Hari kedua adalah puncak acara kegiatan Festival Pare Ketan yang pembukaannya dimulai dengan ritual menumbuk lesung oleh ibu-ibu kasepuhan, menyindenkan jaipongan, tarian rengkong dan alunan gendang pencak dan angklung, iring-iringan rombongan masing-masing dari tiga kasepuhan di Cirompang, dan tarian salah seorang ibu-ibu yang menggendong padi di bakul dan penampilan kesenian tradisional kasepuhan. Acara puncak Festival ini juga diisi dengan perlombaan tumpeng dari masing-masing RT, lomba saung pameran dari bazar produk pangan lokal dan cinderamata, lomba fashion show anak remaja, lomba cerdas cermat, dan lomba azan. Acara pembukaan di hari kedua ini berlangsung sangat meriah dan bangku yang disediakan panitia terisi penuh bahkan sampai meluber keluar. Banyak warga lainnya menyaksikan dari atas tempat acara.
Di hari kedua penyelenggaraan Festival Pare Ketan ini dimulai dengan acara sarasehan yang dipandu oleh Fauzan Adima dari RMI. Sarasehan berisi pemaparan dari masing-masing perwakilan OPD Pemda Lebak (Bapak Diki Darmawan selaku Staf Dinas PMD Kabupaten Lebak), Bapak Camat Cirompang, perwakilan Organisasi Masyarakat Sipil (mas Sani dari Kemitraan dan Abdul Waris dari RMI) dan perwakilan masyarakat Cirompang yang diwakili oleh Kang Mursid untuk berbagi cerita dan pengalaman tentang perjalanan Hutan Adat Cirompang. Penanggap dari sesi sarasehan ini adalah Kang Heri Yogaswara dari BRIN. Sesi siang harinya diisi ceramah dari Bapak Sukanta dari SABAKI (Kesatuan Adat Banten Kidul), Bapak Wakil Bupati Kabupaten Lebak, Kepala Kesbangpol Kabupaten Lebak, dan Tokoh Masyarakat dari Kasepuhan Pasir Eurih. Pada sesi sarasehan juga secara simbolis diserahkan hasil rekomendasi Forum KAWAL yang diwakili oleh Damidi, anak muda Baduy kepada pihak Pemerintah Kabupaten Lebak. Butir-butir hasil rekomendasi tersebut kemudian dibacakan oleh Damidi dan dilangsungkannya prosesi penyerahan hasil rekomendasi Forum KAWAL kepada Pemerintah Kabupaten Lebak.
Dalam kata sambutan pembukaan sesi sarasehan ini Fauzan memperkenalkan kios-kios pameran dari produk pangan lokal dan cinderamata sebagai promosi kekayaan pangan bagaimana sumber kehidupan masyarakat Kasepuhan Cirompang ditampilkan, terus yang kedua ada diskusi peningkatan kapasitas Forum KAWAL, dalam Forum KAWAL ini RMI selaku pendamping mencoba membangun konsolidasi antar generasi muda kasepuhan untuk sama-sama saling berproses dan saling memberikan inspirasi bagi bagaimana mewujudkan soal kedaulatan pangan dan rangkaian perjuangan masyarakat kasepuhan yang telah didahului oleh para leluhur masyarakat kasepuhan.
Sarasehan ini menjadi bagian penting bagaimana mempertemukan masyarakat, pemuda, perempuan, tokoh masyarakat dengan Pemerintah Daerah, dengan para mitra yang di kesempatan ini sudah hadir untuk masa depan pangan di kasepuhan menjadi bagian penting prioritas pembangunan baik di desa maupun di nasional.
Dalam sambutannya mas Sani, perwakilan dari Kemitraan, mengajak hadirin untuk kilas balik ke tahun 2015 ketika Festival Pare Gede diselenggarakan. Pada saat itu banyak jenis varietas padi lokal ditampilkan. Kasepuhan khususnya di Cirompang sejak 2015 sudah mulai verietas padi yang selama ini tidak dilirik secara nasional menjadi bahan rujukan apalagi saat ini katanya negara ini mengalami krisis pangan dan sebaliknya khususnya di Cirompang dan kasepuhan lain di Lebak urusan ini tidak menjadi kendala. Kemudian mas Sani berharap kepada baris olot (tetua adat) bagaimana perempuan, anak-anak, kaum disabiitas mendapat tempat di kasepuhan apalagi 20 tahun kedepan adik-adik yang masih muda nantinya akan menggantikan posisi baris olot dan itu yang mungkin menjadi perhatian kita bersama terkait apa sih yang dimaksud dengan inklusi sosial. Yang ketiga, Kemitraan yang bekerjasama dengan RMI yang sudah lama di kasepuhan khususnya di Kasepuhan Cirompang, Cibarani, Cibedug, dsb., berharap banyak kepada masyarakat Cirompang agar hutan adat menjadi penopang kehidupan masyarakat kasepuhan. Ini menjadi penting untuk pemangku kepentingan dan kebijakan karena banyak hal baik dari pengeolaan hutan adat yang dilakukan oleh masyarakat kasepuhan yang perlu didengar di level nasional. Dan juga terkait fungsi leuit (lumbung) yang menjadi fondasi penting bagi kedaulatan pangan masyarakat adat kasepuhan. Dan oleh karena itulah ini penting menjadi perhatian Kemitraan bahwa berbicara soal pangan penting artinya bagi kasepuhan dan ini yang Kemitraan sampaikan ke tempat-tempat lain di Indonesia. Eksistensi leuit penting untuk mempertahankan kedaulatan pangan dan menjadi penangkal dari serangan krisis pangan.
Sambutan kedua disampaikan Bapak Camat Sobang. Ia mengapresiasi pameran-pameran di kios-kios pangan lokal dan cenderamata serta lomba tumpeng dengan panganan lokal. Pak Camat mencontohkan dengan memakan makanan lokal para tetua dan orangtua di kasepuhan kondisinya sehat karena memakan makanan yang lokal dan tidak terkontaminasi oleh bahan-bahan yang lain cukup sayur oge, uyah, bawang, sereh, salam. Cukup enak, sergah Bapak Camat. Dalam kata sambutannya Pak Camat juga membandingkan generasi muda sekarang yang terpapar dengan makanan instan. Oleh karena itulah, pangan lokal harus dipertahankan oleh generasi mendatang.
Selanjutnya, pada bagian sesi sarasehan ini pemandu acara meminta Kang Mursid membagi pengalamannya bersama masyarakat Kasepuhan Cirompang lainnya dalam memperjuangkan pengakuan Hak Hutan Adat, pemaparan singkat dari perwakilan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) yang diwakili oleh Abdul Waris dari RMI, pemaparan dari perwakilan OPD Pemda Kabupaten Lebak yang diwakili oleh Bapak Diki Darmawan, dan tanggapan atas pemaparan yang akan ditanggapi oleh Kang Heri Yogaswara, Peneliti Senior BRIN yang sudah malang-melintang dalam studi masyarakat kasepuhan dan juga terlibat dalam proses penyusunan naskah akademik Raperda Kasepuhan Adat Banten Kidul.
Di pemaparannya ini Kang Mursid selaku anggota Kisancang berbagi kisah perjuangan masyarakat kasepuhan Cirompang dalam mendapatkan pengakuan hak hutan adat di tahun 2019 dan tantangannya kedepan pasca pengakuan. Ada pertanyaan sejak kapan masyarakat Cirompang memperjuangkan hutan adat? Sebenarnya perjuangan untuk mendapat pengakuan hak hutan adat bukanlah yang pertama kali dilakukan oleh masyarakat Cirompang. Dulu ketika tahun 2008, masyarakat Cirompang sudah mulai melakukan diskusi-diskusi skala kecil hingga skala besar ke seluruh incu pitu Kasepuhan Cirompang dan sejak itulah perwakilan dari masyarakat Cirompang mengirim surat ke RMI agar membantu memfasilitasi perjuangan masyarakat Kasepuhan Cirompang.
Dengan mengajak RMI untuk terlibat bagi kang Mursid hal tersebut didasarkan pada kondisi di masyarakat Cirompang yang masih mengalami kesulitan berkomunikasi dengan pihak luar terutama dengan Pemda dan Pemerintah Provinsi apalagi dengan Pemerintah Pusat. Oleh karena itulah, kami meminjam tangan dan mulut NGO untuk membantu perjuangan kami, aku kang Mursid. Jadi di tahun 2008 masyarakat Cirompang sudah mulai berdiskusi tentang ketahanan pangan, memetakan dulu pangan apa saja yang sudah tidak ada, mana saja yang masih ada dan apakah masih ada kawung (pohon aren) karena kecamatan Sobang terkenal dengan wilayah penghasil gula aren, kemudian masyarakat diajarkan penguatan kapasitas. Di tahun 2009, kang Mursid mengikuti pelatihan pemetaan partisipatif. Kang Mursid mengaku tugas yang ia emban adalah sebagai suku-sambung (perantara) antara lembaga adat kasepuhan dengan pihak luar (NGO, Pemerintah, dll) dalam memperjuangkan pengakuan Hak Hutan Adat. Dari pengalaman itulah kang Mursid terkejut bahwa Pemda Lebak ternyata baru mengetahui jika di Cirompang telah eksis berdiri sebuah kasepuhan. Pikir kang Mursid, bagaimana yang di Jakarta, di tingkat kabupaten saja tidak tahu tentang keberadaan masyarakat adat kasepuhan di Cirompang.
Dengan demikian, upaya yang intens terus dilakukan oleh masyarakat Cirompang agar segera mendapat Perda Pengakuan Masyarakat Kasepuhan. Diantaranya masyarakat menyusun sejarah keberadaan kasepuhan Cirompang, menetapkan kelembagaan adat secara formal dan tertulis, mencatat warga kasepuhan, memetakan wilayah adat kasepuhan, dan merapikan peta wilayah adat yang dibantu oleh rekan-rekan JKPP melalui kegiatan pemetaan partisipatif. Sebagai tambahan, masyarakat Cirompang juga melengkapi syarat administrasi berikutnya seperti mencatat pranata adat dan aturan adat kasepuhan. Dalam hal ini masyarakat mulai mencatat pranata adat tentang tata cara dan aturan dalam menanam padi, dan aturan mengenai hutan titipan, dsb. Ternyata persyaratan tentang pranata adat ini saja belum cukup. Akhirnya dengan kerja keras dan dukungan dari teman-teman aktivis lokal dan tokoh-tokoh dari wilayah kasepuhan Banten Kidul terbitlah SK Bupati Lebak tentang Kasepuhan Adat Banten Kidul termasuk pengakuan Kasepuhan Cirompang di dalamnya.
Masyarakat kasepuhan pada awalnya belum mengetahui jika hutan mereka dulu dikuasai oleh Perhutani kemudian di tahun 1992 telah dialihfungsikan menjadi Taman Nasional. Dan melalui perjuangan panjang kasepuhan-kasepuhan di Banten Kidul yang mengajukan gugatan (judicial review) UU Kehutanan tahun 1999. Kemudian terbitlah putusan Mahkamah Konstitusi No. 35 Tahun 2012 yang menyatakan bahwa hutan yang berada di wilayah adat bukan lagi menjadi hutan negara melainkan hutan hak komunal masyarakat adat. Dengan putusan MK ini, menjadi berita gembira untuk masyarakat kasepuhan namun perjuangan tersebut belum selesai sampai di situ. Harus ada lagi syarat yang dipenuhi yaitu produk peraturan hukum daerah berupa Perda atau Pergub. Dari situ mulailah masyarakat kasepuhan memperjuangkan Perda Kasepuhan.
Kang Mursid membagi pengalamannya di tahun 2013 ketika ia mengikuti workshop pengakuan masyarakat adat di Indonesia yang diselenggarakan di Malinau Kalimantan Utara. Kebetulan saat itu Malinau sudah memiliki Perda pengakuan adat. Singkat cerita masyarakat adat kasepuhan mendapat kabar nanti di tahun 2016 akan dibuatkan Perda SK Kasepuhan oleh Pemda Lebak. Kemudian kabar ini disambut dan didukung NGO seperti RMI dan HuMa dan tidak sampai di tahun 2016, tepatnya di akhir tahun 2015 Perda Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat Adat Kasepuhan terbit. Kang Mursid merasa sangat lega, akhirnya janjinya bisa terpenuhi. Namun sekali masih terdapat batu sandungan. Itu saja belum cukup karena harus ada SK dari Presiden, yang didelegasikan melalui Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Dalam SK Penetapan tersebut disyaratkan harus ada peta tata batas, harus ada persetujuan tata batas dengan kasepuhan lainnya yang berbatasan langsung seperti Kasepuhan Bongkok, Kasepuhan Sukamaju, Kasepuhan Citorek dan persetujuan kasepuhan lainnya.
Singkat cerita tim Kasepuhan Cirompang berangkat mengambil titik koordinat batas wilayah adat kasepuhan dan kemudian tim KLHK datang ke Cirompang untuk melakukan verifikasi teknis (vertek). Di momen reriungan kasepuhan adat Banten Kidul ke-10 di Citorek, Ibu Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan bahwa Kasepuhan Cirompang adalah satu dari delapan kasepuhan lain di Banten Kidul yang memperoleh SK Penetapan Hutan Adat. Kasepuhan Cirompang menerima SK Penetapan Hutan Adat seluas kurang lebih 322 hektar. Pasca penetapan Hutan Adat ini maka berbagai usaha terus dilakukan oleh masyarakat Kasepuhan Cirompang mulai dari kegiatan patroli hutan, penanaman pohon incuk, dan penanaman pohon alpukat dan manggis. Di akhir berbagi pengalamannya di sarasehan ini Kang Mursid menceritakan lika-liku perjuangan mendapatkan pengakuan hak Hutan Adat yang sejatinya ditujukan bagi kesejahteraan lahir-batin masyarakat Kasepuhan Cirompang dan generasi mendatang.
Pemaparan selanjutnya disampaikan oleh Bapak Diki Darmawan, selaku staf Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMD) Kabupaten Lebak. Menurutnya, hanya di wilayah Banten saja terdapat leuit sebagai simbol ketahanan pangan. Untuk itu ia mengaja kepada mantri tani desa yang hadir di acara Festival ini untuk tidak segan berdiskusi dan belajar dengan bapak-bapak kasepuhan. Pemerintah Kabupaten menitipkan para mantri tani desa menjadi rekan diskusi dan bukan sebaliknya mengajari bapak-bapak di kasepuhan dalam bertani. Secara keilmuan moal mahi mengalahkan bapak-bapak. Nah, keilmuan kan dinamis mungkin ada kelilmuan yang tidak dimiliki bapak-bapak tapi ada dimiliki para mantri tani desa makanya keberadaan para mantri tani desa jadi batur pakumaha. Bukan untuk menggurui bapak-bapak tapi mereka menjadi teman diskusi, tekannya. Misalnya dalam penghadapi musim halodoh (kemarau) ini sekiranya para mantri tani desa bisa memberikan masukan jenis tanaman apa yang mesti ditanam di saat musim kemarau. Pak Diki juga menyinggung pendirian BumDes yang tujuannya untuk kesejahteraan masyarakat desa khususnya warga kasepuhan di Cirompang. Pak Diki menunjukkan bahwa Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMD) sudah mengadakan advokasi dengan menggandeng kampus STAN (Politeknik Keuangan Negara STAN) dan beberapa perguruan tinggi lainnya untuk meningkatkan peran BumDes sebagai sumber pendapatan desa dan untuk ketahanan pangan desa.
Pemaparan terakhir disampaikan oleh perwakilan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) yang diwakili Abdul Waris dari RMI. Dalam pemaparannya Waris menyitir dari penjelasan kang Mursid tentang proses perjuangan nan panjang untuk mendapat pengakuan SK Hutan Adat. Dalam hal ini, RMI cukup lama memfasilitasi masyarakat kasepuhan di Kabupaten Lebak. Fasilitasi itu apa? Fasilitasi untuk melakukan advokasi-advokasi salah satunya terkait pengakuan adat masyarakat kasepuhan yang ada di kabupaten Lebak. Fasilitasi ini kita lakukan dalam rangka kita berpihak. Kepada siapa kita berpihak? Kepada golongan lemah. Nah, kalau konteks hutan adat kalau kita tanya kepada penerima pengakuan tersebut biasanya yang selalu muncul adalah jawabannya kiwari mah kami ntos nyaman dan aman. Artina euweuh gangguan kitu. Alhamdulillah kiwari mah ntos euweuh gangguan. Kita ambil contoh di Kasepuhan Karang, setelah pengakuan ada hal yang mengejutkan bagi RMI yaitu mulai banyak anak-anak yang sebelumnya putus sekolah menjadi lebih banyak yang bersekolah dan bahkan sampai ada yang kuliah. Dari apa? Dari hasil pertanian. Karena apa? Karena buah yang mereka tanam di kebunnya dan ada hak seluruhnya dari si pemilik kebun tersebut sehingga tidak ada rasa takut dan rasa khawatir lagi menjual hasil bumi mereka. Artinya jeung ngabiayaan hirup jeuang ngabiayaan sakolah anak, sudah dapat terpenuhi, tekan Waris.
Sampai saat ini di Kabupaten Lebak sudah ada 8 kasepuhan yang memperoleh pengakuan dari negara. Diantaranya Kasepuhan Cirompang, Pasir Eurih, Karang, Cibarani, Citorek, Cibedug, Cisitu dan Cisungsang. Nah apakah sampai di sini perjuangan kita? Tentu tidak! karena ini bukan tujuan akhir. Ini baru gerbang. Tujuan akhir seharusnya bagaimana setelah memperoleh hutan adat, masyarakat di seluruh kasepuhan memiliki rasa nyaman dan aman lebih yaitu apa? Sejahtera lahir dan batin, pungkas Waris kepada para hadirin. Inilah yang menjadi tantangan dan pertanyaan bagi kita semua untuk bagaimana kita mendapatkannya. Untuk RMI lakukan saat ini adalah mencoba lakukan konsolidasi yaitu ngerembug bersama teman-teman pemuda karena teman-teman pemuda adalah generasi yang bakal jadi olot di lemburnya (kampungnya) masing-masing. Melalui pemudalah RMI mencoba fasilitasi dan belajar bareng-bareng bagaimana memperoleh keamanan dan kenyamanan yang lebih baik lagi dari hari ini.
Permasalahan yang kedua adalah, menyangkut persoalan hutan adat. RMI menjadikan persoalan sebagai catatan yang cukup penting karena seperti yang diceritakan kang Mursid barusan ada proses yang cukup panjang. Hal lainnya yang ketiga adalah soal bagaimana keberagaman pangan. Jadi ketika RMI belajar kasepuhan memang pertama yang kami pelajari adalah varietas padi lokal. Namun, ada juga makanan-makanan yang lain yang dimakan oleh masyarakat di Cirompang. Artinya di kasepuhan ini sudah ada keberagaman pangan. Kalau kita lihat di kios (stand) pameran pangan lokal dijual labu, pisang, ubi, dsb. Yang juga memiliki kandungan yang sama dengan padi. Sumber karbohidrat iya, sumber nutrisi iya, dan juga bahkan menjadi obat. Nah, hal-hal seperti itulah yang seharusnya terus dijaga sampai generasi-generasi berikutnya. Generasi yang melanjutkan tradisi dan nilai-nilai yang ada di kasepuhan.
Untuk yang terakhir soal guncangan perubahan iklim dan ketahanan pangan. Betul seperti yang disampaikan Pak Camat bahwa kita tidak hanya bergantung pada beras karena beras ini suatu saat bisa jadi punya tantangannya sendiri. Kalau kita lihat musim kemarau ini sawah sudah mengalami kekeringan dan itu artinya sulit untuk bisa ditanami padi. Lantas, karena kita punya ubi, labu itu masih menjadi sumber pangan kita. Di situlah pentingnya untuk selalu diingat dan diupayakan bahwa paling tidak di kebun kita ada sumber pangan cadangan. Di pemaparan terakhir yang Waris sampaikan. Ia mengajak para hadirin untuk mencermati 3 hal yang harus diupayakan untuk diamankan yang menjadi sumber penghidupan di saat kemarau yang durasi cukup panjang ini. Yaitu, pertama, air; kedua, pangan; dan ketiga adalah energi. Energi itu apa? Waris memberi contoh kecil yaitu api yang kita nyalakan untuk memasak adalah energi itu sendiri. Dengan demikian, ketiga elemen ini menjadi penting untuk diupayakan dan dijaga bersama-sama.
Setelah ketiga perwakilan memberi pemaparannya, kini tiba waktunya bagi Kang Herry Yogaswara yang diminta pemandu acara untuk memberikan tanggapannya atas pemaparan dari ketiga perwakilan elemen yang hadir di Festival Pare Ketan. Kang Herry menceritakan pengalaman pertamanya bersama masyarakat kasepuhan yang dimulai di tahun 1987 di Kasepuhan Cipta Rasa yang saat ini menjadi Kasepuhan Cipta Gelar. Pertama-tama kang Herry memberi tanggapan atas pemaparan dari pengalaman kang Mursid dalam memperjuangkan pengakuan hutan adat. Kang Herry mengaku pernah ambil bagian di penyusunan Raperda Kasepuhan baik yang berada di Kabupaten Lebak maupun Kabupaten Sukabumi.
Dulu ada tim yang membuat Perda Kasepuhan di Kabupaten Sukabumi dan Kasepuhan di Kabupaten Lebak. Dua-duanya ditahap pertama gagal. Jangan lupa itu kegagalannya! Kenapa gagal? Karena pada saat itu wilayah Kabupaten Sukabumi masuk di wilayah Banten tetapi incu putu Cipta Rasa sudah mendiami wilayah itu sebelum berdirinya Kabupaten Sukabumi maupun Kabupaten Lebak. Di dalam peta ada wilayah Lebak jadi tidak bisa Perda kabupaten itu ada di kabupaten lain. Jeung deui aya Perda Sukabumi. Sukabumi masuk Jawa Barat. Aya Lebak provinsi mana? Banten. Moal meunang. Nah yang Lebak juga gagal karena juga ada penolakan di DPRD. Kan Perda kudu kesepakatan Bupati jeung DPRD, sambungnya.
Di tahun 2015 masyarakat kasepuhan berhasil mendapatkan Perda Kasepuhan dari Bupati Lebak. Kalau kita membicarakan masyarakat adat di seluruh dunia maka ada 2 hal prinsip nya harus dipenuhi. Pertama, Pengakuan sendiri tentang keberadaan kasepuhan adat dengan catatan harus ada pihak lain yang mengakui. Siapa saja pihak luar tersebut? Di Indonesia pihak luar yaitu Pemerintah dalam hal ini Pemerintah Daerah. Di pemaparan kang Mursid di atas sudah menyinggung vertek, verifikasi teknis. Hal tersebut dilakukan agar batas-batas kasepuhan menjadi jelas. Kang Herry berbagi pengalamannya pernah tergabung sebagai tim verifikasi teknis hutan adat di 5 kasepuhan diantaranya Kasepuhan Cibarani, Cibedug, Cisungsang dan Kasepuhan Cisitu. Dari pengalaman tersebut, ternyata ditemukan di lapangan pengajuan hutan adat dari 2000 ha menjadi 2500 ha. Kenapa luasan hutan adatnya bertambah? Menurut kang Herry hal tersebut disebabkan oleh adanya pengakuan dari pihak lain dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Pengakuan hutan adat dari negara harus ada produk hukum dar daerahnya mulai dari Perda, SK Bupati ataupun Perbup. Namun untuk pengakuan hutan adat, mengacu pada Pasal 67 UU No. 41 tentang Kehutanan Tahun 1999 dikatakan bahwa produk hukum yang diakui adalah Perda. Jika belum ada Perda-nya maka akan dijadikan statusnya Pencadangan Hutan Adat. Begitu prosedurnya. Berdasarkan pengalaman kang Herry sebagai tim verifikasi teknis hutan adat, pada hematnya didasarkan pada dua hal. Pertama, harus ada subyeknya yakni manusia yang mendiami daerah sekitar hutan adat. Dan kedua, harus Ada Obyeknya yakni keberadaan hutannya sendiri. Proses selanjutnya memang mesti bersabar karena pemohon hutan adat harus memetakan batas-batas hutan adatnya dan dilakukan dengan pemetaan partisipatif yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan di masyarakat kasepuhan.
Acara sarasehan ditutup dengan pembacaan hasil rekomendasi Forum KAWAL yang diwakili oleh Damidi, pemuda adat Baduy kepada aparatur Pemerintah Kabupaten Lebak dan hadirin di Festival Pare Ketan. Damidi kemudian dengan mantab membacakan butir-butir rekomendasi tersebut. Pembacaan butir-butir rekomendasi ditutup dengan penyerahan hasil rekomendasi Forum KAWAL dan foto bersama antara Damini dengan Bapak Diki Darmawan selaku perwakilan Pemda Lebak. Acara sarasehan kemudian ditutup oleh pemandu acara, Fauzan Adima. Dalam kata penutupnya Fauzan menandaskan bahwa apa-apa saja yang sudah disampaikan di sarasehan ini kiranya dapat menjadi bagian penting untuk kita semua dan mengingatkan kembali bahwa ketahanan pangan ini menjadi catatan penting yang pada prakteknya sudah menajdi tradisi masyarakat adat yang perlu dilanjutkan oleh generasi muda kasepuhan.
Ditulis oleh : Renal Rinoza (Divisi Knownledge Management RMI)