Seba adalah proses ritual Masyarakat Adat Baduy untuk menyampaikan amanat puun (Ketua Adat) kepada pemerintah Kabupaten dan Provinsi sesuai dengan filosofi mereka “Ngasuh Ratu Ngayak Menak” yang artinya mengasuh dan membimbing pemimpin sebagai bagian dari tugas Baduy. Masyarakat Baduy juga membawa hasil bumi sebagai oleh-oleh/buah tangan pada saat Seba. Ritual ini telah dilakukan oleh Masyarakat Adat Baduy selama ratusan tahun, karena dengan ritual ini Masyarakat Adat Baduy, atau yang menyebut diri mereka dengan Urang Kanekes, membuktikan bahwa mereka patuh dan menghormati hukum negara, sesuai dengan prinsip hidup mereka yaitu nyanghulu ka hukum nyanghunjar ka nagara. Selain itu, Seba juga sebagai momen untuk menunjukan eksistensi sekaligus silaturahmi dengan pemerintah setempat.
Ritual Seba Baduy 2024 dilaksanakan pada Jum’at, 17 Mei 2024 di Pendopo Pemerintah Kabupaten Lebak. Beberapa hari sebelum ritual, Masyarakat Adat Baduy akan mengumpulkan hasil bumi yang telah mereka panen dalam setahun terakhir, kemudian dikumpulkan di halaman rumah Jaro (Kepala Desa) di Baduy Luar. Pada hari pelaksanaannya waktu pagi hari rombongan Masyarakat Adat Baduy Dalam berjalan kaki menuju kantor Pemda Lebak. Di siang harinya masyarakat berbondong-bondong membawa hasil bumi yang sudah terkumpul ke truk yang sudah disiapkan. Lalu dilanjutkan dengan rombongan Masyarakat Adat Baduy Luar yang menggunakan transportasi (elf/mobil) menuju ke pemerintah setempat. Menurut Jaro ada 1.500an Masyarakat Baduy yang ikut dalam rombongan Seba tahun ini.
Ada hal yang berbeda Seba tahun 2024 dengan Seba tahun-tahun sebelumnya. Tahun-tahun sebelumnya Masyarakat Adat Baduy akan berdialog dengan pemda Lebak untuk menyampaikan laporan kondisi warga, hasil panen, dan keamanan wilayah. Seba tahun ini, Masyarakat Adat Baduy hanya babacakan (makan bersama) dengan Pemda Lebak.
Pada Sabtu, 18 Mei 2024, rombongan Masyarakat Adat Baduy melanjutkan perjalanan ke Pemprov Banten. Saat berdialog dengan Pemprov Banten, mengutip dari laman Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID), Pejabat Gubernur Banten, Al Muktabar, menitipkan anak-anak di Baduy jangan sampai terkena stunting. Apabila memerlukan dukungan, Pemprov Banten siap hadir.
Hak Masyarakat Adat Baduy Yang Belum Terpenuhi
Masyarakat Adat Baduy adalah kelompok minoritas yang memiliki berbagai tantangan dalam kehidupan bernegara. Meskipun Seba dilakukan tiap tahun, dan setiap tahun juga Masyarakat Adat Baduy juga bertemu dengan pemerintah setempat yang membuat kebijakan dan mempengaruhi kehidupan mereka, semua ini bukan berarti hak mereka telah dipenuhi.
Ada dua hak Masyarakat Adat Baduy yang belum dipenuhi, salah satunya adalah hak-hak administrasi kependudukan, dan hal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 pasal 58 ayat (2) huruf H yang mengatur perihal data dan dokumen kependudukan yang terdiri dari data perseorangan dan salah satunya adalah “agama/kepercayaan”.
Ketika awal tahun 2019 pemerintah mengeluarkan KTP-el baru bagi penganut kepercayaan. Di kolom agama KTP-el tersebut penganut kepercayaan akan ditulis ‘Kepercayaan’. Padahal, Masyarakat Adat Baduy adalah kelompok minoritas yang memiliki agama sendiri yaitu Sunda Wiwitan. Pengakuan agama Sunda Wiwitan ini tidak hanya memenuhi hak dasar Masyarakat Baduy sebagai warga negara namun juga mendorong inklusivitas sosial bagi mereka.
Terlebih, tidak semua warga Baduy sepakat dengan isian format kolom agama ‘Kepercayaan’ tersebut. Muncul pendapat yang tegas dari berbagai kalangan Masyarakat Baduy supaya tetap agama Sunda Wiwitan yang dicantumkan dalam KTP-el karena agama tersebut sudah diwariskan turun temurun (“Kolom Agama KTP Warga Baduy Diisi Penganut Kepercayaan”, 2019). Dapat diduga bahwa munculnya keberatan tersebut adalah karena pada hakikatnya Sunda Wiwitan bukan sekedar aspek kepercayaan yang berdiri sendiri. Sunda Wiwitan bagi warga Baduy adalah identitas kultural (cultural identity) yang seiring pengakuannya juga berarti mengukuhkan hak-hak kultural (cultural rights) Masyarakat Adat Baduy itu sendiri (Dinamika Pemenuhan Hak Administrasi Kependudukan Baduy dan Preferensi Dicantumkannya ‘Sunda Wiwitan’ Dalam Kolom Agama Ktp Elektronik (Ktp-El), 2019).
Hak yang belum dipenuhi lainnya adalah lahan untuk ngahuma (berladang) warga Baduy. Seiring pertumbuhan populasi warga Baduy dan pembatasan wilayah adat sejak 2001, lahan yang dikelola oleh warga Baduy semakin menyempit. Karena konon jumlah penduduk Baduy saat ini ini diperkirakan mencapai ± 26.000 jiwa, tetapi Baduy masih mendiami wilayah ulayat seluas 5.101,8 Ha. Wilayah tersebut terbagi ke dalam beberapa bagian berdasarkan pikukuh yaitu hutan lindung atau yang mereka sebut sebagai leuweung tutupan (secara literal berarti hutan tutupan) seluas 3.000 Ha dan sisanya adalah pemukiman dan areal pertanian.
Seperti kita ketahui, Masyarakat Adat Baduy sendiri terbagi menjadi dua, yaitu Baduy Dalam dan Baduy Luar, dan mereka memiliki tata penguasaan lahan yang berbeda. Pada kelompok Baduy Dalam, penguasaan lahan (khususnya lahan garapan) dikendalikan oleh pemimpin adat dan didistribusikan kepada keluarga-keluarga dalam kelompok. Begitu pula untuk lahan pemukiman, penambahan bangunan di Baduy Dalam harus melalui persetujuan pemimpin adat. Sedangkan, pada kelompok Baduy Luar, penguasaan lahan (termasuk lahan pemukiman) telah berada di tangan keluarga dan konsep pewarisan telah dikenal dan dipraktikkan (RMI, 2018).
Dapat dibayangkan bagaimana dengan sistem pewarisan ini setiap waktunya kepemilikan lahan tiap kepala keluarga kelompok Baduy Luar akan semakin kecil karena populasi yang terus bertambah. Sementara itu, menurut adat, masyarakat Baduy Dalam hanya boleh mengelola lahan di wilayah Baduy Dalam.
Titipan Pemerintah dan Hak Masyarakat Adat Baduy
Pemerintah Provinsi Banten saat Seba Baduy menitipkan ke warga Baduy agar tidak ada lagi anak yang mengalami stunting di kelompoknya, mengingat banyaknya penderita stunting di wilayahnya.
Stunting adalah gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang, yang ditandai dengan panjang atau tinggi badannya yang berada di bawah standar. Menurut data Laporan Kinerja Dinas Kesehatan Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, tahun 2023 terjadi penurunan angka jumlah stunting, yang sebelumnya 4.618 orang menjadi 3.682 orang yang menderita stunting. Sedangkan berdasarkan data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2023, angka stunting nasional mencapai 21,6%, sedangkan angka stunting Kabupaten Lebak berdasarkan data (SSGI) sebesar 26,2%. Tidak ada angka pasti berapa yang menderita stunting di Baduy, baik Baduy dalam maupun Baduy Luar. Sulitnya akses untuk ke seluruh kampung menjadi salah satu tantangannya.
Meskipun begitu, stunting di Baduy juga memiliki beberapa faktor penyebab. Seperti kurangnya akses lahan yang bisa dikelola, pembangunan pariwisata yang masif, dan akses pasar yang sangat dekat, serta tidak diiringi dengan peningkatan pengetahuan tentang konsumsi makanan beragam untuk memenuhi gizi seimbang. Sehingga menyebabkan warga Baduy lebih sering mengkonsumsi makanan dari luar, yang melalui ultra proses, lebih banyak mengandung gula dan bahan sintetis.
Selain itu, masih banyak anggota masyarakat Baduy belum memiliki KTP-el sehingga tidak mendapatkan pelayanan/bantuan dasar dari pemerintah. Kemudian, permasalahan laju pertumbuhan penduduk, perkawinan usia dini dan serta perkawinan saudara, dalam masyarakat Baduy juga harus diatasi untuk menjawab tantangan.
Pendampingan intensif di lapangan melalui pendidikan alternatif yang memperkuat kearifan dan pengetahuan lokal dapat dilakukan untuk ini. Pengetahuan yang telah ada dalam masyarakat Baduy sendiri, termasuk pengetahuan lokal mereka terkait kontrol populasi, disandingkan dengan berbagai fenomena yang mereka temui dalam interaksi mereka dengan pihak-pihak di luar masyarakat Baduy.
Sehingga Seba bukan hanya jadi rutinitas tiap tahun untuk bersilaturahmi dengan pemerintah, tetapi menjadi moment untuk menunjukan eksistensi Masyarakat Adat Baduy sesungguhnya secara keseluruhan.
Penulis: Siti Marfu’ah