Kewirausahaan dan Masyarakat Adat

Gelak tawa yang terselip diantara kegiatan diskusi hari itu terlihat mendominasi ruangan di Hotel Sahira, Bogor pada 9 Maret 2020.

Rasa ingin tau dan semangat terlihat di wajah para peserta Pelatihan Kewirausahaan untuk Masyarakat dan Pendamping yang difasilitasi RMI ini sejak tanggal 9 Maret sampai 11 Maret 2020.

Dijumpai sebelum acara pelatihan dimulai, salah seorang ibu dari Kasepuhan Cibedug yang menolak namanya dipublikasikan bercerita betapa perasaannya saat itu campur aduk, antara semangat tapi juga kuatir dengan beban domestik yang saat ini ia titipkan ke tetangganya di rumah.

 

Lain lagi dengan Agus Maedi salah satu pemuda dari Kasepuhan Cirompang, mengatakan sangat antusias mengikuti pelatihan ini karena sudah sejak lama ingin tau lebih banyak mengenai ilmu kewirausahaan dalam rangka mengembangkan potensi Sumber Daya alam di desa tempat ia tinggal.

 

Sejak 9 sampai 11 Maret 2020 kemarin, RMI yang disupport oleh The Samdhana Institute melalui program DGMI-Indonesia mengadakan Pelatihan Kewirausahaan untuk Masyarakat & Organisasi Pendamping sebagai upaya pengembangan perekonomian nasional berbasis kemanusiaan yang adil & beradab, berprinsip demokrasi, bertujuan keadilan sosial bagi rakyat.

 

Sebanyak 8 perempuan dan 15 laki-laki yang berasal dari Kasepuhan Pasir Eurih, Cibarani, Cirompang, Karang dan Cibedug Kabupaten Lebak Banten serta dari Kampung Ciwaluh Desa Cigombong dan Kampung Cipeucang Desa Pasir Buncir Kabupaten Bogor Jawa Barat, berpartisipasi aktif pada pelatihan ini dalam rangka berproses menumbuhkan inovasi usaha berbasis SDA lokal, juga meningkatkan kemampuan dasar keuangan & manajemen usaha. Kegiatan ini harapkan bisa menjadi ruang peningkatan kapasitas masyarakat dan organisasi pendampingnya dalam penguatan perekonomian komunitas.

                                                 

 

Hari I

 

Di hari pertama, Catur Endah Prasetyani dari BUPSHA, Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memberikan paparan kepada peserta mengenai “Dukungan Program dan Kebijakan Pengembangan Usaha Perhutanan Sosial dan Hutan Adat”.

 

Ibu Catur menjelaskan tentang skema Perhutanan Sosial kepada masyarakat. Beliau juga memaparkan, menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.83/Menlhk/Setjen/Kum.1/10/2016 Tentang Perhutanan Sosial, masyarakat yang berdomisili di wilayah Taman Nasional bisa mengambil bagian dalam program Kemitraan konservasi jika ingin memanfaatkan sumber daya alamnya, di mana masyarakat dapat mengelola hasil SDAnya dengan tujuan utama untuk meningkatkan kesejahteraan, namun tetap menjaga keseimbangan lingkungan.

 

Ibu Catur juga menjelaskan bahwa sinergitas stakeholder baik pemerintah maupun non-pemerintah menjadi sangat penting, karena dalam pelaksanaan dan pemanfaatan ijin PS (Perhutanan Sosial) itu kuncinya adalah ber-jejaring atau networking. Sistem klustering berbasis komoditas yang dikelola secara berkelompok melalui KUPS-KUPS yang telah dibentuk di tiap daerah/kampung/desa akan memberikan kemudahan dalam berjejaring dengan pasar dan berhubungan dengan konsumen. Oleh karenanya berkelompok dalam pengelolaan usaha menjadi hal krusial dan harus dibentuk bagi para pengelola usaha Perhutanan Sosial.

 

Pada sesi selanjutnya, difasilitasi oleh Lukmi Ati dari RMI peserta dibagi kelompok berdasarkan desa masing-masing diminta untuk menentukan tiga komoditas unggulan yang ada dilokasi masing-masing. Selanjutnya dari tiga komoditas unggulan tersebut dipilih satu komoditas utama yang akan menjadi bahan dalam penyusunan rencana bisnis dalam pelatihan dua hari ke depan. Hasil identifikasi kelompok masing-masing Desa/Kasepuhan adalah sebagai berikut:

Komoditi unggulan Kasepuhan Cibedug adalah Opak singkong, Kasepuhan Karang kopi robusta,, Kasepuhan Pasir Eurih memilih gula kojor aren, Kasepuhan Cirompang gula kojor aren, Kasepuhan Cibarani gula semut aren, Ciwaluh memilih pengembangan ekowisata, dan Cipeucang pengembangan usaha penganan ranggining.

 

Hari II

 

Pelatihan hari II difasilitasi oleh Lukmi Ati dari RMI. Pada hari II akan dilanjutkan empat sesi, yaitu sesi motivasi, sesi inspirasi, sesi  inovasi dan sesi manajemen.

 

Sesi I adalah sesi motivasi di isi oleh The Local Enabler (TLE) dengan topik “Membangun Usaha Sosial Berkelanjutan”. TLE sendiri adalah sebuah ekosistem inklusif yang dirancanng sebagai model pengembangan kewirausahaan pemula berbasis kewirausahaan sosial. TLE dirancang sebagai poros kolaborasi para pemangku kepentingan Penta Helix yaitu melibatkan Akademisi, Pemerintahan, Komunitas, Bisnis dan Media. (https://thelocalenablers.id/#about-us)

Di sesi ini, peserta diperkenalkan dengan pengalaman TLE sejak 2014 dalam mendampingi desa-desa di Papua, Jawa barat dan Kalimantan yang berhasil mengembangkan produk lokal mereka hingga memiliki nilai tambah dan mampu meningkatkan perekonomian di desa mereka . Selain itu TLE juga berbagi pengalaman bagaimana seorang yang tadinya biasa saja dan memiliki latar belakang kehidupan yang kelam mampu menjadi seorang wirausahawan yang berhasil dan banyak mendapatkan penghargaan. Tidak ada sestau yang tidak mungkin apabila kita bersungguh-sungguh, dan selama kita belum bisa merubah mindset kita dengan baik percuma saja kita memiliki impian dan rencana usuaha yang bagus. Kuncinya adalah merubah manusianya terlebih dahulu yaitu mindset dan cara berfikirnya, selanjutnya yang lain akan mengikuti.

 

Sesi selanjutnya adalah sesi inspirasi oleh Martin Asda Krishna dari Timurasa yang menyampaikan tentang potensi produk-produk lokal di pasar nasional maupun internasional. Martin menyampaikan bagaimana produk-produk lokal seperti gula semut dan kopi saat ini sebetulnya masih berpeluang untuk dikembangkan dan masuk ke pasar nasional maupun internasional. Kuncinya adalah bagaimana produk tersebut bisa memenuhi standart yang telah ditetapkan. Jika di Indonesia harus ada persyaratan PIRT dan label halalnya jika ingin masuk ke pasar misalnya swalayan dan pasar sejenisnya. Hal lain yang disampaikan oleh Martin adalah mengenail pendekatan usaha masyarakat berbasis pengelolaan Sumber Daya Alam yang selama ini diterapkan Timurasa dengan masyarakat dampingannya; kolabarasi pengetahuan generasi tua dan generasi muda, tanpa melanggar nilai-nilai budaya yang dianut di wilayah tertentu.

 

Selepas makan siang dilanjutkan sesi inovasi yang disampaikan oleh Bapak Widya Wicaksana dari Unit Kerja Pengembangan Ekonomi RAPS yang menyampaikan materi tentang ” Pemasaran dan Segmentasi Pasar”. Sesi ini menjelaskan teori tentang konsep pasar dan segmentasi pasar, dan memberikan contoh bagaimana menentukan segmentasi pasar dari beberapa komoditas produk Perhutanan Sosial. Peserta diajak bagaimana memahami konsep pemasaran dengan menempatkan diri sebagai pembeli, sehingga apa yang diingini pembeli bsa dipenuhui oleh masyarakat sebagai produsen.

 

Sesi lanjutan adalah sesi manajemen yang disampaiakn oleh Bapak Indri Indrawan dari Dosen Teknologi Pangan dari Universitas Trilogi. Kepiawaian Bapak Indri dalam menyampaikan materi mampu membuat peserta hilang rasa kantuk. Materi manajamen yang mungkin sesuatu yang rumit dengan pembawaan yang ceria, santai namun serius mampu membuat peserta antusias untuk mengikuti sesi ini.

 

Pada sesi ini peserta diajak untuk mulai menghitung biaya investasi, biaya produksi, menghitung harga pokok dan harga jual, sampai memperkirakan jumlah pendapatan. Pada awal sesi Pak Indri sudah menjelaskan betapa pentingnya kita menghitung harga pokok produksi dalam memulai usaha, karena pengalaman selama ini masyarakat asal saja dalam menentukan harga jual sehingga kelihatannya untung padahal setelah dihitung rugi. Jadi sesi ini memang sengaja mengajak peserta untuk menghitung sendiri jenis biaya-biaya pada produk yang telah ditetapkan oleh masing-masing kelompok sesuai dengan panduan yang dijabarkan. Selain itu peserta juga diajak menghitung analisis titik impas (BEP), jangka waktu pengembalian modal (PBB), nilai investasi serta nilai keuntungan.

 

Sesi manajemen II dilanjutkan oleh Martin dari Timurasa yang membahas tentang sistem produksi dan distribusi hasil. Pada sesi ini intinya adalah mengajak masyarakat bagaimana bisa berproduksi secara komunal atau berkelompok. Hal ini akan memudahkan pembeli untuk berkoordinasi serta memudahkan untuk memenuhi standart baik dari segi kualitas maupun kontinyuitas. Berkelompok atau bekerja secara komunal sangat penting dalam membangun system produksi terutama di masyarakat. Selain memudahkan bagi pembeli juga memudahkan anggota kelompok untuk mendapatkan pasar dan informasi.

 

Sebagai sesi akhir di hari II, adalah bekerja kelompok. Lukmi sebagai fasilitator memandu sistem kerja kelompok ini. Tiap kelompok diminta menyusun rencana bisnis dengan panduan pertanyaan-pertanyaan yang telah ditetapkan, mulai dari penentuan produk, spesifikasi produk, keunggulan produk, pangsa pasar dan segmentasi pasar, penentuan biaya investasi, biaya produksi, HPP dan BEP. Pada sesi kerja kelompok ini untuk melihat apakah peserta mampu dan faham tentang materi pelatihan yang telah di ikutinya. Hasil kerja kelompok Ini akan di presentasikan di hari III esok harinya.

 

Di hari ke III Pelatihan, berbekal ilmu yang didapat di dua hari sebelumnya, peserta  mempresentasikan rencana usaha masing-masing kelompok sesuai arahan fasilitator.

 

Kelompok pertama dari kelompok Ciwaluh yang mempresentasikan usaha ekowisata yang saat ini sudah dijalankan oleh kelompok pemudanya, selanjutnya Kelompok Kasepuhan Pasir Eurih yang mengangkat produk dari sumber daya alam  hutannya berupa gula aren kojor.  Kelompok ketiga dari Kasepuhan Karang menyajikan rencana usaha kopi robusta hasil dari Hutan Adat mereka, diikuti oleh kelompok dari Kasepuhan Cibarani yang mempresentasikan gula aren semut sebagai produk unggulannya.  Kelompok selanjutnya adalah Kasepuhan Cirompang yang menyajikan rencana usaha Gula Aren kojor, dan ditutup olej kelompok dari Cipeucang yang menyajikan rencana usaha penganan dari tepung beras Ranggining.

 

Lukmi Ati selaku fasilitator selama pelatihan ini mengatakan bahwa dari presentasi yang disampaikan oleh setiap kelompok menunjukkan bahwa semua peserta mampu mengikuti pelatihan dengan baik, dan hampir semua materi bisa diikuti dan dicerna dengan baik. Jika ada kesalahan-kesalahan kecil itu bisa diperbaiki sambil jalan dengan bantuan pendamping yang akan mendampingi di lapangan. Yang terpenting adalah bagaimana agar hasil dari pelatihan ini tidak berhenti sampai disini saja dan bisa di implementasikan di kampung masing-masing dan berbagi ilmu ini kepada anggota kelompok di lokasi masing-masing.

Di akhir pelatihan, Patti Rahayu selaku Grant Coordinator DGM-Indonesia dari The Samdhana Institute sebagai Lembaga yang mendukung kegiatan ini menyampaikan harapannya bahwa melalui pelatihan ini, masyarakat akan jadi lebih mandiri dalam mengelola sumber daya alam di kawasan hutannya.

 

Direkam setelah mengikuti kegiatan, di bawah ini adalah testimoni Ibu Jumana dan Bapak Samanan dari Kasepuhan Cibarani, dan Teh Erna juga Ibu Juju dari Kasepuhan Cibedug.

 

 

Mengatasi Malnutrisi Melalui Pangan Liar

Terubuk liar, Desa Cibarani.

Malnutrisi masih menghantui masyarakat Indonesia saat ini. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan 2018 menunjukkan bahwa 17,7% bayi usia di bawah 5 tahun (balita) masih mengalami masalah gizi. Angka tersebut terdiri atas balita yang mengalami gizi buruk sebesar 3,9% dan yang menderita gizi kurang sebesar 13,8% (Kementrian Kesehatan, 2018). Adapun balita yang mengalami stunting (tinggi badan di bawah standar menurut usia) sebesar 30,8% (Riskedas, hal. 11, 2018). Tidak hanya itu, angka anemia pada ibu hamil juga cukup tinggi, yaitu sebesar 48,9%. Masalah tersebut berhubungan dengan fakta yang menunjukkan 70-80% ibu hamil belum tercukupi konsumsi energi dan proteinnya (Studi Diet Total: Survei Konsumsi Makanan Individu Indonesia. hal. 9, 2014). Padahal seribu hari pertama (sejak janin dalam kandungan hingga berusia dua tahun) anak sedang dalam masa emas pertumbuhannya. Mengingat pentingnya pemenuhan gizi bagi tumbuh kembang bayi dan ibu yang mengandung ditengah-tengah tingginya angka malnutrisi ini memperlihatkan bahwa masih ada permasalahan dalam hal konsumsi pangan. 

Di sisi lain pangan termasuk salah satu bentuk hak asasi manusia paling dasar yang pemenuhannya dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945. Lebih lanjut, pembukaan UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan juga menyatakan bahwa negara berkewajiban mewujudkan ketersediaan, keterjangkauan, dan pemenuhan konsumsi pangan yang cukup, aman, bermutu, dan bergizi seimbang, baik pada tingkat nasional maupun daerah hingga perseorangan secara merata di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sepanjang waktu dengan memanfaatkan sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal.

Namun, pada pelaksanaannya Indonesia memiliki tantangan yang datang dari berbagai arah. Hironimus Pala dari Yayasan Tananua Flores, pada persentasinya (16/12/19) di Konfrensi Nasional Fian Indonesia, menyampaikan beberapa tantangan pemenuhan hak masyarakat akan pangan, seperti kebijakan yang kurang memberikan ruang bagi keberlanjutan sistem pangan lokal; tergusurnya nilai-nilai lokal akan pangan; belum dimanfaatkannya norma atau aturan komunitas yang hidup dengan kearifan lokal; dan hilangnya keanekaragaman varietas pangan lokal. Padahal, banyak masyarakat yang tinggal di sekitar dan di dalam hutan memanfaatkan pangan lokal dan tanaman pangan liar. Pernyataan tersebut didukung oleh FAO yang menyebutkan bahwa malnutrisi dapat diatasi dengan tanaman pangan liar (FAO Voluntary Guidelines for the Conservation and Sustainable Use of Crop Wild Relatives and Wild Food Plants, 2017).

 

Foto RMI: Terubuk

Tanaman pangan liar adalah tanaman yang tumbuh di alam bebas dan  masih mempunyai kemurnian dan dapat dikonsumsi sebagai makanan jika dipetik pada masa pertumbuhan yang sesuai dan dipersiapkan atau diolah dengan tepat. Tanaman pangan liar ini biasa tumbuh di pagar rumah, lapangan terbuka, pematang sawah, atau daerah yang dekat dengan air seperti selokan dan daerah sekitar sungai (Vesiano, L. 2017, FAO Voluntary Guidelines for the Conservation and Sustainable Use of Crop Wild Relatives and Wild Food Plants, 2017).

Tanaman pangan liar seperti terubuk atau bunga tebu, kluwek atau pucung, daun pohpohan, daun pakis dan daun ubi merupakan jenis tanaman yang bisa dikonsumsi oleh masyarakat. Daun kumis kucing, jahe, sereh, kunyit, dan kapulaga juga banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia sebagai bahan minuman herbal.

Ada keunikan tersendiri dalam cara mengolah tanaman-tanaman pangan liar tersebut. Terubuk, misalnya, yang biasa dimakan saat berumur sekitar lima bulan. Bagian yang dipanen adalah bagian malai yang masih muda, sedangkan yang dikonsumsi adalah bagian bunga yang terbungkus dengan pelepah daun atau dikenal dengan istilah kelobot. Terubuk biasa dimakan dalam bentuk mentah sebagai lalaban, dikukus atau ditumis. Selain itu, terubuk juga biasa dimasak menjadi sayur lodeh, sebagai campuran kare, dan juga sayur asem. Namun ada juga yang mengonsumsi dengan cara digoreng dengan menggunakan tepung atau dibuat perkedel. Terubuk sendiri kaya akan nutrisi dan zat-zat yang baik dan bermanfaat bagi tubuh. Kandungan mineralnya cukup tinggi terutama kalsium dan fosfor disamping vitamin C yang tak kalah tinggi. (Terubuk, Lezatnya si Bunga Tebu, 2009)

Foto: floranegeriku. Kluwek

Selain terubuk, ada juga kluwek atau pucung. Kluwek atau pucung memiliki nama latin Pangium edule dan umumnya berwarna cokelat gelap hingga kehitaman. Kluwek biasa digunakan untuk membuat kuah rawon atau sop konro yang sangat khas berwarna cokelat gelap atau kehitaman. Nutrisi yang terdapat dalam kluwek di antaranya zat besi, vitamin C, vitamin B1, fosfor, kalium dan kalsium. Namun hati-hati, kluwek juga mengandung asam sianida, sejenis racun yang dapat membahayakan kesehatan jika dikonsumsi secara langsung. Kandungan asam sianida tertinggi terdapat dalam daging biji kluwek. Itulah mengapa sebelum mengonsumsinya kluwek harus direndam terlebih dahulu untuk menghilangkan racunnya sebelum diolah ke dalam masakan. (Berkenalan dengan Kluwek (Pucung) yang Menyimpan Segudang Khasiat, 2019).

Lain halnya dengan daun pakis. Pakis adalah sayuran yang dipanen dari batang tumbuhan paku yang masih muda. Daun pakis biasanya paling mudah ditemui pada saat musim semi atau musim hujan. Umumnya tumbuh di ngarai, pinggir sungai, atau tebing yang lembab. Tidak semua jenis tumbuhan paku bisa dikonsumsi pakisnya. Ada juga yang beracun, jadi sebaiknya hati-hati dalam memanennya. Pakis yang aman dan biasa dikonsumsi di Indonesia berasal dari spesies Diplazium esculentum. Daun pakis memiliki kandungan antioksidan, juga merupakan sumber asam lemak omega-3 dan omega-6, serta tinggi zat besi. Seratnya juga bermanfaat untuk kesehatan tubuh. Walaupun begitu daun pakis juga mengandung asam sikimat yang bisa menyebabkan gangguan pencernaan. Karena itu sayur pakis harus selalu dimasak sebelum dikonsumsi. Sebelum memetik daun ini, sebaiknya pilih pakis yang masih hijau dan pastikan batang masih belum berdaun. Cara pengolahan daun pakis sebaiknya juga dicuci dan dipotong dengan cara yang benar, seperti buang pangkal batangnya, cuci dengan garam, segera olah, dan rebus di air mendidih. Daun pakis biasa diolah menjadi cah pakis atau tumis pakis (Cara Mengolah Sayur Pakis, dari Pemilihan hingga Proses Memasak, 2019). 

Gizi yang baik akan membuat pertumbuhan dan perkembangan kita menjadi optimal. Pada Hari Gizi Nasional yang diperingati setiap tanggal 25 Januari ini, mari kita melihat kembali potensi tanaman liar di sekitar kita sebagai bahan alternatif pangan, dan konsumsilah jenis makanan yang beragam untuk pemenuhan gizi yang seimbang.

Penulis: Siti Marfu’ah

Editor: Dinda Tungga Dewi

Referensi

Adelia Marista Safitri, d. Y.-D. (2019, Januari 25). Berkenalan dengan Kluwek (Pucung) yang Menyimpan Segudang Khasiat. Dipetik Januari 20, 2020, dari https://hellosehat.com/: https://hellosehat.com/hidup-sehat/tips-sehat/manfaat-kluwek-pucung-untuk-kesehatan/

Eka/Odi. (2009, Oktober 19). Terubuk, Lezatnya si Bunga Tebu. Dipetik 20 01, 2020, dari food.detik.com: https://food.detik.com/all-you-can-eat/d-1224250/terubuk-lezatnya-si-bunga-tebu

Food and Agricultural Organization of the United Nations. (2017). Voluntary Guidelines for the Conservation and Sustainable Use of Crop Wild Relatives and Wild Food Plants. Rome, Rome, Italy. Diambil kembali dari fao.org.

katadata.co.id. (2019, Januari 25). 17,7% Balita Indonesia Masih Mengalami Masalah Gizi. Retrieved Januari 20, 2020, from databoks.katadata.co.id: https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/01/25/177-balita-indonesia-masih-mengalami-masalah-gizi

Kementrian Kesehatan RI. (2018). Hasil Utama RISKESDAS 2018. Kementrian Kesehatan RI.

Setyorini, T. (2019, Januari 10). Cara Mengolah Sayur Pakis, dari Pemilihan hingga Proses Memasak. Retrieved Januari 20, 2020, from merdeka.com: https://www.merdeka.com/gaya/cara-mengolah-sayur-pakis-dari-pemilihan-hingga-proses-memasak-kln.html

Siswanto, d. (2014). Studi Diet Total: Survei Konsumsi Makanan Individu Indonesia 2014. Jakarta: Lembaga Penerbitan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementrian Kesehatan RI.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan.

Vesiano, L. (2017). Perancangan Buku Instruksional Tumbuhan Liar di Indonesia Sebagai Bahan Pangan. Jurnal Tugas Akhir.

Tahun Baru, Teguran Berulang

Bencana Longsor dan Banjir besar yang terjadi di Jabodetabek dan Banten, dan Jawa Barat menjadi peringatan untuk kita semua – abainya manusia terhadap lingkungan demi memuaskan keinginan atas egonya dalam menguasai dan mengesktrasi sumber daya alam, serta penguasaan besar-besaran atas lingkungan bisa berdampak begitu besar. Bencana ini tidak hanya mengorbankan banyak jiwa, tetapi juga menyebabkan debat panjang antara satu pihak ke pihak lainnya yang saling menyalahkan satu sama lain. 

 

Foto: RMI

Sampah yang menumpuk dan menyumbat banyak saluran aliran air menjadi tersangka utama dari hadirnya banjir kemarin di sekitaran Jabodetabek dan Banten, meskipun banyak aspek terabaikan yang lebih krusial untuk ditunjuk sebagai faktor lain yang mengakibatkan banjir, seperti; pengelolaan limbah yang tidak efektif, TPA yang masih menjadi primadona, AMDAL yang dipertanyakan keabsahannya, ketidakseimbangan rasio antara pembangunan infrastruktur dengan ruang terbuka, dan pengacuhan terhadap perubahan iklim yang meski lamban, tapi sedang terjadi dengan pasti.

Slogan membuang sampah pada tempatnya masih saja menjadi pedoman usum yang kemudian melanggengkan manusia untuk membuang sampah di tempat sampah yang kemudian hanya akan teronggok sunyi bagaikan bom waktu di Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Padahal, kalau mau sedikit mengorek seperti apa kondisi TPA di banyak tempat di Indonesia, kondisinya sungguh sangat memprihatinkan. 

Rasanya masih sangat lekat dalam ingatan mengenai bencana longsor di TPA Leuwigajah, Bandung pada 21 Februari 2005 saat 157 jiwa melayang dan dua kampung terpaksa dihapus dari peta karena lenyap ditelan sampah. Depok yang terendam banjir hampir seatap rumah di awal Januari tahun ini pun disebabkan oleh longsoran TPA Cipayung Depok yang digiring oleh hujan ke kali pesanggrahan hingga membuat   aliran kali pesanggrahan tersumbat dan menenggelamkan rumah warga. Jika mau diurutkan, masih banyak sekali bencana yang dibawa oleh TPA. 

Foto: Media Indonesia

Faktor lain soal pembangunan infrastruktur yang begitu masif beberapa tahun belakangan, hingga menimbulkan kepincangan keseimbangan dengan ruang terbuka di banyak area rasanya juga menarik untuk dicermati. 

Di artikel sebelumnya yang berjudul “Hak Ruang Hidup – yang Terampas, Terpinggirkan, dan Terabaikan” yang diangkat di laman RMI pada tanggal 11 Desember 2019, RMI sedikit membahas soal banjir dan bagaimana proyek infrastruktur dapat menghambat saluran pembuangan air hingga menyebabkan penurunan lahan di Jakarta sedalam 3-18 cm setiap tahunnya.

Bahwa infrastruktur berdampak besar untuk menunjang kehidupan dan penghidupan manusia dalam menjalankan kesehariannya, itu sebuah fakta yang tidak dapat dipungkiri, namun pembangunan infrastruktur yang dilangsungkan tanpa mempertimbangkan keberlanjutan ekologi maka tentunya akan menjadi senjata yang justru membungkam ruang hidup manusia akibat bencana yang ditimbulkan setelahnya. 

Belum lagi jika kita menyoal permasalahan di mana bumi kita telah dieksploitasi habis-habisan demi terpuaskannya nafsu hedonisme manusia. Longsor besar-besaran juga terjadi di 17 titik di Kabupaten Bogor Barat pada awal Januari ini, hingga menyebabkan sebanyak 1,527 jiwa terpaksa tinggal dan menyambung hidup di area pengungsian. Perusahaan tambang besar telah lama menggali perut bumi di area ini untuk mengambil logam-logam alam yang terkandung di dalamnya. Tidak hanya itu, penambang-penambang liar pun juga sudah sejak lama bergerilya di sini, bersikutan dengan penambang raksasa di sana. Bisa dibayangkan, betapa kopongnya perut bumi di area tersebut. Jadi setelah kerakusan kita dalam mengambil isi perut bumi, apakah masih pantas menganggap semua bencana ini azab semata?

Terlalu banyak akar mengular yang harus diurai untuk mengentaskan permasalahan bencana banjir ini, dan bukan dalam waktu sehari dua hari, seminggu dua minggu, bahkan setahun dua tahun. Tidak guna pula saling mencaci dan mencari salah siapa.

Bertepatan dengan hari Lingkungan Hidup Indonesia yang jatuh di setiap tanggal 10 Januari setiap tahunnya, mari kita semua mengulur tangan saja dahulu untuk mengangkat mereka yang sudah terlanjur terjerembab dalam bencana, kemudian bersama-sama kita hentikan aksi yang selalu menyakiti bumi kita ini, sehingga bersama-sama pula kita dapat mencapai harmoni yang seimbang antara manusia dan alam. 

Foto: RMI

Penulis: Dinda Tungga Dewi

Hak Ruang Hidup – Yang Terampas, Terpinggirkan, dan Terabaikan

Hubungan antara manusia dan lingkungan tidak bisa dihindarkan, namun perlu juga dipahami, bahwa derajat manusia tidaklah lebih tinggi dari lingkungan disekitarnya, yang kemudian, seolah-olah memperbolehkan manusia memperkosa lingkungan demi keberlangsungan kepuasan manusia yang kemudian justru merampas ruang hidup. Hukum di Indonesia melindungi, menghormati, dan memenuhi hak-hak manusia pada aspek lingkungan, pendidikan, pangan, kesehatan, dan keselamatan. Namun di sisi lain, pelanggaran hak-hak atas lingkungan masih terjadi hingga saat ini, menciptakan ancaman yang besar bagi peradaban manusia.

Undang-undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan No. 32 tahun 2009 menyatakan bahwa “lingkungan yang baik dan sehat adalah hak asasi setiap warga negara Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28H Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;” tetapi ironisnya, kerusakan lingkungan yang telah terjadi di Indonesia, meskipun mungkin tampak “alamiah”, sebenarnya adalah kerusakan sistematis, yang berarti bahwa kerusakan ini dapat dicegah. Ambil contoh tanah longsor; kurangnya pohon menyebabkan tanah menjadi lebih lemah karena air yang berlebihan disimpan di akar pohon, deforestasi adalah salah satu penyebab terus berkurangnya jumlah tutupan pohon. Contoh lain adalah banjir; proyek infrastruktur dapat menghambat saluran pembuangan air juga menyebabkan penurunan lahan (3-18 cm per tahun jika kita berbicara tentang Jakarta). Ini hanya beberapa contoh bencana “alam”. Bayangkan berapa banyak bencana alam lainnya yang tidak terekspos di media, yang sesungguhnya diciptakan oleh manusianya sendiri.

Ambil contoh perjuangan sembilan perempuan petani di Kendeng pada tahun 2016, di mana mereka menolak keras pembangunan PT Semen Indonesia di wilayah hidup mereka, terutama karena keprihatinan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh operasi pembangunan pabrik semen tersebut. Lokasi tersebut diketahui memiliki mata air dan merupakan lumbung pangan bagi masyarakat sekitar yang berladang, bertani, dan memiliki sumber penghidupan dari sumber daya alam di sana. Akibat dari penggalian pabrik semen tersebut membuat banyak daerah di sekitarnya kekeringan. Perampasan hak atas tanah ini sering terjadi atas nama pembangunan. Emil Salim, ahli Ekonom senior Indonesia dan mantan Politikus, menyatakan bahwa “politisi ditahan sebagai sandera oleh pemilik bisnis besar”. Pada diskusi yang berlangsung di Jakarta pada 3 Desember 2019, ia menceritakan sebuah fakta bahwa investor menggunakan politisi ini sebagai “tangan” mereka untuk merebut tanah dan sumber daya alam rakyat.

Perjuangan perempuan Kendeng mempertahankan kelestarian lingkungan di wilayahnya menunjukkan betapa bergantungnya manusia kepada lingkungan. Permasalahan lingkungan di Kendeng ini sebenarnya adalah permasalahan yang dapat dicegah karena bukan merupakan masalah lingkungan yang terjadi secara alamiah. Melindungi hak atas lingkungan dan ruang hidup berarti melindungi hak asasi manusia untuk hidup. Melanggar ha katas lingkungan dan ruang hidup berarti melanggar hak asasi manusia untuk hidup. Sangat penting untuk mendengar langsung dari mereka yang mengalami pelanggaran HAM ini, karena ketika perempuan diberi ruang untuk berpartisipasi, mereka akan dapat memutuskan hal-hal yang dapat mempengaruhi mereka dalam memastikan lingkungan yang layak untuk ditinggali; bukan hanya untuk diri mereka sendiri, tetapi untuk masyarakat lebih luas.

 

Penulis: Amanda So

Editor: Dinda Tunggadewi & Mardha Tillah

Nia Ramdhaniaty: Dedikasi tak lekang oleh waktu untuk masyarakat hutan dan perempuan non-elit

Alm. Nia Ramdhaniaty dianugerahi penghargaan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagai salah satu Tokoh Perhutanan Sosial (HutSos) 2019. Sejak tahun 2018, Kementerian  Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menganugerahkan penghargaan bagi para tokoh HutSos yang berasal dari berbagai wilayah di Indonesia dalam berbagai kategori. Tahun 2019 ini, Imam Hanafi mewakili almarhumah menerima penghargaan tersebut yang diserahkan langsung oleh Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki, dan Menteri LHK, Siti Nurbaya dalam gelaran Festival PESONA yang diselenggarakan oleh KLHK.

Nia, panggilan akrabnya, adalah sosok yang memiliki perhatian besar terhadap pengelolaan sumber daya alam yang berkeadilan gender dan nasib masyarakat marjinal, khususnya perempuan non-elit. Perhatian besar tersebut dijawantahkan lewat pengalamannya yang panjang berinteraksi dan memperjuangkan hak-hak masyarakat marjinal pedesaan sejak pertama kali bergabung dengan RMI pada 2002.

Sadar akan kondisi masyarakat marjinal yang tinggal di dan sekitar hutan serta jauh dari pemenuhan hak-haknya, Nia melakukan sejumlah upaya demi terciptanya pemenuhan hak-hak mereka. Bersama Koalisi Hutan Adat dan masyarakat Kasepuhan Karang, Nia berperan dalam upaya mendorong pengakuan Hutan Adat Kasepuhan Karang sejak 2013 hingga akhirnya mendapat pengakuan pada 30 Desember 2016. Saat itu, hampir semua pihak meragukan bahwa wilayah hutan konservasi di Pulau Jawa dapat memperoleh pengakuan hutan adat sehingga status kepemilikannya dikembalikan pada masyarakat adat.

Berbagai strategi dilakukan dalam kurun waktu 2013-2016, diantaranya melakukan riset tentang Masyarakat Adat dan Hutan Adat Kasepuhan Karang, pemetaan partisipatif, pengorganisasian masyarakat secara intensif termasuk penguatan kelompok perempuan melalui Sekolah Lapang Perempuan yang dilakukan secara berseri.

Bersamaan dengan hal tersebut, bersama tim di RMI, SABAKI dan jaringan organisasi sipil lainnya, Nia memimpin upaya pengesahan Perda Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat Kasepuhan No 8/2015 serta mendinamisasi proses tersebut dengan organisasi-organisasi mitra RMI dan Pemda Kabupaten Lebak.

Pengusulan pengakuan Hutan Adat Kasepuhan Karang pertama kali dilakukan pada bulan Oktober 2015 di Jakarta dan diterima langsung oleh Dirjen PSKL saat itu, yaitu Bapak Dr. Hadi Daryanto, sebelum Perda Kasepuhan lahir pada November 2015. Walaupun Hutan Adat Kasepuhan Karang sudah dikunjungi oleh Dirjen PSKL dan tim dari KLHK menindaklanjuti pengusulan tersebut, namun, pengakuan dalam bentuk SK tak kunjung didapat. Karenanya, sepanjang tahun, Nia terus memimpin proses advokasi dalam bentuk audiensi terus dilakukan kepada KLHK, bersama masyarakat adat Kasepuhan Karang. Pengusulan pengakuan hutan adat pun diulang pada bulan Oktober 2016, hingga akhirnya diakui pada Desember 2016.

Dalam rentang waktu 3 bulan tersebut, Nia terus terlibat dalam upaya advokasi, misalnya memandu konferensi pers terkait proses pengakuan hutan adat yang belum juga ada kejelasan untuk memfasilitasi 4 komunitas adat yang telah mengusulkan penetapan hutan adat mereka, yaitu Kasepuhan Karang, Marga Serampas, Ammatoa Kajang dan Wana Posangke pada 5 Desember 2016. Hasilnya, Hutan Adat Kasepuhan Karang menjadi salah satu hutan adat pertama yang diakui oleh Negara, dan menjadi representasi satu-satunya dari Hutan Adat yang berada di Pulau Jawa dengan fungsi konservasi.

Pasca pengakuan tersebut, Nia melanjutkan riset lebih spesifik untuk melihat dampak dari pengakuan hutan adat bagi komunitas adat Kasepuhan Karang, khususnya bagi pihak-pihak marjinal yaitu perempuan (non-elit) yang umumnya tidak memiliki lahan sendiri. Riset ini merupakan penelitian dalam proyek tesis Magisternya, yang dia selesaikan pada tahun 2018. Di samping itu, melalui riset yang dilakukan RMI bersama organisasi lain yang tergabung dalam Koalisi Hutan Adat yaitu HuMA, Yayasan Merah Putih, Qbar, Lembaga Bela Banoa Talino, Bantaya dan AMAN Sulawesi Selatan, Nia memimpin riset tersebut untuk mempelajari proses yang dilalui oleh 7 komunitas adat dalam tahap pra dan paska pengakuan hutan adat pada 2017-2018. Salah satu bagian riset ini juga melihat peran dan manfaat yang diterima oleh pihak-pihak marjinal dalam komunitas adat dalam perjuangan mendapatkan pengakuan atas hutan adatnya, yaitu perempuan dan generasi muda. Salah satu rekomendasi dari riset ini adalah penyediaan peta indikatif hutan adat yang disampaikan pada 27 Desember 2018.

Pada 21 September 2019, keluarga besar RMI kehilangan saudara, kakak, guru, sekaligus sahabat yang kami sayangi, Alm. Nia Ramdhaniaty. Namun, tidak sedikitpun hasil kerja keras dan dedikasinya kemudian bisa termakan oleh waktu, pun tanpa keberadaan fisiknya di sini. Nia Ramdhaniaty (Alm) terpilih menjadi salah satu Tokoh Penggerak Perhutanan Sosial Level Pendamping Tapak tahun 2019.

“Ini kali kedua dilakukan penilaian untuk toko-tokoh dan akan terus dilakukan, karena dengan ketokohan dengan role play, kita langsung menyaksikan, mengalami dan mengambil mencontoh dari apa itu praktek hutan sosial, yang bisa di dalami lebih jauh makna dan keterlibatan kesehariannya”, Hal tersebut diuangkapkan oleh Menteri LHK, Siti Nurbaya dalam arahannya usai memberikan piagam kepada para tokoh Hutan Sosial.

Pemilihan tokoh penggerak ini digagas oleh masyarakat, yang kemudian diperkuat melalui kegiatan verifikasi lapangan. Tim Juri menyepakati untuk Penerima Apresiasi Tokoh Hutan Sosial 2019 diberikan kepada 9 (sembilan) Tokoh Hutan Sosial, dan 4 (empat) Tokoh Penggerak (level kebijakan), 4 (empat) Tokoh Penggerak Level Pendamping Tapak dan 3 (tiga) Tokoh Penggerak Level Microfinance.

Penulis: Mardha Tillah dan Dinda Tungga Dewi

 

Memajukan Hak Anak atas Lingkungan yang Sehat

Sebuah gagasan dari Pelapor Khusus PBB membawa sebuah skema kerjasama antara RMI dan Terre Des Homme Jerman untuk menyelenggarakan pertemuan konsultasi yang melibatkan generasi muda dan anak-anak dari 11 Negara di kawasan Asia Timur dan Pasifik, sebagai upaya dalam Memajukan Hak Anak Atas Lingkungan yang Sehat. RMI sendiri sudah sejak 2004 memiliki fokus khusus untuk melihat keterkaitan antara isu (hak) anak dengan (kesehatan) lingkungan—dan terus berkembang hingga melihat bahwa isu-isu hilangnya akses masyarakat terhadap sumber-sumber agraria sebagai bagian yang membawa dampak pada tumbuh kembang generasi muda. RMI dan Terre des Hommes Germany sendiri telah bermitra sejak tahun 2004 tersebut.

Konsultasi ini adalah momen di mana generasi muda bisa menyuarakan aspirasinya mangenai apa yang mereka butuhkan agar data tumbuh di lingkungan yang sehat, yang menjadi faktor penting dalam tumbuh-kembang generasi muda, baik fisik maupun psikologis. Konsultasi tidak dilakukan terhadap orang-orang dewasa, melainkan kepada generasi muda. Event konsultasi ini bertujuan untuk menangkap aspirasi, pendapat, pandangan anak-anak muda usia 8-24 tahun tentang situasi lingkungan yang mereka hadapi.

Para generasi muda menyampaikan aspirasi mereka mengenai hak anak atas lingkungan yang sehat.

Di sini, para generasi muda duduk bersama para ahli yang merupakan penggiat isu hak Anak, akademisi, penggiat lingkungan, dan paralegal dari Inggris, Australia, Malaysia, Jepang, Philippine dan tentunya Indonesia. Upaya konsultasi ini merupakan bagian dari konsultasi dunia untuk mendapatkan informasi dari seluruh region, hingga akhirnya nanti dapat disampaikan dalam Sidang Umum PBB pada tahun 2021 di New York, Amerika Serikat. Upaya ini dilakukan untuk mendorong PBB mengeluarkan rekomendasi yang mengikat negara-negara anggotanya untuk melindungi anak-anak dan memenuhi hak mereka untuk dapat tumbuh kembang dalam kondisi lingkungan yang sehat.

Para anggota Relawan 4 Life RMI, Nafisa dan Niza berperan aktif di dalam forum ini. Nafisa berbagi tentang betapa ia sangat tersentuh dengan keanekaragaman peserta dari berbagai negara, “Rangkaian acaranya seru dan semua orang yang terlibat baik dan ramah, tetapi di sisi lain saya juga merasa sedih ketika lebih mengetahui/berdiskusi mengenai permasalahan yg sedang dialami oleh anak muda terkait kerusakan lingkungan”, ujarnya dengan sungguh-sungguh. Nafisa juga menyampaikan harapannya setelah mengikuti kegiatan ini, bahwa di masa mendatang, anak muda akan lebih paham terhadap isu lingkungan, dan komunitas nasional maupun internasional akan dapat melakukan aksi nyata yang dapat memberikan dampak besar terhadap hak anak atas lingkungan yang sehat.

Sementara itu, seorang pemudi dari masyarakat adat Karen di Thailand menyatakan situasi komunitasnya yang memprihatinkan akibat aktivitas pertambangan yang telah berdampak secara kesehatan kepada anak-anak, misalnya kelainan lahir hingga gagal janin. “Orang dewasa selalu berkata bahwa generasi muda adalah masa depan, tapi mereka tidak membiarkan kita tumbuh dalam lingkungan yang sehat,” ujarnya.

Peserta dari Relawan 4 Life yang tergabung juga dengan jaringan anak muda SMN sedang berdiskusi mengenai lingkungan yang sehat.

Pertemuan konsultasi ini diadakan di Sentul, Bogor pada 22-23 Oktober 2019, di mana satu hari sebelumnya, pada 21 Oktober 2019, semua peserta yang didominasi oleh anak-anak dan remaja berkumpul untuk mendapatkan briefing dan pemantapan untuk mengikuti acara konsultasi tersebut.

Panelis Diskusi Publik: Hak Anak Atas Lingkungan yang Sehat , (dari kiri ke kanan) Nadyati Fajrin-Relawan 4 Life; Nur Hidayati-WALHI; Mardha Tillah- RMI; Lies Rosdianty-Kementrian PPPA; dan Susy Herawati- KLHK.

Pada 24 Oktober 2019, hasil rekomendasi dan temuan di konsultasi tersebut dikemukakan di depan pemerintah Indonesia dalam sebuah diskusi panel bertajuk Mempromosikan Hak Anak Atas Lingkungan Sehat. Acara diskusi ini bertempat dan diselenggarakan bersama Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan dihadiri pula oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang duduk juga di kursi panelis bersama KLHK, WALHI, dan RMI. RMI dan Terre Des Hommes juga menggandeng UNICEF untuk turut berperan aktif sebagai moderator dalam acara diskusi panel tersebut.

Dalam presentasinya, Mardha Tillah selaku Direktur Eksekutif RMI mengangkat isu hak anak dari hal paling sederhana yang menjadi bagian penting dalam kehidupan anak-anak yaitu bermain. Tilla, panggilannya, menyatakan bahwa anak berhak untuk dapat bermain di tempat yang aman dari zat-zat kimia yang membahayakan mereka, juga marabahaya yang mengancam mereka secara jiwa. Dia merujuk pada kasus-kasus kematian anak saat bermain di lokasi dekat bekas lubang tambang yang tidak direhabilitasi dengan baik di Kalimantan, misalnya. Namun lebih dari itu, Tilla menggarisbawahi tentang situasi-situasi masyarakat, termasuk masyarakat adat, yang kehilangan tanah atau kehilangan akses akan tanah karena adanya pembangunan skala besar, “yang jelas membuat anak-anak tidak dapat bermain dengan aman, atau bahkan untuk dapat bermain di wilayah-wilayah yang sebelumnya merupakan wilayah milik komunitas mereka”.

Sari Ramadhanti, salah satu anggota R4L yang hadir dalam diskusi panel tersebut juga mengemukakan pentingnya forum semacam ini, karena ini bisa menjadi media untuk menyuarakan aspirasi mereka sebagai generasi muda dalam memperjuangkan haknya atas lingkungan yang sehat. Dhanti berharap acara ini bisa dilanjutkan di level nasional, karena tidak bisa dipungkiri bahwa lingkungan yang tidak sehat merupakan faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan seorang anak. Dhanti berharap harus ada kebijakan yang tegas dari pemerintah untuk menjaga lingkungan yang sehat, dan bisa melibatkan pihak akademisi dan mahasiswi/a untuk berperan aktif dalam menyelenggarakan acara semacam ini.

Sementara koordinator Relawan 4 Life RMI, Nadyati Farzin yang juga duduk di kursi panelis sebagai perwakilan generasi muda yang mengikuti acara tersebut menutup dengan memberi pesan kepada kita semua “if many little people in many little places, do many little efforts, then we can change the world for our future.” Sebuah pesan sederhana bermakna kuat yang menegaskan bahwa sebuah perubahan besar bisa terwujud dari sebuah langkah kecil.

Penulis: Dinda Tungga Dewi

Editor: Mardha Tillah