Batur Ngawangkong #1: Peningkatan Kapasitas Forum KAWAL di Festival Pare Ketan 2023

Di sesi kedua di hari pertama penyelenggaraan Festival Pare Ketan diisi dengan refleksi dan peningkatan kapasitas anggota Forum KAWAL. Para peserta mendengarkan penjelasan dari fasilitator dan pemateri tentang topik-topik yang relevan dengan agenda perjuangan masyarakat adat kasepuhan dan wilayah ulayat Baduy. Sesi ini dipandu oleh Fauzan Adima dari RMI. Materi pertama penguatan kapasitas mengambil topik Inklusi Sosial yang difasilitasi oleh Tracy Pasaribu dari Kemitraan. Setelah itu dilanjutkan materi kedua dan ketiga namun berhubung fasilitator kedua materi lainnya baru sampai ke lokasi maka akan disampaikan di malam hari. Materi peningkatan kapasitas lainnya adalah Kebijakan Nasional tentang Masyarakat Hukum Adat (MHA) yang difasilitasi Wahidul Halim dari HuMa dan materi Tantangan dan Peluang atas Ruang bagi Masyarakat Hukum Adat oleh Sulaiman Ahmad dari JKPP (Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif). 

Gb 1. Pembukaan Sesi Penguatan Kapasitas Forum KAWAL. Foto: Erik Suhana

Dalam pemaparannya, Tracy mengajak peserta untuk membicarakan kenapa inklusi sosial penting untuk disuarakan dan digaungkan di kalangan masyarakat adat. Didalam inklusi sosial terdapat tiga prinsip utama yaitu (1) Akses terhadap layanan dan SDA; (2) Partisipasi Politik; dan (3) Manfaat dari inklusi sosial. Dengan demikian, inklusi sosial penting untuk diangkat ke permukaan karena selama ini ada beberapa kelompok masyarakat yang terpinggirkan dari proses-proses pengambilan keputusan dan keterlibatan dalam pembangunan. Salah satu kelompok-kelompok yang terpinggirkan itu adalah masyarakat adat bahkan secara umum ada tiga kelompok yang terpinggirkan diantaranya perempuan, anak-anak (termasuk anak muda), dan kaum disabilitas. Oleh karena itu, dengan adanya penerapan inklusi sosial akan memastikan semua orang mendapat kesempatan dan perlakuan yang sama. Dalam beberapa kasus, Tracy mencontohkan bahkan di setiap pertemuan kelompok adat jarang sekali yang melibatkan perempuan dan anak muda. Demikian halnya dengan pola pembangunan di Indonesia yang masih meminggirkan peran-peran perempuan dan anak muda.

Gb 2. Diskusi dan Tukar-Pendapat Anggota Kelompok. Foto: Erik Suhana

Dalam pemaparannya, Tracy juga menyinggung fenomena bonus demografi yang dialami Indonesia hingga tahun 2040. Itu artinya komposisi anak muda Indonesia sekitar 70% dari total populasi. Momentum ini tentu tidak boleh kita lewatkan begitu saja karena peran anak muda lah yang menentukan arah kemajuan Indonesia mendatang. Apa yang anak muda bicarakan saat ini dan apa yang mereka lakukan khususnya di Forum KAWAL ini adalah awal mula perubahan. Berbicara dengan gerakan perubahan di kalangan anak muda dan terkait dengan pengarusutamaan inklusi sosial adalah memastikan ketiga prinsip dalam inklusi sosial dapat terpenuhi. Berbicara tentang akses ialah berbicara tentang bagaimana masyarakat adat terutama kaum perempuan dan anak mudanya mendapatkan akses terhadap layanan dan sumderdaya alam yang setara. Di kesempatan ini Tracy mengingatkan pentingnya membawa kepekaan (awareness) kita terlebih bagi masyarakat adat yang wilayahnya berada di daerah terpencil. Permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat adat terutama kaum perempuan dan anak muda adalah menyangkut akses terhadap sumberdaya alam. Tracy mencontohkan apa yang terjadi di masyarakat adat Nagekeo di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pemerintah daerah di sana ternyata tidak sensitif dan tidak menghitung peran dan akses perempuan terhadap sumberdaya alam. Padahal perempuan memainkan peran yang sangat penting dalam merawat dan memelihara pengetahuan tradisional misalnya dalam pengklasifikasian jenis-jenis tanaman obat dan kegunaannya.

Gb 3. Peserta Mendiskusikan Materi. Foto: Erik Suhana

Prinsip kedua di inklusi sosial adalah partisipasi. Tracy menekankan kenapa dalam inklusi sosial penting untuk melibatkan partisipasi perempuan dan kaum difabel dari setiap agenda pembangunan yang dijalankan. Dengan menempatkan partisipasi, kita memperluas peran dan kesempatan yang setara bagi kaum perempuan dan difabel untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan dan perumusan kebijakan pembangunan. Prinsip iklusi sosial yang ketiga adalah Manfaat. Tracy mengajukan pertanyaan kepada para peserta, “Kalau sudah ada pembangunan apakah semua mendapat manfaat yang sama? Perempuan dan laki-laki. Apakah anak-anak muda diajak terlibat dan berpartisipasi? Maka untuk itulah kita membutuhkan inisiatif untuk bergerak dan memainkan peranannya dalam pengambilan keputusan. Disamping itu, tentunya kita berusaha meningkatkan partisipasi dengan cara mempertajam kepekaan kita. Dan yang lebih penting lagi adalah bahwa kita adalah gerakan akar rumput yang setidaknya sudah mengetahui apa-apa saja permasalahan di tingkatan tapak. Dalam hal ini, Tracy memberi contoh. Misalnya dalam membuat bak mandi. Walau ini terlihat sepele namun posisi amat penting dalam meningkatkan partisipasi dan kepekaan kita. Apakah pembuatan bak mandi tersebut sudah sensitif jender dan peka terhadap kebutuhan perempuan? Jangan-jangan dalam pembuatan bak mandi tidak mengindahkan kebutuhan kaum perempuan. Ada satu contoh menarik yang Tracy singgung di kasus pembuatan bak mandi ini. Desain bak mandi yang ukurannya lebih tinggi membuat ibu-ibu susah untuk mengambil air yang biasanya digunakan untuk mencuci dan membersihkan sayur-sayuran.

Dari hal yang sepele ini Tracy mengajak kita untuk peka dan sensitif terhadap kebutuhan kelompok-kelompok lain yang terabaikan dalam kebijakan dan implementasi pembangunan dan bagaimana pentingnya memperluas kesempatan yang setara bagi kaum perempuan, anak muda, kaum difabel dan orang-orang yang terpinggirkan lainnya untuk didengar dan dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan dan kebijakan pembangunan. Ilustrasi pembuatan bak mandi yang Tracy contohkan adalah gambaran dimana betapa minimnya peran perempuan dan kelompok rentan lainnya dalam proses pengambilan keputusan di ranah kebijakan publik. Dengan demikian, melalui pemahaman kita terhadap inklusi sosial ini maka kita berjuang di arah hulu semisal akses terhadap sekolah dan produksi pengetahuan. Penting untuk mengajak dan melibatkan partisipasi perempuan ke berbagai kegiatan forum yang nantinya akan mempengaruhi pengambilan keputusan dan dari sinilah dimulainya pengkaderan bagi perempuan untuk memainkan perannya di sektor partisipasi politik kewarganegaraan dan kebijakan pembangunan.

Di akhir pemaparannya, Tracy menyinggung sebuah kebiasan dari adat-istiadat kita yang menempatkan urusan perempuan hanya sekadar di wilayah dapur saja. Lalu Tracy menantang peserta dengan melontarkan sebuah pertanyaan tajam tentang masalah ini, “bagaimana mengubah paradigma seperti itu?.” Atas masalah ini, Tracy menunjukkan bahwa persoalan tradisi atau budaya yang tidak pernah ditulis. Padahal kalau digali lebih dalam lagi justru pengetahuan lama dari masyarakat adat malah banyak melibatkan peran perempuan dan penghormatan terhadap posisi perempuan sebagai pengambil keputusan dan sumber-sumber pengetahuan adat. Hal ini telah dibuktikan dari beberapa studi diantaranya penelitian yang dilakukan oleh PEREMPUAN AMAN, tekan Tracy. 

Gb 4. Wahidul Halim – HuMa, Menyampaikan Pemaparan Materinya tentang Advokasi Kebijakan Nasional MHA. Foto: Erik Suhana

Sesi peningkatan kapasitas berikutnya disampaikan oleh Wahidul Halim dari HuMa yang memaparkan materi Advokasi Kebijakan Nasional tentang Masyarakat Hukum Adat (MHA). Dalam penyampaiannya, Halim menjelaskan tentang kedudukan Masyarakat Hukum Adat (selanjutnya ditulis MHA) di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pengakuan eksistensi MHA sebenarnya sudah tertera di konstitusi kita misalnya di Pasal 18B UUD 1945 dan di Pasal 128 UU Pokok Agraria Tahun 1960. Adapun eksistensi MHA dapat dikenali selama MHA memiliki sejarah, tanah ulayat, hutan adat, masyarakatnya, pengetahuannya, kelembagaan adatnya dan eksistensinya diakui oleh masyarakat adat lainnya. Namun demikian, dalam catatan HuMa negara belum melindungi sepenuhnya eksistensi MHA. Misalnya apakah MHA dilibatkan dalam pembuatan UU? Dari indikator ini saja pemerintah belum mengakomodir tuntutan dan kebutuhan MHA.

Berdasarkan pengalaman HuMa ketika pengajuan tuntutan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi atas UU No. 5 tentang Kehutanan Tahun 1999 terhadap persoalan hutan adat. Dalam UU Kehutanan tahun 1999 negara tidak mengakui keberadaan hutan adat dan hutan yang dimiliki oleh MHA diklaim sebagai hutan negara. Oleh karena itu, HuMa bersama MHA dan elemen masyarakat sipil lainnya kemudian memperjuangkan pengadvokasian hutan adat dengan pengajuan tuntutan Judicial Review yang pada akhirnya tuntutan itu dikabulkan Mahkamah Konstitusi dengan menghapus nomenklatur Hutan Negara di hutan adat milik MHA. Dari keberhasilan tuntutan itu maka tugas selanjutnya bagi MHA adalah kemudian bagaimana cara mengadvokasi hak komunal atau hak ulayat agar bisa didaftarkan dan tercatat. Upaya yang dapat dilakukan adalah mengadvokasi Peraturan Menteri (Permen) Kearifan Lokal. Di upaya advokasi ini bagaimana MHA dapat memiliki pemaknaan terhadap hak ulayat mereka seperti mata air, pohon-pohon, tumbuhan, hutan, dan pengetahuan adat terhadap nilai ekologi di wilayah ulayat MHA.

Gb 5. Para Peserta Menyimak Pemaparan dari Pemateri. Foto: Erik Suhana

Disamping itu, dalam hal eksistensi MHA di bidang hak ulayat, HuMa pernah bekerjasama dengan PEREMPUAN AMAN untuk melakukan penelitian tentang hak kolektif perempuan adat di Sulawesi. Dalam hak ulayat adat terdapat hak kolektif perempuan yang proporsinya sangat signifikan terutama pengetahuan MHA terhadap sumber-sumber pangan, tanaman obat dan hutan. Dari kekayaan pengetahuan itulah perlu upaya untuk mengumpulkan dan mendokumentasikan pengetahuan masyarakat adat sebagai hak kolektif mereka—yang selanjutnya didaftarkan sebagai hak kolektif MHA ke Bupati. Sebagai bagian dari eksistensi MHA, hutan adat menempati posisi yang sangat penting bagi pengakuan eksistensi MHA. Namun demikian, menurut Halim tantangannya adalah ketika pasca penetapan hutan adat. Tantangan yang kerapkali ditemui di lapangan adalah pemerintah tidak tahu dimana letak wilayah ulayat MHA berada. Selain itu, tantangan terbesar yang dihadapi MHA adalah berupa tantangan pengakuan bersyarat dari negara. Dalam norma hukumnya seharusnya negara yang mengikuti MHA tetapi yang terjadi menunjukkan sebaliknya—MHA yang mengikuti logika peraturan negara tentang penetapan wilayah ulayat adat. Di sinilah tantangan yang dihadapi oleh MHA meski sudah mendapat pengakuan tetapi logika pengakuannya mengikuti ketentuan negara. Di bagian ini, Abdul Waris selaku perwakilan RMI menambahkan bahwa dalam prosesnya negara yang seharusnya mengembalikan hak pengakuan tersebut ke masyarakat adat bukan malah yang memberi hak pengakuan ke masyarakat adat karena eksistensi MHA sudah lebih dulu ada dan kita kembalikan lagi ke konstitusi negara kita bahwa kedaulatan rakyat (termasuk di dalamnya MHA) sebagai pemegang tertinggi kedaulatan negara dan syarat utama berdirinya sebuah negara.

Di bagian akhir pemaparannya, Halim meluruskan pemahaman tentang perbedaan antara masyarakat adat dan masyarakat hukum adat (MHA). Baginya kedua terminologi ini sebenarnya sama saja dan yang membedakannya adalah terminologi MHA dipakai di dalam UU. Sementara itu, salah satu peserta yang berasal dari Kasepuhan Pasir Eurih mengajukan satu pertanyaan apakah MHA kedudukannya diakui di konstitusi kita? Halim menjawab jika RUU Masyarakat Adat dan RUU MHA itu tergantung dengan siapa yang membacanya. Di konstitusi negara kita sudah jelas tercantum di Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3) UUD 1945, dan Pasal 3 UU Pokok Agraria tahun 1960. Masalahnya hingga saat ini belum disahkannya RUU Masyarakat Adat. Jika RUU tersebut disahkan maka akan mudah bagi kita untuk mengidentifikasikan subyek Masyarakat Hukum Adat. Lamanya proses ketuk palu pengesahan RUU Masyarakat Adat ini disinyalir karena adanya permainan di Prolegnas (Program Legislasi Nasional) di DPR RI. Salah satu Parpol besar yang menguasai kursi di DPR menolak disahkannya RUU ini karena akan menghambat masuknya investasi.

Sesi yang disampaikan oleh Wahidul Halim ini ditutup dengan memberikan masukan kepada peserta dari Kasepuhan Bongkok yang sedang memperjuangkan pengakuan hak hutan adat mereka. Diantara langkah-langkah yang harus dipersiapkan adalah dengan mempersiapkan data-data tentang sejarah, peta wilayah adat, kelembagaan adat, dan profil menyeluruh tentang Kasepuhan Bongkok; membuat legal opinion (pendapat hukum) yang akan dibantu rekan-rekan CSO seperti HuMa; berdiskusi soal kondisi Kasepuhan Bongkok; usaha melobi kepentingan kasepuhan dengan memuat berita acara dan surat resmi ke Pemkab Lebak; bergerak bersama kasepuhan lain dan rekan-rekan CSO; dan terakhir membaca konteks politik kedepan seperti Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Dengan adanya usaha persiapan ini diharapkan akan memudahkan bagi Kasepuhan Bongkok dalam memperoleh pengakuan hak hutan adat dan diakui sebagai subyek MHA secara legal dan politik.

Sesi terakhir penguatan kapasitas disampaikan oleh Sulaiman Ahmad dari JKPP. Sulaiman memberikan pemaparannya tentang Tantangan dan Peluang terhadap Akses Ruang. Bagi Sulaiman penting untuk masyarakat adat kasepuhan membuat pemetaan agar supaya mengetahui ruang hidupnya sendiri. Dalam pengamatan Sulaiman sendiri, permasalahan penataan ruang di Indonesia dapat dirinci sebagai berikut:

  1. Data yang tersedia masih banyak yang bersifat indikatif (misalnya ditetapkan berdasarkan wilayah kawasan hutan, desa, dll).
  2. Proses penataan ruang yang masih bersifat top-down. Penentuan penataan ruang berdasarkan ketetapan pemerintah dan bukan berasal dari masyarakat yang dilibatkan.
  3. Penentuan ruang masih menganut “azas kepentingan” yang lebih mengedepankan kepentingan pemerintah daripada kepentingan masyarakat.
  4. Keterlibatan masyarakat dalam penentuan penataan ruang masih sangat minim.
  5. Belum terintegrasinya data-data peta yang dibuat masyarakat adat (peta partisipatif).
  6. Kebijakan Satu Peta (One Map Policy). Namun data dan informasi pemetaan tidak dilakukan secara partisipatif baik dalam prosesnya maupun hasilnya.

Dari rincian permasalahan penataan ruang ini Sulaiman menunjukkan bahwa data yang membuat pemetaan yang dilakukan pemerintah seringkali tidak tepat dan celakanya dalam kasus-kasus yang terjadi di tingkatan tapak ternyata produk pemetaan yang dibuat negara ini, sesal Sulaiman, “mohon maaf malah jadi acuan kepala desa”, dan maka dari itu di sinilah letak persoalan dari penataan ruang di Indonesia khususnya yang terjadi di wilayah pedesaan—yang notabene banyak ditempati oleh komunitas masyarakat adat sehingga terjadi tumpang tindih lahan dan klaim negara terhadap wilayah ulayat adat masyarakat adat.

Gb 6. Sulaiman Ahmad – JKPP, Menyampaikan Materi tentang Ruang dan Pemetaan Partisipatif. Foto: Erik Suhana

Dari penyampaian materi tentang Tantangan dan Peluang Atas Ruang ini direspon oleh beberapa peserta diantaranya Kang Mursid yang berbagi pengalamannya. Kang Mursid menyatakan bahwa sebelumnya aparat Pemda Lebak tidak mengetahui di Cirompang sudah eksis sebuah kasepuhan yang keberadaannya bahkan jauh sebelum Republik Indonesia berdiri. Di kesempatan ini Kang Mursid juga menyinggung tentang bagaimana masyarakat Kasepuhan Cirompang berjuang untuk mendapatkan pengakuan sebagai Masyarakat Hukum Adat. Salah satu usaha yang dilakukan masyarakat adalah melakukan pemetaan partisipatif yang sudah dimulai di tahun 2009. Namun perjuangan tersebut butuh waktu 10 tahun lama sampai masyarakat mendapat Pengakuan Hutan Adat di tahun 2019. Kemudian Kang Mursid mengingatkan kepada kita semua bahwa betapa pentingnya pengetahuan tentang “ruang” dan kenapa itu penting? Hemat kang Mursid karena ada ruang-ruang yang memang sudah dipetakan namun dalam prosesnya ternyata dilakukan tidak partisipatif atau diketahui oleh masyarakat sejauhmana status ruang kita ini, tutup kang Mursid. Sementara untuk kasus Kasepuhan Bongkok, salah satu perwakilan Kasepuhan Bongkok menceritakan bahwa Kasepuhan Bongkok tidak tercatat dalam lampiran Perda No.8/2015 Kabupaten Lebak tentang Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan masyarakat adat kasepuhan dan jika demikian maka apa yang harus kami lakukan?, gugatnya.  

Gb 7. Pemandu Acara, Fauzan Adima, Menutup Rangkaian Materi Penguatan Kapasitas. Foto: Erik Suhana

Sesi peningkatan kapasitas ini ditutup oleh pemandu acara yang merangkum seluruh materi yang selama seharian penuh telah disampaikan oleh pemateri. Mulai dari materi inklusi sosial, advokasi Masyarakat Hukum Adat dan Peluang dan Tantangan tentang Ruang. Pemandu acara mengajak kepada peserta untuk merumuskan materi-materi yang sudah disampaikan. Materi-materi ini setidaknya dapat menjadi bekal bagi peserta untuk ditindaklanjuti di masing-masing kasepuhan. Disamping itu, pemandu juga meminta para peserta menuliskan kolom kekhawatiran yang dirasakan tentang kondisi masing-masing peserta dan menjadi bahan pembelajaran bersama. 

Ditulis Oleh : Renal Rinoza (Divisi Knownledge Management RMI)

Upaya Mengenali Diri dan Kaitannya dengan Kepemimpinan Pribadi

Lebih mengenal dan memahami diri merupakan suatu tantangan bagi individu yang berkegiatan dengan lembaga maupun komunitas yang bergerak dalam kerja-kerja sosial. Tanpa disadari, upaya untuk lebih mengenali diri tidak jarang tertinggal atau bahkan tersingkirkan di tengah-tengah kerja sosial yang dinamis. Sedangkan proses mengenali diri, di sisi lain, dapat membantu mengatasi kelemahan serta memetakan potensi diri yang kita miliki–untuk kemudian dioptimalkan dalam kerja-kerja bersama di komunitas. 

Penguatan kapasitas, baik secara individual maupun organisasional, menjadi hal yang sangat dibutuhkan oleh ketiga komunitas yang tergabung dalam inisiatif Kampung Katong (Simpasio Institute, Kolektif Videoge, dan Lakoat.Kujawas) karena berkaitan dengan kebutuhan regenerasi dan pendalaman cakupan kerja di dalam internal komunitas mereka sendiri. Selama inisiatif Kampung Katong ini berjalan hingga tahun 2023, kegiatan Pelatihan Kepemimpinan akan dilaksanakan sebanyak tiga kali. Pelatihan akan disampaikan dengan materi-materi pendukung yang berkaitan dengan peningkatan kapasitas kepemimpinan dalam beberapa tingkatan yakni; level pribadi pada Pelatihan Kepemimpinan 1, level penggerak organisasi Pada Pelatihan Kepemimpinan 2, dan level sistemik pada Pelatihan Kepemimpinan 3.

Kali ini kegiatan Pelatihan kepemimpinan 1 diselenggarakan di Larantuka, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Dilaksanakan selama lima hari, Pelatihan Kepemimpinan 1 yang telah ditujukan untuk meningkatkan pemahaman akan diri pribadi secara lebih mendalam dan memahami posisi pribadi dalam gerakan sosial dan meningkatkan semangat kerja kolektif untuk kemajuan komunitas yang selama ini telah menjadi nafas utama dalam aktivitas rutin ketiganya.

Perkenalan dan Refleksi terhadap Kerja di Komunitas

Kegiatan pelatihan dimulai pada tanggal 22 Mei 2022, di mana ketiga komunitas pada akhirnya bertemu kembali setelah sebelumnya melakukan kegiatan Residensi selama satu minggu di Mollo (lokasi Lakoat.Kujawas) pada bulan Maret 2022 lalu. Meskipun  ketiga komunitas yang tergabung dalam inisiatif Kampung Katong berasal dari wilayah yang berbeda-beda, tidak menghalangi pembelajaran yang didapatkan selama prosesnya. Beberapa sesi dalam pelatihan justru disusun untuk mempelajari keberagaman latar belakang sosial-budaya dan saling mengapresiasi kerja-kerja komunitas–termasuk pembelajaran yang diperoleh sejauh ini.

Beragam kisah, budaya, dan pengalaman dituangkan oleh setiap peserta pelatihan melalui metode perkenalan di hari pertama. Penggunaan metode “Kita pung box” atau dalam bahasa Indonesia berarti “Kotak Kepunyaan Saya” menjadi media perkenalan peserta yang sangat menarik. Dimulai dengan memberikan hiasan menggunakan spidol, krayon, potongan koran dan majalah bekas, hingga menggunakan bunga serta dedaunan yang ada di sekitar Biara Susteran PRR Weri yang menjadi lokasi dilaksanakannya pelatihan. 

Setelah memperindah box yang sudah disediakan, semua peserta mempresentasikan hasil karya mereka seraya memperkenalkan diri dengan cara yang unik dan kreatif. Marto salah seorang peserta pelatihan dari komunitas Teater SiapaKita Labuan Bajo (salah satu jejaring Kolektif Videoge) menceritakan bahwa proses pengenalan dirinya relevan dengan unfolding theory (salah satu metode pembawaan alur cerita dalam teater/drama). Dia berkata bahwa pada saat membuka satu lapisan dalam diri, pasti tidak akan langsung terbuka karena akan ada lapisan-lapisan lain setelahnya. Selain memperkenalkan diri kepada peserta lain, adapun peserta pelatihan yang membagi kisah hidup yang dialami hingga ia bisa bertahan sampai hari ini. 

Refleksi yang dilakukan selama proses pembuatan “Kita pung box” menjadi pembelajaran tersendiri, selain dapat dijadikan proses pengenalan diri bagi peserta pelatihan. Aden dari Kolektif Videoge memaparkan bahwa pembelajaran yang diterima melalui penggunaan metode “Kita pung box” dapat memunculkan pemikiran, informasi, dan perasaan yang mungkin selama ini hanya dipendam dalam diri sendiri. Mengenali kelebihan diri dan mempersiapkan masa depan. Hal itu pula yang nantinya akan sangat berdampak pada kerja-kerja di komunitas: dengan lebih memahami diri sendiri dan makin munculnya keterbukaan di antara anggota komunitas pastinya akan memudahkan apa yang sedang diusahakan.

Proses Pengenalan Diri dan Kepemimpinan Pribadi (Stereotip dan Bias Implisit)

Dalam menjalani proses pengenalan diri, perlu adanya alat bantu yang digunakan untuk mendalami diri dan merefleksikan segala hal yang telah maupun telah dilalui. Salah satu alat bantu yang digunakan di sini yaitu mengenal kepribadian melalui tes Myers-Briggs Type Indicator (MBTI). 

Untuk mengikuti tes MBTI ini, setiap peserta diminta untuk memberikan nilai pada pernyataan yang telah disediakan sebelumnya. Melalui pernyataan tersebut akan menghasilkan beberapa indikator tipe kepribadian yang diantaranya berisi Ekstrovert/Introvert, Intuitive/Sensing, Feeling/Thinking, dan Perceiving/Judging.

Walaupun hasil dari tes MBTI belum tentu akurat, tes MBTI ini dapat menjadi salah satu jalan pembuka untuk mengidentifikasi potensi dan mengenal diri lebih dalam. Menanggapi hasil tesnya,  Retha dari SimpaSio Institut berpendapat bahwa banyak tips yang perlu dipahami terlebih dahulu dan jangan langsung diterima begitu saja. Dari penjelasan MBTI, ada penjelasan mengenai kelebihan dan kekurangan diri serta bagaimana memperbaikinya. Namun menurutnya kepribadian tidak akan berhenti di satu titik. Pembelajaran yang telah dilalui selama ini dapat mempengaruhi kepribadian kita kedepannya. 

Lain halnya dengan pendapat yang dipaparkan oleh Ari dari Lakoat.Kujawas. Ia memberikan tanggapan bahwa setelah melihat tips yang diberikan melalui modul, masing-masing individu semakin sadar dan mengetahui potensi serta batasan-batasan yang mungkin ada dalam diri. Melalui tes kepribadian yang telah dilakukan, hasilnya cukup merepresentasikan kepribadian dan apa yang dirasakan setiap anggota komunitas.

Selanjutnya, upaya untuk lebih memahami dan melihat potensi diri di dalam komunitas terkonfirmasi melalui diskusi yang dilakukan bersama dengan anggota komunitas masing-masing. Banyak pembicaraan menarik yang disampaikan oleh tiap-tiap komunitas. Di dalam kelompok, mereka saling bergantian memberikan masukan berdasarkan contoh sehari-hari serta mengkonfirmasi penjelasan dan tips yang dituliskan di dalam modul MBTI. 

Untuk dapat memimpin sesuatu, kita perlu menjadi pemimpin untuk diri kita sendiri. Oleh karenanya selain mengenali diri sendiri, seorang pemimpin hendaknya mampu memahami realita sosial dan tantangan-tantangan yang hadir dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu tantangan tersebut mewujud ke dalam stereotip dan bias implisit yang terbentuk sedari dulu di tengah-tengah masyarakat. Dalam pelatihan kali ini, disinggung pula bagaimana stereotip dan bias implisit telah disematkan kepada seseorang sejak masih berada di usia dini, hingga berkembang ketika dewasa. Melalui teori interseksionalitas, diskriminasi beserta keistimewaan pada ras tertentu, jenis kelamin, agama, gender, usia, etnis, atau karakteristik lainnya. 

Selama kegiatan berlangsung, semua peserta saling memberikan pendapat terkait stereotip yang terjadi disekitar mereka maupun yang mereka rasakan sendiri. Ari dari Lakoat.Kujawas mengungkapkan bahwa ia sempat beranggapan bahwa semua idol yang berasal dari Korea Selatan pasti melakukan operasi plastik. Namun operasi plastik yang marak dilakukan oleh idol-idol Korea kebanyakan datang dari wilayah luar yang pada akhirnya mempengaruhi standar kecantikan di negara tersebut. Ditambah lagi dengan pemasukan Korea Selatan yang lebih banyak datang dari bidang hiburan yang menambah penggunaan jasa operasi plastik. Melalui diskusi yang telah dilakukan mengenai stereotip dan bias implisit, seluruh peserta akan mengonfirmasikan beberapa hal secara langsung dengan turun ke lapangan dan melakukan observasi sosial.

Sementara Eda dari SimpaSio Institut menceritakan tentang stereotip yang diperlihatkan kepada masyarakat di Indonesia timur. Pelabelan tersebut dapat dilihat melalui film-film yang sempat beredar. Banyak film-film tentang masyarakat Indonesia timur yang hanya menggambarkan potret-potret kemiskinannya saja. Eda melanjutkan bahwa sistem pendidikan yang terlalu Jawa sentris pada akhirnya berdampak pada masyarakat di timur yang kurang memahami konteks kesejarahan yang ada di tempat masing-masing. Akibat dari pelabelan atau stereotyping yang terjadi akan berpengaruh pada cara membangun relasi dengan komunitas lain.

Melihat dan Mempelajari Keadaan Sekitar dengan Observasi Sosial

Setelah mengikuti materi tentang kepemimpinan pribadi yang berkaitan dengan stereotip dan bias implisit, seluruh peserta melanjutkan kegiatan dengan mengikuti observasi sosial yang tersebar di lima titik. Secara berkelompok, ada peserta yang melakukan observasi sosial di Pelabuhan Larantuka, Pelabuhan Tradisional (masyarakat Melayu pesisir), menyambangi kelompok tenun Waibalun (Lamaholot), mengobservasi keadaan Pasar Inpres, dan mengunjungi komunitas transpuan yang ada di Lebao. 

Semua peserta pelatihan yang mengikuti observasi sosial saling bertukar pembelajaran tentang apa yang berbeda dari tempat asal mereka dan bekerja sama untuk mendapatkan informasi yang nantinya akan dipresentasikan kepada peserta lainnya. 

 Dokumentasi oleh Toni (Lakoat.Kujawas)

Citra dari Kolektif Videoge, yang merupakan anggota kelompok yang melakukan observasi di Pasar Inpres Larantuka, bercerita tentang apa yang ia lihat dan pelajari selama melakukan observasi. Ia bercerita bahwa pasar tersebut identik dengan payung berwarna-warni dan di dalamnya tersimpan beberapa hal yang cukup menarik. Adapun perbedaan antara pasar yang ada di tempat asalnya (Labuan Bajo) dengan Pasar Inpres yang ada di Larantuka yaitu komoditas yang diperjualbelikan di Pasar Inpres terasa lebih beragam: mulai dari batang kecombrang yang ditanam oleh orang-orang Adonara, kerajinan tangan dari daun lontar, hingga kue-kue pasar yang menambah kemeriahan suasana Pasar Inpres. Selain itu, kebanyakan penjual yang ada di Pasar Inpres Larantuka adalah perempuan. Walaupun ada laki-laki yang ikut berjualan, jumlahnya tidak lebih banyak dari jumlah perempuan menggelar lapak di sepanjang Pasar Inpres.

Dokumentasi oleh Marto (Kolektif Videoge)

Selain mencari tahu apa-apa saja yang sekiranya berbeda dengan tempat asal, ada pula pembelajaran baru yang didapat oleh peserta setelah melakukan observasi. Salah satu kelompok observasi yang berkunjung ke Lebao, tempat Komunitas Ikwal (Ikatan Waria Larantuka) transpuan berada, diajak untuk mendiskusikan stereotip yang disematkan kepada transgender. Mereka berbincang tentang banyak hal mulai dari sejarah terbentuknya Komunitas Ikwal, perubahan tren pilihan pekerjaan kelompok transpuan di Larantuka, stigma dan stereotip masyarakat mengenai transpuan itu sendiri, hingga bagaimana pada akhirnya sebutan “oncu” atau dalam bahasa Indonesia memiliki arti “anak bungsu” digunakan oleh komunitas transpuan di Larantuka. 

Refleksi Kemiskinan Struktural dan Kerja Sama Kelompok

Pembelajaran tidak hanya berhenti di kegiatan observasi sosial. Setelah melakukan observasi sosial, semua peserta pelatihan diajak untuk memahami suatu kondisi sosial yang terjadi di tengah-tengah mereka dengan menggunakan metode permainan “Minta Dong” untuk lebih memahami mengenai persoalan kemiskinan struktural. Sebelum memulai permainan, fasilitator meminta persetujuan dari seluruh peserta yang ingin mengikuti permainan. Setelah mengukuhkan komitmen, mereka yang setuju ikut bermain tidak boleh keluar dari permainan dan diharuskan menerima konsekuensi apabila kalah dalam permainan. Namun untuk peserta yang tidak ingin bermain maka akan menjadi observer selama permainan berlangsung.

Sesi pertama pun dimulai, seluruh peserta diminta untuk mengambil 8 dari 4 jenis biji-bijian berbeda, yang telah disiapkan dan melakukan barter dengan peserta lain sambil menyebutkan kata “Minta dong!”. Namun selama ronde awal dimulai, seluruh peserta yang tengah melakukan barter belum diberitahu bahwa biji-bijian tersebut memiliki nilai yang berbeda antara satu dan lainnya. Permainan ini terbagi kedalam beberapa ronde untuk melakukan barter. Setiap berakhirnya ronde barter, poin dari tiap-tiap biji dihitung dan dijumlahkan. Barulah kemudian dilihat siapa yang mendapatkan poin paling rendah pada ronde tersebut. 

Setelah melalui ronde ketiga, barulah fasilitator menyampaikan bahwa setiap biji-bijian memiliki nilainya masing-masing. Setelah mengetahui bahwa ada perbedaan nilai, peserta yang mengikuti permainan mulai mencari cara untuk mendapatkan nilai tertinggi agar tidak kalah dalam permainan dan mendapatkan sanksi. Setelah permainan memasuki ronde terakhir, ada sedikit perubahan dalam cara bermain para peserta. Mereka yang sebelumnya saling berlomba untuk mendapatkan nilai tertinggi, mulai membagi rata nilai biji-bijian kepada seluruh peserta.

Diskusi dan refleksi kemudian dilakukan seselesainya permainan ini. Terkait dengan cara pandang melihat orang-orang yang dilabeli “kalah dalam permainan” serta kerja sama untuk membantu sesama peserta yang memiliki nilai paling rendah untuk menghindari kesenjangan. Adanya kecenderungan dari peserta dengan nilai yang tinggi untuk mempertahankan atau bahkan meningkatkan jumlah biji-bijiannya, meminta dari peserta lain yang kekurangan biji-bijian, juga menghindar ketika diminta barter. Salah satu refleksi utama dari permainan ini adalah bagaimana orang-orang yang kalah dalam permainan ini (si miskin) bukan karena tidak mau berusaha, melainkan karena adanya orang-orang yang “menang” (si kaya) yang terus menjalankan sistem sosial-ekonomi yang melanggengkan kondisi ini.

Penguatan Komitmen Peserta untuk Kerja-Kerja Bersama di Komunitas

Rangkaian kegiatan Pelatihan Kepemimpinan 1 diakhiri dengan melakukan penguatan komitmen dari seluruh peserta yang dilakukan di Pantai Asam Satu. Sebelum berangkat ke pantai, seluruh peserta diminta untuk menuliskan harapan dan komitmen berkaitan dengan komunitas mereka masing-masing. Setelah sampai di pantai, peserta yang mendapatkan giliran untuk membacakan harapan dan komitmen dikelilingi oleh peserta lain dengan memegang pundak atau kepala peserta sembari membacakan tulisan yang telah disiapkan sebelumnya. Setelah selesai membacakan komitmen serta harapan, peserta diminta untuk berlari ke arah pantai dan melompat ke dalam air sebagai simbol penguatan komitmen yang sebelumnya sudah mereka buat.

Setelah Pelatihan Kepemimpinan 1 selesai diselenggarakan, diharapkan seluruh peserta yang juga tergabung ke dalam inisiatif Kampung Katong ini mendapatkan pembelajaran terkait pengenalan diri dan kepemimpinan pribadi yang nantinya akan sangat dibutuhkan untuk menjaga semangat kerja kolektif yang tengah diusahakan oleh ketiga komunitas. Sampai bertemu di Pelatihan Kepemimpinan selanjutnya!

Penulis: Dinah Ridadiyanah

Editor: Supriadi

Pengembangan Sumber Daya Manusia melalui kopi

Pohon kopi merupakan salah satu tanaman yang paling sering ditemui di dalam kebun masyarakat Lebak, Banten, tak terkecuali di komunitas Masyarakat Adat Kasepuhan Cibarani. Terlepas dari berapa banyak kapasitas yang dimiliki, setiap unit keluarga hampir dipastikan memiliki tanaman kopi di kebunnya. Lebih luas lagi, keberadaan tanaman kopi terhampar di ekosistem Gunung Halimun-Salak. Kopi juga telah lama dimanfaatkan masyarakat Kasepuhan, baik untuk pemenuhan kebutuhan sendiri maupun sebagai produk komoditas yang dijual ke pasar-pasar lokal.

Hasil survey sosial-ekonomi (RMI tahun 2018) menunjukan bahwa komuditas kopi bukan termasuk dalam komoditas produktif yang utama. Dengan kata lain, kopi belum tergolong sebagai komoditas yang dikelola secara optimal, terlepas dari tujuannya kopi untuk pemenuhan sendiri atau dijual ke pasar. Petani kopi di komunitas ini seolah berada di kutub yang lain, ketika melihat fakta dalam skala yang lebih luas bahwa Indonesia tergolong dalam ketiga terbesar dunia sebagai produsen kopi.

Atas dasar itu, RMI dengan dukungan Indigenous Peoples and Local Community Conserved Areas and Territory (ICCA’s) melaksanakan Pelatihan Proses Panen dan Pasca Panen Kopi di Kasepuhan Cibarani, Desa Cibarani, Kecamatan Cirinten, Lebak, Banten, pada 31 April-2 Mei 2022. Pelatihan ini diikuti oleh empat orang perempuan dan 16 orang laki-laki.

Dari cangkir kopi belajar merasa dan menghargai kopi

Dilihat dari kesejarahannya, dari dulu hingga sekarang wujud biji kopi yang kita kenal begitu adanya. Lalu, perlahan dihantar pada dua jenis yang umum dijumpai di Indonesia, robusta dan arabika. Cara sederhana membedakan kedua jenis itu adalah dengan cara membaui aroma dan menyeruputnya. Robusta cenderung pahit, sementara arabika agak keasam-asaman. Agar dapat lebih mudah mengenali perbedaannya, Aswin Mahu, narasumber pelatihan kopi, menyeduh beberapa cangkir kopi untuk dicicipi para peserta.

Sedari awal memang disiapkan beberapa jenis biji kopi dari berbagai daerah seperti Gayo Aceh, NTT, Mandailing, Solok dan juga Ciwaluh.  Tak lupa juga ada kopi Cibarani yang menjadi sampel untuk belajar mengenali dari cita rasa dan aroma. Di sini, semua peserta diminta untuk mengadili dan berkomentar menurut pengalaman masing-masing pasca membaui dan menyesap sesendok kopi. Kerangkanya jelas untuk mencari tahu pada cangkir yang mana melaui indra perasa, hatinya terpikat.

Setelah menyesap kopi, peserta diminta berbagi cerita pengalaman tentang proses mengolah kopi. Ang Sunarya salah satu peserta bercerita, secara umum pengolahan kopi di Cibarani masih dengan cara tradisional. Ketika musim panen misalnya, untuk mengetahui sudah bisa dipanen atau belum, dengan cara disesap buah berinya. Menurutnya kalau sudah agak lunak dan agak manis berarti kopi sudah bisa dipanen. Lalu, petani memetik secara keseluruhan satu turus dahan kopi, alhasil buah biji kopi yang sudah matang dan masih mentah semuanya terpanen. Kondisi ini juga didasarkan pada batang kopi yang menjulang tinggi, sehingga jika yang dipetik yang merah saja, membuat petani berpikir dua kali untuk memetik sisa buah lainnya.

Narasumber mulai menjelaskan tentang proses panen kopi yang baik dan benar. Misalnya terkait masa panen kopi yang durasinya bisa sampai tiga bulan dan dilakukan pemetikan selama tiga kali. Hal ini dimaksudkan untuk belajar menghargai kopi pada level petani, sebelum kopi tersebut dihargai oleh pembeli/pasar.

Lebih lanjut, ia mengajukan pertanyaan paling dasar, kenapa harga kopi bisa berbeda-beda. Meskipun banyak faktor yang bisa mendongkrak harga kopi, sebut saja ketinggian dan varietas. Salah satu penentunya dilihat dari proses pengolahan pasca panen, dalam hal ini semestinya yang pertama mendapat perhatian adalah manusianya.

Kopi berkualitas dihasilkan dari Manusia berkualitas

Tak terelakan lagi jika sumber daya manusia yang berkualitas menjadi penentu utama atas produk-produk yang dihasilkan. Untuk itu, kerangka pelatihan ini bertujuan dalam pengembangan manusia. Kopi sebagai medium untuk menghantar pada pemahaman-pemahaman mendasar yang berhubungan dengan peningkatan kualitas dan kuantias hasil yang diproduksinya. Lebih jauh, harapnya dari sini masyarakat terpantik memiliki jiwa usaha melalui hasil hutan, meningkatkan pendapatan yang berujung pada kesejahteraan suatu komunitas. Mengingat modal komunitas sangat kuat dengan dukungan manufaktur seperti akses pada mesin-mesin pendukung dalam pengolahan kopi.

Kritiknya selalu berkutat pada keterbatasan manusianya dalam memanfaatkan alat-alat yang ada. Pelatihan model ini secara tidak langsung berkontribusi pada peningkatan kapasitas manusia yang mengurus bagian hulunya. Karenanya, prinsip dasar berhasil baiknya suatu komoditas tidak dapat dipisahkan dengan cara manusianya dalam memperlakukan dan atau mengolahnya.

Dalam konteks pengelolaan Hutan Adat dan Arean Konservasi Kelola Masyarakat, selain tanaman kopi dapat dimanfaatkan buahnya, sekaligus berfungsi baik sebagai resapan air. Selain tanaman kopi mensyaratkan adanya pohon penaung (diversity) di sekitarnya. Lebih jauh lagi, komunitas kasepuhan yang diberi kepercayaan dalam mengelola wilayahnya dapat menunjukkan cara kerja nyata dalam menjaga keseimbangan antara konservasi dan produksi. Terlebih ada dorongan dikelola secara kelompok dengan sistem kerja yang disepakati bersama.

Penulis: Abdul Waris

Editor: Siti Marfu’ah

Sekolah Kaki Gunung (SKG) Bekal Generasi Muda dalam Merespon Persoalan Sosial, Lingkungan, dan Agraria

Keterhubungan masyarakat, khususnya masyarakat di pedesaan dengan pengelolaan kekayaan alam dan pembangunan yang tidak menggambarkan keadilan, menjadi faktor ketimpangan serta krisis sosial-ekologis yang terjadi di tengah-tengah kita. Bagaimana pengelolaan sumber-sumber kekayaan alam hanya dikelola oleh segelintir orang saja, hingga dinamika kebijakan yang berdampak pada krisis lingkungan yang pada akhirnya berpengaruh pada ruang hidup dan kesejahteraan masyarakat.  Masyarakat yang tinggal di …

Kembali Belajar Pemetaan Sosial-Spasial, Upaya Lebih Mengenal Ruang Hidup dan Penghidupan

Berangkat dari kesadaran bahwa perjuangan mendapatkan hak dan pengakuan bukanlah tujuan akhir, maka dibutuhkan proses-proses pengorganisasian yang dapat mendukung langkah-langkah selanjutnya. Pengakuan Hutan Adat merupakan ‘penghantar’ menuju perjuangan yang lebih besar, salah satu tujuannya menciptakan prinsip pemerataan akses, berkeadilan serta mencapai kesejahteraan lahir-batin. 

Dalam konteks pengakuan Hutan Adat Kasepuhan Cibarani, SK Hutan Adat yang diterima pada awal tahun 2021, belum menyentuh pada prinsip-prinsip berkeadilan di internal masyarakat adat Kasepuhan Cibarani. Pasalnya, belum ada perubahan struktur yang berarti dalam penguasaan dan pengelolaan, dengan kata lain masih melanjutkan warisan tata kelola semasa masih dikuasai Perum Perhutani. Sehingga belum lah jelas ‘kemana arah’ Hutan Adat Kasepuhan Cibarani. Lebih lanjut belum layak dinilai sejauh mana Hak Hutan Adat berkontribusi pada perbaikan penghidupan dan kehidupan anggota komunitas. Terlebih kepada golongan lemah yang tidak dan/atau terbatas dalam menjangkau akses atas sumber-sumber penghidupan berbasis tanah dan hutan. 

Di lain sisi, kelembagaan Adat membutuhan baseline data yang dapat menjadi acuan dasar dalam perencanaan, pengelolaan, pengambilan keputusan dan kebijakan pada tingkat komunitas. Yang selanjutnya dapat terealisasi di internal komunitas dalam melakukan upaya-upaya pembenahan ke arah yang lebih baik.

Ruang belajar Lintas Generasi 

Sebagai upaya meningkatkan kapasitas komunitas, terutama kelompok perempuan dan pemuda, dalam sepekan diadakan Pelatihan Pemetaan Sosial-spasial Wilayah Adat. Kerangkanya adalah sebagai tahap lanjutan dari proses pengaturan dan pengelolaan serta keadilan di internal masyarakat Cibarani. Pada kesempatan ini, mengundang juga peserta muda dari beberapa Kasepuhan seperti Kasepuhan Pasir Eurih, Cirompang dan Cibeas.  Harapannya dapat saling berbagi pengetahuan dan pengalaman dalam proses pengelolaan Hutan Adat. Mengingat Kasepuhan Pasir Eurih dan Kasepuhan Cirompang Hutan Adatnya juga telah ditetapkan. 

Pelatihan berlangsung selama 5 hari, yaitu pada 25-29 Januari 2022, bertempat di Imah Gede Kasepuhan Cibarani. Peserta yang terlibat dalam pelatihan ini sebanyak 20 orang yang terdiri dari 9 perempuan, 5 pemuda, 3 Perangkat Desa dan 3 baris kolot. Pelibatan para tetua dipandang lebih memberi warna dalam berbagi pengalaman. 

Materi-materi yang disampaikan pada kegiatan ini berkaitan dengan sejarah pengakuan Hutan Adat, makna Hutan Adat bagi komunitas, ancaman serta kerentanan yang menyertainya. Materi tersebut sebagai pengantar untuk diskusi-diskusi ke depannya mengenai pentingnya melakukan pemetaan sosial-spasial.

Imam Mas’ud (Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif/JKPP) sebagai narasumber membuka diskusi dengan membagikan kertas meta plan kepada para peserta untuk menuliskan “Apa makna Hutan Adat dan/atau Wilayah Adat”?.  Sebagian besar peserta menuliskan bagi mereka Hutan Adat adalah sumber kehidupan dan penghidupan. Alasan itu juga yang disampaikan kenapa penting menjaga dan memelihara kampung, tempat di mana mereka dillahirkan dan dibesarkan. Lebih jauh bagaimana mengenali dan mengelola potensi-potensi yang ada, karena masyarakat lah yang lebih tahu tentang kondisi ruang hidupnya sendiri. Didukung dengan pengalaman dan pengetahuan yang diwariskan secara turun-temurun. Untuk itu, wilayah adat dikelola oleh masyarakat suatu keniscayaan. Masyarakat tidak bisa menitipkan nasibnya kepada orang lain, melainkan masyarakat sendiri yang mampu merencanakan serta mengelola Hutan Adatnya berbasis pada pengetahuan dan pengalaman sendiri.

Di waktu yang sama, peserta juga belajar mengenai strategi mata pencaharian (livelihood), mengenal kampung/adat, analisis kelembagaan Adat/Desa dan pengenalan Gender dan PSDA. Untuk pengenalan Gender dan PSDA lebih fokus pada alokasi waktu kerja dan ruang jelajah laki-laki dan perempuan, utamanya dalam kerangka subsitensi yang bersumber dari alam.  

Pada saat yang sama, kami juga melakukan pemetaan spasial wilayah adat dengan menggunakan drone. Hasil tangkapan drone kembali didiskusikan bersama masyarakat kasepuhan untuk mengidentifikasi pembagian ruang menurut pengetahuan lokal. Langkah ini guna mempertegas ruang berikut asal-usul penamaan dan kesejarahannya. Khusus untuk lahan garapan dalam rencana tindak lanjut akan dilakukan pemetaan persil secara partisipatif dan rencana pemanfaatannya. Selain itu akan dilakukan juga identifikasi pangan liar berbasis gender dan keanekaragaman hayatinya.

Kolaborasi Antar Generasi Muda Kasepuhan

Belajar dari beberapa komunitas di Kabupaten Lebak yang sudah ditetapkan Hutan Adatnya, masih minim adanya pelibatan kelompok perempuan dan pemuda dalam perencanaan, pengelolaan dan pengambilan keputusan di level komunitas. Di konteks Cibarani, kecenderungan para pemuda lebih memilih mencari nafkah di kota ketimbang mengelola lahan di tanah tumpah darah. Hal ini menunjukan bahwa kepastian hak bukan semata sebagai penjamin terutama bagi kelompok perempuan dan generasi muda dapat memanfaatkan potensi dari sumber-sumber kekayaan alam lingkungannya.

Pasca pelatihan ini, harapannya generasi muda lebih peka untuk melibatkan diri dalam proses-proses pengelolaan Hutan Adat. Berbekal asupan pengetahuan pemetaan sosial-spasial tentunya lebih bisa mengukur sejauh mana agenda perencanaan dapat berkontribusi pada gerakan kaum muda dan kedaulatan atas ruang adatnya. Pun satu hal yang pasti generasi muda adalah tonggak pelanjut atas identitas komunitas.

Penulis: Abdul Waris

Editor: Siti Marfu’ah

Kampung Katong dan Semangat Dekolonisasi Tiga Komunitas Di Nusa Tenggara Timur

Seiring dengan menguatnya tantangan sosial dan lingkungan yang muncul beberapa dekade terakhir di Indonesia, makin menguat pula pertumbuhan gerakan sosial berbasis masyarakat yang hadir untuk merespons tantangan-tantangan tersebut. Dengan mengedepankan semangat dekolonisasi, baik disadari maupun tidak, gerakan-gerakan ini utamanya hadir dengan tujuan mereposisi pengetahuan lokal sebagai pusat dari identitas generasi muda dan komunitasnya—sebagai reaksi atas konteks dan permasalahan yang dihadapi di wilayahnya masing-masing.

Gerakan sosial itu sendiri umumnya aktif bergerak dalam skala kecil (level komunitas) yang diantaranya bertujuan untuk mereproduksi pengetahuan kritis dan kontekstual, berbasis sukarela dan dipimpin oleh anak muda setempat, serta memanfaatkan media kreatif untuk menarik partisipasi lebih luas dari anggota masyarakat di sekitarnya. Namun agenda untuk memperluas dampak gerakan sosial tersebut, dalam praktiknya, seringkali terbentur oleh keterbatasan sumber daya dan kemampuan manajerial yang mereka miliki.

Inisiatif Kampung Katong

Penguatan gerakan secara sosial-organisasional oleh karenanya menjadi penting mengingat tren global yang memobilisasi sumber daya langsung ke dalam komunitas berpotensi mengancam keguyuban di dalam komunitas itu sendiri. Merefleksikan hal tersebut di atas, di samping pengalaman melakukan kerja kolaborasi bersama komunitas adat dalam inisiatif Being and Becoming Indigenous di tahun 2020-2021 lalu; RMI bersama dengan Lakoat Kujawas, SimpaSio Institute, dan Kolektif Videoge bekerja sama dalam satu konsorsium untuk mengimplementasikan inisiatif Kampung Katong.

Nama Kampung Katong,  secara harfiah berarti Kampung Kami, berasal dari dialek Nusa Tenggara Timur yaitu “kami pung manekat, papada, kampong tangayang berarti semangat kerja bersama untuk membangun kampung. Dengan dekolonisasi sebagai semangat utama, inisiatif ini berupaya mendukung gagasan berbasis komunitas yang berfokus pada orang muda guna memperkuat identitas dan mengelola potensi lokal mereka secara kolektif. Kampung Katong dalam pelaksanaannya juga berusaha memperkokoh kapasitas kepemimpinan orang muda yang akan berimplikasi positif pada kegiatan-kegiatan lokal yang bersifat komunal, dengan mengedepankan partisipasi bermakna dari para pemegang hak (rightsholder) yaitu Masyarakat Adat Mollo; Suku Bugis, Bima, dan Bajo; serta etnis Melayu-Larantuka sehingga mereka dapat mendapatkan dukungan dari berbagai pihak.

RMI berkolaborasi dengan tiga komunitas lokal di Nusa Tenggara Timur yaitu Kolektif Videoge di Labuan Bajo, Lakoat.Kujawas di Mollo, dan Simpasio Institute di Larantuka; inisiatif ini diproyeksikan sebagai studi kasus bagaimana revitalisasi tradisi, perlindungan ekologi, serta pengelolaan sumber daya yang menopang penghidupan berkelanjutan sejatinya dapat berjalan beriringan.  Selain itu hadirnya ruang belajar bersama dan solidaritas antarkomunitas difasilitasi melalui rangkaian kegiatan seperti residensi lintas pembelajaran serta pengarsipan dan pendokumentasian tradisi lokal.

Kick-off Meeting untuk saling mengenal dan meningkatkan kapasitas kolaborator

Pada 19-24 November 2021, inisiatif Kampung Katong mengadakan pertemuan pertama kalinya secara luring di Bogor, Jawa Barat. Ini adalah kegiatan paling pertama yang menandakan dimulainya inisiatif Kampung Katong, sekaligus peluang untuk mensosialisasikan informasi dan menetapkan kesepakatan bersama yang berlaku selama berlangsungnya inisiatif. Pertemuan awal ini juga menjadi sarana untuk mendiskusikan strategi-strategi yang berkontribusi terhadap pencapaian tujuan inisiatif seperti mendorong partisipasi bermakna perempuan dan anak muda dalam inisiatif lokal dan memetakan potensi lokal.

Perwakilan Kolektif Videoge sedang mepresentasikan hasil analisis SWOT komunitas mereka.

Dengan dua perwakilan dari masing-masing komunitas, pertemuan ini dimulai dengan pekenalan dan saling berbagi pengalaman kerja-kerja di komunitas Kolektif Videoge aktif melakukan kegiatan komunitas di Labuan Bajo dengan telusur (riset) yang dilakukan oleh komunitas, kemudian dilanjutkan dengan rekam (proses produksi) melalui pencatatan dan penciptaan karya, kemudian penyaluran karya. Empat program utamanya adalah Sapa Tetangga Hari Ini, kegiatan berkala untuk mencermati apa yang terjadi di lingkungan sekitar; Buka Layar, penyaluran karya yang dibuat oleh pemuda untuk membaca respon masyarakat dengan film; Pesiar: Satu Hari Untuk Pulau yaitu kegiatan pelesir untuk merespon pemahaman masyarakat sekitar terkait dengan pengetahuan lokal; dan yang terakhir adalah Maigezine wadah untuk menyalurkan karya-karya yang dibuat oleh komunitas.

Kemudian Simpasio Institute yang merupakan lembaga arsip yang embrionya sudah ada sejak tahun 1986 dan telah menjadi lembaga untuk umum pada tahun 2016. Lembaga ini memiliki tujuan untuk mengarsipkan pengetahuan lokal Melayu-Larantuka di wilayah Flores Timur. Beberapa kegiatan Simpasio diantaranya program perpustakaan (taman baca) berupa lapak baca dengan mekanisme plesiran dari kampung ke kampung; dongeng lokal menggunakan dua bahasa; pesta anak untuk merayakan hari anak nasional, untuk memperkenalkan permainan-permainan tradisional; lingkar belajar, mengenai sejarah Larantuka; Muko Sorghum Kitchen, yang menjadi sumber pemasukan bagi komunitas; dan jejak musik di Larantuka sebagai upaya kaum muda untuk mempelajari genre musik Keroncong Melayu Larantuka.

Perwakilan Simpasio Institute sedang mepresentasikan hasil analisis SWOT komunitas mereka.

Sedangkan untuk Lakoat.Kujawas, dijelaskan bahwa nama komunitasnya merupakan nama yang identik dengan anak-anak, karena kebanyakan anak-anak yang sering memanjat pohon Lakoat dan Kujawas. Program utama Lakoat.Kujawas diantaranya adalah Skol Tamolok yaitu sekolah budaya yang dilakukan secara online dan juga offline untuk membahas keterkaitan Masyarakat Adat  dengan alam; Mnahat Fe’u atau kelas menulis kreatif yang dibuat untuk membimbing anak tingkat SMP/sederajat dan SMA/sederajat untuk menggali dongen-dongen yang biasa diceritakan, kemudian cerita tersebut dibukukan; serta kelas menenun yang dibuat untuk anak muda yang memiliki ketertarikan belajar menenun kepada orang tua Mollo secara langsung.

Perwakilan Lakoat.Kujawas sedang mepresentasikan hasil analisis SWOT komunitas mereka.

Enam hari pelaksanaan kegiatan kick off meeting ini pada dasarnya diarahkan sebagai satu proses dua arah. Tidak hanya berupaya mengenalkan organisasi anggota konsorsium dengan inisiatif Kampung Katong beserta persoalan teknis-administrasinya, Kick off meeting ini juga menjadi media RMI dan tiga anggota konsorsium lainnya untuk saling memetakan kondisi saat ini dan asesmen kebutuhan peningkatan kapasitas ke depan. Berkaca dari proses diskusi dan asesmen awal ketika merancang inisiatif Kampung Katong, perencanaan strategis program dan manajemen keuangan merupakan dua hal yang menurut anggota konsorsium paling mereka butuhkan. Oleh karena itu, masing-masing dua sesi perencanaan strategis program dan manajemen keuangan yang menyeimbangkan antara pengetahuan konseptual dan praktik juga dilaksanakan pada saat kick off meeting berlangsung. Bersama dengan diskusi terkait kampanye sosial media, sesi-sesi yang diberikan diharapkan dapat meningkatkan keterampilan komunitas selain juga tentunya berkontribusi pada peningkatan efektivitas dan transparansi pelaksanaan inisiatif Kampung Katong.

Inisiatif Kampung Katong merupakan serangkaian program jangka panjang yang diimplementasikan sejak November 2021 hingga Desember 2023 dengan dukungan dari Voice Global. Fokus mendorong pengembangan inisiatif lokal dan praktik-praktik baik dekolonisasi di akar rumput; serangkaian kegiatan seperti reproduksi pengetahuan lokal, pengarsipan dan pendokumentasian, residensi saling-belajar, serta pelatihan kepemimpinan akan diorganisasi oleh RMI bersama Lakoat Kujawas, SimpaSio, dan Videoge dengan menyasar anak muda dan perempuan di komunitasnya masing-masing.

Penulis: Siti Marfu’ah

Editor: Supriadi