Batur Ngawangkong #2: Refleksi dan Rekomendasi dari Forum KAWAL

Di forum ini peserta diminta untuk merefleksikan perjalanan Forum KAWAL selama satu tahun ini (terhitung sejak Oktober 2022) sebagai catatan yang akan dilaksanakan di tahun selanjutnya dan tantangan apa saja yang akan dihadapi. Selain itu, di sesi ini juga menghadirkan butir-butir rekomendasi yang akan disampaikan Forum KAWAL kepada Pemerintah Kabupaten Lebak yang akan hadir di keesokan harinya, termasuk persiapan untuk acara Kenferensi Tenur. Para peserta dibagi ke dalam masing-masing kelompok untuk menuliskan refleksinya atas Forum KAWAL. Fasilitator menyodorkan lima pertanyaan kunci untuk didiskusikan dan disampaikan secara bersama-sama di forum refleksi ini. Lima pertanyaan kunci tersebut adalah: (I) Apa yang paling diingat dari pertemuan Forum KAWAL sebelumnya?; (II) Apa yang Anda ketahui tentang pemetaan partisipatif?; (III) Pengetahuan apa saja yang ingin lebih didalami dari Forum KAWAL ini?; (IV) Apa yang Anda ketahui tentang Masyarakat Hukum Adat (MHA)?; dan (V) Apa yang Anda ketahui tentang Inklusi Sosial?

Gb 1. Tracy Pasaribu – Kemitraan, Mengawal Sesi Refleksi Forum KAWAL. Foto: Erik Suhana

Para peserta yang telah dibagi ke tiap-tiap kelompok kemudian mengelaborasi dari lima pertanyaan kunci yang diajukan fasilitator. Mereka kemudian mendiskusikan dan mencatatnya ke kertas metaplan untuk ditempelkan dan dipresentasikan lalu ditanggapi oleh fasilitator dan peserta lainnya. Adapun masing-masing kelompok mencatat hasil diskusi refleksi mereka. Berikut urutan masing-masing kelompok yang mencatat lima pertanyaan kunci yang dimulai dari pertanyaan I sampai pertanyaan V:

Pertanyaan I: Apa yang paling diingat dari pertemuan Forum KAWAL sebelumnya?

Kelompok 1

  • Publikasi tentang Pengakuan Hutan Adat kepada publik
  • Pengetahuan untuk masyarakat adat kasepuhan
  • Persaudaraan antar kasepuhan
  • Pengembangan SDM/SDA
  • Follow-up atau Rencana Tindak Lanjut (RTL) Forum KAWAL berikutnya

Kelompok 2

  • Kesetaraan Gender
  • Perubahan Lingkungan
  • Belajar hukum yang berlaku di masyarakat adat
  • Belajar pemetaan partisipatif

Kelompok 3

  • Memotret pendokumentasian pengetahuan masyarakat adat
  • Anggota Forum KAWAL sulit untuk mengimplementasikan Rencana Tindak Lanjut (RTL) dan kegiatan pendokumentasian pengetahuan masyarakat adat kasepuhan
  • Membangun ghiroh (semangat) anak muda kasepuhan dalam kegiatan Forum KAWAL. Misalnya menjaga tradisi dan budaya masyarakat kasepuhan
  • Terselenggaranya kegiatan Kelas Pengetahuan tentang masyarakat adat kasepuhan di kalangan anak muda khususnya kaum milenial di Kasepuhan Pasir Eurih
  • Pentingnya menggali pengetahuan adat yang diwariskan oleh para leluhur. Misalnya apa yang harus generasi muda jaga dan rawat dan apa saja larangan-larangan adat agar pengetahuan tersebut tidak punah

Kelompok 4

  • Berbagi ilmu pengetahuan antar komunitas kasepuhan aga bisa lebih meluas
  • Konsolidasi antar komunitas di Forum KAWAL
  • Jangkauan pengetahuan antar komunitas mungkin saja ada yang berbeda antara kasepuhan satu dengan lainnya. Oleh karena itu, maka diperlukan tukar-menukar pengetahuan dan pengalaman bahkan untuk rekan-rekan komunitas adat di Nusantara lainnya. Pengalaman sebelumnya sudah dilakukan anak muda kasepuhan dengan berbagi pengetahuan dan pengalaman bersama teman-teman muda dari komunitas adat yang berasal dari Provinsi NTT

Kelompok V

  • Saling berkomunikasi diantara anak-anak muda kasepuhan tentang apa yang terjadi didaerahnya masing-masing

Pertanyaan II: Apa yang Anda ketahui tentang pemetaan partisipatif?

Pada bagian pertanyaan ini disampaikan oleh beberapa peserta. Salah satu peserta berharap agar wilayah yang akan dipetakan masyarakat tahu tata batas antar wilayah kasepuhan, tata ruang wilayah adat yang dipetakan misalnya peruntukan lahan garapan masyarakat, dll. Sementara Kang Mursid dari perwakilan Pemuda Kasepuhan Cirompang menandaskan bahwa pemetaan (partisipatif) dilakukan secara bersama-sama dengan mendatangi satu per satu masyarakat. Kang Khori sebagai perwakilan Kasepuhan Cibarani mengingatkan bahwa dalam pemetaan partisipatif penting untuk memastikan peta tata batas lahan garapan masyarakat tidak terjadi pergeseran antar lahan garapan masyarakat. Untuk di Cibarani sendiri, Kang Khori berbagi pengalamannya dalam mengerjakan pemetaan partisipatif seperti ada yang bertugas menulis dan mencatat, ada yang pengoperasian alat GPS, dan lain-lainnya.

Di pertanyaan ketiga: Pengetahuan apa saja yang ingin lebih didalami dari Forum KAWAL? Para peserta berbagi keinginannya agar dapat diakomodir oleh rencana tindak lanjut Forum KAWAL selanjutnya. Diantaranya para peserta ingin menggali hukum adat, pendokumentasian dan inventarisasi hukum adat dari lembaga kasepuhan tentang pengetahuan adat, bagaimana mempelajari metode pendokumentasian dan pencatatan pengetahuan adat, kegiatan pendokumentasian saat ini belum selesai dan perlu dilanjutkan misalnya pendokumentasian hukum adat, pengetahuan adat, dan segala pengetahuan adat lainnya yang hidup di kasepuhan.

Gb 2. Panitia Menempel Metaplan Kolom Yang Diisi Peserta. Foto: Erik Suhana

Di pertanyaan keempat: Apa yang Anda ketahui tentang Masyarakat Hukum Adat (MHA)? Para peserta mengajukan poin-poin penting dari pertanyaan ini. Diantaranya adalah MHA yang hidup secara turun-temurun, yang secara de-facto sudah ada eksistensinya di masing-masing kasepuhan, belum ada peraturan dari pemerintah terkait hukum adat di kasepuhan, MHA dapat diartikan berupa ketaatan terhadap hukum adat dan aturannya seperti kepatuhan warga MHA harus menyelenggarakan ritual adat sebelum memasuki leuweung (hutan) dan mentaati titah (perintah) olot (tetua) adat untuk memulai kegiatan cocok tanam, dan khususnya untuk di masyarakat wilayah ulayat Baduy anggota komunitas adatnya diwajibkan bertani.

Pada pertanyaan terakhir, di pertanyaan kelima: Apa yang Anda ketahui tentang Inklusi Sosial? Para peserta berbagi pendapatnya bahwa dalam inklusi sosial perlu adanya perhatian yang lebih kepada kaum minoritas yang terpinggirkan misalnya kepada kaum difabel. Disamping itu, negara juga perlu memberikan pengakuan hak dan mengedepankan prinsip-prinsip inklusi sosial dalam kebijakannya, dan perlu adanya restrorative justice oleh negara untuk mengatur hukum adat dan sanksi adat di internal kasepuhan. Artinya negara memberikan kewenangan sepenuhnya bagi Masyarakat Hukum Adat untuk mengatur dan menetapkan hukumnya sendiri bagi anggota komunitasnya sendiri. Ini dapat diartikan negara mengakui adanya pluralisme hukum di luar ketentuan hukum positif yang mengatur MHA dalam menegakkan hukum adatnya.

Kegiatan forum ngawangkong di sesi refleksi ini kemudian dilanjutkan di sesi rekomendasi di malam harinya setelah pemaparan dari dua pemateri (HuMa dan JKPP) selesai. Dalam kesempatan sesi rekomendasi ini fasilitator yang diawaki oleh Tracy Pasaribu meminta para peserta untuk mengungkapkan rasa kekhawatiran mereka dan kemudian Tracy membungkus (wrapping up) dari aspirasi kekhawatiran tersebut ke poin-poin penting yang akan ditindaklanjuti oleh rekan-rekan Forum KAWAL selanjutnya. Setelah mencurahkan rasa kekhawatirannya, kemudian para peserta mencatatnya menjadi poin-poin kekhawatiran di masing-masing perwakilan kasepuhan, komunitas adat Baduy dan perwakilan dari KATA Indonesia. Kelompok Kasepuhan Cibarani menyuarakan kekhawatiran mereka tentang persoalan lingkungan seperti sampah yang dibuang ke sungai, dan kekhawatiran tentang tata ruang yang tumpang tindih dalam hal status hutan adat dengan klaim Taman Nasional misalnya. Damidi sebagai anak muda dari komunitas adat Baduy mengungkapkan kekhawatirannya tentang generasi muda Baduy yang terbawa arus zaman dan terjadinya alih fungsi hutan. Untuk Kasepuhan Cirompang, kekhawatirannya adalah sedang memikirkan Cirompang 20 tahun kedepan. Bagi generasi muda Cirompang dikhawatirkan beda kepentingan akan beda pula kebijakannya yang ujung-ujungnya akan merugikan masyarakat. Untuk mengantisipasi kekhawatiran tersebut maka pemuda Cirompang sudah menyiapkan berbagai upaya diantaranya penguatan kapasitas anak muda Cirompang, regenerasi perjuangan masyarakat kasepuhan, dan memperbanyak peningkatan kognisi dengan berdiskusi dan kepekaan (awareness) yang dimulai dari hal-hal kecil hingga ke hal-hal yang besar.

Gb 3. Kesibukan Peserta Dalam Mengisi Kolom Kekhawatiran. Foto: Erik Suhana

Ungkapan kekhawatiran tentang tata ruang juga disampaikan oleh perwakilan dari Kasepuhan Jamrut yang mencari jalan keluar pemecahan agar masyarakat di Jamrut terbebas dari klaim tata ruang Taman Nasional Gung Halimun Salak (TNGHS), ketakutan terhadap penyerobotan lahan garapan dan ulayat masyarakat adat oleh pihak-pihak luar, konflik lahan yang berpotensi akan meledak, dan pengelolaan hutan adat yang tidak maksimal karena pembatasan akses masyarakat ke wilayah ulayatnya. Tambahan kekhawatiran lain dari perwakilan masyarakat Kasepuhan Jamrut tentang inklusi sosial ialah kurangnya perhatian terhadap kaum disabilitas dan kelompok rentan lainnya. Sementara itu, kekhawatiran dari perwakilan Kasepuhan Bongkok sama dengan apa yang disuarakan oleh pemuda Kasepuhan Cirompang yaitu kekhawatiran takut terkena imbas dari kebijakan penguasa setelah pergantian rezim yang tidak menutup kemungkinan akan berganti kebijakan dan tidak memihak kepada masyarakat adat, dan harapan-harapan masyarakat adat yang tidak terakomodir dengan baik oleh pemerintah daerah. Perwakilan Kasepuhan Bongkok di kesempatan forum ini juga mengapresiasi kegiatan fasilitasi dan forum refleksi dan rekomendasi Forum KAWAL ini yang akan dijadikan bahan yang akan mereka bawa pulang ke masyarakat Kasepuhan Bongkok lainnya. Dan terakhir catatan kekhawatiran yang disampaikan oleh perwakilan dari KATA Indonesia. Salah satu perwakilannya menggarisbawahi bahwa dikhawatirkan nilai-nilai adat akan hilang di masa depan, hutan yang semakin menyusut, pemanasan suhu dan perubahan iklim yang berdampak bagi masyarakat adat, suara-suara masyarakat adat yang tidak didengar dan sumber penghidupan tidak layak bagi kaum muda.

Setelah masing-masing perwakilan dari kasepuhan, wilayah ulayat Baduy dan KATA Indonesia menyampaikan rasa kekhawatirannya yang dipadatkan ke dalam beberapa poin maka selanjutnya fasilitator, Tracy Pasaribu, memerasnya ke daftar belanja masalah dan dari permasalahan tersebut untuk langkah selanjutnya menjadi pengingat dan usaha yang akan dilakukan oleh Forum KAWAL setelah ini. Diantara poin-poin yang ditandai oleh Tracy adalah persoalan: (1) Lingkungan; (2) Tata (Kelola) Ruang Hidup; (3) Generasi Muda yang menjaga adat; (4) Konflik Lahan (baik internal sesama masyarakat dan antar kasepuhan maupun berkonflik dengan pihak luar); (5) Kaum Terpinggirkan (misal. Kaum Disabilitas dan kelompok rentan lainnya); dan (6) Pergantian rezim kekuasaan (kekhawatiran aspirasi masyarakat adat tidak terpenuhi). Dari keenam poin yang dipetakan ini maka yang menjadi tonggak perubahan adalah peran aktif generasi muda sebagai generasi penerus (Tracy menyebutnya Generus) yang akan meneruskan perjuangan masyarakat adat dalam memperjuangkan haknya dan wilayah ulayatnya. Di sinilah posisi strategis Forum KAWAL yang terus mengawal perjuangan dari masyarakat adat dan partisipasinya dalam politik kewargaan semakin diperhitungkan. Misalnya mendorong partisipasi pemuda, perempuan dan kelompok rentan lainnya untuk terlibat di forum-forum di berbagai level, baik di tingkat kelembagaan adat maupun tingkat pemerintahan daerah bahkan di forum-forum nasional. Keterlibatannya mereka juga dapat memainkan peran yang signifikan dalam proses penentuan dan pengambilan keputusan baik di tingkat lokal maupun nasional. 

Ditulis Oleh : Renal Rinoza (Divisi Knownledge Management RMI)

Batur Ngawangkong #1: Peningkatan Kapasitas Forum KAWAL di Festival Pare Ketan 2023

Di sesi kedua di hari pertama penyelenggaraan Festival Pare Ketan diisi dengan refleksi dan peningkatan kapasitas anggota Forum KAWAL. Para peserta mendengarkan penjelasan dari fasilitator dan pemateri tentang topik-topik yang relevan dengan agenda perjuangan masyarakat adat kasepuhan dan wilayah ulayat Baduy. Sesi ini dipandu oleh Fauzan Adima dari RMI. Materi pertama penguatan kapasitas mengambil topik Inklusi Sosial yang difasilitasi oleh Tracy Pasaribu dari Kemitraan. Setelah itu dilanjutkan materi kedua dan ketiga namun berhubung fasilitator kedua materi lainnya baru sampai ke lokasi maka akan disampaikan di malam hari. Materi peningkatan kapasitas lainnya adalah Kebijakan Nasional tentang Masyarakat Hukum Adat (MHA) yang difasilitasi Wahidul Halim dari HuMa dan materi Tantangan dan Peluang atas Ruang bagi Masyarakat Hukum Adat oleh Sulaiman Ahmad dari JKPP (Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif). 

Gb 1. Pembukaan Sesi Penguatan Kapasitas Forum KAWAL. Foto: Erik Suhana

Dalam pemaparannya, Tracy mengajak peserta untuk membicarakan kenapa inklusi sosial penting untuk disuarakan dan digaungkan di kalangan masyarakat adat. Didalam inklusi sosial terdapat tiga prinsip utama yaitu (1) Akses terhadap layanan dan SDA; (2) Partisipasi Politik; dan (3) Manfaat dari inklusi sosial. Dengan demikian, inklusi sosial penting untuk diangkat ke permukaan karena selama ini ada beberapa kelompok masyarakat yang terpinggirkan dari proses-proses pengambilan keputusan dan keterlibatan dalam pembangunan. Salah satu kelompok-kelompok yang terpinggirkan itu adalah masyarakat adat bahkan secara umum ada tiga kelompok yang terpinggirkan diantaranya perempuan, anak-anak (termasuk anak muda), dan kaum disabilitas. Oleh karena itu, dengan adanya penerapan inklusi sosial akan memastikan semua orang mendapat kesempatan dan perlakuan yang sama. Dalam beberapa kasus, Tracy mencontohkan bahkan di setiap pertemuan kelompok adat jarang sekali yang melibatkan perempuan dan anak muda. Demikian halnya dengan pola pembangunan di Indonesia yang masih meminggirkan peran-peran perempuan dan anak muda.

Gb 2. Diskusi dan Tukar-Pendapat Anggota Kelompok. Foto: Erik Suhana

Dalam pemaparannya, Tracy juga menyinggung fenomena bonus demografi yang dialami Indonesia hingga tahun 2040. Itu artinya komposisi anak muda Indonesia sekitar 70% dari total populasi. Momentum ini tentu tidak boleh kita lewatkan begitu saja karena peran anak muda lah yang menentukan arah kemajuan Indonesia mendatang. Apa yang anak muda bicarakan saat ini dan apa yang mereka lakukan khususnya di Forum KAWAL ini adalah awal mula perubahan. Berbicara dengan gerakan perubahan di kalangan anak muda dan terkait dengan pengarusutamaan inklusi sosial adalah memastikan ketiga prinsip dalam inklusi sosial dapat terpenuhi. Berbicara tentang akses ialah berbicara tentang bagaimana masyarakat adat terutama kaum perempuan dan anak mudanya mendapatkan akses terhadap layanan dan sumderdaya alam yang setara. Di kesempatan ini Tracy mengingatkan pentingnya membawa kepekaan (awareness) kita terlebih bagi masyarakat adat yang wilayahnya berada di daerah terpencil. Permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat adat terutama kaum perempuan dan anak muda adalah menyangkut akses terhadap sumberdaya alam. Tracy mencontohkan apa yang terjadi di masyarakat adat Nagekeo di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pemerintah daerah di sana ternyata tidak sensitif dan tidak menghitung peran dan akses perempuan terhadap sumberdaya alam. Padahal perempuan memainkan peran yang sangat penting dalam merawat dan memelihara pengetahuan tradisional misalnya dalam pengklasifikasian jenis-jenis tanaman obat dan kegunaannya.

Gb 3. Peserta Mendiskusikan Materi. Foto: Erik Suhana

Prinsip kedua di inklusi sosial adalah partisipasi. Tracy menekankan kenapa dalam inklusi sosial penting untuk melibatkan partisipasi perempuan dan kaum difabel dari setiap agenda pembangunan yang dijalankan. Dengan menempatkan partisipasi, kita memperluas peran dan kesempatan yang setara bagi kaum perempuan dan difabel untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan dan perumusan kebijakan pembangunan. Prinsip iklusi sosial yang ketiga adalah Manfaat. Tracy mengajukan pertanyaan kepada para peserta, “Kalau sudah ada pembangunan apakah semua mendapat manfaat yang sama? Perempuan dan laki-laki. Apakah anak-anak muda diajak terlibat dan berpartisipasi? Maka untuk itulah kita membutuhkan inisiatif untuk bergerak dan memainkan peranannya dalam pengambilan keputusan. Disamping itu, tentunya kita berusaha meningkatkan partisipasi dengan cara mempertajam kepekaan kita. Dan yang lebih penting lagi adalah bahwa kita adalah gerakan akar rumput yang setidaknya sudah mengetahui apa-apa saja permasalahan di tingkatan tapak. Dalam hal ini, Tracy memberi contoh. Misalnya dalam membuat bak mandi. Walau ini terlihat sepele namun posisi amat penting dalam meningkatkan partisipasi dan kepekaan kita. Apakah pembuatan bak mandi tersebut sudah sensitif jender dan peka terhadap kebutuhan perempuan? Jangan-jangan dalam pembuatan bak mandi tidak mengindahkan kebutuhan kaum perempuan. Ada satu contoh menarik yang Tracy singgung di kasus pembuatan bak mandi ini. Desain bak mandi yang ukurannya lebih tinggi membuat ibu-ibu susah untuk mengambil air yang biasanya digunakan untuk mencuci dan membersihkan sayur-sayuran.

Dari hal yang sepele ini Tracy mengajak kita untuk peka dan sensitif terhadap kebutuhan kelompok-kelompok lain yang terabaikan dalam kebijakan dan implementasi pembangunan dan bagaimana pentingnya memperluas kesempatan yang setara bagi kaum perempuan, anak muda, kaum difabel dan orang-orang yang terpinggirkan lainnya untuk didengar dan dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan dan kebijakan pembangunan. Ilustrasi pembuatan bak mandi yang Tracy contohkan adalah gambaran dimana betapa minimnya peran perempuan dan kelompok rentan lainnya dalam proses pengambilan keputusan di ranah kebijakan publik. Dengan demikian, melalui pemahaman kita terhadap inklusi sosial ini maka kita berjuang di arah hulu semisal akses terhadap sekolah dan produksi pengetahuan. Penting untuk mengajak dan melibatkan partisipasi perempuan ke berbagai kegiatan forum yang nantinya akan mempengaruhi pengambilan keputusan dan dari sinilah dimulainya pengkaderan bagi perempuan untuk memainkan perannya di sektor partisipasi politik kewarganegaraan dan kebijakan pembangunan.

Di akhir pemaparannya, Tracy menyinggung sebuah kebiasan dari adat-istiadat kita yang menempatkan urusan perempuan hanya sekadar di wilayah dapur saja. Lalu Tracy menantang peserta dengan melontarkan sebuah pertanyaan tajam tentang masalah ini, “bagaimana mengubah paradigma seperti itu?.” Atas masalah ini, Tracy menunjukkan bahwa persoalan tradisi atau budaya yang tidak pernah ditulis. Padahal kalau digali lebih dalam lagi justru pengetahuan lama dari masyarakat adat malah banyak melibatkan peran perempuan dan penghormatan terhadap posisi perempuan sebagai pengambil keputusan dan sumber-sumber pengetahuan adat. Hal ini telah dibuktikan dari beberapa studi diantaranya penelitian yang dilakukan oleh PEREMPUAN AMAN, tekan Tracy. 

Gb 4. Wahidul Halim – HuMa, Menyampaikan Pemaparan Materinya tentang Advokasi Kebijakan Nasional MHA. Foto: Erik Suhana

Sesi peningkatan kapasitas berikutnya disampaikan oleh Wahidul Halim dari HuMa yang memaparkan materi Advokasi Kebijakan Nasional tentang Masyarakat Hukum Adat (MHA). Dalam penyampaiannya, Halim menjelaskan tentang kedudukan Masyarakat Hukum Adat (selanjutnya ditulis MHA) di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pengakuan eksistensi MHA sebenarnya sudah tertera di konstitusi kita misalnya di Pasal 18B UUD 1945 dan di Pasal 128 UU Pokok Agraria Tahun 1960. Adapun eksistensi MHA dapat dikenali selama MHA memiliki sejarah, tanah ulayat, hutan adat, masyarakatnya, pengetahuannya, kelembagaan adatnya dan eksistensinya diakui oleh masyarakat adat lainnya. Namun demikian, dalam catatan HuMa negara belum melindungi sepenuhnya eksistensi MHA. Misalnya apakah MHA dilibatkan dalam pembuatan UU? Dari indikator ini saja pemerintah belum mengakomodir tuntutan dan kebutuhan MHA.

Berdasarkan pengalaman HuMa ketika pengajuan tuntutan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi atas UU No. 5 tentang Kehutanan Tahun 1999 terhadap persoalan hutan adat. Dalam UU Kehutanan tahun 1999 negara tidak mengakui keberadaan hutan adat dan hutan yang dimiliki oleh MHA diklaim sebagai hutan negara. Oleh karena itu, HuMa bersama MHA dan elemen masyarakat sipil lainnya kemudian memperjuangkan pengadvokasian hutan adat dengan pengajuan tuntutan Judicial Review yang pada akhirnya tuntutan itu dikabulkan Mahkamah Konstitusi dengan menghapus nomenklatur Hutan Negara di hutan adat milik MHA. Dari keberhasilan tuntutan itu maka tugas selanjutnya bagi MHA adalah kemudian bagaimana cara mengadvokasi hak komunal atau hak ulayat agar bisa didaftarkan dan tercatat. Upaya yang dapat dilakukan adalah mengadvokasi Peraturan Menteri (Permen) Kearifan Lokal. Di upaya advokasi ini bagaimana MHA dapat memiliki pemaknaan terhadap hak ulayat mereka seperti mata air, pohon-pohon, tumbuhan, hutan, dan pengetahuan adat terhadap nilai ekologi di wilayah ulayat MHA.

Gb 5. Para Peserta Menyimak Pemaparan dari Pemateri. Foto: Erik Suhana

Disamping itu, dalam hal eksistensi MHA di bidang hak ulayat, HuMa pernah bekerjasama dengan PEREMPUAN AMAN untuk melakukan penelitian tentang hak kolektif perempuan adat di Sulawesi. Dalam hak ulayat adat terdapat hak kolektif perempuan yang proporsinya sangat signifikan terutama pengetahuan MHA terhadap sumber-sumber pangan, tanaman obat dan hutan. Dari kekayaan pengetahuan itulah perlu upaya untuk mengumpulkan dan mendokumentasikan pengetahuan masyarakat adat sebagai hak kolektif mereka—yang selanjutnya didaftarkan sebagai hak kolektif MHA ke Bupati. Sebagai bagian dari eksistensi MHA, hutan adat menempati posisi yang sangat penting bagi pengakuan eksistensi MHA. Namun demikian, menurut Halim tantangannya adalah ketika pasca penetapan hutan adat. Tantangan yang kerapkali ditemui di lapangan adalah pemerintah tidak tahu dimana letak wilayah ulayat MHA berada. Selain itu, tantangan terbesar yang dihadapi MHA adalah berupa tantangan pengakuan bersyarat dari negara. Dalam norma hukumnya seharusnya negara yang mengikuti MHA tetapi yang terjadi menunjukkan sebaliknya—MHA yang mengikuti logika peraturan negara tentang penetapan wilayah ulayat adat. Di sinilah tantangan yang dihadapi oleh MHA meski sudah mendapat pengakuan tetapi logika pengakuannya mengikuti ketentuan negara. Di bagian ini, Abdul Waris selaku perwakilan RMI menambahkan bahwa dalam prosesnya negara yang seharusnya mengembalikan hak pengakuan tersebut ke masyarakat adat bukan malah yang memberi hak pengakuan ke masyarakat adat karena eksistensi MHA sudah lebih dulu ada dan kita kembalikan lagi ke konstitusi negara kita bahwa kedaulatan rakyat (termasuk di dalamnya MHA) sebagai pemegang tertinggi kedaulatan negara dan syarat utama berdirinya sebuah negara.

Di bagian akhir pemaparannya, Halim meluruskan pemahaman tentang perbedaan antara masyarakat adat dan masyarakat hukum adat (MHA). Baginya kedua terminologi ini sebenarnya sama saja dan yang membedakannya adalah terminologi MHA dipakai di dalam UU. Sementara itu, salah satu peserta yang berasal dari Kasepuhan Pasir Eurih mengajukan satu pertanyaan apakah MHA kedudukannya diakui di konstitusi kita? Halim menjawab jika RUU Masyarakat Adat dan RUU MHA itu tergantung dengan siapa yang membacanya. Di konstitusi negara kita sudah jelas tercantum di Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3) UUD 1945, dan Pasal 3 UU Pokok Agraria tahun 1960. Masalahnya hingga saat ini belum disahkannya RUU Masyarakat Adat. Jika RUU tersebut disahkan maka akan mudah bagi kita untuk mengidentifikasikan subyek Masyarakat Hukum Adat. Lamanya proses ketuk palu pengesahan RUU Masyarakat Adat ini disinyalir karena adanya permainan di Prolegnas (Program Legislasi Nasional) di DPR RI. Salah satu Parpol besar yang menguasai kursi di DPR menolak disahkannya RUU ini karena akan menghambat masuknya investasi.

Sesi yang disampaikan oleh Wahidul Halim ini ditutup dengan memberikan masukan kepada peserta dari Kasepuhan Bongkok yang sedang memperjuangkan pengakuan hak hutan adat mereka. Diantara langkah-langkah yang harus dipersiapkan adalah dengan mempersiapkan data-data tentang sejarah, peta wilayah adat, kelembagaan adat, dan profil menyeluruh tentang Kasepuhan Bongkok; membuat legal opinion (pendapat hukum) yang akan dibantu rekan-rekan CSO seperti HuMa; berdiskusi soal kondisi Kasepuhan Bongkok; usaha melobi kepentingan kasepuhan dengan memuat berita acara dan surat resmi ke Pemkab Lebak; bergerak bersama kasepuhan lain dan rekan-rekan CSO; dan terakhir membaca konteks politik kedepan seperti Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Dengan adanya usaha persiapan ini diharapkan akan memudahkan bagi Kasepuhan Bongkok dalam memperoleh pengakuan hak hutan adat dan diakui sebagai subyek MHA secara legal dan politik.

Sesi terakhir penguatan kapasitas disampaikan oleh Sulaiman Ahmad dari JKPP. Sulaiman memberikan pemaparannya tentang Tantangan dan Peluang terhadap Akses Ruang. Bagi Sulaiman penting untuk masyarakat adat kasepuhan membuat pemetaan agar supaya mengetahui ruang hidupnya sendiri. Dalam pengamatan Sulaiman sendiri, permasalahan penataan ruang di Indonesia dapat dirinci sebagai berikut:

  1. Data yang tersedia masih banyak yang bersifat indikatif (misalnya ditetapkan berdasarkan wilayah kawasan hutan, desa, dll).
  2. Proses penataan ruang yang masih bersifat top-down. Penentuan penataan ruang berdasarkan ketetapan pemerintah dan bukan berasal dari masyarakat yang dilibatkan.
  3. Penentuan ruang masih menganut “azas kepentingan” yang lebih mengedepankan kepentingan pemerintah daripada kepentingan masyarakat.
  4. Keterlibatan masyarakat dalam penentuan penataan ruang masih sangat minim.
  5. Belum terintegrasinya data-data peta yang dibuat masyarakat adat (peta partisipatif).
  6. Kebijakan Satu Peta (One Map Policy). Namun data dan informasi pemetaan tidak dilakukan secara partisipatif baik dalam prosesnya maupun hasilnya.

Dari rincian permasalahan penataan ruang ini Sulaiman menunjukkan bahwa data yang membuat pemetaan yang dilakukan pemerintah seringkali tidak tepat dan celakanya dalam kasus-kasus yang terjadi di tingkatan tapak ternyata produk pemetaan yang dibuat negara ini, sesal Sulaiman, “mohon maaf malah jadi acuan kepala desa”, dan maka dari itu di sinilah letak persoalan dari penataan ruang di Indonesia khususnya yang terjadi di wilayah pedesaan—yang notabene banyak ditempati oleh komunitas masyarakat adat sehingga terjadi tumpang tindih lahan dan klaim negara terhadap wilayah ulayat adat masyarakat adat.

Gb 6. Sulaiman Ahmad – JKPP, Menyampaikan Materi tentang Ruang dan Pemetaan Partisipatif. Foto: Erik Suhana

Dari penyampaian materi tentang Tantangan dan Peluang Atas Ruang ini direspon oleh beberapa peserta diantaranya Kang Mursid yang berbagi pengalamannya. Kang Mursid menyatakan bahwa sebelumnya aparat Pemda Lebak tidak mengetahui di Cirompang sudah eksis sebuah kasepuhan yang keberadaannya bahkan jauh sebelum Republik Indonesia berdiri. Di kesempatan ini Kang Mursid juga menyinggung tentang bagaimana masyarakat Kasepuhan Cirompang berjuang untuk mendapatkan pengakuan sebagai Masyarakat Hukum Adat. Salah satu usaha yang dilakukan masyarakat adalah melakukan pemetaan partisipatif yang sudah dimulai di tahun 2009. Namun perjuangan tersebut butuh waktu 10 tahun lama sampai masyarakat mendapat Pengakuan Hutan Adat di tahun 2019. Kemudian Kang Mursid mengingatkan kepada kita semua bahwa betapa pentingnya pengetahuan tentang “ruang” dan kenapa itu penting? Hemat kang Mursid karena ada ruang-ruang yang memang sudah dipetakan namun dalam prosesnya ternyata dilakukan tidak partisipatif atau diketahui oleh masyarakat sejauhmana status ruang kita ini, tutup kang Mursid. Sementara untuk kasus Kasepuhan Bongkok, salah satu perwakilan Kasepuhan Bongkok menceritakan bahwa Kasepuhan Bongkok tidak tercatat dalam lampiran Perda No.8/2015 Kabupaten Lebak tentang Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan masyarakat adat kasepuhan dan jika demikian maka apa yang harus kami lakukan?, gugatnya.  

Gb 7. Pemandu Acara, Fauzan Adima, Menutup Rangkaian Materi Penguatan Kapasitas. Foto: Erik Suhana

Sesi peningkatan kapasitas ini ditutup oleh pemandu acara yang merangkum seluruh materi yang selama seharian penuh telah disampaikan oleh pemateri. Mulai dari materi inklusi sosial, advokasi Masyarakat Hukum Adat dan Peluang dan Tantangan tentang Ruang. Pemandu acara mengajak kepada peserta untuk merumuskan materi-materi yang sudah disampaikan. Materi-materi ini setidaknya dapat menjadi bekal bagi peserta untuk ditindaklanjuti di masing-masing kasepuhan. Disamping itu, pemandu juga meminta para peserta menuliskan kolom kekhawatiran yang dirasakan tentang kondisi masing-masing peserta dan menjadi bahan pembelajaran bersama. 

Ditulis Oleh : Renal Rinoza (Divisi Knownledge Management RMI)

Jalan Panjang Perjuangan Atas Hak Pengakuan Hutan Adat Kasepuhan Cibedug 

Pembuka 

Jalan panjang masyarakat Kasepuhan Cibedug dalam memperjuangkan hak pengakuan hutan adat mereka sudah berlangsung selama 22 tahun lamanya. Perjuangan itu dimulai sejak tahun 2000 dan semakin meningkat pasca perluasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) di tahun 2003. Ancaman pengusiran oleh pihak Taman Nasional dan ketidaknyamanan atau ketakutan mengelola sumberdaya hutan di wilayahnya, serta tudingan bahwa masyarakat Cibedug tak berhak di wilayah yang mereka tempati dan tak mampu mengelola kawasan konservasi adalah latar belakang dari semakin menguatnya upaya perjuangan masyarakat kasepuhan dalam mempertahankan ruang hidup dan hutan mereka.  

Pengukuhan Taman Nasional dan Ancaman Pemindahan 

Jauh sebelumnya, ancaman terhadap ruang hidup masyarakat kasepuhan termasuk di dalamnya seluruh perkampungan dan lahan garapan (sawah, huma, dan kebun) diklaim oleh pemerintah, dalam hal ini Departemen Kehutanan yang mengeluarkan kebijakan dengan memberikan kepercayaan Perum Perhutani Unit III Jawa Barat-Banten mengelola kawasan hutan produksi. Padahal masyarakat Cibedug sudah turun-temurun bermukim dan memanfaatkan lahan di situ. Namun, pihak Perhutani tak memperdulikan keberadaan masyarakat adat di Cibedug yang memiliki riwayat atas lahan dan hutan mereka. Bahkan, Perhutani menerapkan pajak inkonvensional sebesar 25% dari hasil panen masyarakat setiap tahun. Apa yang dilakukan Perhutani tentunya ini mirip seperti praktik yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda dahulu.  

Di tahun 1992, kebijakan terhadap peruntukan lahan di wilayah adat masyarakat kasepuhan mengalami perubahan dari semula hutan produksi menjadi kawasan konservasi. Dengan demikian, terjadi pemindahtanganan hak kelola dari Perhutani ke Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH). Praktis, wewengkon Cibedug termasuk salah satu wilayah yang beralih fungsi menjadi kawasan taman nasional. Penetapan kawasan taman nasional yang dilakukan pemerintah sudah barang tentu tanpa mengindahkan lahan yang selama ini dijadikan perkampungan dan lahan garapan masyarakat. Kebijakan ini dengan sendirinya berdampak pada mata pencaharian dan sumber-sumber ekonomi masyarakat. Ancaman yang paling mengkhawatirkan masyarakat Halimun secara keseluruhan, termasuk di Cibedug, muncul pada tahun 2003. Pasca ditetapkannya keputusan Menteri Kehutanan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan (SK Menhut) No.175/kpts-II/2003 tentang penunjukkan perluasan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak dari 40.000 hektar menjadi 113.357 hektar.  

Keputusan penetapan ini membuat masyarakat gusar dan pada saat itu berkembang wacana tentang program Pemerintah untuk memindahkan masyarakat di dalam kawasan taman nasional ke tempat yang belum jelas. Tentunya ini membuat status keberadaan masyarakat Cibedug di wilayahnya sendiri dalam posisi terancam dan mereka bereaksi keras dengan mengeluarkan pernyataan sikap teu nanaon kami ieu dipindahkeun tapi kudu dibawa oge sagala titipan anu dititipkeun ti karuhun kami (tidak apa-apa kami dipindahkan asal harus dibawa juga segala titipan yang telah dititipkan leluhur kami) termasuk di dalamnya keberadaan situs yang penting dan tak terpisahkan dari adat masyarakat kasepuhan Cibedug. Karena, bagaimanapun, hutan dan situs adalah titipan yang dirawat oleh leluhur mereka. Lalu pertanyaan akankah musnah begitu saja?  

Hutan dan Situs Cibedug adalah Bagian dari Wewengkon Adat 

Keberadaan hutan dan situs Cibedug adalah bagian tak terpisahkan dari wewengkon masyarakat kasepuhan Cibedug. Wewengkon merupakan ruang hidup dan ruang kelola masyarakat adat kasepuhan di mana wilayah tersebut sebagai titipan leluhur atau sering disebut ‘titipan karuhun/kolot baheula’. Oleh karena itu, sebagai sebuah titipan maka keberadaan wewengkon sangat penting untuk dijaga dan dipertanggungjawabkan kepada leluhur dan anak cucu mereka. Salah satu ‘simbol titipan’ yang identik dengan kehidupan religi dan budaya masyarakat kasepuhan Cibedug adalah Situs Cibedug. Masyarakat adat Kasepuhan Cibedug mempercayai bahwa mereka diberi amanah untuk menjaga situs keramat ini. Keberadaan situs ini menjadi pusat orientasi spasial masyarakat kasepuhan. Pada tahun 1942 masyarakat adat Kasepuhan Cibedug memulai menjalankan amanah tersebut dengan berpindah dan menetap di kawasan tempat Situs Cibedug dan membuka kampung di sekitarnya. Mereka membuka sebuah kampung yang lokasinya tidak jauh dari tempat situs. Kampung yang mereka buka adalah Kampung Lebak Cibedug yang kemudian berkembang pendirian kampung berikutnya yaitu Kampung Cibeledug, Kampung Lebak Kalahang, Kampung Cinakem dan Kampung Ciara.  

Dengan demikian, keberadaan situs adalah denyut nadi bagi seluruh aktivitas kehidupan masyarakat kasepuhan sehingga keberadaannya menjadi penting dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Ketika Taman Nasional berusaha untuk merelokasi warga dari situs dan hutannya maka hal tersebut tidak bisa terealisasi karena hubungan antara situs dan masyarakat adalah suatu kesatuan yang tidak bisa terpisahkan. Ada sebuah aturan adat masyarakat kasepuhan yang mengungkapkan bahwa jika masyarakat dipindahkan maka situs tersebut juga harus ikut dipindahkan. Masyarakat adat Kasepuhan Cibedug mengistilahkannya ‘dipikihkeun’. Hal tersebut tentunya tidak bisa dilakukan karena dengan demikian mereka harus melepaskan tanggungjawab karuhun mereka untuk menjaga situs tersebut. Tentunya, tindakan tersebut tidak bisa dilakukan mengingat masyarakat adat kasepuhan taat kepada ajaran adat yang mereka percayai bahwa menjaga situs adalah amanah dari leluhur mereka. 

Sementara, keberadaan hutan dan pemanfaatan lahan-lahan lainnya juga merupakan amanah dari leluhur dan sebagai satu kesatuan ruang hidup mereka. Wewengkon adat Kasepuhan Cibedug sebenarnya merupakan ekosistem tani-hutan dimana masyarakat adat kasepuhan membagi peruntukan masing-masing ruang sesuai fungsinya. Fungsi-fungsi tersebut kemudian dikembangkan sesuai kebutuhan mereka dan untuk keberlanjutan mereka hidup sampai anak cucu mereka mendatang. Dalam ajaran adat masyarakat Kasepuhan Cibedug dikenal istilah ‘gunung teu meunang di lebur leuweung teu meunang diruksak’ (gunung tidak boleh dihancurkan dan hutan tidak boleh dirusak) adalah ajaran yang menyiratkan sistem pengelolaan sumberdaya alam berasaskan kearifan yang mengandung arti bahwa manusia adalah bagian dari sistem alam. Jika sumberdaya alam terganggu maka kehidupan manusia juga terganggu. Konsekuensi logis dari pengelolaan alam yang tidak bijak akan menyebabkan kehidupan masyarakat yang tidak baik. Dalam kehidupan masyarakat adat Kasepuhan Cibedug maka itu bermakna bagi kehidupan dan keberlangsungan hidup warga kasepuhan. Selain itu, keberadaan hutan bagi masyarakat Kasepuhan Cibedug penting artinya sebagai sumber utama kehidupan. Karena dari hutan lah sumber mata air itu berasal dan fungsinya untuk menyangga kehidupan.  

Upaya-upaya Mempertahankan Wewengkon Adat  

Dengan bukti-bukti historis berupa keberadaan Situs Cibedug, hutan, perkampungan, sawah, huma dan kebun sudah cukup bagi masyarakat Kasepuhan Cibedug diakui eksistensi mereka sebagai masyarakat adat dalam pengelolaan sumberdaya hutan dan konservasi. Disamping itu, pengakuan eksistensi mereka sebagai masyarakat adat juga diakui oleh masyarakat kasepuhan lain seperti Kasepuhan Citorek yang letaknya bersebelahan dan masyarakat Baduy. Atas dasar bukti-bukti tersebut, masyarakat adat kasepuhan Cibedug melakukan berbagai upaya agar keberadaan mereka tetap diakui dan tidak diusir dari ruang hidup mereka yang telah diklaim sebagai wilayah taman nasional. Salah satu upaya yang dilakukan adalah memulai dengan melakukan pemetaan wilayah mereka di akhir 2003. Masyarakat memetakan lahan pemukiman dan garapan mereka hingga keseluruhan wilayah wewengkon adat mereka termasuk hutan dan Situs Cibedug. Hasil dari pementaan ini kemudian disosialisasikan dan tiap-tiap warga di lima kampung diberi pemahaman tentang wilayah wewengkon adat mereka dan kenapa harus dipertahankan bahkan eksistensinya perlu untuk diakui negara.  

Upaya masyarakat Cibedug dalam mempertahankan wewengkon adat mereka melalui pemetaan kemudian mendapat perhatian yang sangat besar dari rekan-rekan aktivis yang turut memfasilitasi penyusunan rencana tata ruang wewengkon adat Kasepuhan Cibedug. Dalam penyusunan tata ruang wewengkon inilah mereka menginformasikan mengenai konsep dan pemahaman dalam mengelola ruang hidup mereka. Dari hasil penyusunan ini kemudian melahirkan dokumentasi sejarah masyarakat Kasepuhan Cibedug yang mencakup wewengkon adatnya, aturan adat yang mereka jalani dan taati, kelembagaan adat, data bio-fisik serta sosial dan ekonomi mereka. Dengan dokumentasi ini telah menunjukkan bahwa secara de facto eksistensi masyarakat adat Kasepuhan Cibedug memang ada dan tak terbantahkan. Tahapan selanjutnya setelah proses penyusunan dokumentasi tersebut, mereka lalu memperoleh tambahan informasi dan pengetahuan mengenai posisi mereka sebagai masyarakat adat di tingkat kabupaten dan nasional dalam beberapa pertemuan. Diantaranya mereka terlibat di setiap kegiatan pelatihan hukum kritis dan riungan-riungan di tingkatan warga yang mengundang atau melibatkan pihak lain. Sampai akhirnya, pada tahun 2005 masyarakat Kasepuhan Cibedug sepakat memilih memperjuangkan terwujudnya peraturan daerah di wilayahnya, di Kabupaten Lebak, sebagai solusi atas permasalahan yang mereka hadapi. 

Sebelum itu, di tahun 2004 masyarakat Kasepuhan Cibedug sudah menjajaki dan bekerjasama dengan organisasi non-pemerintah seperti HuMA, WG Tenure, dan kalangan akademisi dari IPB. Dialog-dialog dilakukan dengan parapihak yang bertujuan untuk melihat sejauh mana mengukur kekuatan masyarakat. Bersama RMI yang sudah melakukan pendampingan di masyarakat Kasepuhan Cibedug, dialog-dialog yang melibatkan parapihak ditujukan untuk menemukan rute negosiasi dan bertahan hingga 2006. Dialog ini juga turut menyertakan pihak Taman Nasional agar mereka mendapat informasi tentang posisi masyarakat adat Kasepuhan Cibedug di dalam konteks wilayah wewengkon adat mereka. Selain itu, dialog-dialog juga diintensifkan dengan melibatkan masyarakat adat kasepuhan lain yang berbatasan dengan wewengkon adatnya. Dialog ini kemudian menghasilkan persetujuan atau kesepakatan batas wilayah wewengkon adat dengan perangkat adat Kasepuhan Citorek dan Baduy. Hal ini dilakukan untuk menegaskan keberadaan masyarakat adat Kasepuhan Cibedug.  

Menariknya, dalam memperjuangkan tujuannya masyarakat adat Kasepuhan Cibedug tidak memandatkan dan bergantung pada lembaga pendamping mereka. Justru mereka sendiri yang berperan aktif dan sadar bahwa di tangan mereka sendirilah perjuangan ini bisa dilakukan. Ditengah-tengah ketidakpastian status hak penguasaan dan pengelolaan hutan adat mereka, masyarakat adat Kasepuhan Cibedug tetap menjaga hutan tempat mereka tinggal. Di lain pihak, ada kemauan politik dari pemerintah daerah untuk merespon persoalan yang terjadi di masyarakatnya. Pemerintah daerah kemudian menggagas peraturan daerah tentang pengakuan masyarakat adat kasepuhan di wilayah Kabupaten Lebak. Tentunya momentum ini tak dilewatkan begitu saja oleh masyarakat adat Kasepuhan Cibedug dan ini menjadi peluang untuk mencapai terwujudnya legalitas dan hak-hak masyarakat kasepuhan. Bersama dengan parapihak sebagai pendamping dan kontributor, negosiasi yang dilakukan kemudian menghasilkan kebutuhan akan produk hukum daerah berupa peraturan daerah terkait dengan pengakuan dan pengelolaan oleh masyarakat adat yang berada di TNGHS, dan terpetakannya pihak-pihak yang akan mengawal penyusunan peraturan daerah ini.  

Usaha-usaha masyarakat adat Kasepuhan Cibedug dalam memperjuangkan hak pengakuan masyarakat hukum adat dan hutan adat mereka dapat dikatakan lebih dari cukup. Mereka berhasil memenuhi syarat-syarat legal sebagai upaya mendapat pengakuan. Bukti-bukti ini tampak pada hasil berupa peta partisipatif dan beberapa catatan proses negosiasi dengan beberapa pihak. Bukti lainnya di lapangan menunjukkan usaha sungguh-sungguh masyarakat kasepuhan menjaga wewengkon menurut fungsinya dan menjalankan aturannya. Tentunya, usaha-usaha mereka memperjuangkan hak atas pengakuan dan hutan adat mereka perlu terus diupayakan untuk menggalang dukungan lebih luas lagi dan lebih kuat lagi agar mendorong segera terwujudnya pengukuhan keberadaan masyarakat adat Kasepuhan Cibedug sebagai masyarakat hukum adat.  

Penutup 

Akhirnya, setelah sekian lama menunggu 22 tahun berjuang mendapatkan hak atas pengakuan, masyarakat adat Kasepuhan Cibedug mendapatkan Penetapan SK Hutan Adat Kasepuhan Cibedug dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang bertindak sebagai pelaksana penyerahan Surat Keputusan Perhutanan Sosial dan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) secara faktual dan virtual. Kegiatan faktualnya berlangsung di Kalimantan Timur yang dihadiri oleh Presiden Republik Indonesia. Sementara kegiatan virtualnya dilaksanakan di beberapa provinsi termasuk Provinsi Banten. Kegiatan Penyerahan SK ini secara resmi telah dilakukan di Pendopo Gubernur Banten, KP3B Curug, Kota Serang pada tanggal 22 Februari 2023. Dari Kasepuhan Cibedug hadir 10 perwakilan, 8 orang laki-laki dan 2 orang perempuan. Pada waktu yang sama, selain Kasepuhan Cibedug yang menerima penyerahan SK, ada Kasepuhan Cisungsang dan Kasepuhan Cisitu yang juga menerima SK Hutan Adat.  Penyerahan SK ini menjadi titik awal bagi masyarakat Kasepuhan Cibedug untuk mengelola wilayah adat mereka sendiri sesuai dengan aturan-aturan adat yang berlaku di komunitas.  

Atas penetapan SK Hutan Adat ini, masyarakat adat Kasepuhan Cibedug melakukan sosialiasi dan syukuran. Menurut Pak Sarmin selaku tokoh masyarakat menandaskan bahwa SK yang sudah diterima sudah seharusnya dapat dimanfaatkan dengan baik untuk mencukupi kehidupan masyarakat adat. Berdasarkan SK Hutan Adat yang telah diserahkan ini, ditetapkan seluas 1.268 hektar yang dibagi atas fungsi konservasi dan produksi. Disamping itu, SK Hutan Adat ini merupakan hasil perjuangan bersama selama 22 tahun lamanya dan menjadi sejarah baru bagi masyarakat Cibedug untuk memiliki tanggung jawab bersama dalam pengelolaan wilayahnya dengan berdaulat untuk tujuan kesejaheraan lahir-batin bagi masyarakat dan anak cucu mereka di wewengkon Kasepuhan Cibedug.  

Penulis : Renal Rinoza 

Editor : Renal Rinoza 

Referensi 

Andri Santosa, et.al. (2007). Nyanghulu Ka Hukum, Nyanghunjar Ka Nagara – Sebuah Upaya Masyarakat Cibedug Memperoleh Pengakuan. Bogor: RMI-The Indonesian Institute for Forest and Environment. 

Murti Aria (2023). Pertemuan Kampung: Ngaji SK Penetapan Hutan Adat Wewengkon Kasepuhan Cibedug. https://rmibogor.id/2023/04/04/pertemuan-kampung-ngaji-sk-penetapan-hutan-adat-wewengkon-kasepuhan-cibedug/, diakses 5 September 2023 

Mendorong Kemandirian Ekonomi dan Kelestarian Hutan: Perhutanan Sosial di Kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango

Di kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, terdapat dua komunitas masyarakat lokal yang telah tinggal berdampingan dengan kawasan hutan jauh sebelum Indonesia merdeka. Bagi mereka hutan merupakan ruang hidup yang menjadi sumber kehidupan dan penghidupannya secara turun-temurun. Masyarakat Kp. Ciwaluh, Desa Wates Jaya, Kec. Cigombong dan masyarakat Kp. Cipeucang, Desa Pasirbuncir, Kec. Caringin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, hidup sebagai petani dengan bertani di sawah dan kebun mereka. Namun, lahan yang mereka kelola selama ini berada di dalam kawasan hutan konservasi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.

Pada tahun 2021, melalui kebijakan Perhutanan Sosial, pemerintah memberikan akses legal dalam bentuk kemitraan konservasi kepada kedua masyarakat ini. Kemitraan konservasi ini merupakan izin pengelolaan lahan garapan yang diberikan kepada masyarakat yang telah lama tinggal dan memiliki hubungan tak terpisahkan dengan keberadaan hutan itu sendiri. Perjanjian kerja sama antara masyarakat melalui Kelompok Tani Hutan (KTH) dengan Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango ditandatangani pada akhir tahun 2021, yang pada gilirannya membuka pintu kemajuan bagi kedua komunitas ini.

Pemberian akses pengelolaan hutan kepada masyarakat telah terbukti efektif dalam mendorong kemandirian ekonomi dan mempertahankan kelestarian hutan secara berkelanjutan. Hal ini menjadi awal yang positif bagi masyarakat Kp. Ciwaluh dan Kp. Cipeucang, kini mereka mulai menunjukkan beberapa kegiatan mandiri di tahun kedua setelah perjanjian ditandatangani yang semuanya didanai oleh hasil usaha KTH dalam mengelola Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) seperti penyadapan getah pinus, padi, kopi, kapolaga, kumis kucing, dan buah-buahan lainnya. Kegiatan-kegiatan ini merupakan upaya memperluas diversifikasi pendapatan dan ketahanan pangan petani dalam mewujudkan kesejahteraan hidupnya.

1. Pelatihan Budidaya Ikan Lele

Dengan diberikan akses pengelolaan hutan, masyarakat Kp. Ciwaluh dan Kp. Cipeucang dapat menjalankan berbagai usaha mandiri. Salah satu di antaranya adalah usaha budidaya ikan lele. Kegiatan ini telah diselenggarakan melalui pelatihan yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan masyarakat dalam budidaya ikan lele secara berkelanjutan. Dalam pelatihan ini, mereka diajarkan teknik-teknik budidaya yang efisien dan ramah lingkungan sehingga dapat memaksimalkan hasil panen dan mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan.

2. Pelatihan Budidaya Anggur

Selain budidaya ikan lele, masyarakat Kp. Ciwaluh dan Kp. Cipeucang juga telah menyelenggarakan pelatihan budidaya anggur. Anggur merupakan tanaman yang memiliki potensi ekonomi tinggi dan cocok untuk tumbuh di wilayah tersebut. Pelatihan ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan dan keterampilan bagi masyarakat dalam mengembangkan kebun anggur mereka secara optimal. Dengan pendampingan dan dukungan dari Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, kegiatan budidaya anggur ini diharapkan dapat berkontribusi pada peningkatan pendapatan masyarakat.

3. Pembangunan Saung Sekretariat KTH

Kemandirian ekonomi juga diwujudkan melalui pengelolaan KTH secara mandiri. Salah satu bentuknya adalah dengan membangun saung sekretariat atau pusat kegiatan KTH. Saung ini menjadi tempat berkumpulnya anggota KTH untuk membahas berbagai program dan kegiatan yang akan dilakukan. Selain itu, saung ini juga dapat digunakan sebagai tempat pelatihan atau pertemuan masyarakat dalam upaya peningkatan kapasitas dan partisipasi aktif dalam pengelolaan kawasan hutan.

Perjanjian Kerjasama Kemitraan Konservasi antara masyarakat Kp. Ciwaluh dan Kp. Cipeucang dengan Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango telah memberikan manfaat bagi kedua belah pihak. Masyarakat kini memiliki akses legal untuk mengelola lahan garapan mereka dan memanfaatkannya secara berkelanjutan. Kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan menunjukkan kemajuan nyata dan menjadi contoh inspiratif bagi upaya konservasi dan kesejahteraan masyarakat lokal di wilayah konservasi.


Penulis: Fauzan Adima

Editor: Renal Rinoza

Fina, Partisipan Perempuan Baru Forum KAWAL

Kasepuhan Bongkok tergabung dalam Forum KAWAL sejak pertemuan di Cangkuem, salah satu perkampungan Baduy, pada Desember 2022. Salah satu partisipan aktif Forum KAWAL[1] dari Kasepuhan Bongkok tersebut adalah perempuan berusia 16 tahun bernama Fina. Setiap harinya ia memiliki kegiatan yang cukup padat. Mulai dari bersekolah, berkegiatan dalam OSIS[2], berkegiatan ekstrakurikuler rohani Islami dan ngobong[3]. Ia berangkat ke sekolah pukul 07.30 dan pulang pukul 17.00 petang. Setelah maghrib, ia ngobong sampai pukul 22.00 malam dan tiba di rumah pukul 22.30 malam. Melakukan banyak hal dalam satu waktu membuat waktunya banyak sekali tersita, belum lagi pekerjaan-pekerjaan domestik yang harus ia kerjakan.

Fina dan Abah Maman sedang mengobrol

Fina merupakan satu dari enam partisipan yang berasal dari Kasepuhan Bongkok yang tergabung dalam komunitas Burakok[4] yang didirikan pada tahun 2022. Forum KAWAL sesi kelima yang diselenggarakan pada tanggal 26-28 Mei 2023 di wilayah adat Kasepuhan Pasir Eurih adalah forum pertama yang diikutinya. Ia menganggap pengalaman ini menarik dan bermanfaat baginya untuk lebih aktif di masyarakat.

“Kayaknya seru. Terus menambah pengalaman juga ke Finanya. Terus, kayaknya, ini yang bikin Fina lebih aktif deh di masyarakat. Jadi Fina lebih tau. Kan Fina gak tahu sama sekali kalau di (Kasepuhan) Bongkok itu ternyata belum merdeka (wilayah adatnya masih belum diserahkan oleh negara) kan, (gak) kayak di Pasir Eurih[5]. Fina cuman tau disini (forum KAWAL) aja. Disana tuh Fina gak pernah diceritain kalau di Bongkok itu belum merdeka.”

Fina sedang mengikuti Ice breaking.

Forum KAWAL seri kelima ini mewadahi peserta untuk menggali dan merefleksikan pengalaman personal; merencakana perencanaan kelompok/komunitas; dan pengenalan dan simulasi pemetaan partisipatif melalui berbagai sesi yang dibagi ke dalam tiga hari. Fina terlibat dan mengikuti setiap sesi dengan antusias. Meskipun interaksinya terbatas pada teman-teman peserta perempuannya lainnya dan beberapa orang yang sudah ia kenali. Meskipun ia masih canggung untuk mengutarakan pendapatnya dalam diskusi besar, ia aktif ketika dalam diskusi kelompok. 

Dalam sesi “Sepanjang Jalan Kenangan” yang bertujuan menceritakan pengalaman personal peserta, Fina dan peserta diajak berefleksi melalui media gambar gelombang naik-turun yang menggambarkan jatuh-bangkit kehidupan, bagaimana cara bangkit dari situasi sulit dan siapa saja yang terlibat dalam prosesnya. Sesi ini membuat Fina lebih bersyukur dengan merefleksikan orang-orang yang yang berjasa dalam hidupnya. Sepanjang hidupnya, ia sempat keluar masuk pesantren karena ditinggalkan teman dekat hingga pindah ke Kampung Bongkok dan mulai beradaptasi dengan lingkungan baru, teman baru dan aktivitas baru.

Hari selanjutnya, dalam sesi perencanaan kelompok/komunitas, Fina beserta anggota Burakok lainnya melihat kembali kelompok dan kampungnya lalu mencoba merencanakan tujuan bersama dalam kurun waktu satu tahun kedepan. Proses ini digambarkan melalui rute jalan perencanaan tujuan kelompok. Nampaknya mereka berencana untuk memajukan salah satu obyek wisata potensial yang ada di Kasepuhan Bongkok. Meskipun begitu mereka sadar bahwa rencana tersebut merupakan rencana jangka panjang yang memerlukan banyak langkah-langkah kolektif untuk mencapainya, termasuk para orang muda di kampunya. Di sisi lain, menyoroti kampungnya, Fina menambahkan bahwa pemuda-pemudi yang telah lulus SMA jarang menetap di Kampung Bongkok: “Disana tuh gak ada pemuda yang udah lulus SMA. Di Bongkok itu, mayoritasnya, kalau udah SMA, dia kerja di luar kota.”

Selanjutnya, dalam sesi pemetaan partisipatif, peserta Forum KAWAL diberikan materi pengantar pemetaan partisipatif oleh Slamet Widodo, Community Organizer RMI yang mengaitkan urgensi pemetaan partisipatif dengan tata laksana pembangunan nasional:

“Selama ini peta menjadi acuan tata ruang dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Tapi sayang, pembangunan yang dilakukan pemerintah lebih berpihak kepada pengusaha dan kurang memperhatikan hak-hak masyarakat setempat sehingga sering terjadi penyerobotan lahan, tumpang tindih kawasan, ketidajelasan tata batas dan sebagainya. Masyarakat yang hidup dan bekerja di wilayah itulah yang memiliki pengetahuan mendalam mengenai wilayahnya. Hanya mereka yang bisa membuat peta secara lengkap dan akurat mengenai sejarah, tata guna lahan, pandangan hidup dan harapan masa depannya.”

Pemetaan partisipatif—yang menjadi salah satu materi yang dirasa paling dibutuhkan oleh peserta Forum KAWAL—menarik perhatian peserta karena dilengkapi dengan pengenalan perangkat pemetaan, tukar cerita pengalaman pemetaan partisipatif oleh Carik Jajuli dari Kasepuhan Pasir Eurih, dan simulasi kelompok untuk melakukan pemetaan partisipatif. Fina yang terlibat langsung dalam sesi ini mengatakan bahwa:

“… KAWAL itu membantu sebagai wadah. Kalau misalkan di wilayah kita mau ada pemetaan, nanti dibantu sama KAWAL. Tadinya Fina gak bisa pake GPS, baru belajar juga kemarin. Terus pokoknya banyak banget (yang didapat) karena Fina baru. Menariknya GPS ini abis belajar langsung dipraktekin.”

Sebagai peserta baru, Fina cukup antusias mengikuti kegiatan Forum KAWAL. Antusiasmenya terlihat dari keinginannya untuk ikut kegiatan Forum KAWAL selanjutnya yang menurutnya adalah kegiatan yang membuatnya berpikir kritis. Selain itu Fina mengaku ingin mengetahui lebih dalam mengenai hutan adat yang masih asing dimatanya.

Fina, dengan kesehariannya menghabiskan waktu sekitar 13 jam di sekolah dan pesantren, memiliki waktu yang lebih minim untuk terlibat dalam proses-proses yang tengah terjadi di kampungnya. Sedangkan sebagai perempuan yang bertempat tinggal dan beraktivitas di wilayah adat Kasepuhan Bongkok, Fina juga memiliki banyak keterbatasan-keterbatasan termasuk dalam Forum KAWAL itu sendiri. Sejauh ini interaksinya terbatas pada peserta perempuan lain dan beberapa yang ia sudah kenal.

Tanpa mengecilkan usaha afirmatif fasilitator di lapangan kepada peserta perempuan dengan sering-sering mengajukan pertanyaan khusus bagi mereka (“ti perempuanna kumaha? Aya nu rek dicaritakeun?”[6]), usaha tersebut belum mampu memantik mayoritas peserta perempuan untuk mengutarakan pendapatnya. Entah karena merasa tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman, entah karena takut salah berpendapat, entah karena tidak berminat atau faktor-faktor lain yang merintanginya; namun yang jelas kehadiran Fina sebagai peserta baru Forum KAWAL merupakan langkah baik yang perlu disyukuri di tengah pusaran lemahnya artikulasi konsep partisipasi orang muda dan perempuan di konteks Kasepuhan.


[1] Konsolidasi dan Advokasi Wilayah Adat Lebak

[2] Organisasi Intra Sekolah

[3] Santri di suatu ‘Kobong’ dalam bahasa Sunda yang artinya ‘pesantren’ dalam bahasa Indonesia.

[4] Budak Ngora Kampung Bongkok (pemuda kampung bongkok)

[5] Salah satu Kasepuhan yang sudah mendapatkan SK Hutan Adat.

[6] Dari perempuannya bagaimana? Ada yang mau diceritakan?


Penulis: Rifky P.K.

Editor: Supriadi

Refleksi Destinasi Super Prioritas di Labuan Bajo dari Pelatihan Kepemimpinan 3 Kampung Katong

Melihat fenomena pembangunan pariwisata melalui kacamata penduduk lokal memerlukan kesadaran kritis-kontekstual karena seringkali kemewahan yang ditawarkan oleh pembangunan sangat membuai dan meninabobokan. Dampak pembangunan pariwisata merupakan hasil dari proses sistemik yang serba saling memengaruhi secara timbal balik.  Hal inilah yang disoroti Konsorsium Kampung Katong melalui “Pelatihan Kepemimpinan 3” yang mengangkat tema kepemimpinan di level sistemik dalam konteks perebutan ruang hidup dan pengelolaan sumber daya alam.

Pelatihan Kepemimpinan 3 Kampung Katong mengajak orang muda dari tiga komunitas–Simpasio Institute, Lakoat.Kujawas dan Kolektif Videoge–untuk menganalisis, merefleksi dan menyikapi pembangunan pariwisata di Labuan Bajo menggunakan perspektif etika lingkungan, ekologi politik, pembangunan inklusif dan pembangunan berkelanjutan.

Pola interaksi manusia-alam yang eksploitatif telah memicu berbagai krisis sosial dan lingkungan. Interaksi ini lahir dari pandangan bahwa manusia adalah entitas yang terpisah dengan alam. Bukan sebagai satu kesatuan utuh yang berinteraksi timbal-balik. Peserta pelatihan mempelajari hal ini dalam sesi etika lingkungan. Antroposentrisme–pandangan yang menempatkan manusia sebagai pusat dari alam semesta–begitu kuat mengakar, sehingga hubungan antara manusia dengan alamnya pun dilandaskan pada ukuran-ukuran yang menguntungkan manusia semata. Dengan kata lain,  “sebesar apa manfaat alam bagi manusia?”

Pemahaman pegiat komunitas yang hadir dalam pelatihan selanjutnya diperkuat ketika materi ekologi politik disampaikan. Sesi ini dibawakan oleh Marta ‘Ica’ Muslin, seorang pegiat lingkungan yang berbasis di Labuan Bajo. Warga Labuan Bajo menyaksikan bagaimana kampung halamannya disulap menjadi kota dalam sekejap. Acara Komodo Sail 2013 dan ditetapkannya Labuan Bajo sebagai destinasi pariwisata super premium melalui Perpres No. 32 Tahun 2018 adalah di antara dua hal yang berdampak signifikan terhadap berubahnya rupa Labuan Bajo. Ica menjelaskan bahwa pembangunan pariwisata di Labuan Bajo memiliki sisi baik dan sisi buruk sekaligus seperti dua sisi mata uang.

Foto bersama Martha Muslin, Narasumber Politik Ekologi dalam Pelatihan Kepemimpinan III
Foto bersama Martha Muslin, Narasumber Politik Ekologi dalam Pelatihan Kepemimpinan III

Ia banyak bercerita mengenai pengalaman advokasi dan kolaborasi dengan pemerintah setempat. Ia mengatakan bahwa dengan masuknya pariwisata telah memicu membaiknya layanan publik khususnya rumah sakit dan sekolah tinggi pariwisata di Labuan Bajo. Meskipun begitu, pariwisata membawa dampak lain. Salah satunya adalah permasalahan air. Nyatanya, akses terhadap air bersih terbatas. Hal ini ditengarai oleh pesatnya kemajuan pariwisata yang mengeksploitasi air tanah besar-besaran untuk hotel, alih fungsi lahan, dan lain sebagainya.

“Untuk masalah air, (pengaruh) pariwisata terhadap air (yaitu) satu orang tamu bintang 5 itu setara 100x pemakaian air orang biasa… (di sisi lain) ada juga kasus di rumah tangga karena malamnya suami tunggu air dan paginya harus mengantar tamu (wisatawan) sehingga ada konflik. Ada 12 kasus suami istri yang sampai bercerai. Sekarang distribusi air sudah lebih bagus, tapi orang sudah harus berpikir untuk untuk mendaur ulang air dengan izin hotel bintang 5… Permasalahan air di seluruh manusia memang (menjadi) masalah tapi disini lebih masalah lagi karena pariwisata.”

Selain itu, kasus penyempitan wilayah tangkap adalah contoh persoalan bermuatan ekologi politik yang harus dihadapi warga Labuan Bajo sehari-hari. Sebagaimana disampaikan oleh Ica sebagai berikut:

“Dalam konteks Labuan Bajo, zona pariwisata meluas, zona bahari mengecil. Tapi tidak ada yang memberikan program langsung dan signifikan untuk nelayan. Sehingga nelayan kadang membawa pisau, jaga-jaga jika bersitegang dengan orang yang diving. Itulah asalnya konflik. Karena perebutan ruang.”

Realitas laju pembangunan di Labuan Bajo yang meminggirkan masyarakat lokal memantik diskusi lebih lanjut tentang topik pembangunan inklusif. Melalui permainan Maju Satu Langkah[1], muncul kesadaran bahwa setiap orang memiliki kondisi terberi (given) lalu sejauh mana setiap individu menyikapi dan mau bekerja keras untuk memperbaiki hidupnya meskipun kebijakan negara tetap memainkan peran. Seperti yang dikatakan Marto dari Kolektif Videoge:

“Kita semua punya modal tergantung cara pandang kita. Ada modal sosial dan modal ekonomi. Kalau tidak bisa mengolahnya, saya tidak akan maju. Tergantung modal apa yang mau dimainkan.”

Sedangkan dari sisi keberlanjutan pengelolaan sumber daya alam, isu ini disampaikan melalui permainan tangkap ikan.[2] Indra, fasilitator, merefleksikan bahwa:

“Perasaan senang yang muncul ketika bermain tadi ada saat kita berbisnis. Senang mendapatkan ikan banyak membuat kita ketagihan. Sebetulnya menurut saya, semuanya kalah (karena ikan tinggal sedikit). Perusahaan bisa mendapat ikan dengan tidak terbatas, lalu baru sadar ketika SDA (ikan) sudah menipis. Karena ada aturan yang menyebutkan bahwa ikan akan ditambah 10 persen dari total populasi, peserta yang berperan sebagai perusahaan tidak awas dengan peringatan itu. Ini ngomongin keberlanjutan. Tadi itu adalah eksploitasi dan perasaan yang menyenangkan itu timbul dari profit. Bisa saja untung perusahaan kecil tapi berkesinambungan. Perusahaan akan cenderung melanggar aturan karena visinya profit dan itu karakteristik mereka. Investasi berpengaruh pada beberapa hal: SDA mulai kritis dan tidak sensitif bahwa praktik yang mereka lakukan merugikan orang lain. Seringkali pembangunan dijalankan tanpa konsep yang bagus. Kadang kita juga tidak mau berhenti sebentar untuk melihat ulang. Sulit berhenti walaupun sudah tahu caranya salah.”

Merangkum isu pembangunan pariwisata di Labuan Bajo dapat diilustrasikan  dengan baik oleh Aden dari Videoge:

“Kami merasa sadar/tidak sadar terpapar sangat kuat (oleh pembangunan). Ilustrasi kami itu (seperti) kami sedang belajar mengendarai motor. Sudah bonceng orang. Kita mesti gas, tapi kita mesti menurunkan lagi gas untuk memperhatikan sekeliling kita. Karena kecepatan tinggi, kita tidak sempat memperhatikan kiri-kanan kita. Apakah kita harus merelakan dua atau tiga generasi di Labuan menjadi tidak kritis, rapuh. Itu juga yang menjadi refleksi. Mau menyelamatkan orang, tapi kita sendiri tidak selamat.”

Aden & Saddam, crew Videoge, sedang cerita tentang Kolektif Videoge

Pernyataan Aden, Videoge, menggambarkan kegelisahannya sebagai warga Labuan Bajo yang harus beradaptasi dengan arus pembangunan sambil berefleksi akan perubahan-perubahan yang terjadi di sekelilingnya yang terjadi begitu cepat. Ia harus menghadapi pembangunan pariwisata di Labuan Bajo yang didorong oleh negara (state driven) sepanjang rezim pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo yang dibuktikan dengan serangkaian peraturan perundang-undangan seperti  Peraturan Pemerintah (PP) No. 50 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010-2025 dan Perpres nomor 32 Tahun 2018 tentang Badan Otorita Pengelolaan Kawasan Pariwisata Labuan Bajo Flores, membuat Labuan Bajo masuk ke dalam daftar 10 destinasi wisata prioritas sejak 2015 untuk kemudian tetap masuk ke dalam 5 lokasi DSP hasil pengerucutan di tahun 2019.

Dorongan pemerintah untuk pembangunan daerah pariwisata di Labuan Bajo beriringan dengan momen ditetapkannya Pulau Komodo sebagai tujuh keajaiban dunia di tahun 2012 dan Komodo Sail di tahun 2013 yang menjadi dua peristiwa penting yang ikut bersumbangsih untuk mengakselerasikan pembangunan pariwisata di Labuan Bajo sebagai lambang destinasi pariwisata di Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Dapat dilihat bahwa pembangunan pariwisata di Labuan Bajo berbasiskan transformasi ruang dan pemgambilalihan ruang. Inisiasi pemerintah untuk membuat “Bali baru” dengan label destinasi super prioritas (DSP) Indonesia dapat dikatakan berhasil. Tidak heran jika kita berada di pusat keramaian yaitu di Jalan Soekarno Hatta, Labuan Bajo, kita merasa seperti sedang berada di kawasan Pantai Kuta, Bali. dengan trotoar lebar bagi pejalan kaki dan tempat-tempat makan bervariasi di kiri dan kanan jalan. Transformasi ruang terlihat sangat jelas dalam waktu 11 tahun sejak Pulau Komodo menjadi salah satu dari tujuh keajaiban dunia.

Transformasi ruang tentunya tidak murah. Dilansir dari ekonomi.bisnis.com, Menteri PUPR Basuki Hadimuljono mengatakan bahwa pada tahun ini, pemerintah telah mengalokasikan anggaran pembangunan infrastruktur untuk pengembangan KSPN Labuan Bajo sebesar Rp1,30 triliun atau lebih besar dari 2019 sebesar Rp83,20 miliar. (Gunawan, 2020) Dengan begitu, pembangunan akan bertumpu pada konsentrasi modal pemerintah yang melibatkan pemilik modal swasta untuk melegitimasi transformasi dan pengambilalihan ruang. Adapun pembangunan ini ditopang oleh konektivitas komunikasi dan transportasi sehingga aktor baru, pengusaha-pengusaha, dapat bermigrasi dan mempercepat pembangunan. Tak mengherankan jika dalam waktu sebelas tahun sejak 2012, pembangunan di sini melesat jauh meninggalkan daerah-daerah di sekitarnya.

Sejatinya label DSP sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) yang disematkan pada Labuan Bajo membuatnya dilabeli menjadi daerah beridentitas tunggal yaitu kawasan pariwisata. Hal ini menggerus identitas lain seperti masyarakat pesisir dan nelayan. Terjadi juga perubahan mata pencaharian yang terkonsentrasi pada sektor pariwisata. Sektor pariwisata tersebut menawarkan bentuk usaha baru yakni usaha jasa wisata, penginapan, oleh-oleh dan food and beverages. Sayangnya usaha yang berkembang ini membutuhkan modal besar yang seringkali tidak dimiliki warga lokal. Alhasil, warga lokal yang diuntungkan hanya mereka yang menyewakan atau menjual tanah dan bangunannya. Mengeksklusi individu yang tidak memiliki modal.

Ditambah lagi perubahan sosial muncul di beberapa isu lain sebagai konsekuensi dari pembangunan yang tidak inklusif. Hal ini juga tergambarkan melalui tulisan Kiwang dan Arif, yang termuat dalam Jurnal Studi Sosial berjudul Perubahan Sosial Ekonomi Masyarakat Labuan Bajo Akibat Pembangunan Pariwisata sebagai berikut:

Secara sosial kehidupan masyarakat juga berubah seperti nelayan yang tidak lagi bebas untuk melaut dan menangkap ikan di semua zona laut dikarenakan pemberlakukan larangan penangkapan ikan pada zona tertentu, pergeseran kepemilikan dimana banyak lahan-lahan milik penduduk beralih kepemilikan kepada para investor, tergerusnya budaya lokal, dan timbul kejahatan. Anak-anak muda mulai nongkrong dan mabuk-mabukan, mereka mulai mengikuti gaya hidup wisatawan, mulai dari menggunakan bahasa asing sampai berpakaian dan berperilaku seperti wisatawan asing. Muncul juga balapan liar, pencurian termasuk narkoba.

(Kiwang & Arif, 2020)

Meskipun begitu, pembangunan ini juga memberikan kemajuan khususnya pada aspek pelayanan publik. Dengan masifnya pembangunan di sini; rumah sakit didirikan, transportasi lebih nyaman, jalan raya dan sekolah tinggi jurusan pariwisata didirikan. Tetapi, tidak semuanya mampu merasakan dampak positif dari pembangunan. Lalu bagaimana nasib mereka yang tersisih?

Daftar Pustaka

Kiwang, A. S., & Arif, F. M. (2020, November 18). Perubahan Sosial Ekonomi Masyarakat Labuan Bajo Akibat Pembangunan Pariwisata. Jurnal Studi Sosial, 87-97.

Gunawan, A. (2020, September 11). Anggaran Pengembangan KSPN Labuan Bajo Tahun Ini Rp1,3 Triliun. Retrieved from Ekonomi.bisnis.com: https://ekonomi.bisnis.com/read/20200911/45/1290435/anggaran-pengembangan-kspn-labuan-bajo-tahun-ini-rp13-triliun


[1] Setiap peserta diberi peran tertentu kemudian maju atau diam ketika disebutkan narasi pembangunan. Misalnya fasilitator memberikan narasi “Program bantuan UMKM” maka peserta maju satu langkah jika merasa cocok, bermanfaat dan sejalan dengan narasi pembangunan yang disampaikan.

[2] Permainan tangkap ikan adalah permainan memancing menggunakan tali, penjepit kertas dan ikan yang terbuat dari kertas. Peserta dibagi menjadi beberapa kelompok dan mengumpulkan tangkapan dalam beberapa babak. Aturannya, populasi ikan akan bertambah 10% setiap babak. Permainan berhenti setelah beberapa babak dengan hasil akhir ikan lestari, sedikit atau habis. 

Penulis: Rifky P.K.

Editor: Supriadi