Disaring, Kegiatan Relawan 4 Life Di Tengah Pandemi

Sejak pandemi Covid-19 terjadi di Indonesia, gerakan anak muda dampingan RMI, Relawan 4 Life, aktif  melakukan kegiatan sederhana dan bermanfaat, seperti Diskusi Daring (Disaring). Sebagai kegiatan yang mendukung gerakan #physicaldistancing, diskusi ini dilakukan secara online, baik melalui aplikasi Zoom dan siaran langsung di Youtube Relawan 4 Life, atau siaran langsung di instagram @relawan4life. Disaring dilakukan untuk saling bertukar pikiran terkait isu-isu yang terjadi di lingkungan dan sosial.

Kegiatan Disaring dilakukan sejak April hingga saat ini. Berbagai macam topik sudah dibahas, seperti penyakit manusia dan hewan liar, menjaga kesehatan diri dengan herbal, strategi penggunaan buzzer dalam kampanye isu lingkungan dan sosial, pemanfaatan keanekaragaman hayati sebagai pangan liar, ada apa dengan Mei 1998?, dan yang masih hangat adalah tentang konsep gender dalam agama Islam.

Pada 21 dan 28 Juni 2020 diadakan Disaring 5. Disaring 5 ini dilakukan dua sesi, sesi pertama dengan topik “Konsep Gender Dalam Agama Islam”, dan sesi kedua dengan topik “Model Pergaulan Dalam Islam Apakah Sudah Final?”. Untuk baca artikel lengkapnya, silakan klik link berikut https://relawan4life.wordpress.com/2020/07/08/gender-dan-model-pergaulan-dalam-islam/

 

Tahun Baru, Teguran Berulang

Bencana Longsor dan Banjir besar yang terjadi di Jabodetabek dan Banten, dan Jawa Barat menjadi peringatan untuk kita semua – abainya manusia terhadap lingkungan demi memuaskan keinginan atas egonya dalam menguasai dan mengesktrasi sumber daya alam, serta penguasaan besar-besaran atas lingkungan bisa berdampak begitu besar. Bencana ini tidak hanya mengorbankan banyak jiwa, tetapi juga menyebabkan debat panjang antara satu pihak ke pihak lainnya yang saling menyalahkan satu sama lain. 

 

Foto: RMI

Sampah yang menumpuk dan menyumbat banyak saluran aliran air menjadi tersangka utama dari hadirnya banjir kemarin di sekitaran Jabodetabek dan Banten, meskipun banyak aspek terabaikan yang lebih krusial untuk ditunjuk sebagai faktor lain yang mengakibatkan banjir, seperti; pengelolaan limbah yang tidak efektif, TPA yang masih menjadi primadona, AMDAL yang dipertanyakan keabsahannya, ketidakseimbangan rasio antara pembangunan infrastruktur dengan ruang terbuka, dan pengacuhan terhadap perubahan iklim yang meski lamban, tapi sedang terjadi dengan pasti.

Slogan membuang sampah pada tempatnya masih saja menjadi pedoman usum yang kemudian melanggengkan manusia untuk membuang sampah di tempat sampah yang kemudian hanya akan teronggok sunyi bagaikan bom waktu di Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Padahal, kalau mau sedikit mengorek seperti apa kondisi TPA di banyak tempat di Indonesia, kondisinya sungguh sangat memprihatinkan. 

Rasanya masih sangat lekat dalam ingatan mengenai bencana longsor di TPA Leuwigajah, Bandung pada 21 Februari 2005 saat 157 jiwa melayang dan dua kampung terpaksa dihapus dari peta karena lenyap ditelan sampah. Depok yang terendam banjir hampir seatap rumah di awal Januari tahun ini pun disebabkan oleh longsoran TPA Cipayung Depok yang digiring oleh hujan ke kali pesanggrahan hingga membuat   aliran kali pesanggrahan tersumbat dan menenggelamkan rumah warga. Jika mau diurutkan, masih banyak sekali bencana yang dibawa oleh TPA. 

Foto: Media Indonesia

Faktor lain soal pembangunan infrastruktur yang begitu masif beberapa tahun belakangan, hingga menimbulkan kepincangan keseimbangan dengan ruang terbuka di banyak area rasanya juga menarik untuk dicermati. 

Di artikel sebelumnya yang berjudul “Hak Ruang Hidup – yang Terampas, Terpinggirkan, dan Terabaikan” yang diangkat di laman RMI pada tanggal 11 Desember 2019, RMI sedikit membahas soal banjir dan bagaimana proyek infrastruktur dapat menghambat saluran pembuangan air hingga menyebabkan penurunan lahan di Jakarta sedalam 3-18 cm setiap tahunnya.

Bahwa infrastruktur berdampak besar untuk menunjang kehidupan dan penghidupan manusia dalam menjalankan kesehariannya, itu sebuah fakta yang tidak dapat dipungkiri, namun pembangunan infrastruktur yang dilangsungkan tanpa mempertimbangkan keberlanjutan ekologi maka tentunya akan menjadi senjata yang justru membungkam ruang hidup manusia akibat bencana yang ditimbulkan setelahnya. 

Belum lagi jika kita menyoal permasalahan di mana bumi kita telah dieksploitasi habis-habisan demi terpuaskannya nafsu hedonisme manusia. Longsor besar-besaran juga terjadi di 17 titik di Kabupaten Bogor Barat pada awal Januari ini, hingga menyebabkan sebanyak 1,527 jiwa terpaksa tinggal dan menyambung hidup di area pengungsian. Perusahaan tambang besar telah lama menggali perut bumi di area ini untuk mengambil logam-logam alam yang terkandung di dalamnya. Tidak hanya itu, penambang-penambang liar pun juga sudah sejak lama bergerilya di sini, bersikutan dengan penambang raksasa di sana. Bisa dibayangkan, betapa kopongnya perut bumi di area tersebut. Jadi setelah kerakusan kita dalam mengambil isi perut bumi, apakah masih pantas menganggap semua bencana ini azab semata?

Terlalu banyak akar mengular yang harus diurai untuk mengentaskan permasalahan bencana banjir ini, dan bukan dalam waktu sehari dua hari, seminggu dua minggu, bahkan setahun dua tahun. Tidak guna pula saling mencaci dan mencari salah siapa.

Bertepatan dengan hari Lingkungan Hidup Indonesia yang jatuh di setiap tanggal 10 Januari setiap tahunnya, mari kita semua mengulur tangan saja dahulu untuk mengangkat mereka yang sudah terlanjur terjerembab dalam bencana, kemudian bersama-sama kita hentikan aksi yang selalu menyakiti bumi kita ini, sehingga bersama-sama pula kita dapat mencapai harmoni yang seimbang antara manusia dan alam. 

Foto: RMI

Penulis: Dinda Tungga Dewi

Future Leader In The Making: Serunya Menyelami Isu-Isu Lingkungan Dan Sosial Terkini Di Short Course Batch 3

Peserta dan Panitia Short Course : Relawan Lingkungan Untuk Perubahan Sosial Batch 3

Pentingnya generasi muda sebagai calon pemimpin masa depan untuk memahami dan menyelami isu social dan lingkungan, serta bagaimana gerakan kerelawanan dalam mendukung kedua hal tersebut dirasa perlu bagi RMI untuk mencetak calon pemimpin sensitive gender yang bisa menciptakan perubahan yang berkeadilan sosial. Karena itu, sejak 2016 RMI rutin mengadakan kegiatan Short Course atau Kursus Singkat seputar isu social dan lingkungan.

Hingga saat ini, Short Course RMI sudah menelurkan 40 alumni dari dua tahun angkatan. Pada tahun ini, Short Course RMI kembali diadakan pada 27-29 September 2019, di Bogor, dengan tema besar “Gerakan Kerelawanan Lingkungan untuk Perubahan Sosial.” Short course kali ini diikuti oleh mahasiswa dari berbagai universitas, mulai dari Universitas IPB, Universitas Pakuan, Universitas Indonesia, dan tidak menutup juga untuk mereka yang tidak duduk di bangku pendidikan tinggi formal. Selama 3 hari berkegiatan bersama; 20 peserta short course ini mempelajari isu-isu lingkungan sosial dan lingkungan, serta keterhubungan antar berbagai isu dan konteks yang melatarbelakanginya, serta bagaimana peran integral pemudi/a untuk mengatasi berbagai permasalahan yang ada saat ini.

Apa yang Kita Pelajari?

Materi short course ini disusun secara sistematis sehingga memudahkan peserta untuk menemukan benang merah yang mengikat tiap materi yang disampaikan sehingga menjadi satu pemahaman utuh. Pada hari pertama—setelah diawali dengan sesi perkenalan dengan metode Appreciative Inquiry—secara berkelompok, peserta diajak mengidentifikasi “Isu-isu Lingkungan Populer” melalui potongan-potongan gambar dari surat kabar yang telah disediakan lalu mempresentasikan pemikirannya.

Setelah memahami bahwa satu permasalahan lingkungan ternyata tidak benar-benar berdiri sendiri, peserta lalu mendapatkan materi yang tidak kalah menarik yaitu “Pengenalan Konsep Jender.” Materi sesi ini banyak diisi dengan tugas dan diskusi kelompok, misalnya merinci gambaran laki-laki dan perempuan ideal. Dalam rangka menguatkan pemahaman bahwa konsep jender sangat erat kaitannya dengan konstruksi sosial dan perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan di dalam masyarakat, short course hari pertama ditutup dengan memaknai sebuah klip pendek menggugah tentang peran jender di tengah masyarakat, yang dipublikasikan oleh United Nation berjudul Impossible Dream.

Hari kedua short course, peserta diajak menguji bias-bias implisit yang tertanam dalam benak masing-masing. “Apa yang terlintas dalam pikiran kalian ketika mendengar kata: perempuan, laki-laki, gay, lesbi, anak-anak, Orang Papua, pemerintah, LSM, keturunan Cina?” merupakan pertanyaan utama di sesi awal ini. Setelah merinci dan mereview tiap stereotif yang peserta miliki, pemateri rupanya menghubungkannya dengan materi “Kepemimpinan.” Dipaparkan bahwa untuk menjadi seorang pemimpin, diperlukan kualitas diri (nilai, sikap dan keterampilan) calon pemimpin yang sensitif terhadap berbagai bias-biasa yang ada di masyarakat karena itu memengaruhi keputusan yang akan diambil. Secara berturut-turut materi yang kemudian disampaikan membahas “Ekologi Politis”, “Kemiskinan Struktural dan Kebijakan Pembangunan”, dan “Gerakan Kerelawanan untuk Perubahan Sosial.”

Narasumber, Mardha Tillah, sedang menyampaikan materi tentang stereotype dan bias implisit.

Peserta diajak untuk mengurai benang-benang semerawut yang melingkupi kompleksnya pengelolaan sumber daya alam (PSDA) di Indonesia. Masalah PSDA saat ini tidak dapat dipisahkan dari konteks kesejarahannya (masa kolonial) yang kerap menjadi akar timbulnya konflik antara masyarakat dengan negara. Kebijakan PSDA yang diskriminatif terhadap masyarakat marjinal memicu lahirnya sistem yang melanggengkan semangat kolonialisme terhadap warga negara. Di titik ini peserta lalu menyadari bahwa masyarakat miskin, sebagai salah satu masalah yang ditimbulkan dari kompleksnya PSDA di Indonesia, bukan semata-mata hadir karena anggapan bahwa mereka malas atau bodoh; namun karena adanya sistem/tata pemerintahan yang memangkas kesempatan masyarakat marjinal untuk berkembang. Pembangunan manusia (human development) adalah salah satu area pembangunan yang dapat didorong untuk perlahan-lahan mengikis permasalahan tersebut. Dalam hal ini pemuda pun dapat ikut ambil bagian dengan cara menginisiasi atau tergabung dalam kegiatan kerelawanan.

Sedangkan pada hari ketiga kegiatan short course Angkatan 3, dijelaskan materi “Etika Lingkungan.” Di sini pemateri menyebutkan bahwa pada hakikatnya setiap mahkluk hidup, tidak hanya manusia, memiliki hak untuk hidup dan kondisinya perlu dipertimbangkan ketika mengambil suatu keputusan. Berbagai paradigma yang dipresentasikan menyadarkan peserta bahwa selama ini kita menganut paradigma anthropocentrism—manusia adalah pusat kehidupan, logika manusia adalah hal yang paling utama.

Peserta Short Course Batch 3 sedang mengidentifikasi “Isu-isu Lingkungan Populer” melalui potongan-potongan gambar dari surat kabar yang telah disediakan lalu mempresentasikan pemikirannya.

Metode Penyampaian yang Inovatif

Materi-materi yang disampaikan selama short course dapat terserap optimal oleh peserta karena adanya metode penyampaian materi yang sangat inovatif. Diskusi kelompok, permainan, tugas individu, dan sesi team building merupakan beberapa metode yang kerap peserta dapatkan selama 3 hari berkegiatan bersama. Kombinasi metode penyampaian materi antara ceramah/presentasi pemateri dengan aktivitas individu maupun kelompok menjadi salah satu kekuatan sekaligus keunikan short course dibandingkan kegiatan lain yang serupa. Partisipasi aktif peserta juga terfasilitasi melalui sesi tanya jawab maupun presentasi kelompok.

Pemapar dan fasilitator benar-benar memahami cara mengemas materi yang terkesan berat dengan metode penyampaian yang sederhana, salah satunya permainan “Minta dong!” dalam materi “Kemiskinan dan Kebijakan Struktural.” Awalnya peserta mengira bahwa salah satu materi yang akan disampaikan di hari kedua ini akan membahas teori-teori kemiskinan juga hukum/kebijakan yang relevan dengannya. Namun pemateri meminta komitmen seluruh peserta untuk bermain “Minta dong!” dari awal sampai akhir. Jadi tidak ada peserta yang diperbolehkan berhenti di tengah-tengah permainan ini. Setiap peserta masing-masing mendapat 2 biji jagung, 2 biji kacang hijau, 2 biji kopi, dan 2 biji kacang kedelai. Setiap satu biji kopi bernilai 20 poin, jagung 10 poin, kacang kedelai 5 poin, dan kacang hijau 2 poin. Peserta diminta untuk melakukan barter biji-bijian tersebut dengan peserta lainnya dengan menyebutkan kata “Minta dong!”. Setiap berakhirnya ronde barter, poin dari tiap-tiap biji dihitung dan dijumlahkan. Hingga ronde barter kelima atau ronde terakhir, apabila jumlah poin biji-bijian peserta kurang dari 80 maka peserta tersebut mendapat hukuman makan malam dengan nasi putih dan garam saja.

Peserta sedang memainkan permainan ‘Minta Dong!’. Metode ini digunakan untuk menyampaikan materi Kemiskinan Struktural dan Kebijakan Pembangunan.

Permainan ini diluar dugaan peserta karena berhasil mendekatkan konteks kemiskinan kepada peserta. Dalam masyarakat ada orang-orang yang dianggap ‘kalah’ dan kesempatannya untuk berkembang lebih minim dibanding mereka yang memiliki sumber daya kapital lebih banyak. Orang-orang yang dianggap ‘kalah’ tersebut dicap sebagai orang miskin dengan berbagai kriteria/standar nasional maupun internasional yang telah ditetapkan. Tidak pernah diperhatikan kondisi masyarakat yang memang terbiasa hidup subsisten. Menilik kembali kondisi masyarakat banyak diantara mereka yang cukup hidup dengan bercocok tanam dan mampu memenuhi kebutuhannya sehari-hari dengan mengelola SDA. Intervensi pihak luar melalui program dan kebijakan yang ditujukan untuk ‘menolong’ orang-orang ini pun kadang tidak dilandasi dengan kajian dan perencanaan yang tepat. Dalam permainan “Minta dong!” misalnya ditunjukkan bahwa bantuan pemerintah kadang tidak tepat saran karena diberikan kepada orang-orang yang lebih mampu.

Refleksi dari permainana ini antara lain perubahan sistem, cara pandang melihat orang-orang yang dicap miskin, serta penyesuaian kriteria ‘orang miskin’ memang perlu dilakukan. Tapi hal terbut bukan satu-satunya cara. Melihat kerentanan program atau kebijakan yang disusun oleh pemerintah lebih berorientasi pada output, maka kontribusi Civil Society Organization menjadi vital karena mereka memiliki potensi dalam merancang program pemberdayaan masyarakat yang lebih berkelanjutan dan berorientasi pada perubahan perilaku (behavioural change) masyarakat.

Akhirnya, rangkaian kegiatan short course ditutup dengan penyampaian testimoni dari peserta kegiatan. Ini juga merupakan salah satu bagian yang paling mengesankan karena tiap peserta berkesempatan mengutarakan rencana mereka ke depan setelah mengikuti kegiatan short course. Ada peserta yang ingin menjelaskan materi yang didapatkan selama short course kepada teman-temannya, mengembangkan projek organisasi kampusnya berdasarkan materi dan metode pelatihan yang didapat, maupun akan secara mandiri mendalami kembali materi-materi yang telah diperoleh. Melihat antusiasme peserta setelah mengikuti short course, diharapkan kebermanfaatan kegiatan ini dapat meluas dan lebih banyak pemuda yang tergerak untuk melakukan perubahan di lingkungannya dengan cara mereka masing-masing.

Penulis: Supriadi

Editor: Dinda Tungga Dewi

Silakan klik link berikut untuk melihat tanggapan peserta mengenai kegiatan Kursus Singkat ini.

Cerita Emmerald Falah:

Cerita Nafisa Nur Alifah:

Cerita Alfina Khairunisa:

Cerita Nadyati Fajrin:

Tonton video di bawah ini:

Green Camp: Media Memperkuat Generasi Muda Pengusung Perubahan Sosial dan Lingkungan

Ada yang berbeda dengan suasana di Kampung Ciwaluh, Kecamatan Cigombong, Jawa Barat siang itu, Jumat 19 Juli 2019. Riuh rendah tertawa renyah dari puluhan remaja dari berbagai kota dan desa dari 10 kabupaten/kota secara mengalir mengisi kesyahduan kampung yang terletak di wilayah paling Selatan Kabupaten Bogor, dimana salah satu hulu Sungai Cisadane berada. Sambil berkenalan satu sama lain, mereka membicarakan hal-hal yang mereka lihat selama berjalan kaki menuju lokasi acara. Sawah, ladang, pepohonan, bergantian dengan sungai, setelah sebelumnya juga terlihat pemandangan tambang pasir di beberapa titik, serta wilayah yang sedang dibangun menjadi salah satu wilayah hiburan terbesar di Asia Tenggara.

Memasuki wilayah Kampung Ciwaluh, satu per satu remaja berusia 16-25 tahun itu berjalan di pematang sawah dan memenuhi lapangan rumput yang dihiasi tanaman liar khas hutan. Satu demi satu tiba di lokasi lapangan ini hingga berjumlah 67 orang membentuk formasi melingkar. Mereka antusias mengikuti acara Green Camp yang diadakan oleh Relawan 4 Life dan RMI.

Selama tiga hari, anak-anak muda ini berkumpul, berbagi pengalaman dan belajar dari masyarakat Kampung Ciwaluh dan Cipeucang dan narasumber dari berbagai institusi, termasuk dari Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) dan dari tetua kampung. Mengusung tema “Reduce, Reuse, Refuse”, Green Camp kali ini mengajak peserta untuk memahami situasi agraria dan lingkungan dari wilayah hulu, untuk mulai memahami governansi ruang yang ada di Indonesia, sambil juga belajar pengetahuan dan ketrampilan yang lebih praktis terkait isu sampah yang menjadi momok baik di wilayah perkotaan maupun perdesaan. Mereka juga mengembangkan keterampilan mengolah sampah melalui metode pembuatan ecobrick dan cara mengubah sampah menjadi media tanam.

Selain itu, anak-anak muda ini diajak untuk lebih tajam mengenal dan belajar menganalisa situasi lingkungan dan sosial melalui metode keliling kampung dan berbincang dengan masyarakat setempat guna mendapat informasi melalui metode observasi yang mendalam. Mereka membentuk kepercayaan dirinya untuk berbicara di depan umum untuk mempertanggungjawabkan temuan mereka, serta memperkaya khasanahnya soal kehidupan masyarakat hutan dan menyentuhkan diri dengan isu seputar kehidupan masyarakat hutan yang sehari-sehari bersinggungan dengan ekosistem hutan.

Tema “Reduce, Reuse, Refuse” dipilih, selain karena sampah merupakan isu universal yang dihadapi hampir seluruh wilayah di Indonesia, juga karena adanya kebutuhan masyarakat Kampung Ciwaluh dan Cipeucang yang sedang mengembangkan ekowisata berbasis masyarakat yang dikelola pemuda setempat, dimana pengelolaan sampah menjadi salah satu komponen di dalamnya. Program ekowisata saat ini menjadi salah satu pintu masuk masyarakat Ciwaluh-Cipeucang untuk mendapatkan akses legal dalam skema Kemitraan Konservasi ke wilayah-wilayah wisata dan garapan mereka yang kini berada di bawah kelola TNGGP.

Green Camp ini adalah Green Camp ke-6 yang digelar oleh RMI sejak 2011. Namun, sejak 2015, kegiatan ini telah dikelola oleh platform relawan dan fasilitator lingkungan muda bernama Relawan for Life (R4L) sebagai upaya pemberdayaan generasi muda dalam isu lingkungan dan agraria. Fasilitator kegiatan ini adalah anak-anak muda yang pernah menjadi peserta Green Camp pada tahun-tahun sebelumnya. Upaya regenerasi fasilitator terus dilakukan melalui kegiatan Green Camp ini.

Sejak pelaksanaannya pertama kali, Green Camp diadakan untuk menyediakan ruang bagi generasi muda perkotaan dan perdesaan, termasuk bagi anak muda dari komunitas adat untuk saling belajar, mendulang pengetahuan dari situasi ekosistem dan agraria di wilayah dimana Green Camp diadakan. Terbilang, 5 lokasi telah menjadi tempat dimana Green Camp ini diadakan, yaitu di wilayah hutan produksi di Kabupaten Bogor dan di wilayah kampung yang berada di lanskap yang juga memiliki fungsi konservasi yaitu Taman Nasional Gede Pangrango (di Ciwaluh, Kabupaten Bogor, Jawa Barat), Taman Nasional Halimun Salak (di wilayah adat Kasepuhan Karang, Desa Jagaraksa, Kabupaten Lebak, Banten) serta Taman Nasional Bukit Dua Belas (di wilayah adat Orang Rimba, Kabupaten Merangin, Jambi).

RMI menyadari bahwa generasi muda memiliki kemampuan untuk mengalirkan energinya dalam mengembangkan pengetahuan hingga dapat diubah menjadi aksi nyata untuk mengusung perubahan. Sayangnya, seringkali mereka tidak tersentuh oleh berbagai gerakan dan informasi yang memampukan mereka untuk dapat menjadi bagian dari warga negara, melalui pengetahuan yang mengekspos mereka pada situasi nyata di masyarakat, yang juga terkait dengan pengelolaan lingkungan dan sumber daya alamnya. Ketiadaan medium belajar ini terlihat lebih nyata di wilayah perdesaan. 

Terkait hal tersebut, Green Camp diadakan untuk mengasah kepedulian dan sensitivitas anak-anak muda ini terkait isu lingkungan dan sosial yang menjadi komponen penting dalam kehidupan bernegara. Pertemuan antara anak-anak muda perdesaan dan perkotaan ini juga diadakan untuk membangun solidaritas di antara mereka. Selanjutnya, pengetahuan, ketrampilan dan solidaritas yang terbangun diarahkan untuk menjadikan mereka sebagai generasi yang memiliki kepedulian lingkungan dan sosial.

Green Camp telah menjadi sebuah ruang yang berhasil dibawakan dengan cara yang dekat dengan alam, menyatu dengan situasi nyata yang dihadapi masyarakat, untuk mentransfer ilmu dan melatih ketrampilan. Tanpa meja, kursi, dan tanpa kekakuan orang dewasa yang biasanya sudah mahfum dengan birokrasi rumit dan rutinitas menjemukan. Tercatat lebih dari 400 orang telah mengikuti Green Camp. Beberapa orang yang pernah mengikuti Green Camp pada tahun-tahun sebelumnya menyatakan pembelajaran dalam event ini sangat mengena dan membekas.

Fithar, salah satu peserta Green Camp 2019 dari komunitas Groupertri yang sudah dua kali bergabung mengatakan bahwa ia mendapatkan banyak hal, lebih dari pengetahuan dan keterampilan sejak ikut Green Camp pertama kali di tahun 2017, karena itu ia menantikan Green Camp berikutnya dan merasa senang bisa ikut kembali. “Dari Green Camp saya jadi tahu banyak isu soal sosial dan lingkungan, dan menambah banyak teman baru juga”, ujarnya dengan sorot mata yang bersemangat dan penuh energi.

Fadlu, salah satu peserta Green Camp dari komunitas Teens Go Green yang kini sedang berkuliah di salah satu universitas di Depok menyampaikan antusiasmenya untuk mengikuti kegiatan ini pertama kalinya. Yang awalnya ia terdorong untuk mengetahui lebih dalam tentang hubungan antara kehidupan kota dan kehidupan desa, ternyata di Green Camp ini

Fadlu justru mendapatkan lebih jauh dari yang ia bayangkan. “Di Green Camp ini saya jadi lebih tahu tentang dampak sampah terhadap lingkungan, dan jadi tau mengenai alternative pengolahan sampah yang berkelanjutan. Selain itu, saya ingin sekali mengenal situasi masyarakat di pedesaan Jawa Barat, dan membandingkan dengan situasi saya yang besar di wilayah pedesaan di Pagar Alam, Sumatera Selatan”.
 

Green camp kali ini diikuti oleh komunitas pemuda dari berbagai kalangan pemudi dan pemuda yang selama ini aktif berjejaring dengan RMI, mulai dari Jaringan River Watch Group, Jaringan Suara Muda Nusantara, Teens Go Green, Dispora, pemuda dari Desa Cibarani, Desa Wates Jaya, Kabupaten Lebak, Desa Sindanglaya, Kebupaten Bogor, dan masyarakat umum dari DKI Jakarta, Depok, dan Bekasi.

 

Penulis: Dinda Tungga Dewi

Editor : Mardha Tillah
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

RMI – Relawan Lingkungan untuk Perubahan Sosial Batch II

Bogor – Rimbawan Muda Indonesia (RMI) mengadakan kursus singkat (short course) bagi anak muda selama tiga hari pada 20 – 22 Juli 2018. Sebelumnya pada tahun 2016 lalu, RMI telah mengadakan short course pertama dengan sasaran yang sama yakni anak muda. Short course batch 2 mengambil tema “Relawan Lingkungan untuk Perubahan Sosial di Masyarakat” dan diadakan di Telaga Cikeas, Bogor, …

Belajar Seru ala REPLING!!

Pada awal tercetusnya REPLING (Rute Pendidikan Lingkungan) diadakan sebagai pengisi kekosongan metode edukasi di wilayah yang memiliki nilai edukasi tinggi yakni kebun raya bogor. Pada umumnya, masyarakat menjadikan kebun raya sebagai tempat untuk melakukan penelitian ilmiah atau sebagai tempat untuk bersantai dan berpiknik bersama keluarga. Tetapi diantaranya ada ruang kosong antara keseriusan dan kesantaian yang kebanyakan diisi oleh kaum remaja …