Kasepuhan Cibedug Indigenous People in Protecting the Environment

The Sundanese indigenous people, or better known as the Kasepuhan indigenous people, have local wisdom in protecting their forests. They still depend a large part of their livelihood on the forest and develop habits to live in harmony with their surroundings. Forests and the Kasepuhan customary community are two things that cannot be separated. 

Kasepuhan Cibedug is one of the Kasepuhan located in West Citorek Village, Cibeber District, Lebak Regency, Banten Province. Kasepuhan Cibedug is located in the Halimun Mountain ecosystem. The trip to Kasepuhan Cibedug is generally done by motorbike for 30 minutes, after the paved road runs out in Cibengkung Village, Citorek (3.5 hours from Bogor City by motorized vehicle). The location is quite isolated because to reach there we need to travel up and down hills. Fog often falls when the air cools down in the morning or early evening.

Kasepuhan Cibedug is one of the Kasepuhan groups that is still persistent in maintaining a harmonious relationship with nature, while many other indigenous groups have experienced drastic changes. The role of strong customary institutions, geographical isolation and socio-cultural capital is some factors that support this strength. 

In terms of cultural philosophy, there are several proverbs that are believed by the Kasepuhan Cibedug indigenous people (as well as other Kasepuhan), which relate to local wisdom in managing or regulating their territory. 

“Gunung teu meunang melebur, leuweung teu meunang diruksak”, (mountains must not be destroyed and forests must not be destroyed. This proverb implies a natural resource management system in accordance with local wisdom, which implies that humans are part of the natural system. If natural resources are damaged, human life will also be disturbed. Another saying is ‘penyangga kahirupan supaya hurip’, (life support to live), meaning that Kasepuhan Cibedug indigenous people believe that forests and water are life support that must be preserved.

In regulating forest areas (leuweung), the Kasepuhan Cibedug indigenous people divides the forest into several parts, namely leuweung kolot, leuweung titipan, leuweung cadangan, and leuweung garapan.

The Kasepuhan Cibedug indigenous people explained that leuweung kolot is a forest area that should not be disturbed, because there are springs in the area. Leuweung titipan is a leuweung kolot in which inside it there are locations that are considered sacred, marked for example by the presence of historical buildings (for example at the location of the Cibedug site in the form of punden berundak, as well as at locations where boundary markers are found). Leuweung cadangan is a form of land reserved by the community for the future, while leuweung arable is an area where there are fields, gardens, and lembur (villages).

The Kasepuhan Cibedug indigenous people believe that there is a supernatural power that helps guard their leuweung, therefore they believe that if they destroy the leuweung they can receive misfortune / disaster, or often termed kebendon. Deforestation in customary areas (wewengkon), for example, is believed to cause nature to be angry and prevent rain from falling. Kabendon can also come down in other forms such as crop failure due to pest attack, fires, and accidents. This can happen to individuals, or in a larger form (community).

The Kasepuhan Cibedug Indigenous People view the forest and its surroundings as a life-giving and need to be protected. The relationship between the community and nature needs to be reciprocal so the community does not only benefit from the forest, but also maintains it through the wise use of agricultural land. In rice fields for example, rice cultivation (pare gede or large rice) is carried out only once a year to give the land time to rest. During this period of rest, the hay is put back into the soil (malik jarami) without being burned to restore soil fertility. The land (Mother Earth) is respected in the kasepuhan culture, as can be seen in the nibakeun ritual which was carried out before sowing the seeds in the fields, the community asked Nu Bogana (God) for permission to spread the seeds in the fields.  

The existence and role of the Kasepuhan Cibedug Indigenous People in protecting nature is not only protecting the environment, but also protecting their culture. Like carrying out the nibakeun ritual, which is a custom for the group to ask permission to start sowing seeds in the fields. 

The expansion of the Mount Halimun Salak National Park (TNGHS) in 2003 made almost all of the wewengkon in Kasepuhan Cibedug fall into the core area of ​​the national park. The national park has prohibited the activities of the Kasepuhan Cibedug Indigenous People because the national park think that they are destroying the forest. For example, farming activities on dry land (ngahuma) are prohibited. From this ban, in research conducted by RMI in 2020, around 10 rice varieties (pare gede) have disappeared (not found to be planted by the community).

In 2019, the Kasepuhan Cibedug Indigenous People demanded that the wewengkon claimed by the country to be returned to indigenous groups, through the Customary Forest scheme.

On World Environment Day, which is celebrated every 5 June each year, we need to take a step back and see that the contribution of the Kasepuhan Cibedug Indigenous People is very large in protecting the environment. Therefore, the country should return the forest management rights to those entitled, the Kasepuhan Cibedug Indigenous People, so that it can be ensured that the forest is managed fairly and sustainably, for the welfare of the Kasepuhan Cibedug Indigenous People.  

Author: Siti Marfu’ah

Translator: Alfina Khairunnisa

Policy Brief RUU Masyarakat Adat

Jika mendengar istilah ‘Masyarakat Adat’, masyarakat umum akan merujuk kepada sekelompok orang yang tinggal di perkampungan mengenakan baju adat, dan kerajinan tangan “etnik” yang menjadi cindera mata saat berkunjung ke daerahnya. Seromantis dan sesederhana itukah?

Terkait dengan definisinya dalam pandangan  semantik, normatif, dan politis, ada perdebatan panjang tentang apa dan siapa itu Masyarakat Adat.

Namun secara konseptual, sulit dipungkiri bahwa Masyarakat Adat dikenal oleh khalayak umum (terutama mereka yang lahir, besar, dan tinggal di wilayah urban) sebagai kelompok masyarakat yang terbelakang, terkungkung, dan minim akses layanan publik, namun sekaligus sebagai simbol pariwisata, hidup bahagia sentosa tanpa konflik yang berarti.

Bukan pula fakta yang asing bahwa masyarakat kebanyakan tidak menganggap keberadaan masyarakat adat memberikan dampak signifikan terhadap keberlangsungan keanekaragaman hayati ibu bumi. Tidak ada yang betul-betul menyadari peran dari Masyarakat Adat sehingga mereka sering kali terpinggirkan dalam berbagai rencana pembangunan bernuansa neo-liberalisme yang dilakoni pemerintah saat ini.

Padahal pada kenyataannya, praktik pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) oleh Masyarakat Adat, selain berkontribusi terhadap kelestarian lingkungan hidup, juga dapat memberikan kontribusi ekonomi. Riset yang dilakukan AMAN (2018) menunjukan bahwa nilai ekonomi pengelolaan sumber daya alam (SDA) di enam wilayah adat menghasilkan Rp 159,21 miliar per tahun, dan nilai jasa lingkungan mencapai Rp 170,77 miliar per tahun, dan hal ini berpotensi mendorong perekonomian di daerahnya.

Bahkan Konvensi ILO No.169 tahun 1986 sudah mengakui bahwa:
Mereka (Masyarakat Adat) bertekad untuk memelihara, mengembangkan, dan mewariskan daerah leluhur dan identitas etnik mereka kepada generasi selanjutnya; sebagai dasar bagi kelangsungan keberadaan mereka sebagai suatu sukubangsa, sesuai dengan pola budaya, lembaga sosial dan sistem hukum mereka.

Meskipun keberadaaan Masyarakat Adat Sudah diakui oleh negara melalui berbagai perangkat hukum, namun pengabaian hak terhadap Masyarakat Adat masih kerap terjadi, yang kemudian menyebabkan timbulnya kekerasan dan pengucilan di dalam banyak ruang hidup.

Policy Brief RUU Masyarakat Aday berikut disusun oleh Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, yang menganalisa bahwa setidaknya ada enam hak Masyarakat Adat yang terus-menerus terlanggar, di mana hak-hak tersebut satu sama lain tidaklah dapat terpisahkan (indivisibility) dan melekat (inheren). Dokumen ini juga merekomendasikan mengenai hal-hal yang harus diakomodasi dalam Undang-undang Masyarakat Adat yang masuk ke dalam Program Legislasi Nasional 2020, demi penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak Masyarakat Adat.

Klik di sini untuk mengakses Policy Brief RUU Masyarakat Adat.

Hak Ruang Hidup – Yang Terampas, Terpinggirkan, dan Terabaikan

Hubungan antara manusia dan lingkungan tidak bisa dihindarkan, namun perlu juga dipahami, bahwa derajat manusia tidaklah lebih tinggi dari lingkungan disekitarnya, yang kemudian, seolah-olah memperbolehkan manusia memperkosa lingkungan demi keberlangsungan kepuasan manusia yang kemudian justru merampas ruang hidup. Hukum di Indonesia melindungi, menghormati, dan memenuhi hak-hak manusia pada aspek lingkungan, pendidikan, pangan, kesehatan, dan keselamatan. Namun di sisi lain, pelanggaran hak-hak atas lingkungan masih terjadi hingga saat ini, menciptakan ancaman yang besar bagi peradaban manusia.

Undang-undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan No. 32 tahun 2009 menyatakan bahwa “lingkungan yang baik dan sehat adalah hak asasi setiap warga negara Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28H Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;” tetapi ironisnya, kerusakan lingkungan yang telah terjadi di Indonesia, meskipun mungkin tampak “alamiah”, sebenarnya adalah kerusakan sistematis, yang berarti bahwa kerusakan ini dapat dicegah. Ambil contoh tanah longsor; kurangnya pohon menyebabkan tanah menjadi lebih lemah karena air yang berlebihan disimpan di akar pohon, deforestasi adalah salah satu penyebab terus berkurangnya jumlah tutupan pohon. Contoh lain adalah banjir; proyek infrastruktur dapat menghambat saluran pembuangan air juga menyebabkan penurunan lahan (3-18 cm per tahun jika kita berbicara tentang Jakarta). Ini hanya beberapa contoh bencana “alam”. Bayangkan berapa banyak bencana alam lainnya yang tidak terekspos di media, yang sesungguhnya diciptakan oleh manusianya sendiri.

Ambil contoh perjuangan sembilan perempuan petani di Kendeng pada tahun 2016, di mana mereka menolak keras pembangunan PT Semen Indonesia di wilayah hidup mereka, terutama karena keprihatinan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh operasi pembangunan pabrik semen tersebut. Lokasi tersebut diketahui memiliki mata air dan merupakan lumbung pangan bagi masyarakat sekitar yang berladang, bertani, dan memiliki sumber penghidupan dari sumber daya alam di sana. Akibat dari penggalian pabrik semen tersebut membuat banyak daerah di sekitarnya kekeringan. Perampasan hak atas tanah ini sering terjadi atas nama pembangunan. Emil Salim, ahli Ekonom senior Indonesia dan mantan Politikus, menyatakan bahwa “politisi ditahan sebagai sandera oleh pemilik bisnis besar”. Pada diskusi yang berlangsung di Jakarta pada 3 Desember 2019, ia menceritakan sebuah fakta bahwa investor menggunakan politisi ini sebagai “tangan” mereka untuk merebut tanah dan sumber daya alam rakyat.

Perjuangan perempuan Kendeng mempertahankan kelestarian lingkungan di wilayahnya menunjukkan betapa bergantungnya manusia kepada lingkungan. Permasalahan lingkungan di Kendeng ini sebenarnya adalah permasalahan yang dapat dicegah karena bukan merupakan masalah lingkungan yang terjadi secara alamiah. Melindungi hak atas lingkungan dan ruang hidup berarti melindungi hak asasi manusia untuk hidup. Melanggar ha katas lingkungan dan ruang hidup berarti melanggar hak asasi manusia untuk hidup. Sangat penting untuk mendengar langsung dari mereka yang mengalami pelanggaran HAM ini, karena ketika perempuan diberi ruang untuk berpartisipasi, mereka akan dapat memutuskan hal-hal yang dapat mempengaruhi mereka dalam memastikan lingkungan yang layak untuk ditinggali; bukan hanya untuk diri mereka sendiri, tetapi untuk masyarakat lebih luas.

 

Penulis: Amanda So

Editor: Dinda Tunggadewi & Mardha Tillah

Tokoh Penggerak Perhutanan Sosial 2019: Nia Ramdhaniaty (alm.)

Alm. Nia Ramdhaniaty dianugerahi penghargaan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagai salah satu Tokoh Perhutanan Sosial (HutSos) 2019. Sejak tahun 2018, Kementerian  Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menganugerahkan penghargaan bagi para tokoh HutSos yang berasal dari berbagai wilayah di Indonesia dalam berbagai kategori. Tahun 2019 ini, Imam Hanafi mewakili almarhumah menerima penghargaan tersebut yang diserahkan langsung oleh Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki, dan Menteri LHK, Siti Nurbaya dalam gelaran Festival PESONA yang diselenggarakan oleh KLHK.

Nia, panggilan akrabnya, adalah sosok yang memiliki perhatian besar terhadap pengelolaan sumber daya alam yang berkeadilan gender dan nasib masyarakat marjinal, khususnya perempuan non-elit. Perhatian besar tersebut dijawantahkan lewat pengalamannya yang panjang berinteraksi dan memperjuangkan hak-hak masyarakat marjinal pedesaan sejak pertama kali bergabung dengan RMI pada 2002.

Sadar akan kondisi masyarakat marjinal yang tinggal di dan sekitar hutan serta jauh dari pemenuhan hak-haknya, Nia melakukan sejumlah upaya demi terciptanya pemenuhan hak-hak mereka. Bersama Koalisi Hutan Adat dan masyarakat Kasepuhan Karang, Nia berperan dalam upaya mendorong pengakuan Hutan Adat Kasepuhan Karang sejak 2013 hingga akhirnya mendapat pengakuan pada 30 Desember 2016. Saat itu, hampir semua pihak meragukan bahwa wilayah hutan konservasi di Pulau Jawa dapat memperoleh pengakuan hutan adat sehingga status kepemilikannya dikembalikan pada masyarakat adat.

Berbagai strategi dilakukan dalam kurun waktu 2013-2016, diantaranya melakukan riset tentang Masyarakat Adat dan Hutan Adat Kasepuhan Karang, pemetaan partisipatif, pengorganisasian masyarakat secara intensif termasuk penguatan kelompok perempuan melalui Sekolah Lapang Perempuan yang dilakukan secara berseri.

Bersamaan dengan hal tersebut, bersama tim di RMI, SABAKI dan jaringan organisasi sipil lainnya, Nia memimpin upaya pengesahan Perda Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat Kasepuhan No 8/2015 serta mendinamisasi proses tersebut dengan organisasi-organisasi mitra RMI dan Pemda Kabupaten Lebak.

Pengusulan pengakuan Hutan Adat Kasepuhan Karang pertama kali dilakukan pada bulan Oktober 2015 di Jakarta dan diterima langsung oleh Dirjen PSKL saat itu, yaitu Bapak Dr. Hadi Daryanto, sebelum Perda Kasepuhan lahir pada November 2015. Walaupun Hutan Adat Kasepuhan Karang sudah dikunjungi oleh Dirjen PSKL dan tim dari KLHK menindaklanjuti pengusulan tersebut, namun, pengakuan dalam bentuk SK tak kunjung didapat. Karenanya, sepanjang tahun, Nia terus memimpin proses advokasi dalam bentuk audiensi terus dilakukan kepada KLHK, bersama masyarakat adat Kasepuhan Karang. Pengusulan pengakuan hutan adat pun diulang pada bulan Oktober 2016, hingga akhirnya diakui pada Desember 2016.

Dalam rentang waktu 3 bulan tersebut, Nia terus terlibat dalam upaya advokasi, misalnya memandu konferensi pers terkait proses pengakuan hutan adat yang belum juga ada kejelasan untuk memfasilitasi 4 komunitas adat yang telah mengusulkan penetapan hutan adat mereka, yaitu Kasepuhan Karang, Marga Serampas, Ammatoa Kajang dan Wana Posangke pada 5 Desember 2016. Hasilnya, Hutan Adat Kasepuhan Karang menjadi salah satu hutan adat pertama yang diakui oleh Negara, dan menjadi representasi satu-satunya dari Hutan Adat yang berada di Pulau Jawa dengan fungsi konservasi.

Pasca pengakuan tersebut, Nia melanjutkan riset lebih spesifik untuk melihat dampak dari pengakuan hutan adat bagi komunitas adat Kasepuhan Karang, khususnya bagi pihak-pihak marjinal yaitu perempuan (non-elit) yang umumnya tidak memiliki lahan sendiri. Riset ini merupakan penelitian dalam proyek tesis Magisternya, yang dia selesaikan pada tahun 2018. Di samping itu, melalui riset yang dilakukan RMI bersama organisasi lain yang tergabung dalam Koalisi Hutan Adat yaitu HuMA, Yayasan Merah Putih, Qbar, Lembaga Bela Banoa Talino, Bantaya dan AMAN Sulawesi Selatan, Nia memimpin riset tersebut untuk mempelajari proses yang dilalui oleh 7 komunitas adat dalam tahap pra dan paska pengakuan hutan adat pada 2017-2018. Salah satu bagian riset ini juga melihat peran dan manfaat yang diterima oleh pihak-pihak marjinal dalam komunitas adat dalam perjuangan mendapatkan pengakuan atas hutan adatnya, yaitu perempuan dan generasi muda. Salah satu rekomendasi dari riset ini adalah penyediaan peta indikatif hutan adat yang disampaikan pada 27 Desember 2018.

Pada 21 September 2019, keluarga besar RMI kehilangan saudara, kakak, guru, sekaligus sahabat yang kami sayangi, Alm. Nia Ramdhaniaty. Namun, tidak sedikitpun hasil kerja keras dan dedikasinya kemudian bisa termakan oleh waktu, pun tanpa keberadaan fisiknya di sini. Nia Ramdhaniaty (Alm) terpilih menjadi salah satu Tokoh Penggerak Perhutanan Sosial Level Pendamping Tapak tahun 2019.

“Ini kali kedua dilakukan penilaian untuk toko-tokoh dan akan terus dilakukan, karena dengan ketokohan dengan role play, kita langsung menyaksikan, mengalami dan mengambil mencontoh dari apa itu praktek hutan sosial, yang bisa di dalami lebih jauh makna dan keterlibatan kesehariannya”, Hal tersebut diuangkapkan oleh Menteri LHK, Siti Nurbaya dalam arahannya usai memberikan piagam kepada para tokoh Hutan Sosial.

Pemilihan tokoh penggerak ini digagas oleh masyarakat, yang kemudian diperkuat melalui kegiatan verifikasi lapangan. Tim Juri menyepakati untuk Penerima Apresiasi Tokoh Hutan Sosial 2019 diberikan kepada 9 (sembilan) Tokoh Hutan Sosial, dan 4 (empat) Tokoh Penggerak (level kebijakan), 4 (empat) Tokoh Penggerak Level Pendamping Tapak dan 3 (tiga) Tokoh Penggerak Level Microfinance.

 

Mengadvokasi Kearifan Lokal Masyarakat Adat Sebagai Upaya Membangun Ketahanan Iklim

Pada Kamis, 4 September 2019, RMI berpartisipasi dalam Asia-Pacific Climate Week (APCW) yang diselenggrakan pada 2-6 September 2019 di Bangkok. Melalui presentasi yang berjudul “Indonesia’s Customary Forests: Indigenous People’s Fundamental Role to Build Climate Resilient and a Long Struggle over Cultural Identity”, RMI menyampaikan bahwa traditional ecological knowledge (pengetahuan ekologis tradisional) atau kearifan lokal masyarakat adat sebenarnya menjadi kunci bagi perlindungan lahan, hutan, sungai, serta sumber daya alam lainnya. Masyarakat adat berkontribusi dalam pelestarian hutan dan lahan-lahan yang paling dilindungi serta menahan lepasnya emisi karbon ke atmosfer. Penetapan hutan adat selain menyumbang capaian target NDC (Nationally Determined Contribution) nasional juga berarti memberikan akses bagi masyarakat adat di Indonesia untuk secara legal mengelola hutannya secara berkelanjutan dan mengakui keberadaan masyarakat adat tersebut beserta seluruh identitas kulturalnya yang lekat dengan alam.

Dalam kesempatan ini disampaikan juga bahwa penetapan hutan adat bukanlah satu-satunya tujuan akhir, sebab masyarakat adat harus mampu mengelola hutan adatnya secara berkelanjutan. Berdasarkan hasil riset pra dan paska penetapan hutan adat yang dilakukan oleh RMI atas dukungan FAO, diketahui bahwa kelompok perempuan dan pemuda adat masih minim keterlibatannya dalam pengelolaan hutan adat tersebut. Selain kurangnya kesempatan dan minimnya ruang partisipasi yang diberikan, kapasitas perempuan dan generasi muda adat untuk mengelola hutan adatnya ini pun masih terbatas. Atas dasar itulah RMI memfasilitasi berbagai pelatihan yang partisipatif dan inklusif–melibatkan perempuan dan pemuda–bagi masyarakat adat supaya meningkat kapasitasnya dalam hal manajemen komunitas maupun hutan adatnya. Secara spesifik RMI juga membuka peluang bagi pemuda untuk membangun konektivitas dengan sesama pemuda adat maupun pemuda desa dan kota. Jejaring antarpemuda ini dapat terbentuk salah satunya karena adanya kerja sama RMI dengan OROL (Our River Our Live)–kampanye biodiversitas sungai dan kesehatan lingkungan se-Asia Tenggara.

Selain diskusi panel serta dialog tematik; APCW juga menyelenggarakan kegiatan Knowledge Corner, Action Hub, dan Side Event yang memberikan kesempatan bagi para stakeholder untuk menyampaikan aksi/inisiatif iklim yang dilakukan di negaranya masing-masing. Secara umum keseluruhan kegiatan APCW ini membahas transisi energi, transisi industri, solusi berbasis alam, aksi lokal dan perkotaan, serta resiliensi dan adaptasi sebagai sektor-sektor utama penerapan inovasi berbasis iklim.

APCW dapat menjadi wadah untuk mengembangkan aksi iklim multi-stakeholder yang sesuai dengan semangat Dialog Talanoa pada tahun 2018 lalu. Dialog tersebut menggagas kerja sama dan diskusi yang bersifat partisipatif, inklusif, dan transparan. Oleh karena itu APCW menyediakan ruang bagi para stakeholder (perwakilan pemerintah, sektor privat/swasta, organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan institusi internasional) untuk berkumpul dan bersama-sama merumuskan rekomendasi demi pencapaian target netralitas iklim di tahun 2050.

Acara ini diorganisir oleh UN ESCAP (United Nations Economic and Social Commission for Asia Pacific) bersama organisasi internasional lainnya seperti UNCC (United Nations Climate Change), IGES (Institute for Global Environmental Strategies).

 

Penulis: Supriadi

Editor : Mardha Tillah dan Dinda Tungga Dewi

Upaya Mendapatkan Akses Legal Lahan Garapan Di Wilayah Taman Nasional Gunung Gede Pangrango

Cianjur, Selasa 30 Mei 2019. Perwakilan dari Kelompok Tani Hutan (KTH) kampung Cipeucang dan kampung Ciwaluh didampingi oleh RMI melakukan pertemuan dengan pihak Kepala Bidang Wilayah III Bogor Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) dalam rangka menindaklanjuti usulan Kemitraan Konservasi (KK) yang diajukan oleh KTH Cipeucang dan KTH Ciwaluh pada Desember 2018 lalu.

Pertemuan ini adalah pertemuan pertama yang dilakukan oleh KTH Ciwaluh dan KTH Cipeucang dengan pihak TNGGP setelah pengajuan KK. Sebelumnya, pihak TNGGP juga telah menunjukkan upayanya untuk menindaklanjuti pengajuan KK oleh KTH Ciwaluh dan KTH Cipeucang dengan berkunjung ke RMI untuk memulai diskusi lebih dulu dengan RMI sebagai pendamping sebelum pertemuan tanggal 30 April 2019.

Pada kesempatan ini, diskusi dilakukan dalam rangka mengeksplorasi beberapa pilihan bentuk kerjasama. Dibutuhkannya beberapa pilihan ini karena perbedaan aturan yang ada dalam Perdirjen No. 6 tahun 2018 tentang Kemitraan Konservasi dengan aktivitas dan penghidupan masyarakat yang selama ini telah terjadi di tingkat tapak. Berbagai aktivitas yang diajukan oleh kedua KTH dalam proposal Kemitraan Konservasi mereka, yang sebagian merupakan kegiatan yang mereka telah jalani selama puluhan tahun, hanya dapat dilakukan apabila wilayah yang diajukan tersebut adalah Zona Tradisional dalam wilayah kelola Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Sementara, menurut pengelolaan TNGGP dalam bentuk zonasi yang ditetapkan tahun 2016, aktivitas penghidupan masyarakat Kampung Ciwaluh dan Kampung Cipeucang berada di Zona Rehabilitasi taman nasional tersebut. Menurut Perdirjen No.6 tahun 2018 tentang KK, Skema KK yang dapat dilakukan di Zona Tradisional taman nasional disebut dengan Skema Pemberdayaan Masyarakat, sementara skema KK yang dapat dilakukan di Zona Rehabilitasi adalah Skema Pemulihan Ekosistem. Keduanya berbeda, terutama dalam hal tujuan legalisasi akses masyarakat ke kawasan taman nasional dan jenis aktivitas yang dapat dilakukan oleh masyarakat.

Pendek kata, jika kedua KTH mengambil opsi Skema Pemulihan Ekosistem, maka secara de jure mereka tidak lagi dapat melakukan berbagai aktivitas pengelolaan kebun hutan dan sawah yang telah mereka jalani berpuluh-puluh tahun. Jika skema kemitraan yang akan dilakukan adalah Skema Pemberdayaan Masyarakat agar masyarakat masih dapat terus melaksanakan berbagai aktivitas penghidupan yang selama ini menjadi kehidupan mereka, maka perlu dilakukan perubahan zonasi dari Zona Rehabilitasi menjadi Zona Tradisional.

Lebih lanjut, diskusi menemui kebuntuan saat membicarakan perihal keberadaan sawah yang telah ada sejak tahun 1940an. Dalam KK, baik Skema Pemulihan Ekosistem maupun Skema Pemberdayaan Masyarakat, sawah bukan merupakan aktivitas masyarakat yang cocok dalam definisi hutan yang dianut oleh sektor kehutanan di Indonesia.

Lahan garapan masyarakat kampung Ciwaluh dan kampung Cipeucang saat ini sebagian besar berada di kawasan zona rehabilitasi. Di mana zona tersebut bertujuan untuk memulihkan ekosistem yang rusak menjadi atau mendekati kondisi ekosistem alamiahnya.

“Kami tidak bisa kasih keputusan apa-apa karena menyangkut semua orang, yang pasti buat kami sawah harus dipertahankan,” kata Irpan, salah satu anggota KTH Ciwaluh.

Masyarakat sudah menetap di kampung tersebut sejak tahun 1930-an, dan untuk memenuhi kebutuhannya adalah dengan bersawah. Namun, sejak tahun 2003 ketika wilayah Perum Perhutani yang telah digarap secara tumpang sari oleh masyarakat kedua kampung tersebut dilebur ke dalam wilayah konservasi TNGGP, masyarakat kesulitan dalam menuai hasil hutan.

Kenyataan seperti ini tidak hanya ditemukan di kampung Ciwaluh dan kampung Cipeucang saja, tetapi juga di lokasi lain yang di mana lahan garapan masyarakat masuk di dalam kawasan hutan. Oleh sebab itu, maka konteks kawasan hutan harus ditempatkan dalam pola pikir tata ruang dan interaksi antar unsur. Serta, perkembangan paradigma pengelolaan hutan juga harus ditempatkan dalam pola antropologis dan tidak hanya selalu praktik pengelolaan teknis kehutanannya.

Adapun hasil dari pertemuan antara KTH Ciwaluh dan KTH Cipeucang dengan pihak TNGGP saat ini masih mencari titik temu, dan rencananya kedua KTH dengan difasilitasi oleh RMI akan menempuh upaya konsultatif kepada Dirjen KSDAE untuk mengupayakan proses legalisasi lahan pertanian terutama sawah dalam kawasan TNGGP.

Penulis: Siti Marfu’ah

Editor : Mardha Tillah