Selain itu TLE juga berbagi pengalaman bagaimana seorang yang tadinya biasa saja dan memiliki latar belakang kehidupan yang kelam mampu menjadi seorang wirausahawan yang berhasil dan banyak mendapatkan penghargaan. Tidak ada sestau yang tidak mungkin apabila kita bersungguh-sungguh, dan selama kita belum bisa merubah mindset kita dengan baik percuma saja kita memiliki impian dan rencana usuaha yang bagus. Kuncinya adalah merubah manusianya terlebih dahulu yaitu mindset dan cara berfikirnya, selanjutnya yang lain akan mengikuti.

 

Sesi selanjutnya adalah sesi inspirasi oleh Martin Asda Krishna dari Timurasa yang menyampaikan tentang potensi produk-produk lokal di pasar nasional maupun internasional. Martin menyampaikan bagaimana produk-produk lokal seperti gula semut dan kopi saat ini sebetulnya masih berpeluang untuk dikembangkan dan masuk ke pasar nasional maupun internasional. Kuncinya adalah bagaimana produk tersebut bisa memenuhi standart yang telah ditetapkan. Jika di Indonesia harus ada persyaratan PIRT dan label halalnya jika ingin masuk ke pasar misalnya swalayan dan pasar sejenisnya. Hal lain yang disampaikan oleh Martin adalah mengenail pendekatan usaha masyarakat berbasis pengelolaan Sumber Daya Alam yang selama ini diterapkan Timurasa dengan masyarakat dampingannya; kolabarasi pengetahuan generasi tua dan generasi muda, tanpa melanggar nilai-nilai budaya yang dianut di wilayah tertentu.

 

Selepas makan siang dilanjutkan sesi inovasi yang disampaikan oleh Bapak Widya Wicaksana dari Unit Kerja Pengembangan Ekonomi RAPS yang menyampaikan materi tentang ” Pemasaran dan Segmentasi Pasar”. Sesi ini menjelaskan teori tentang konsep pasar dan segmentasi pasar, dan memberikan contoh bagaimana menentukan segmentasi pasar dari beberapa komoditas produk Perhutanan Sosial. Peserta diajak bagaimana memahami konsep pemasaran dengan menempatkan diri sebagai pembeli, sehingga apa yang diingini pembeli bsa dipenuhui oleh masyarakat sebagai produsen.

 

Sesi lanjutan adalah sesi manajemen yang disampaiakn oleh Bapak Indri Indrawan dari Dosen Teknologi Pangan dari Universitas Trilogi. Kepiawaian Bapak Indri dalam menyampaikan materi mampu membuat peserta hilang rasa kantuk. Materi manajamen yang mungkin sesuatu yang rumit dengan pembawaan yang ceria, santai namun serius mampu membuat peserta antusias untuk mengikuti sesi ini.

 

Pada sesi ini peserta diajak untuk mulai menghitung biaya investasi, biaya produksi, menghitung harga pokok dan harga jual, sampai memperkirakan jumlah pendapatan. Pada awal sesi Pak Indri sudah menjelaskan betapa pentingnya kita menghitung harga pokok produksi dalam memulai usaha, karena pengalaman selama ini masyarakat asal saja dalam menentukan harga jual sehingga kelihatannya untung padahal setelah dihitung rugi. Jadi sesi ini memang sengaja mengajak peserta untuk menghitung sendiri jenis biaya-biaya pada produk yang telah ditetapkan oleh masing-masing kelompok sesuai dengan panduan yang dijabarkan. Selain itu peserta juga diajak menghitung analisis titik impas (BEP), jangka waktu pengembalian modal (PBB), nilai investasi serta nilai keuntungan.

 

Sesi manajemen II dilanjutkan oleh Martin dari Timurasa yang membahas tentang sistem produksi dan distribusi hasil. Pada sesi ini intinya adalah mengajak masyarakat bagaimana bisa berproduksi secara komunal atau berkelompok. Hal ini akan memudahkan pembeli untuk berkoordinasi serta memudahkan untuk memenuhi standart baik dari segi kualitas maupun kontinyuitas. Berkelompok atau bekerja secara komunal sangat penting dalam membangun system produksi terutama di masyarakat. Selain memudahkan bagi pembeli juga memudahkan anggota kelompok untuk mendapatkan pasar dan informasi.

 

Sebagai sesi akhir di hari II, adalah bekerja kelompok. Lukmi sebagai fasilitator memandu sistem kerja kelompok ini. Tiap kelompok diminta menyusun rencana bisnis dengan panduan pertanyaan-pertanyaan yang telah ditetapkan, mulai dari penentuan produk, spesifikasi produk, keunggulan produk, pangsa pasar dan segmentasi pasar, penentuan biaya investasi, biaya produksi, HPP dan BEP. Pada sesi kerja kelompok ini untuk melihat apakah peserta mampu dan faham tentang materi pelatihan yang telah di ikutinya. Hasil kerja kelompok Ini akan di presentasikan di hari III esok harinya.

 

Di hari ke III Pelatihan, berbekal ilmu yang didapat di dua hari sebelumnya, peserta  mempresentasikan rencana usaha masing-masing kelompok sesuai arahan fasilitator.

 

Kelompok pertama dari kelompok Ciwaluh yang mempresentasikan usaha ekowisata yang saat ini sudah dijalankan oleh kelompok pemudanya, selanjutnya Kelompok Kasepuhan Pasir Eurih yang mengangkat produk dari sumber daya alam  hutannya berupa gula aren kojor.  Kelompok ketiga dari Kasepuhan Karang menyajikan rencana usaha kopi robusta hasil dari Hutan Adat mereka, diikuti oleh kelompok dari Kasepuhan Cibarani yang mempresentasikan gula aren semut sebagai produk unggulannya.  Kelompok selanjutnya adalah Kasepuhan Cirompang yang menyajikan rencana usaha Gula Aren kojor, dan ditutup olej kelompok dari Cipeucang yang menyajikan rencana usaha penganan dari tepung beras Ranggining.

 

Lukmi Ati selaku fasilitator selama pelatihan ini mengatakan bahwa dari presentasi yang disampaikan oleh setiap kelompok menunjukkan bahwa semua peserta mampu mengikuti pelatihan dengan baik, dan hampir semua materi bisa diikuti dan dicerna dengan baik. Jika ada kesalahan-kesalahan kecil itu bisa diperbaiki sambil jalan dengan bantuan pendamping yang akan mendampingi di lapangan. Yang terpenting adalah bagaimana agar hasil dari pelatihan ini tidak berhenti sampai disini saja dan bisa di implementasikan di kampung masing-masing dan berbagi ilmu ini kepada anggota kelompok di lokasi masing-masing.

Di akhir pelatihan, Patti Rahayu selaku Grant Coordinator DGM-Indonesia dari The Samdhana Institute sebagai Lembaga yang mendukung kegiatan ini menyampaikan harapannya bahwa melalui pelatihan ini, masyarakat akan jadi lebih mandiri dalam mengelola sumber daya alam di kawasan hutannya.

 

Direkam setelah mengikuti kegiatan, di bawah ini adalah testimoni Ibu Jumana dan Bapak Samanan dari Kasepuhan Cibarani, dan Teh Erna juga Ibu Juju dari Kasepuhan Cibedug.