Menjadi Pemimpin Bagi Diri Sendiri, Memupuk Asa Bagi Komunitas

Peserta pelatihan kepemimpinan di Kasepuhan Pasir Eurih

Kualitas kepemimpinan pada tingkat pribadi  merupakan hal yang perlu dimiliki oleh setiap orang. Mengambil keputusan yang penting dilakukan oleh semua orang setiap hari, dari hal-hal kecil terkait pekerjaan, sekolah, keluarga, pertemanan dan lainnya. Selain mengambil keputusan, memetakan potensi, melakukan pertimbangan, mengevaluasi adalah contoh-contoh hal sangat berkaitan dengan kepemimpinan.Tidak hanya pada level organisasi, kepemimpinan pada tingkatan pribadi juga diperlukan.

RMI melalui program Being and Becoming Indigenous, memfasilitasi kegiatan Pelatihan Kepemimpinan II di Kasepuhan Pasir Eurih, Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak, Banten. Bersama enam orang anak muda perempuan dan lima orang anak muda laki-laki yang merupakan anggota dalam Kelompok Pemuda Adat Kasepuhan (Kompak) Pasir Eurih, serta dua orang dari Relawan 4 Life, pelatihan ini dilaksanakan pada 17-18 Februari 2021. 

Apa saja yang dipelajari pada pelatihan ini?

Pada pelatihan ini, peserta diajak mengenal kepribadian  masing-masing, memahami adanya bias, stereotyping, melakukan inisiatif dan mendengarkan secara aktif. Kepemimpinan dalam tingkat personal diperlukan untuk memperkuat kapasitas peserta, dan inilah topik Pelatihan Kepemimpinan yang kedua di Kasepuhan Pasir Eurih.  

Kegiatan ini merupakan kelanjutan dari kegiatan Pelatihan Kepemimpinan I yang dilaksanakan pada 28-29 November 2020 lalu yang dilaksanakan di tempat yang sama (Kasepuhan Pasir Eurih). Bedanya, kegiatan Pelatihan Kepemimpinan I tersebut lebih fokus pada aspek-aspek kepemimpinan di tingkat organisasional. Oleh karena itu lebih banyak diisi oleh diskusi-diskusi praktis mengenai tantangan kerja berorganisasi yang dialami oleh Kompak, serta sesi belajar lintas kelompok, dengan Kelompok Wisata Ciwaluh, dan Relawan 4 Life.

Pada hari pertama, pelatihan diawali dengan pengisian MBTI (the Myers-Briggs Personality Test), yaitu tes kepribadian berisi pertanyaan-pertanyaan terhadap preferensi seseorang di empat domain berbeda. Pertama, cara mereka berinteraksi dengan individu lain dan kecenderungan mereka menerima dan menyalurkan energinya. Kedua, cara mereka mengumpulkan informasi soal dunia sekeliling. Ketiga, cara mereka mempertimbangkan dan memutuskan suatu hal. Keempat, cara mereka menangani hal-hal yang terjadi di dunia luar.

Peserta sedang dijelaskan mengenai hasil MBTI

Dilanjutkan dengan sesi Jendela Johari. Sesi ini berguna untuk mengamati cara kita memahami diri  dan melihat dinamika kesadaran diri sendiri, yang berkaitan dengan perilaku, perasaan, dan motif kita. Jendela tersebut terdiri dari matrik yang terdiri atas empat komponen, masing-masing sel menunjukkan daerah self (diri) baik yang terbuka maupun yang disembunyikan. Keempat komponen tersebut adalah daerah publik (tahu tentang diri sendiri dan diketahui orang lain), daerah buta (tidak tahu tentang diri sendiri, tetapi diketahui orang lain), daerah tersembunyi (tahu tentang diri sendiri, tetapi orang lain tidak tahu), dan daerah yang tidak disadari (tidak diketahui diri sendiri dan orang lain).

Hari pertama diakhiri dengan Materi “Membangun Ekowisata” oleh Agus Wiyono. Pada sesi ini, narasumber menyampaikan perbedaan ekowisata berbasis komunitas dengan wisata massal. Hal lain yang disampaikan juga mengenai prinsip-prinsip ekowisata, serta belajar dari komunitas lain untuk mengembangkan ekowisatanya. Klik link berikut untuk menyimak sesi ini. 

Peserta melakukan permainan team building.

 Hal menarik selama proses

Selama dua hari berproses banyak hal menarik pada kegiatan tersebut. Seperti, pelatihan ini hanya melibatkan anak muda. Baik peserta maupun fasilitator yang merupakan generasi millenial dan generasi Z. Hal ini berdampak pada ruang aman (safe space) yang dibangun. Peserta lebih percaya diri dan rasa segan juga berkurang ketika menyampaikan pendapat mereka. Bagi fasilitator, kegiatan ini juga merupakan ruang untuk mengeksplor diri mereka untuk memfasilitasi suatu kegiatan, serta belajar mengenali berbagai kondisi saat fasilitasi.

Terlibatnya peserta perempuan yang lebih banyak dibanding laki-laki juga sangat mempengaruhi diskusi antar peserta. Seperti saat sesi “Kepemimpinan Inklusif”, di mana peserta dibagi menjadi tiga kelompok, dan salah satu kelompok menyebutkan bahwa pemimpin yang ideal adalah laki-laki dan harus benar. Hal tersebut disanggah oleh peserta perempuan dari kelompok lain.

“Perempuan juga bisa menjadi pemimpin, baik di rumah tangga atau pemimpin yang paling tinggi sekalipun”, kata salah satu peserta. Pernyataan tersebut ditimpali oleh peserta perempuan lainnya, menurutnya kata “harus benar” sebaiknya diubah, karena kata “benar” terlalu luas pengertiannya.

Salah satu tujuan dari Pelatihan Kepemimpinan II ini sendiri adalah menyiapkan pemimpin-pemimpin baru Kasepuhan Pasir Eurih dalam pengelolaan sumber daya alam. Diharapkan pasca kegiatan ini peserta akan melakukan aksi-aksi nyata supaya membawa kebermanfaatan bagi masyarakat Kasepuhan Pasir Eurih.

Penulis: Siti Marfu’ah