Dinamika Pelatihan Pemetaan Sosio-spasial Wilayah Adat Kasepuhan Cibarani dan Refleksi atas Proses Pendampingan Masyarakat

Sesuai dengan agenda yang telah disusun oleh Tim Pengorganisasian Masyarakat, RMI bersama JKPP akan menyelenggarakan Pelatihan Pemetaan Sosio-spasial Wilayah Adat secara Partisipatif pada tanggal 24-30 Januari 2022 bertempat di Kasepuhan Cibarani, Desa Cibarani, Kec. Cirinten, Kabupaten Lebak, Banten, dengan mengundang perwakilan dari Kasepuhan lainnya. Selain mengundang mereka yang telah mendapatkan SK Hutan Adat yaitu Kasepuhan Cirompang, Karang, dan Pasir Eurih; kegiatan ini juga dihadiri oleh Kasepuhan Cibedug yang sedang berproses untuk diakuinya Hutan Adat mereka. Penguatan kapasitas dan pembekalan kader-kader lokal yang bergabung dalam Forum Koordinasi dan Advokasi Wilayah Adat Lebak (KAWAL) juga merupakan salah satu tujuan yang ingin dicapai dari pelaksanaan pelatihan.

Menyoal Skema Pembagian Keuntungan dengan Perhutani

Pada hari pertama, kita berkumpul di Imah Gede bersama masyarakat yang baru saja selesai mengadakan acara pertemuan. Di malam itu kita mensosialisasikan agenda pelatihan yang akan dilakukan selama 7 hari kedepan selain juga membahas surat dari Perum Perhutani perihal pembagian keuntungan (profit sharing) dari kerjasama yang dilakukan oleh Perhutani dan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Cibarani. Armaya, salah seorang anggota LMDH Cibarani yang hadir di pertemuan ini, menjelaskan bahwa kerjasama terbentuk lantaran pada saat itu lahan garapan warga masih masuk dalam kawasan hutan. Masyarakat tetap diizinkan menggarap lahan mereka dengan syarat dikenakannya uang pajak 25% setiap kali panen. Meskipun begitu, Armaya beserta pengurus LMDH lainnya yang bertanggungjawab memungut pajak tersebut, tidak pernah memaksa masyarakat untuk membayar penuh tapi seikhlasnya saja. Di sisi lain, selama menjabat sebagai pengurus LMDH beliau baru sekali saja menerima hasil profit sharing yang kemudian dibelikan traktor.

Terkait surat berita acara yang saat ini diterima Masyarakat Kasepuhan Cibarani; walaupun tertulis bahwa terdapat sejumlah uang hasil profit sharing dari kerjasama terdahulu, LMDH tidak serta merta mengambil uang tersebut tanpa mengkoordinasikannya terlebih dahulu kepada kepala desa dan RMI. Warga Cibarani yang hadir malam itu mengaku bahwa mereka belum betul-betul memahami maksud dan tujuan dari surat tersebut. Beberapa diantara mereka juga menolak surat profit sharing tersebut. Penolakan muncul atas pemikiran bahwa masyarakat sudah tidak lagi berurusan dengan Perhutani sejak SK Hutan Adat Kasepuhan Cibarani telah mereka peroleh. Musyawarah malam itu berujung pada kesepakatan bahwa bahwa mereka akan membuat surat balasan yang kurang lebih berisi pengajuan pembubaran LMDH Kasepuhan Cibarani. Selain alasan penolakan profit sharing, pertimbangan diajukannya pembubaran LMDH lainnya yaitu adanya opini masyarakat yang memandang bahwa para pengurusnya lebih pro kepada Perhutani dibandingkan kepada sesama incu putu (keturunan Cibarani) sendiri; yang mana pandangan ini berpotensi menimbulkan konflik yang lebih meluas di internal Kasepuhan Cibarani sendiri.

 

Pentingnya Pengelolaan Hutan Adat Kasepuhan Cibarani Pasca Ditetapkannya Hak

Selesai membahas surat dari Perum Perhutani, Waris kemudian mengajak masyarakat mengingat kilas balik perjalanan Hutan Adat Kasepuhan Cibarani sampai dikeluarkannya SK Hutan Adat. Bagaimana perasaan masyarakat Cibarani ketika SK tersebut telah mereka dapatkan? Lalu manfaat apa yang hadir pasca diperolehnya SK Hutan Adat tersebut? Kebanyakan masyarakat yang hadir menjawab bahwa pasca memperoleh status Hutan Adat mereka lebih merasa aman dan nyaman dalam mengelola lahan garapan, terlebih sudah tidak ada lagi pungutan pajak dari Perhutani. Warga yang hadir juga menyampaikan bahwa jenis tanaman yang mereka budidaya belum banyak berubah, hanya bertambah jahe, porang, kopi, dan lain-lain.

Bagaimana dengan rencana atau keinginan ke depan pasca diperolehnya status Hutan Adat? Waris kembali bertanya. Peserta pertemuan menjawab bahwa mereka ingin lebih maju lagi, khususnya dalam bidang pertanian, namun masih belum paham bagaimana memulainya. Dengan adanya SK, apa masyarakat sudah merasa sejahtera? Mereka serentak menjawab belum sejahtera sebab belum semua masyarakat mempunyai akses terhadap lahan di Hutan Adat. Sama halnya dengan status Hutan Adat yang telah ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan lainnya, status Hutan Adat Kasepuhan Cibarani pun merupakan hutan hak yang kepemilikan dan pengelolaannya harus dilakukan secara komunal sehingga segala sesuatunya harus melibatkan masyarakat dan lembaga adat. Saat ini kelembagaan Adat kasepuhan Cibarani sendiri bisa dikatakan masih  belum memiliki rencana pengelolaan pasca terbitnya SK. Oleh karenanya kehadiran kami kali ini pada dasarnya berupaya memfasilitasi terjadinya ruang diskusi antara kelompok masyarakat, perempuan, dan generasi muda Kasepuhan tentang pentingnya pengelolaan Hutan Adat yang inklusif pasca penetapan hak sehingga tercipta keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat.

Di Hutan Adat Kasepuhan Cibarani kini, masih banyak lahan yang kosong atau belum digarap; selain situasi penguasaan lahan di Cibarani yang juga belum merata. Tim Pengorganisasian Masyarakat RMI kembali mengingatkan perwakilan warga yang hadir malam itu tentang rencana Kepala Desa (Jaro) Dulhani meredistribusi lahan yang ada di dalam wilayah Hutan Adat. Selain pemerataan akses, redistribusi ini  juga dimaksudkan agar masyarakat memiliki rasa memiliki serta kewajiban untuk melestarikan wilayah adat serta mengantisipasi tidak dipindahtangankannya kepemilikan lahan garapan ke pihak luar Kasepuhan Cibarani. Bagaimana pandangan masyarakat mengenai wacana ini? Masyarakat pada dasarnya mendukung agenda tersebut dan berpendapat bahwa Kelembagaan Adat Kasepuhan Cibarani perlu menyusun sejumlah aturan, hak, dan kewajiban bagi para pengelola lahan serta warga Cibarani pada umumnya. Rencana redistribusi ini pun dinilai sejalan dengan istilah lokal sabeungketan yang berarti sebagai masyarakat adat kita harus tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan dan senasib sepenanggungan, mulai dari masa-masa berjuang hingga nanti diperolehnya buah dari perjuangan tersebut.

Untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan yang merata, pengelolaan Hutan Adat pasca penetapan hak kemudian menjadi satu rangkaian proses yang krusial. Keberadaan data sosial-spasial diperlukan sebagai basis perencanaan komunitas dan wilayah adat Kasepuhan Cibarani. Pelatihan dan proses pengumpulan data ini sendiri berusaha menangkap kondisi seputar pengelolaan Hutan Adat saat ini yaitu dengan mengumpulkan informasi mengenai penggarap, luasan lahan, tanaman yang dibudidaya, keberadaan lahan yang masih kosong, dll. Guna mendukung terkumpulnya data yang akurat, teman-teman dari JKPP turut serta hadir untuk memberi pemahaman tentang data sosial-spasial dan mendampingi warga ketika praktik langsung. Generasi muda Kasepuhan sendiri banyak dilibatkan selama pelatihan dan proses pengelolaan Hutan Adatnya ke depan supaya semangat merawat wilayah adat mereka semakin terbangun dan apa yang diinginkan masyarakat dapat benar-benar tercapai.

Proses Pelatihan dan Pemetaan Wilayah Adat Kasepuhan Cibarani

Pada kegiatan hari kedua kita kedatangan teman-teman peserta dari Kasepuhan Pasir Eurih, Cibeas dan Cirompang. Sementara perwakilan masyarakat dari lokasi lain tidak bisa hadir dikarenakan ada halangan. Peserta yang hadir menyampaikan bahwa mereka hadir ke Kasepuhan Cibarani untuk menghadiri dan mengikuti pelatihan yang menarik ini. Rencana menerbangkan drone, yang diagendakan terlaksana di hari ini, gagal karena hujan mengguyur Cibarani dari pagi sehingga diputuskan untuk ditunda. Berdasarkan kesepakatan sebelumnya bahwa, pelatihan akan mulai setelah dhuhur karena pagi hari masyarakat Kasepuhan Cibarani melakukan gotong royong untuk mendirikan rumah warga yang terdampak gempa bumi. Namun setelah kita tunggu sampai sore, ternyata tidak ada satupun warga yang datang. Tim Pengorganisasian Masyarakat RMI kemudian  memutuskan untuk menunda pertemuan ke malam hari dan menghabiskan waktu siang itu dengan mengobrol dengan teman-teman yang datang dari Kasepuhan lain. Setelah maghrib kita meminta tolong Pak RT Samanan untuk mengumumkan lewat speaker supaya masyarakat dapat berkumpul dan mengikuti pelatihan. Akan tetapi setelah ditunggu sampai malam, ternyata hanya baris olot saja yang hadir; alhasil tidak mungkin untuk melanjutkan rencana yang disepakati apalagi untuk melakukan pelatihan. Hasil diskusi dengan baris olot membuahkan gagasan untuk langsung membuat daftar nama perwakilan anak muda yang akan diundang mengikuti kegiatan esok hari pukul 09.00 WIB. Ini dilakukan sebab anak muda Kasepuhan Cibarani memang agak susah untuk diajak kumpul/riungan, tutur baris olot

Besok paginya lumayan banyak masyarakat yang berkumpul di Imah Gede; dari Kasepuhan Cibarani sendiri ada perwakilan dari anak muda laki-laki dan perempuan adat dan baris olot. Kita membuka pelatihan dengan menyampaikan rencana pendataan sosial dan spasial yang karenanya sangat diharapkan masyarakat, terutama anak muda Kasepuhan, dapat terus mengikuti kegiatan pelatihan dan praktik lapangan dalam beberapa hari ke depan. Selanjutnya Fauzan memaparkan refleksi dari perjalanan Hutan Adat dari awal persiapan sampai terbitnya SK Hutan Adat–termasuk menegaskan bahwa tidak menutup kemungkinan SK hutan Adat dicabut jika dianggap tidak memberikan manfaat dan/atau justru menimbulkan kerusakan serta konflik di masyarakat. Maka dari itu perlu dipersiapkan perencanaan tata kelola Hutan Adat pasca penetapan hak supaya benar-benar memberikan manfaat lebih untuk masyarakat. Kemudian Opet dari JKPP menyambung penjelasan dengan memberikan gambaran pengelolaan Hutan Adat yang pernah didampingi JKPP sehingga masyarakat Kasepuhan yang hadir lebih mudah memahami proses pengelolaan serta proyeksi hasil yang didapatkan pasca pengelolaannya. Hanya saja perlu ditekankan terkait komitmen masyarakat karena memang prosesnya tidak sebentar sehingga masyarakat bisa jadi malas untuk berproses, sebagaimana kerap dihadapi masyarakat lainnya juga. Setelah istirahat, peserta yang telah sepakat untuk kumpul kembali, ternyata cuma sedikit dan hanya peserta perempuan yang kembali. 

Secara terpisah kita juga memutuskan untuk menerbangkan drone selagi kondisi cuaca agak mendukung. Setelah mencoba 2 kali misi, ternyata hasil yang didapatkan sangat kecil sekali. Sekali terbang hanya mendapatkan 15 Ha dan masih jauh dari total luasan wilayah Adat Kasepuhan Cibarani yang luasnya mencapai 1200 Ha sehingga perlu terbang berapa kali dan banyak memakan waktu. Ini tidak sesuai dengan hasil diskusi sebelum turun lapang, yang menurut keterangan Aziz dari JKPP, bahwa dengan luasan 1200 Ha mungkin drone hanya perlu terbang 4-5 kali. Dari hasil diskusi, kita memprioritaskan untuk memetakan batas-batas Hutan Adat terlebih dahulu. 

Di hari berikutnya, kita membagi tim menjadi dua yaitu sebagian mengawal pelatihan dan sebagian lagi turun lapang untuk menerbangkan drone. Hasil dari setiap misi penerbangan drone langsung kita olah. Namun ternyata pelatihan tidak lanjut lagi, dikarenakan tidak ada peserta yang hadir. Malam harinya kita mengobrol dengan teman-teman dari Kasepuhan lain. Ada sedikit protes dari mereka, bahwa mereka datang untuk belajar dan mengikuti pelatihan. Dikarenakan undangan dari RMI dan ditambah ketertarikan mereka terhadap tema yang akan dibawakan dalam pelatihan, mereka rela untuk meninggalkan kesibukan mereka masing-masing. Namun setelah mereka sampai di Kasepuhan Cibarani dan melihat kondisi masyarakat, terkhusus pemudanya, mereka ikut kesal dan kecewa. Sempat juga terlontar pertanyaan, “Kenapa sih Mas pelatihannya diadakan di Cibarani? Kenapa tidak ditempat kita saja, yang pasti akan mendapatkan sambutan yang positif dan tentunya banyak yang ikut berpartisipasi. Karena kita merasa juga butuh pengelolaan dan perencanaan HA kedepannya”. Kemudian kami menjawab bahwa Kasepuhan Cibarani dipilih karena mempertimbangkan kondisi kapasitas anak muda dan masyarakatnya yang masih perlu ditingkatkan, supaya memiliki kapasitas yang sama dengan masyarakat di wilayah Kasepuhan lain yang juga sudah mendapatkan SK Hutan Adat dan sudah terlebih dahulu difasilitasi dengan berbagai kegiatan peningkatan kapasitas di komunitasnya. Kehadiran teman-teman dari Kasepuhan lain juga diharapkan dapat menambah semangat masyarakat Cibarani untuk mengikuti pelatihan dan berbagi pengalaman. Tetapi memang kenyataannya anak muda Cibarani belum terlalu tergugah minatnya dengan kegiatan-kegiatan seperti ini. Kemudian mereka bertanya lagi, “Seandainya sampai besok tidak ada yang hadir lagi, apa pelatihannya juga akan ditunda lagi?” Akhirnya kita putuskan walaupun nantinya masyarakat lokal tidak ada yang hadir, kita akan tetap melanjutkan pelatihan demi menghargai teman-teman yang sudah jauh-jauh datang dengan tujuan mengikuti kegiatan. Malam harinya pun kita ngobrol-ngobrol dengan teman-teman dari kasepuhan lain, mereka bercerita situasi dan kondisi yang ada di wilayah mereka masing-masing serta mereka meminta saran dan masukan dari RMI dan JKPP.

Untungnya keesokan harinya pelatihan bisa dilanjutkan dengan dihadiri juga oleh ibu-ibu Kasepuhan Cibarani. Materi yang disampaikan tentang Perencanaan Pengolahan Lahan dan juga dibahas mengenai perubahan-perubahan dan hasil yang didapat setelah perencanaan. Peserta lalu diminta untuk berdiskusi dan membuat perencanaan sederhana di wilayah adat mereka masing-masing. Di lain tempat kita juga secara paralel melakukan penerbangan drone di area Hutan Adat dan berhasil menerbangkan misi selama 6 kali di pagi dan sore hari. Namun setelah data diolah ternyata foto udara yang dihasilkan tidak seragam, ada yang terlalu cerah ada juga yang gelap karena pengaruh cuaca yang berubah-ubah. Di pelatihan hari terakhir, dari warga lokal ternyata hanya perempuan dari Kasepuhan Cibarani saja yang hadir mengikuti pelatihan. Sangat disayangkan agenda yang sudah susah payah kita persiapkan kurang berjalan maksimal dikarenakan kurangnya respon masyarakat setempat. Misi drone pun juga belum menjangkau seluruh area Hutan Adat Cibarani sebab tim kesusahan mencari masyarakat yang bisa mendampingi turun lapang sehingga dalam prosesnya kita hanya berpatokan trek pada koordinat misi yang dibuat.

Menegaskan Kembali Komitmen Masyarakat

Malam hari di hari terakhir kegiatan kita meminta tolong Pak RT Samanan mengumpulkan masyarakat, karena ada beberapa hal yang mau disampaikan sebelum pulang ke Bogor. Di malam terakhir ini ternyata lumayan banyak masyarakat yang hadir, tidak seperti hari-hari sebelumnya. Dalam riungan malam itu kita menyampaikan kegiatan-kegiatan yang sudah dilakukan dalam seminggu kebelakang, mulai dari pelatihan-pelatihan sampai pemetaan dengan menggunakan drone. Disampaikan juga bahwa hasil yang sudah didapatkan masih jauh dari kata maksimal dikarenakan partisipasi masyarakat sangat minim sekali. Hasil olahan data melalui drone selanjutnya ditampilkan kepada masyarakat, dimana setelah ditampilkan ternyata masyarakat juga masih belum begitu hafal terhadap wilayahnya sendiri. Namun setelah kami beri petunjuk salah satu lokasi yang mudah dikenal, akhirnya mereka mulai paham dan bisa menyebutkan area-area tersebut sembari mencoba didigitasi dan menyebutkan pola pengelola lahan. Dari percobaan digitasi, ternyata banyak perbedaan seperti luasan lahan dari keterangan yang disebutkan oleh pemilik lahan dan hasil hitungan setelah data diolah. 

Dalam kesempatan ini kami juga menyampaikan respons dan pemikiran kami atas partisipasi masyarakat Kasepuhan Cibarani selama berlangsungnya pelatihan. Ketika tim RMI bersama JKPP datang, masyarakat sendiri yang menyepakati dan siap untuk berpartisipasi dalam pelatihan-pelatihan dan kegiatan yang akan dilaksanakan. Tapi kenyataannya sedikit sekali yang hadir, bahkan tidak sekali atau dua kali kita selalu umumkan lewat speaker tetapi memang respon masyarakat yang kurang baik. Ditegaskan juga bahwa posisi RMI dan teman-teman JKPP disini hanya sebagai pendamping dan teman diskusi, bukan sebagai pekerja masyarakat. Kalaupun dari hasil diskusi muncul keinginan masyarakat menuju perubahan kearah yang lebih baik, itu semua tergantung dari masyarakat sendiri. Disaat masyarakat semangat, kita juga tambah semangat; begitu juga sebaliknya kalau masyarakat diam saja, kita juga tidak bisa berbuat apa-apa. RMI pun tidak selamanya akan berada di Kasepuhan Cibarani  karena masih banyak wilayah lain yang juga ingin didampingi seperti Cibarani. Kami menjadikan Cibarani sebagai prioritas dikarenakan melihat kondisi dan semangat masyarakat yang berkeinginan untuk menjadi lebih sejahtera. Namun melihat apa yang terjadi dalam kegiatan seminggu terakhir, komitmen itu tampaknya hanya sebatas ucapan saja. Sekarang kami mengembalikan lagi ke masyarakat, jika memang proses ini dianggap tidak penting dan tidak perlu dilanjutkan bagi kami tidak masalah. Semua proses ini berangkat dari kesepakatan masyarakat sehingga keputusan mutlak ada di tangan masyarakat pula. 

Masyarakat menjawab bahwa mereka sebenarnya sudah meminta anak muda Cibarani untuk mengikuti pelatihan yang dilaksanakan, tetapi memang pemuda di sini agak susah kalau diajak diskusi, riungan, ataupun pelatihan. Sebagai orang tua, masyarakat Cibarani yang hadir juga mengaku kebingungan bagaimana membuat mereka–sebagai generasi penerus Kasepuhan Cibarani–lebih peduli dengan kampungnya. Terkait kelanjutan proses yang tengah berlangsung, hal ini sepertinya perlu direnungkan kembali antara lembaga adat dan masyarakat. Tim Pengorganisasian Masyarakat RMI lalu menyampaikan bahwa silakan sampaikan hasil diskusi tersebut kepada kami, dengan catatan bahwa jika ternyata ingin lanjut berarti sudah sewajarnya semua masyarakat partisipasi penuh dalam prosesnya. Disepakati bahwa jika selama 2 minggu ke depan kita tidak menerima kabar dari Kasepuhan Cibarani, maka kami anggap bahwa masyarakat memutuskan untuk tidak melanjutkan proses yang tengah berjalan. 

Pembelajaran

Dari 7 hari kami di Kasepuhan Cibarani, ternyata apa yang telah kita rencanakan kurang bisa berjalan maksimal. Termasuk pernyataan dari teman-teman JKPP yang dapat menjadi bahan introspeksi bahwa mereka menganggap masyarakat belum siap untuk berproses dan juga belum punya sosok yang bisa dijadikan pegangan. Abah Jaro sebagai kepala adat sekaligus kepala desa tampak kurang merespon kegiatan yang tengah dilaksanakan. Ini terlihat dari pertama kali datang, beliau belum pernah hadir dalam kumpulan ataupun sekedar menanyakan kegiatan yang dilakukan. Kami juga berasumsi bahwa masyarakat Kasepuhan Cibarani sedang mengalami krisis kepercayaan terhadap seorang pemimpin. Sehingga dari kegiatan-kegiatan yang diadakan kurang mendapatkan respon positif dari masyarakat. Kedepannya mungkin perlu ada forum diskusi antara pihak RMI dan Kelembagaan Adat Cibarani untuk membahas kelanjutan proses-proses di Kasepuhan Cibarani, sebab hanya akan membuang-buang energi jika dipaksakan sedangkan dampak bagi masyarakat minim. Perlu dibangun kembali komitmen-komitmen yang bisa dipegang bersama sehingga bisa berproses menuju ke arah yang jelas dalam pendampingan kedepan. Selain itu juga masih perlunya waktu untuk mendorong kesadaran masyarakat, terutama anak mudanya, supaya tergerak dan mau melakukan inisiatif-inisiatif pengelolaan ruang wilayah adat.  

Pembelajaran lain yang diperoleh dari percobaan digitasi atau pemetaan wilayah adat Kasepuhan Cibarani yaitu ternyata tidak semua penggunaan lahan bisa diketahui batasnya. Seperti kebun, dikarena jenis tanamannya tidak terlihat jelas maka untuk menentukan batas-batasnya masyarakat juga kesusahan. Dikarenakan tidak semua lahan bisa ditentukan batas-batasnya, evaluasinya adalah perlu pengambilan titik koordinat ke lapangan terhadap lahan yang masih sulit diidentifikasi batas-batasnya. Konsekuensinya bagi masyarakat adalah mereka harus siap untuk pemetaan kembali, walaupun prosesnya mungkin tidak perlu lama sebab foto sawah dihasilkan dari drone sudah sangat jelas sehingga tidak perlu diambil kembali. Pasca diolah/didigitasi, hasilnya akan kembali ditampilkan ke masyarakat sebagai bahan diskusi rencana berikutnya. 

Penulis: Slamet Widodo

Editor: Supriadi

Surat Cinta di Penghujung Tahun 2021 Dan Kembalinya Gairah Petani Ciwaluh – Cipeucang

Slot Deposit Dana – Diakhir tahun 2021, tepatnya tanggal 29 Desember 2021 lalu,  KTH Ciwaluh, Desa Wates Jaya, Kec. Cigombong dan KTH Cipeucang, Desa Pasir Buncir, Kec. Caringin, Kab. Bogor,  mendapatkan undangan dari Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (BBTNGGP) yang isinya berupa undangan pendandatanganan Perjanjian Kerjasama (PKS).  Berita tersebut merupakan sebuah kabar yang dinanti-nanti setelah hampir empat tahun lamanya tiga Kelompok Tani Hutan (KTH) dari dua kampung tersebut menunggu.

Permainan game online Pay4d datang dari kekasih, mereka pun menyambutnya dengan sukacita dengan mengumumkannya melalui pengeras suara di mesjid. Seorang pengurus KTH, yang juga sebagai Dewan Kesejahteraan Masjid (DKM), mengumumkan kabar tersebut sekaligus meminta kepada anggota KTH untuk berkumpul membahas undangan yang rencananya akan dibahas malam hari. Bagi masyarakat Ciwaluh, pengeras suara masjid tidak hanya digunakan untuk kepentingan ibadah seperti azan dan pengajian, tetapi juga berfungsi sebagai sarana komunikasi sosial untuk menyampaikan berbagai informasi yang diterima oleh masyarakat setempat. Informasi yang disampaikan melalui pengeras suara masjid biasanya berisi informasi-informasi penting dan kondisi-kondisi darurat saja.

 

Tanggal 29 Desember 2021, menjadi hari keramat bagi para penggarap lahan di Ciwaluh dan Cipeucang, karena untuk kesekian kalinya mereka bisa duduk berhadapan dengan Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (Dirjen KSDAE), Wiratno. Berbeda dengan pertemuan-pertemuan sebelumnya, kali ini Wiratno bertemu penggarap Ciwaluh dan Cipeucang dalam rangkan menyaksikan penandatanganan Perjanjian Kerjasama (PKS) Kemitraan Konservasi yang dilakukan oleh Kepala Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (BBTNGGP) dengan masing-masing ketiga dari ketiga KTH, yaitu KTH Ciwaluh Hilir, KTH Ciwaluh Girang dan KTH Cipeucang.

Proses penandatanganan PKS tersebut berjalan  dengan menarik, di mana Wiratno meminta perubahan durasi PKS yang awalnya direncanakan hanya tiga tahun menjadi lima tahun. Hal ini menunjukan bagaimana beliau berpihak kepada masyarakat yang memiliki hak untuk mengakses hutan sebagai ruang hidupnya selama ini.

Penandatangan PKS yang telah dilakukan ternyata belum cukup bagi KTH untuk dapat mengimpelementasikan isi perjanjian kerjasama tersebut, pasalnya mereka diwajibkan membuat dokumen Rencana Pelaksanaan Pogram (RPP) dan Rencana Kerja Tahunan (RKT) selama 5 tahun ke depan. RPP dan RKT merupakan amanat yang tertuang dalam PKS yang disusun bersama-sama antara KTH dan BBTNGGP dengan durasi penyusunan 3 bulan setelah PKS ditandatangani.

Penyusunan RPP dan RKT di Tiga KTH

Berdasarkan amanat PKS yang telah ditandatangani, di minggu pertama Januari 2022 ketiga KTH pun mulai melakukan penyusunan draft Rencana Pelaksanaan Program (RPP) dan Rencana Kerja Tahunan (RKT) Kemitraan Konservasi. Dokumen RPP dan RKT bagi KTH bukan hanya persoalan administrasi semata, namun jauh dari itu memiliki makna besar bagaimana mereka menyiapkan rencana implementasi secara kolektif berdasarkan hasil diskusi mereka  sendiri. Agar penyusunan RPP dan RKK berjalan dengan efektif, maka teknis penyusunan dilakukan secara bergilir di tiga KTH yang dimulai dengan KTH Ciwalu hilir. Hal ini sengaja dilakukan dengan melihat jumlah anggota KTH yang cukup banyak, sehingga tidak mungkin disatukan dalam satu forum.

Ada suasana yang beda ketika pertemua di tiga KTH baik Ciwaluh hilir, Ciwaluh girang maupun Cipeucang, anggota yang datang lebih banyak dari biasanya. Kondisi ini menunjukan bahwa ada semangat baru pada diri masyarakat penggarap setelah PKS ditandatangani.  Terlihat ada kepercayaan diri pada mereka yang sebelumnya cukup pesimis dengan proses usulan Kemitraan Konservasi. Demi memperlancar proses penyusunan RKP dan RKT, KTH menyiapkan proyektor yang dipinjam dari kelompok wisata. Difasilitasi oleh RMI, pertemuan ini diawali dengan menyampaikan tujuan dan maksud penyusunan dokumen tersebut sekaligus membahas ulang tiap point isi PKS.

Proses peyusunan RPP dan RKT mengacu pada ruang lingkup kerjasama yang tertuang dalam PKS meliputi: 1) Perlindungan dan pengamanan Kawasan; 2) Pembinaan Habitat; 3) Akses pemungutan HHBK; 4) Budidaya Tradisional dan Tanaman Obat, Multi Puprpose Tree Species (MTPS–sistem pengelolaan lahan dimana berbagai jenis kayu, daun-daunan, dan buah-buahan ditanam dan dikelola, yang dapat digunakan sebagai bahan makanan ataupun pakan ternak); 5) Monitoring dan Evaluasi. Proses penyusunan dilakukan dengan metode diskusi, dimana setiap anggota menyampaikan pendapatnya, baik lisan maupun tulisan. Tujuannya agar setiap anggota dapat menyampaikan pendapatnya sesuai perspektif masing-masing. Proses selanjutnya adalah penyusunan RPP dan RKT secara detil hingga terbentuk matrik durasi dan timeline-nya, yang akan dikerjakan oleh tim khusus yang terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara dan satu orang anggota dari masing-masing KTH.

Ringkasan hasil diskusi dari pertempuan tersebut antara lain:

1.Perlindungan dan Pengamanan Kawasan;

Meliputi kegiatan pengamanan melalui sebaran infomasi tentang aturan pengelolaan, sosialisasi dan patroli rutin secara mandiri maupun berkolaborasi dengan petugas BBTNGGP.

2. Pembinaan Habitat;

Kegiatan ini disepakati berupa inventarisasi lahan kritis dan rawan longsor, penyemaian dan penanaman pohon hutan endemik.

3.Akses Pemungutan HHBK;

Kegiatan ini meliputi aktivitas harian masyarakat dalam memanfaatkan lahan, berupa kebun dan sawah yang secara produktif mereka kelola selama ini, termasuk pemanfaatan getah pinus. Selain itu juga soal penguatan kelembagaan dan peningkatan kapasitas, serta pembentukan lembaga ekonomi seperti koperasi.

4.Budidaya Tradisional dan Tanaman Obat, MPTS;

Kegiatan ini meliputi pemanfaatan buah-buahan seperti jengkol, pete, nangka hingga sengon. Sengon merupakan jenis tanaman yang secara khusus pemanfaatannya diatur berdasarkan skema yang telah disiapkan KTH berupa sistem tanam tebang.

5.Monitoring dan Evaluasi.

Kegiatan ini meliputi pencatatan, pelaporan secara berkala, evaluasi tahunan dan lima tahunan.

Kembalinya Kepercayaan Diri dan Semangat Baru Para Penggarap

Ditandanganinya PKS Kemitraan Konservasi pada 29 Desember 2021 lalu membawa angin segar bagi para penggarap di kampung Ciwaluh dan Cipeucang. Ada kepercayaan diri yang perlahan tumbuh dibenak mereka bahwa keberadaannya kini telah mendapat pengakuan meskipun berupa kerjasama.

Di tengah proses diskusi Ketua KTH Ciwaluh Hilir, Adom bercerita bahwa sekarang ini para penggarap mulai berdatangan kepadanya dan memberikan secara sukarela sumbangan dalam bentuk uang, beras, kapolaga dan juga kopi untuk mendukung dan membiayai berbagai kegiatan yang akan dilakukan KTH kedepannya. Pasalnya mereka sekarang percaya bahwa perjuangan yang dilalui telah mendatangkan hasil, maka sudah sepatutnya anggota juga turut serta memberikan suport melalui iuran sukarela yang akan dikumpulkan oleh pengurus sebagai kas kelompok yang nantinya akan digunakan untuk membiayai kegatan-kegiatan KTH. Diwaktu yang sama, Adom juga membacakan satu persatu iuran sukarela yang masuk beserta pengeluaran apa saja yang telah dikeluarkan. Para anggota menyaksikan dengan seksama. Beberapa orang menanggapi bahwa  anggota kini percaya dan siap untuk bekerjasama kedepannya karena pada dasarnya semuanya memiliki kepentingan dan tujuan yang sama, yakni memperbaiki taraf hidup dan memperkuat solidaritas dan persatuan di internal kampung.

Meski belum besar nilainya, namun hal ini merupakan inisiatif baik dari para penggarap yang sebelumnya relatif tak acuh kini mulai acuh degan kegiatan-kegiatan KTH, termasuk membangun inisiatif dan rencana. Hal ini tidak hanya terjadi di Ciwaluh, di Cipeucang sendiri dalam diskusi perumusan RPP dan RKK, ketua RT menyampaikan bahwa dirinya beberapa waktu lalu telah mengusulkan di forum Musrembangdes Desa Pasir buncir agar memasukan KTH Cipeucang sebagai sasaran kelompok yang perlu didukung pengembangannya oleh pemerintah desa melalui Dana Desa.  Menurutnya respon Kepala Desa cukup baik dengan menyetujui usulan yang disampaikan oleh Pak RT. Dalam waktu dekat, beliau akan mengajak ketua KTH Cipeucang untuk bertemu dengan Kepala Desa tujuannya mempertegas apa yang sudah diusulkan dalam Musrembang tersebut.

Ditandatanganinya PKS juga berdampak pada kepercayaan diri penggarap dalam menjalankan aktivitas keseharian mengolah tanah, mereka lebih merasa tenang dan nyaman, berbeda dengan kondisi sebelumnya. Sejak ada PKS Kemitraan Konservasi, masyarakat menganggap ada batasan dan aturan baku yang diterapkan, sehingga membuat mereka semakin yakin dalam mengelola lahannya. Di kesehariannya, KTH pun mulai berani menjalin komunikasi secara langsung dengan TNGGP, baik bertanya maupun melakukan klarifikasi terkait isu-isu tertentu yang berkaitan dengan aktivitas dan kondisi pengelolaan lahan garapan.

Mimpi 5 Tahun Ke Depan

Lahan garapan berupa sawah dan kebun sudah menjadi sumber kehidupan masyarakat Ciwaluh dan Cipeucang yang mayoritas sebagai petani. Sejarah panjang telah menjadi perjalanan dan saksi nyata bagaimana masyarakat memiliki hak untuk menguasai, memiliki dan memanfaatkan kekayaan alam di sekitar mereka dengan tenang dan aman.

Sebelumnya, konflik dengan TNGGP telah membawa masyarakat Ciwaluh dan Cipeucang semakin termarginalkan keberadaannya karena pembatasan akses yang bertolak belakang dengan aktivitas mereka selama ini. Kondisi ini secara otomatis membawa dampak buruk bagi ksejahteraan masyarakat setempat yang memiliki sumber kehidupan di kawasan hutan yang dikuasai negara.

Melalui skema Kemitraan Konservasi secercah harapan kembali hadir,  ditengah rasa pesimis bahkan frustasi karena lamanya perjuangan yang ditempuh. Kini mereka telah resmi diakui aksesnya sebagai bagian dari pengelolaan kawasan hutan. 5 tahun yang diatur dalam PKS merupakan bungkusan mimpi penggarap untuk bekerja memenuhi kebutuhan sehari-hari secara legal tanpa dibayang-bayangi rasa takut akan pelanggaran hukum oleh petugas TNGGP.

Awal Januari 2022 masyarakat mulai menata apa yang akan dilakukan selama 5 tahun kedepan. Berbagai rencana dan harapan muncul dari mulut penggarap, salah satunya adalah memulai pertanian organik untuk kehidupan mendatang. Di tengah semakin sulit dan mahalnya biaya bertani, terutama sawah bagi petani kecil, maka pertanian organik akan menjadi solusi bagaimana meminimalisir biaya pertanian yang juga sangat bermanfaat untuk mewujudkan masyarakat Ciwaluh-Cipeucang lebih sehat. Dalam aspek usaha, para penggarap berharap selama 5 tahun ke depan KTH memiliki badan usaha sendiri atau lembaga keuangan sendiri seperti koperasi, yang dapat menjadi motor gerakan kemandirian petani dalam meningkatan produtivitas dan pendapatan.

Penulis: Fauzan Adima

Editor: Siti Marfu’ah