Hutan Adat Sebagai Obat Trauma Bagi Masyarakat Kasepuhan Karang

Awan abu-abu mulai menyelimuti Hutan Adat, Desa Jagaraksa, Lebak, Banten. Dua orang laki-laki jalan kaki keluar dari hutan dan menghampiri kami di saung warung dekat jalan raya antar kecamatan Muncang dengan Sobang. Ada yang berteriak “itu dia orangnya”, orang yang pada tahun 2013 sempat ditangkap oleh Polisi Hutan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) karena memanfaatkan ranting di kawasan konservasi.

Laki-laki yang berusia 45 tahun itu menghampiri kami yang sedang duduk di pinggir jalan tersebut, dengan membawa koneren (tas yang terbuat dari karung plastik), baju biru, dan menggunakan topi mengajukan tangan untuk salaman dengan kami. Kami bersalaman dengan menyebutkan nama masing-masing, Pak SL namanya.

Percakapan diawali dengan menanyakan kabar dan kesibukan sehari-hari. Saat ini Pak SL sibuk menanam kopi, merawat kebun, kerja di pembibitan kopi dan bersawah. Ia juga menceritakan bahwa saat ini kopi sedang berkembang pesat dan harganya lumayan, oleh sebab itu ia menanam kopi di kebunnya. Selain kopi, ia juga menanam duren, pete, jengkol, manggis, serta jengjeng.

Saat kami menanyakan tentang kejadian penangkapan oleh polisi hutan di tahun 2013, raut wajahnya berubah, ia diam lama, air mengambang di matanya, jari-jari di tangan kanannya memainkan tulang hidungnya seolah menahan air agar tidak jatuh dari matanya.

“(dulu ditangkap karena) arang, bikin arang dari ranting-ranting karet di dalam kawasan (Taman Nasional / TN), yang nyieun (bikin) Ibu HN.” katanya. Ibu HN merupakan salah satu warga/tetangga Pak SL.

Sambil memegang tulang hidungnya, ia bercerita bahwa saat itu dia baru pulang mengambil arang dari dalam hutan. Setelah keluar dari hutan, di pinggir jalan ada polisi hutan yang menegur Pak SL, “jangan taro di sini” kata polisi hutan. Kemudian arang tersebut diambil dan ia ditangkap oleh polisi hutan lalu dibawa ke kantor TNGHS Resort Cikawah. Meskipun tidak lama, tapi kejadian tersebut sangat membekas di dirinya. Ia menceritakan bahwa ada masyarakat lainnya juga yang ditangkap. “Kalau [membuat] arang mah diambil aja [arangnya]. [tapi] Kalau [memiliki] kebun diancam penjara 20 tahun dan uang 100 juta,” katanya dibarengi dengan air mata yang jatuh.

Selanjutnya di tahun 2014, Komnas HAM bersama beberapa organisasi masyarakat sipil melaksanakan Inkuiri Nasional tentang Hak Masyarakat Adat. Pak SL juga hadir dalam pertemuan tersebut, tetapi ia takut bercerita sehingga kejadian tersebut diceritakan oleh Kepala Desa Jagaraksa, “tetapi yang ada kan hanya ada kepala-kepalanya (pimpinan TNGHS saat Inkuiri Nasional, bukan polisi hutan)”, kata Pak SL. 

Sebelum berubah fungsi jadi Taman Nasional (TN) pada tahun 2003, wilayah adat Kasepuhan Karang merupakan bagian dari Perhutani. Di mana menurut Pak SL tidak ada bedanya saat wilayah adat dikuasai oleh Perhutani dengan saat dikuasai TN.  “Pas (zaman penguasaan oleh) Perhutani (masyarakat) disuruh pulang, sama kaya (pada zaman penguasaan oleh] TN,” jelas Pak SL. Pak SL menambahkan di kedua era tersebut masyarakat sama-sama diminta upeti.  

“Boro-boro ngebun harita mah, masuk wae geh sieun, punya Taman Nasional. (Boro-boro berkebun waktu itu, masuk aja takut karena punya Taman Nasional). Dulu tetep ke kebun tapi bukan di kawasan TN, tapi di kawasan yang ada SPPTnya,” jawab Pak SL, saat ditanya bedanya dulu dan sekarang. 

Pembicaraan pun kembali ke masa kini, tahun 2022. Setelah kejadian tersebut, Pak SL dan Ibu HN tidak membuat arang lagi, karena takut, dan terlebih lagi saat ini jarang ada yang membeli. Pak SL menceritakan bahwa setelah Hutan Adat Kasepuhan Karang diakui oleh Negara sebagai milik masyarakat Kasepuhan Karang, ia mengaku merasa bungah (sangat senang). Perasaan tersebut tercermin dari raut wajahnya yang berubah. “Setelah hutan adat [diakui], bisa pepelakan (menanam pepohonan) lagi juga. Ada peningkatan pendapatan. Tetangkalan (pohon) nambah, baru nanam lagi,” katanya dengan senyum lebar.  Meskipun kejadian tersebut telah berlalu, namun perasaan trauma masih menghantui Pak SL, ia mengakui bahwa hingga saat ini kalau bertemu dengan pihak Taman Nasional ia masih merasa sangat was-was. 

Sementara, Ibu HN sibuk mengelola sawahnya yang jaraknya jauh, sehingga pulang sudah hampir maghrib, padahal warga lain biasanya pulang ke rumah lepas tengah hari. Sehingga membuat ia sulit untuk ditemui.

Penulis: Siti Marfu’ah

Agensi Perempuan Kasepuhan Cirompang dalam Menciptakan Ketahanan Pangan Keluarga

“Lelaki tua dengan iket khas Sunda di kepala terlihat tersenyum ramah menyambut kedatangan kami. Sosok ini adalah Olot A, beliau merupakan salah satu Ketua Adat di Kasepuhan Cirompang. Saat tiba di sana, kami langsung dipersilakan masuk dan duduk bercengkrama di area dapur. Nuansa dapur yang dominan dengan bahan kayu ditambah geliat asap dari tungku yang menyala menciptakan suasana hangat khas pedesaan. Di dekat tungku tersebut, terlihat Ambu O (istri Olot A) yang sedang sibuk ‘ngakeul’ nasi putih di dalam sebuah dulang. Beliau begitu terampil mengaduk nasi tersebut. Tangan kirinya memegang hihid (kipas) dan tangan kanannya mengaduk nasi menggunakan pangarih (centong yang terbuat dari kayu). Sembari berbincang dengan kami, Ambu O terlihat sibuk melanjutkan proses pembuatan nasi untuk dihidangkan kepada kami.”

Kegiatan yang dilakukan perempuan dalam masyarakat adat Kasepuhan Cirompang  masih sangat identik dengan kegiatan yang ada di ranah domestik. Seperti pada kutipan di atas yang menggambarkan suasana ketika pertama kali kami tiba di Kasepuhan Cirompang. Terlihat jelas bagaimana pembagian peran antara Ambu O dan Olot A yang merepresentasikan pembagian peran dalam keseharian keluarga ini. Ketika kami datang, Ambu O terlihat sangat sibuk menyiapkan kopi, nasi, dan sayur untuk dihidangkan. Sedangkan Olot A duduk dan berbincang dengan kami. Pembagian peran yang sekilas terlihat biasa saja ini justru menjadi suatu hal yang menarik untuk kami telusuri lebih lanjut. Dari kegiatan “ngakeul” yang sedang dilakukan Ambu O kala itu menciptakan rasa ingin tahu kami tentang bagaimana perempuan adat Kasepuhan Cirompang menjalankan perannya dalam keseharian, terutama dalam kaitannya dengan agensi mereka dalam menciptakan ketahanan pangan dalam keluarga. Sekilas tentang Kasepuhan Cirompang, letak Kasepuhan ini berada di Desa Cirompang, Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Suasana bersih dan asri menjadi kesan pertama ketika kami menginjakkan kaki di Kasepuhan Cirompang pada 20 Oktober 2022 silam. Berjarak sekitar 79 km dari pusat kota Bogor, kami memerlukan waktu sekitar 4 jam untuk tiba di Kasepuhan Cirompang. Sebuah desa yang didiami oleh masyarakat adat yang masih kental dan memegang teguh berbagai aturan adat di dalamnya. Saat ini, masyarakat yang tinggal di Desa Cirompang merupakan masyarakat adat yang terdiri dari keturunan/incu putu dari Kasepuhan Citorek dan Ciptagelar. Desa Cirompang dikelilingi oleh pegunungan yang masih sangat hijau. Desa ini berbatasan langsung dengan Desa Sukaresmi (Kecamatan Sobang) di bagian utara dan berbatasan dengan Desa Citorek (Kecamatan Cibeber) di bagian selatan. Sedangkan di sebelah timur berbatasan langsung dengan Desa Sukamaju (Kecamatan Sobang), serta berbatasan dengan Desa Sindanglaya (Kecamatan Sobang) di bagian baratnya. Luas Desa Cirompang yaitu 637,608 ha (Data RMI, 2017).

Sebagian besar mata pencaharian masyarakat Cirompang yaitu berasal dari hasil pertanian (tatanen). Sehingga, aturan adat yang mengatur masyarakat Kasepuhan Cirompang kemudian juga berkaitan erat dengan kegiatan tetanen. Sebagai masyarakat adat yang dekat dengan kegiatan tetanen, salah satu hal yang membedakan masyarakat Cirompang dengan masyarakat lain yaitu berkaitan dengan cara pengelolaan bahan pangan yang dikonsumsi sehari-hari. Masyarakat adat masih memiliki pegangan dan tata cara adat tersendiri dalam proses produksi pangannya. Dalam upaya menciptakan ketahanan pangan, dahulu masyarakat adat Kasepuhan Cirompang menanam padi dengan varietas lokal (jenis pare gede) yang biasanya ditanam satu tahun sekali. Namun saat ini masyarakat menanam padi setahun dua hingga tiga kali (jenis pare leutik/pare handap). Padi yang ditanam tidak sepenuhnya dikonsumsi masyarakat sekaligus secara langsung. Namun biasanya mereka menyimpannya dalam leuit sehingga padi tersebut awet. Leuit merupakan lumbung yang digunakan untuk menyimpan padi (lihat gambar xx.xx). Adanya leuit merupakan bentuk dari sistem ketahanan pangan masyarakat Cirompang untuk menyimpan padi selama kurang lebih enam tahun. Keberadaan dan penggunaan leuit di desa ini sudah lama diwariskan secara turun menurun. Menariknya, dalam proses menciptakan ketahanan pangan keluarga di masyarakat Kasepuhan Cirompang, perempuan memiliki peran yang cukup dominan dibandingkan peran laki-laki. Perempuan terlibat mulai dari proses pengelolaan padi di sawah hingga mengolah beras menjadi nasi yang dapat disajikan untuk seluruh anggota keluarga. Sebelum menanam padi, perempuan melakukan kegiatan macul (menggemburkan tanah). Utamanya kegiatan ini dilakukan oleh laki-laki, tetapi perempuan seringkali “macul” untuk membantu laki-laki. Ketika tanah sudah siap ditanami padi, perempuan melakukan proses sebar/tebar (aktivitas menyebar benih padi) yang dilakukan selama satu hari. Selanjutnya, perempuan memindahkan benih padi dari tempat pabinihan ke sawah yang lebih luas. Proses ini dilakukan selama satu hari. Sama seperti macul, kegiatan ini dapat dilakukan oleh perempuan dan laki-laki. Setelah padi dipindahkan ke sawah, perempuan melakukan proses tandur (kegiatan menanam padi di sawah) selama 1-7 hari. Ketika padi mulai tumbuh (belum berbuah), selama seminggu perempuan membersihkan rumput yang mengganggu pertumbuhan padi. Setelah lima belas hari, perempuan kembali melakukan kegiatan ngoyos untuk kedua kalinya.

Kegiatan selanjutnya adalah ngubaran yaitu selamatan dan pemupukan untuk mengobati hama penyakit. Ngubaran ini biasanya menggunakan panglai (tanaman rempah sejenis kunyit dan jahe)dari Kasepuhan (Ritual Adat Kasepuhan). Pelaksanaan ngubaran biasanya dilakukan oleh laki-laki dan perempuan selama empat puluh hari lamanya. Usai ngubaran, upacara dilanjutkan dengan kegiatan selamatan ketika padi berbunga, menabuh lisung, dan gegenek (Ritual Adat Kasepuhan). Upacara ini disebut dengan apag pare beukah. Ketika padi tumbuh dan akan dipanen,dilakukanupacara selamatan yang disebut dengan beberes (Ritual Adat Kasepuhan). Kegiatan ini biasanya dilakukan oleh laki-laki dan perempuan selama empat puluh hari. Prosesi usai beberes disebut dengan mipit, yaitu kegiatan memanen padi yang dilakukan selama satu hari. Pelaksanaan mipit inimelibatkan peran perempuan dan laki-laki. Setelah padi dipanen kemudian padi dikeringkan dan diikat, hal ini disebut dengan mocong. Mocong biasanya dilakukan oleh laki-laki dan perempuan berperan membantu laki-laki. Kegiatan ini dilakukan selama setengah bulan. Setelah mocong dilakukan, proses selanjutnya adalah laki-laki ngunjal (memindahkan padi dari lantaian ke leuit), sedangkan perempuan berperan membantu proses menyalurkan padi yang akan dimasukkan ke leuit. Ngunjal ini berlangsung selama satu hari. Setelah ngunjal selesai, kegiatan selanjutnya adalah netepkeun, yaitu selametan padi selama berada di leuit (Ritual Adat Kasepuhan). Kegiatan ini biasanya dilakukan oleh laki-laki. Selanjutnya, prosesi terakhir adalah seren tahun yaitu selametan atas hasil bumi (padi) yang didapat (biasanya setiap minggu atau senin) dan jatuh pada bulan haji/rowah. Kegiatan ini melibatkan peran laki-laki dan perempuan dalam pelaksanaannya. (Data RMI, 2017).

Ketika peran laki-laki telah usai (dari proses pengelolaan sawah hingga puncak kegiatan penyimpanan padi ke dalam leuit), tetapi peran yang harus dijalani perempuan masih sangat panjang. Perempuan masih melanjutkan pengelolaan padi menjadi beras, dan mengolah beras menjadi nasi hingga dapat dimakan untuk seluruh anggota keluarga. Seperti yang terlihat pada gambar xx.xx di atas yang merupakan gambar kegiatan nutu padi dengan menggunakan lisung atau lesung. Nutu padi merupakan kegiatan menumbuk padi di dalam lisung. Kegiatan ini seutuhnya dilakukan oleh para perempuan (biasanya secara berkelompok). Nutu padi dilakukan oleh dua orang yang memegang halu (tongkat penumbuk padi) dan menumbuk padi dalam lisung secara bergantian.  Kemudian dua orang lainnya memisahkan padi dari huut (kulit padi) dengan menggunakan tampah. Kegiatan memisahkan padi dari kulitnya ini disebut dengan napi. Jika padi sudah terpisah dari huut-nya, jadilah beras yang kemudian dapat dikonsumsi rumah tangga.

Setelah memisahkan padi dari kulitnya, para perempuan Kasepuhan Cirompang juga memiliki cara khusus dalam proses pengelolaan beras menjadi nasi. Proses yang dilalui dalam pengelolaan nasi ini lebih panjang dan membutuhkan waktu yang lebih lama dari proses pembuatan nasi pada umumnya. Pertama proses tersebut dimulai dengan memasukkan beras ke dalam bakul kecil (disebut boboko) lalu beras dicuci hingga bersih. Kegiatan ini dinamakan dengan ngisikan/diisikan. Usai ngisikan dilakukan, beras tersebut dituang ke wadah berbentuk anyaman kerucut yang disebut asepan dan diletakkan di atas dandang (seeng). Proses ini dilakukan di atas dandang yang berada di atas tungku (hau) yang masih menggunakan bahan kayu bakar. Beras dalam asepan didiamkan hingga dandang terlihat mengeluarkan asap sampai timus (mengebul).

Kemudian setelah nasi dalam asepan terlihat setengah matang, nasi tersebut diangkat dan dipindahkan ke dalam dulang dan dituangi sedikit air kemudian diaduk dengan pangarih (centong yang terbuat dari kayu). Kemudian nasi yang setengah matang ini diaduk. Setelah dirasa air meresap dalam nasi, nasi tersebut kembali ditaruh ke dalam asepan dan ditutup menggunakan penutup (dikekeb). Setelah nasi matang, proses selanjutnya yaitu ngakeul, yaitu proses mengaduk nasi sebelum disajikan dan dilakukan di dalam dulang. Kegiatan ini dilakukan dengan tangan kiri memegang hihid (kipas) dan tangan kanan mengaduk nasi menggunakan pangarih (centong yang terbuat dari kayu) dan dilakukan secara bersamaan. Proses pembuatan nasipun selesai dan nasi tersebut dapat disajikan untuk seluruh anggota keluarga.

Selain proses pembuatan nasi, hal lain yang menarik perhatian kami yaitu ketika kami melewati pekarangan rumah dan galengan sawah di sekitar Kasepuhan Cirompang. Disana terlihat para perempuan yang menanam tanaman sayur untuk dimasak dan memenuhi kebutuhan sayur sehari-hari mereka. Kegiatan menanam sayur yang dilakukan para perempuan di Kasepuhan Cirompang ini bermula karena sulitnya akses kebutuhan sayur yang dibudidaya di Desa Cirompang. Para perempuan di Kasepuhan Cirompang membentuk kelompok perempuan adat yang bernama Sompang Kisancang. Salah satu kegiatan kelompok perempuan ini yaitu berupaya menciptakan ketahanan pangan keluarga dengan belajar menanam sayur di pekarangan rumah, di pinggiran kolam Saung Kisancang, serta di galangan sawah yang mereka miliki.

Berdasarkan penuturan Teh IW (ketua kelompok Sompang Kisancang), kegiatan yang dilakukan kelompok perempuan Sompang Kisancang sangatlah beragam. Mulai dari belajar menanam sayur bersama RMI sehingga sayur tersebut bisa memenuhi kebutuhan dan dijual keluar desa, membuat keripik dan kerupuk, membuat kue, hingga belajar membuat nugget dari bahan ikan nila dan ayam bersama Sobat Mengajar. Namun sayangnya, keterlibatan perempuan di Sompang Kisancang masih sangat rendah, jumlah maksimal perempuan yang aktif dalam kelompok perempuan ini hanyalah sepuluh orang. Kendala yang mempengaruhi kegiatan tersebut biasanya dikarenakan bertubrukan dengan jadwal musim tandur dan urusan domestik yang kemudian menjadi kendala berjalannya kegiatan kelompok perempuan tersebut. Namun meskipun begitu, para perempuan secara mandiri tetap berupaya menanam kebutuhan sayur di depan pekarangan rumah (dengan polibek/bekas karung beras) dan galengan sawah mereka.

Dari seluruh uraian peran yang diemban oleh perempuan Kasepuhan Cirompang, keterlibatan diri perempuan di banyak lini kesempatan yang ada membuat kita menyadari bahwa masih ada pembagian peran yang timpang. Hal ini membuktikan adanya pandangan patriarki yang masih terasa kental di Kasepuhan Cirompang. Timpangnya pelibatan perempuan terlihat dari pembagian tugas domestik dalam keseharian yang banyak dibebankan pada perempuan. Perempuan menanggung beban yang cukup dominan dalam pekerjaan rumah tangga dibandingkan laki-laki. Selain memasak, perempuan di Kasepuhan Cirompang juga memiliki tugas dalam penggarapan sawah, mencuci, membersihkan rumah, dan beragam tugas rumah tangga lainnya.

Banyaknya tugas yang harus dilakukan perempuan dalam keseharian ini juga secara tidak langsung kemudian mempengaruhi keterlibatan perempuan dalam ruang publik. Seperti ketika terjadi rapat pengambilan keputusan yang berkaitan dengan urusan adat, perempuan seringkali tidak diajak, atau bahkan ketika diajak dan perempuan hadir dalam pertemuan tetapi pendapatnya tidak didengarkan. Sehingga suara perempuan acapkali tidak terwakilkan dalam rapat pengambilan keputusan adat. Bahkan Teh IW menyatakan ketika ada beberapa perempuan yang ikut hadir dalam rapat adat dan mencoba memberi masukan, pendapat mereka tidak seutuhnya didengar ataupun dijadikan rujukan dalam pengambilan keputusan adat yang ada. Tentu hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi perempuan adat dalam menegosiasikan perannya di ruang publik namun di sisi lain mereka juga harus hidup berdampingan dengan struktur adat yang telah terpatri. Meskipun perempuan di Kasepuhan Cirompang masih mengalami subordinasi dalam struktur adat dan kondisi ini sekilas terlihat fixed (tidak dapat dinegosiasikan), namun kami juga melihat dari sisi lain bahwa adanya semangat yang tinggi para perempuan Cirompang dalam mewujudkan posisi perempuan dalam masyarakat adat. Peran dominan pelibatan diri perempuan Kasepuhan Cirompang dalam menciptakan ketahanan pangan keluarga hingga terbentuknya kegiatan kelompok perempuan Sompang Kisancang menjadi bukti adanya agensi perempuan dalam menegosiasikan posisi mereka di Kasepuhan Cirompang. Selain memiliki tugas-tugas yang telah diidentikkan dengan tugas perempuan, namun perempuan Kasepuhan Cirompang tetap berupaya fleksibel membantu peran laki-laki di setiap kesempatan yang ada. Peran perempuan mulai dari pengelolaan tanah di sawah, pengelolaan tanaman padi, menumbuk padi hingga menjadi beras, mengelola beras dengan cara tradisional agar menjadi nasi, menanam sayur, hingga berinisiatif dan bergerak terlibat dalam kelompok perempuan Sompang Kisancang (menciptakan berbagai produk olahan rumah tangga) secara tidak langsung menjadi penanda bahwa negosiasi posisi perempuan di dalam Kasepuhan Cirompang sedang berlangsung. Fleksibilitas perempuan dalam membantu laki-laki menjalankan peran kesehariannya namun tetap menjalani kewajiban tugas perempuan sesuai aturan adat justru mendorong kreativitas perempuan Kasepuhan Cirompang dalam membentuk power perempuan itu sendiri. Sehingga peran yang diambil perempuan Kasepuhan Cirompang justru membawa mereka pada kondisi ‘berdaya’ dan tidak bergantung pada apapun. Tanpa peran aktif perempuan Kasepuhan Cirompang, ketahanan pangan di Kasepuhan Cirompang sulit untuk dapat terwujud.


Ditulis oleh: Murti Aria Saputri

Diedit oleh: Siti Marfu’ah

Cerita Perubahan : Perawatan Kepedulian Pemuda Terhadap Kampung Sendiri

Terhitung sudah berjalan tiga bulan, kegiatan yang berfokus untuk membersamai kemajuan penciptaan ruang-ruang inklusif lewat pemberdayaan perempuan, pemenuhan hak-hak disabilitas dan inklusi sosial serta penguatan masyarakat sipil di empat Masyarakat Adat Kasepuhan dan Masyarakat Adat Baduy yang berlokasi di Kabupaten Lebak, Banten. Di awali dengan kegiatan penyusunan baseline data program.

Sejak disosialisasikan, kegiatan ini berkomitmen untuk melibatkan kelompok pemuda dan perempuan dalam proses pengambilan data. Dengan keterlibatannya, kelompok pemuda dan perempuan memperlihatkan kemauan keras untuk belajar  dan  kapabilitas mereka sebagai kelompok yang partisipasinya minim di kampung untuk tujuan pendataan. Hal ini tampak dari kerja sama antar enumerator kader lokal yang bergerak dengan dua cara yaitu berkelompok dan individu dalam suatu jangkauan kampung. Mereka berkoordinasi, membagi peran dan tanggung jawab dalam proses pendataan.

Selain itu, dari proses pendataan ini, enumerator kader lokal mampu melihat permasalahan yang muncul secara tersirat dari pertanyaan yang mereka tanyakan ke masyarakat yang ada  di kampung mereka. Beberapa diantaranya bercerita mengenai pendapatan yang lebih sedikit daripada pengeluaran setiap bulannya, banyaknya yang belum mendapatkan bantuan dalam bentuk apapun, sampai layanan administrasi kependudukan yang belum dimiliki oleh masyarakat.

Cerita menarik, salah satunya datang dari Kasepuhan Cibedug. Enumerator kader lokal disana terdiri dari dua orang yaitu Ega Juanda dan Ahmad Setiadi. Selama proses tiga bulan pendataan baseline data ini, mereka selalu terlibat dalam proses pelatihan pendataan yang diberikan terhitung tiga kali oleh RMI. Setelah itu, keduanya juga sering menanyakan kepada RMI mengenai permasalahan yang dihadapi saat pendataan, menanyakan teknis secara mendalam dan menyatakan alasan macetnya pendataan yaitu musim panen di Cibedug yang membuat orang-orang di Kasepuhan Cibedug sibuk dan menghambat proses pendataan. Alhasil, Ega Juanda mampu mengumpulkan paling banyak data dengan 82 data dan Ahmad Setiadi mengumpulkan 55 data tertinggi ketiga dibandingkan seluruh enumerator.

Dari proses selama tiga bulan tersebut, kedua enumerator dari Cibedug menunjukkan rasa ingin belajar, mau mengakui kesalahan dan belajar dari kesalahan. Menurut RMI, disinilah sisi inklusivitasnya, karena sebelumnya aktivitas pemuda di Kasepuhan Cibedug minim. Dengan terlibatnya kedua enumerator kader lokal disana, membuat mereka terlibat aktif dalam kegiatan di Kasepuhan Cibedug dan mampu melihat permasalahan yang muncul selama proses pendataan.

Hal positif lain yang bisa dilihat adalah praktik baik yang diperlihatkan oleh pemuda yang terlibat dalam pengumpulan data, ini memberikan dampak ke pemuda yang lain menjadi semangat untuk meningkatkan kapasitas dan mengembangkan diri. Karena memang pemuda dan perempuan bisa dikategorikan kedalam kelompok marjinal, di mana kesempatan untuk belajar dan partisipasi mereka masih sangat minim, baik dalam level desa maupun komunitas.

Berkerjasama dengan Kemitraan Partnership melalui program ESTUNGKARA “Kesetaraan untuk Menghapus Ketidakadilan dan Diskriminasi” RMI melakukan kegiatan yang sudah dijelaskan di atas.  

Penulis : Rifky Putra K  dan Slamet Widodo

Editor: Siti Marfu’ah

Kolaborasi Multi-aktor dalam Upaya Menciptakan Ruang Inklusif Masyarakat Adat

Pemajuan kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan, pemenuhan hak-hak disabilitas serta penguatan masyarakat sipil menjadi aspek penting yang perlu dipertimbangkan dalam usaha untuk menciptakan ruang publik yang inklusif. Masyarakat adat yang memiliki ciri khas tertentu terkait keadatannya tidak menjadi halangan bagi terciptanya ruang publik inklusif. RMI percaya keduanya dapat berakulturasi secara bertahap. Dengan hal tersebut, RMI yakini dapat menyumbang pada visi besar pembangunan di lingkungan Masyarakat Adat yang mengedepankan kesejahteraan lahir batin.

Keberlanjutan gerakan kolaborasi antara RMI dan komunitas mitra sangatlah penting. Sehubungan dengan itu, dengan konteks dinamika sosial di komunitas mitra RMI yang dinamis perlu menyikapi tantangan-tantangan baru dari waktu ke waktu. Berangkat dari tersebut, untuk merespon tantangan baru dalam penciptaan ruang publik yang inklusif di komunitas mitra, RMI melakukan kerja sama dengan Kemitraan Partnership untuk menjalankan program ESTUNGKARA. 

ESTUNGKARA adalah kepanjangan dari “Kesetaraan untuk Menghapus Ketidakadilan dan Diskriminasi”. Program ini ikut mendorong terwujudnya pemerintahan yang inklusif di Indonesia dan mendorong kesetaraan dan keadilan gender, inklusi sosial, peningkatan ekonomi dan pembangunan kapasitas organisasi masyarakat sipil. Dengan semangat yang senada, kolaborasi dalam program ESTUNGKARA menjadi sesuatu yang penting untuk dilakukan bagi seluruh pemangku kepentingan terkait.

Terhitung sejak tanggal 26 Juli 2022 sampai 3 Agustus 2022 RMI mulai bersafari ke lima komunitas sasaran program ESTUNGKARA yaitu Kasepuhan Cibedug, Kasepuhan Cibarani, Kasepuhan Pasir Eurih, Kasepuhan Cirompang dan Baduy bermaksud untuk mensosialisasikan program ini. Selain itu, dalam kegiatan safari ini, RMI melakukan tahapan awal dengan melakukan riset di empat area yaitu terkait layanan dasar dan kesehatan, partispasi perempuan dan pemuda, penerimaan sosial dan situasi disabilitas, serta potensi ekonomi yang dapat dijadikan referensi tambahan bagi berjalannya program ESTUNGKARA.

Dalam proses pengumpulan data, RMI bekerja sama dengan kader pemuda kasepuhan sebagai enumeratornya. Hal ini dilakukan agar terjadi transfer pengetahuan dan pengalaman pengambilan data sekaligus meminimalisir kesalahan dalam menentukan sasaran calon penerima manfaat. Walaupun begitu, pengambil data tetap didampingi secara berkelanjutan untuk memastikan data terkumpul sesuai dengan kebutuhan. Berdasarkan observasi di lapangan, kader pemuda di kasepuhan terlihat antusias dalam mengikuti kegiatan sosialisasi. Walaupun begitu, untuk alasan teknis, pengambilan data di Baduy akan melibatkan aparat pemerintahan desa. Siasat ini dilakukan karena faktor teknis di Baduy yang lebih efektif menggunakan cara tersebut. Hal ini menekankan prinsip kolaborasi yang dibawa RMI sejak awal.

Selain berkolaborasi dengan kader pemuda lokal, RMI juga membuka komunikasi dengan tokoh pemuka adat, tokoh masyarakat dan pemerintah desa. Hal ini dilakukan untuk memastikan dukungan sosial terhadap program ini yang berdasarkan pada manfaat yang dapat dirasakan bagi seluruh pihak yang menjadi poin penting bagi tata kelola yang kolaboratif.

Dari sisi pemerintah desa, program ini dapat mengakselerasikan tujuan-tujuan pembangunan dan data yang akan dikumpulkan dapat menjadi acuan bagi pemerintah desa untuk menyusun program kedepannya. Sedangkan dari tokoh masyarakat dan pemuka adat dapat merasakan secara tidak langsung dari kegiatan ini yang jika skalanya diperluas, harapannya, program ini dapat meresonansikan terciptanya kesejahteraan lahir batin bagi masyarakat adat yang inklusif dan tata kelola yang kolaboratif.

Masyarakat adat yang tadi sudah dipisahkan berdasarkan peran seperti tokoh adat, tokoh masyarakat, pemuda lokal dan penerima manfaat dalam program ini, tidak sekedar menjadi objek dari program ESTUNGKARA ini. Kami membuka peran seluas-luasnya bagi masyarakat adat untuk menentukan siapa sasaran penerima manfaat program dan mendampingi pengambilan data yang dilakukan oleh masyarakat adat. Hal ini dilakukan dengan harapan masyarakat adat dapat mengakselerasikan kemandirian pembangunan masyarakat adat dalam skala lokal yang inklusif untuk mencapai kesejahteraan lahir batin.

Penulis : Rifky A & Slamet Widodo

Editor: Siti Marfu’ah

SPORA Batch V: Menumbuhkan Keresahan dan Refleksi Generasi Muda dalam Menyelami Persoalan Sosial-Lingkungan

 

   Foto bersama peserta SPORA Batch V (Dokumentasi RMI diambil oleh Eki)

“SPORA batch V banyak memberikan makna baru dalam kamus hidup setiap peserta. Selain dilatih untuk berpikir kritis, SPORA juga melatih keseimbangan antara otak dan hati.” -Elif Ivana Hendastari (Peserta SPORA Batch V)

Generasi muda memiliki potensi besar untuk berkontribusi dalam melakukan perubahan sosial-lingkungan. Bukan hal baru jika julukan agen perubahan hingga pembaharu dengan semangat progresif melekat dalam diri generasi muda. Pengharapan terhadap mereka pun bahkan sempat disampaikan oleh presiden pertama RI, di mana ia berkata bahwa dunia dapat diguncang dengan berbekal 10 pemuda. 

Namun dalam melakukan suatu perubahan, menjadi satu hal penting bagi generasi muda untuk lebih memahami isu-isu sosial-lingkungan dengan menarik keterkaitan antara masyarakat dengan pengelolaan kekayaan alam. Bagaimana dari keterkaitan tersebut tanpa kita sadari memiliki dampak pada ketimpangan serta krisis sosial-ekologis yang terjadi di sekitar kita. 

Berawal dari kesadaran atas pentingnya memahami isu sosial-lingkungan bagi generasi muda, menjadi dorongan besar bagi RMI untuk mengadakan kursus singkat yang di dalamnya membicarakan seputar isu tersebut. Kegiatan yang menjadi model pembelajaran sejak tahun 2016 ini telah membawa 82 alumni (dari lima batch) yang diharapkan dapat menjadi penggerak sosial di lingkungan mereka masing-masing. 

Kursus SPORA, yang sebelumnya dikenal dengan sebutan Short Course sempat terhenti selama dua tahun akibat pandemi Covid-19, akhirnya kembali terlaksana pada tanggal 6-10 Agustus 2022. Sebanyak 22 peserta yang terdiri dari 14 orang perempuan dan 8 orang laki-laki berkegiatan bersama selama lima hari, saling bertukar pikiran dan pendapat, mempelajari isu-isu sosial dan lingkungan, serta keterhubungan antar berbagai isu beserta konteks yang melatarbelakanginya. 

Perjalanan Generasi Muda Merefleksikan Diri dan Sekitarnya

Foto diskusi kelompok peserta SPORA Batch V (Dokumentasi RMI diambil oleh Eki)

Materi SPORA yang dibawakan dikemas secara sistematis dengan metode-metode yang beragam dan menyenangkan berdasarkan pengalaman RMI dalam menyelenggarakan kegiatan bersama dengan masyarakat. Hal ini bertujuan agar penyampaian materi kepada seluruh peserta tersalurkan dengan optimal dan mudah dipahami sehingga menjadi satu pemahaman yang utuh. 

Pembelajaran yang didapat setiap harinya menjadi pengalaman unik bagi setiap peserta yang mengikuti kegiatan SPORA. Akan tetapi ada kesamaan tujuan dalam penyampaian setiap materi: menumbuhkan keresahan dan meningkatkan kemampuan berpikir kritis generasi muda dalam melihat persoalan sosial-lingkungan di sekitar. Tujuan tersebut terfasilitasi melalui sejumlah materi yang disampaikan, antara lain mindfulness dan Kepemimpinan inklusif, Kebijakan dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA), Gender dan Inklusi Sosial, Etika Lingkungan, Ekologi Politik, Kebijakan dalam PSDA, Kemiskinan Struktural, kemudian dilanjutkan dengan Observasi Sosial di sekitar lokasi kegiatan.

Untuk menunjukan kompleksitas persoalan sosial-lingkungan, materi yang disiapkan untuk kegiatan SPORA pun saling terkait dengan materi lain. Seperti halnya dengan materi Etika Lingkungan yang dibawakan oleh Mardha Tillah, di mana peserta diajak untuk menyelami pemahaman atas keterhubungan alam dengan makhluk hidup di dalamnya. Bagaimana manusia memahami, menghuni, sampai mengubah lingkungan di sekitarnya; bagaimana rasio dianggap lebih superior ketimbang perasaan; bagaimana tradisi serta dogma agama dapat mempengaruhi manusia dalam mengelola kekayaan alam yang tersebar di bumi; hingga pada akhirnya mendorong tumbuh dan makin menjamurnya praktik kapitalisme sampai saat ini. 

Foto Mia Siscawati, pemateri Gender dan PSDA di SPORA Batch V (Dokumentasi RMI diambil oleh Eki)

Materi Etika Lingkungan di atas pada dasarnya adalah pengantar bagi materi yang disampaikan setelahnya yaitu Gender dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA). Menjadi satu hal yang menarik saat seluruh peserta diajak untuk membuat pentas drama atau bermain peran (role play) oleh Mia Siscawati, sebagai penghubung dalam memahami materi yang akan disampaikan. Beragam persoalan sosial-lingkungan mulai dari persoalan gender di wilayah rural-urban ditampilkan seluruh peserta dengan cara yang amat kreatif. Tanpa disadari hal-hal yang telah ditampilkan peserta melalui role play tersebut mengajak mereka untuk lebih tersadar dan memahami persoalan gender sehari-hari yang mereka temui namun luput untuk direfleksikan lebih mendalam. Bagaimana peran gender sebetulnya terbagi menjadi beberapa peran seperti domestik atau reproduksi, produktif, dan peran sosial adalah salah satu pembelajaran penting yang diperoleh peserta selama sesi ini berlangsung. 

Pemateri lalu melanjutkan pemaparannya bahwa persoalan gender yang ada tidak akan terlepas dari relasi antar kelas dan bentuk-bentuk lain dari ketidakadilan gender. Paparan terkait dengan sistem tenurial menjadi pembelajaran menarik lain di dalam materi Gender dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA). Melalui penjelasan tentang sistem tenurial yang juga mencakup seluruh komponen dalam ruang hidup, dapat berdampak pula pada keterkaitan lain yang memungkinkan untuk menimbulkan konflik seperti konflik agraria. Hal ini menjadi isu yang seringkali berada di luar perhatian publik maupun pemberitaan media massa. Karena persoalan tersebut masih dianggap sebagai persoalan milik mereka yang ruang hidupnya terampas. Proses yang dilalui peserta dalam materi ini kemudian mengantarkan mereka pada satu pemahaman bahwa kerusakan lingkungan dan konflik agraria dapat melanggengkan praktik ketidakadilan gender.

Foto peserta SPORA Batch V bermain Mancing Mania (Dokumentasi RMI diambil oleh Eki)

Pembelajaran dan refleksi yang didapat selama kegiatan SPORA berlangsung tidak hanya berasal dari materi-materi yang disampaikan dalam metode ceramah saja. Adapun metode ajar yang disampaikan melalui diskusi, tugas individu, sesi team building, dan permainan-permainan. Pembelajaran menarik salah satunya terlihat dalam permainan “Mancing Mania” pada materi Konsep Keberlanjutan, Konflik, dan Resolusi yang mengajak peserta untuk memahami konsep berkelanjutan itu sendiri. Dalam realita pemanfaatan kekayaan alam; tak jarang masyarakat, perusahaan, atau bahkan pemerintah sendiri melakukan kegiatan pemanfaatan kekayaan alam dengan cara-cara ekstraktif tanpa mempertimbangkan kekayaan alam kian menipis seiring berjalannya waktu. 

Refleksi akan pentingnya merubah cara pandang terhadap pemanfaatan kekayaan alam menjadi pembelajaran penting setelah permainan ini usai dilakukan. Tidak sedikit peserta yang kesal karena secara gamblang menyaksikan ketamakan yang diperlihatkan selama permainan berlangsung. Hal tersebut merefleksikan pola-pola pemanfaatan kekayaan alam yang tidak memperhatikan aspek keberlanjutan. 

Pasca-SPORA Batch V

Seluruh peserta telah mengikuti lima hari kegiatan SPORA dengan sangat baik. Proses pembelajaran serta transfer pengetahuan dan pengalaman juga terjalin secara mandiri di antara peserta, tidak terpaku pada fasilitator atau pemateri saja. Di akhir kegiatan, setiap peserta juga menyampaikan cita-cita mereka di kemudian hari bagi lingkungan di sekitarnya. Penguatan komitmen, oleh karenanya, merupakan satu hal penting untuk memastikan keberlanjutan dari pengharapan yang ingin mereka wujudkan. Bagaimana gerakan sosial yang digawangi oleh generasi muda dapat menjadi pendekatan dalam merespon persoalan sosial-lingkungan yang tengah kita hadapi saat ini menjadi hal yang diproyeksikan terjadi pasca-SPORA berlangsung.

Foto peserta SPORA Batch V (Dokumentasi RMI diambil oleh Eki)

Kegiatan SPORA Batch V telah usai. Namun seluruh pengalaman dan pembelajaran yang telah didaparkan oleh peserta dan juga pemateri tidak serta merta terhenti setelah kegiatan. Pengetahuan dan informasi selama kegiatan SPORA diharapkan dapat menjadi bekal kaum muda dalam memahami dan merespon persoalan sosial-lingkungan yang terjadi disekitar. Oleh karena itu seluruh peserta yang telah menyelesaikan kegiatan SPORA diajak untuk bergabung dan aktif berkegiatan di dalam Relawan4life, yang merupakan ruang belajar generasi muda yang diinisiasi RMI sebagai tempat bagi orang muda untuk merawat inisiatif-inisiatif gerakan sosial-lingkungannya bersama

Sampai bertemu lagi di SPORA Batch selanjutnya!

 

Penulis: Dinah Ridadiyanah 

Editor: Supriadi

 

Silakan klik link berikut untuk melihat tanggapan peserta mengenai kegiatan Kursus Singkat ini :

Cerita Tias: Spora: Menyikapi Pesimisme dengan Positif – Relawan for Life (wordpress.com)

Cerita Elif: SPORA batch V : Letih, Tertatih, namun Melatih   – Relawan for Life (wordpress.com)

Cerita Anggi: Karena SPORA Tak Harus Tumbuh Saat Itu Juga – Relawan for Life (wordpress.com)

Upaya Mengenali Diri dan Kaitannya dengan Kepemimpinan Pribadi

Lebih mengenal dan memahami diri merupakan suatu tantangan bagi individu yang berkegiatan dengan lembaga maupun komunitas yang bergerak dalam kerja-kerja sosial. Tanpa disadari, upaya untuk lebih mengenali diri tidak jarang tertinggal atau bahkan tersingkirkan di tengah-tengah kerja sosial yang dinamis. Sedangkan proses mengenali diri, di sisi lain, dapat membantu mengatasi kelemahan serta memetakan potensi diri yang kita miliki–untuk kemudian dioptimalkan dalam kerja-kerja bersama di komunitas. 

Penguatan kapasitas, baik secara individual maupun organisasional, menjadi hal yang sangat dibutuhkan oleh ketiga komunitas yang tergabung dalam inisiatif Kampung Katong (Simpasio Institute, Kolektif Videoge, dan Lakoat.Kujawas) karena berkaitan dengan kebutuhan regenerasi dan pendalaman cakupan kerja di dalam internal komunitas mereka sendiri. Selama inisiatif Kampung Katong ini berjalan hingga tahun 2023, kegiatan Pelatihan Kepemimpinan akan dilaksanakan sebanyak tiga kali. Pelatihan akan disampaikan dengan materi-materi pendukung yang berkaitan dengan peningkatan kapasitas kepemimpinan dalam beberapa tingkatan yakni; level pribadi pada Pelatihan Kepemimpinan 1, level penggerak organisasi Pada Pelatihan Kepemimpinan 2, dan level sistemik pada Pelatihan Kepemimpinan 3.

Kali ini kegiatan Pelatihan kepemimpinan 1 diselenggarakan di Larantuka, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Dilaksanakan selama lima hari, Pelatihan Kepemimpinan 1 yang telah ditujukan untuk meningkatkan pemahaman akan diri pribadi secara lebih mendalam dan memahami posisi pribadi dalam gerakan sosial dan meningkatkan semangat kerja kolektif untuk kemajuan komunitas yang selama ini telah menjadi nafas utama dalam aktivitas rutin ketiganya.

Perkenalan dan Refleksi terhadap Kerja di Komunitas

Kegiatan pelatihan dimulai pada tanggal 22 Mei 2022, di mana ketiga komunitas pada akhirnya bertemu kembali setelah sebelumnya melakukan kegiatan Residensi selama satu minggu di Mollo (lokasi Lakoat.Kujawas) pada bulan Maret 2022 lalu. Meskipun  ketiga komunitas yang tergabung dalam inisiatif Kampung Katong berasal dari wilayah yang berbeda-beda, tidak menghalangi pembelajaran yang didapatkan selama prosesnya. Beberapa sesi dalam pelatihan justru disusun untuk mempelajari keberagaman latar belakang sosial-budaya dan saling mengapresiasi kerja-kerja komunitas–termasuk pembelajaran yang diperoleh sejauh ini.

Beragam kisah, budaya, dan pengalaman dituangkan oleh setiap peserta pelatihan melalui metode perkenalan di hari pertama. Penggunaan metode “Kita pung box” atau dalam bahasa Indonesia berarti “Kotak Kepunyaan Saya” menjadi media perkenalan peserta yang sangat menarik. Dimulai dengan memberikan hiasan menggunakan spidol, krayon, potongan koran dan majalah bekas, hingga menggunakan bunga serta dedaunan yang ada di sekitar Biara Susteran PRR Weri yang menjadi lokasi dilaksanakannya pelatihan. 

Setelah memperindah box yang sudah disediakan, semua peserta mempresentasikan hasil karya mereka seraya memperkenalkan diri dengan cara yang unik dan kreatif. Marto salah seorang peserta pelatihan dari komunitas Teater SiapaKita Labuan Bajo (salah satu jejaring Kolektif Videoge) menceritakan bahwa proses pengenalan dirinya relevan dengan unfolding theory (salah satu metode pembawaan alur cerita dalam teater/drama). Dia berkata bahwa pada saat membuka satu lapisan dalam diri, pasti tidak akan langsung terbuka karena akan ada lapisan-lapisan lain setelahnya. Selain memperkenalkan diri kepada peserta lain, adapun peserta pelatihan yang membagi kisah hidup yang dialami hingga ia bisa bertahan sampai hari ini. 

Refleksi yang dilakukan selama proses pembuatan “Kita pung box” menjadi pembelajaran tersendiri, selain dapat dijadikan proses pengenalan diri bagi peserta pelatihan. Aden dari Kolektif Videoge memaparkan bahwa pembelajaran yang diterima melalui penggunaan metode “Kita pung box” dapat memunculkan pemikiran, informasi, dan perasaan yang mungkin selama ini hanya dipendam dalam diri sendiri. Mengenali kelebihan diri dan mempersiapkan masa depan. Hal itu pula yang nantinya akan sangat berdampak pada kerja-kerja di komunitas: dengan lebih memahami diri sendiri dan makin munculnya keterbukaan di antara anggota komunitas pastinya akan memudahkan apa yang sedang diusahakan.

Proses Pengenalan Diri dan Kepemimpinan Pribadi (Stereotip dan Bias Implisit)

Dalam menjalani proses pengenalan diri, perlu adanya alat bantu yang digunakan untuk mendalami diri dan merefleksikan segala hal yang telah maupun telah dilalui. Salah satu alat bantu yang digunakan di sini yaitu mengenal kepribadian melalui tes Myers-Briggs Type Indicator (MBTI). 

Untuk mengikuti tes MBTI ini, setiap peserta diminta untuk memberikan nilai pada pernyataan yang telah disediakan sebelumnya. Melalui pernyataan tersebut akan menghasilkan beberapa indikator tipe kepribadian yang diantaranya berisi Ekstrovert/Introvert, Intuitive/Sensing, Feeling/Thinking, dan Perceiving/Judging.

Walaupun hasil dari tes MBTI belum tentu akurat, tes MBTI ini dapat menjadi salah satu jalan pembuka untuk mengidentifikasi potensi dan mengenal diri lebih dalam. Menanggapi hasil tesnya,  Retha dari SimpaSio Institut berpendapat bahwa banyak tips yang perlu dipahami terlebih dahulu dan jangan langsung diterima begitu saja. Dari penjelasan MBTI, ada penjelasan mengenai kelebihan dan kekurangan diri serta bagaimana memperbaikinya. Namun menurutnya kepribadian tidak akan berhenti di satu titik. Pembelajaran yang telah dilalui selama ini dapat mempengaruhi kepribadian kita kedepannya. 

Lain halnya dengan pendapat yang dipaparkan oleh Ari dari Lakoat.Kujawas. Ia memberikan tanggapan bahwa setelah melihat tips yang diberikan melalui modul, masing-masing individu semakin sadar dan mengetahui potensi serta batasan-batasan yang mungkin ada dalam diri. Melalui tes kepribadian yang telah dilakukan, hasilnya cukup merepresentasikan kepribadian dan apa yang dirasakan setiap anggota komunitas.

Selanjutnya, upaya untuk lebih memahami dan melihat potensi diri di dalam komunitas terkonfirmasi melalui diskusi yang dilakukan bersama dengan anggota komunitas masing-masing. Banyak pembicaraan menarik yang disampaikan oleh tiap-tiap komunitas. Di dalam kelompok, mereka saling bergantian memberikan masukan berdasarkan contoh sehari-hari serta mengkonfirmasi penjelasan dan tips yang dituliskan di dalam modul MBTI. 

Untuk dapat memimpin sesuatu, kita perlu menjadi pemimpin untuk diri kita sendiri. Oleh karenanya selain mengenali diri sendiri, seorang pemimpin hendaknya mampu memahami realita sosial dan tantangan-tantangan yang hadir dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu tantangan tersebut mewujud ke dalam stereotip dan bias implisit yang terbentuk sedari dulu di tengah-tengah masyarakat. Dalam pelatihan kali ini, disinggung pula bagaimana stereotip dan bias implisit telah disematkan kepada seseorang sejak masih berada di usia dini, hingga berkembang ketika dewasa. Melalui teori interseksionalitas, diskriminasi beserta keistimewaan pada ras tertentu, jenis kelamin, agama, gender, usia, etnis, atau karakteristik lainnya. 

Selama kegiatan berlangsung, semua peserta saling memberikan pendapat terkait stereotip yang terjadi disekitar mereka maupun yang mereka rasakan sendiri. Ari dari Lakoat.Kujawas mengungkapkan bahwa ia sempat beranggapan bahwa semua idol yang berasal dari Korea Selatan pasti melakukan operasi plastik. Namun operasi plastik yang marak dilakukan oleh idol-idol Korea kebanyakan datang dari wilayah luar yang pada akhirnya mempengaruhi standar kecantikan di negara tersebut. Ditambah lagi dengan pemasukan Korea Selatan yang lebih banyak datang dari bidang hiburan yang menambah penggunaan jasa operasi plastik. Melalui diskusi yang telah dilakukan mengenai stereotip dan bias implisit, seluruh peserta akan mengonfirmasikan beberapa hal secara langsung dengan turun ke lapangan dan melakukan observasi sosial.

Sementara Eda dari SimpaSio Institut menceritakan tentang stereotip yang diperlihatkan kepada masyarakat di Indonesia timur. Pelabelan tersebut dapat dilihat melalui film-film yang sempat beredar. Banyak film-film tentang masyarakat Indonesia timur yang hanya menggambarkan potret-potret kemiskinannya saja. Eda melanjutkan bahwa sistem pendidikan yang terlalu Jawa sentris pada akhirnya berdampak pada masyarakat di timur yang kurang memahami konteks kesejarahan yang ada di tempat masing-masing. Akibat dari pelabelan atau stereotyping yang terjadi akan berpengaruh pada cara membangun relasi dengan komunitas lain.

Melihat dan Mempelajari Keadaan Sekitar dengan Observasi Sosial

Setelah mengikuti materi tentang kepemimpinan pribadi yang berkaitan dengan stereotip dan bias implisit, seluruh peserta melanjutkan kegiatan dengan mengikuti observasi sosial yang tersebar di lima titik. Secara berkelompok, ada peserta yang melakukan observasi sosial di Pelabuhan Larantuka, Pelabuhan Tradisional (masyarakat Melayu pesisir), menyambangi kelompok tenun Waibalun (Lamaholot), mengobservasi keadaan Pasar Inpres, dan mengunjungi komunitas transpuan yang ada di Lebao. 

Semua peserta pelatihan yang mengikuti observasi sosial saling bertukar pembelajaran tentang apa yang berbeda dari tempat asal mereka dan bekerja sama untuk mendapatkan informasi yang nantinya akan dipresentasikan kepada peserta lainnya. 

 Dokumentasi oleh Toni (Lakoat.Kujawas)

Citra dari Kolektif Videoge, yang merupakan anggota kelompok yang melakukan observasi di Pasar Inpres Larantuka, bercerita tentang apa yang ia lihat dan pelajari selama melakukan observasi. Ia bercerita bahwa pasar tersebut identik dengan payung berwarna-warni dan di dalamnya tersimpan beberapa hal yang cukup menarik. Adapun perbedaan antara pasar yang ada di tempat asalnya (Labuan Bajo) dengan Pasar Inpres yang ada di Larantuka yaitu komoditas yang diperjualbelikan di Pasar Inpres terasa lebih beragam: mulai dari batang kecombrang yang ditanam oleh orang-orang Adonara, kerajinan tangan dari daun lontar, hingga kue-kue pasar yang menambah kemeriahan suasana Pasar Inpres. Selain itu, kebanyakan penjual yang ada di Pasar Inpres Larantuka adalah perempuan. Walaupun ada laki-laki yang ikut berjualan, jumlahnya tidak lebih banyak dari jumlah perempuan menggelar lapak di sepanjang Pasar Inpres.

Dokumentasi oleh Marto (Kolektif Videoge)

Selain mencari tahu apa-apa saja yang sekiranya berbeda dengan tempat asal, ada pula pembelajaran baru yang didapat oleh peserta setelah melakukan observasi. Salah satu kelompok observasi yang berkunjung ke Lebao, tempat Komunitas Ikwal (Ikatan Waria Larantuka) transpuan berada, diajak untuk mendiskusikan stereotip yang disematkan kepada transgender. Mereka berbincang tentang banyak hal mulai dari sejarah terbentuknya Komunitas Ikwal, perubahan tren pilihan pekerjaan kelompok transpuan di Larantuka, stigma dan stereotip masyarakat mengenai transpuan itu sendiri, hingga bagaimana pada akhirnya sebutan “oncu” atau dalam bahasa Indonesia memiliki arti “anak bungsu” digunakan oleh komunitas transpuan di Larantuka. 

Refleksi Kemiskinan Struktural dan Kerja Sama Kelompok

Pembelajaran tidak hanya berhenti di kegiatan observasi sosial. Setelah melakukan observasi sosial, semua peserta pelatihan diajak untuk memahami suatu kondisi sosial yang terjadi di tengah-tengah mereka dengan menggunakan metode permainan “Minta Dong” untuk lebih memahami mengenai persoalan kemiskinan struktural. Sebelum memulai permainan, fasilitator meminta persetujuan dari seluruh peserta yang ingin mengikuti permainan. Setelah mengukuhkan komitmen, mereka yang setuju ikut bermain tidak boleh keluar dari permainan dan diharuskan menerima konsekuensi apabila kalah dalam permainan. Namun untuk peserta yang tidak ingin bermain maka akan menjadi observer selama permainan berlangsung.

Sesi pertama pun dimulai, seluruh peserta diminta untuk mengambil 8 dari 4 jenis biji-bijian berbeda, yang telah disiapkan dan melakukan barter dengan peserta lain sambil menyebutkan kata “Minta dong!”. Namun selama ronde awal dimulai, seluruh peserta yang tengah melakukan barter belum diberitahu bahwa biji-bijian tersebut memiliki nilai yang berbeda antara satu dan lainnya. Permainan ini terbagi kedalam beberapa ronde untuk melakukan barter. Setiap berakhirnya ronde barter, poin dari tiap-tiap biji dihitung dan dijumlahkan. Barulah kemudian dilihat siapa yang mendapatkan poin paling rendah pada ronde tersebut. 

Setelah melalui ronde ketiga, barulah fasilitator menyampaikan bahwa setiap biji-bijian memiliki nilainya masing-masing. Setelah mengetahui bahwa ada perbedaan nilai, peserta yang mengikuti permainan mulai mencari cara untuk mendapatkan nilai tertinggi agar tidak kalah dalam permainan dan mendapatkan sanksi. Setelah permainan memasuki ronde terakhir, ada sedikit perubahan dalam cara bermain para peserta. Mereka yang sebelumnya saling berlomba untuk mendapatkan nilai tertinggi, mulai membagi rata nilai biji-bijian kepada seluruh peserta.

Diskusi dan refleksi kemudian dilakukan seselesainya permainan ini. Terkait dengan cara pandang melihat orang-orang yang dilabeli “kalah dalam permainan” serta kerja sama untuk membantu sesama peserta yang memiliki nilai paling rendah untuk menghindari kesenjangan. Adanya kecenderungan dari peserta dengan nilai yang tinggi untuk mempertahankan atau bahkan meningkatkan jumlah biji-bijiannya, meminta dari peserta lain yang kekurangan biji-bijian, juga menghindar ketika diminta barter. Salah satu refleksi utama dari permainan ini adalah bagaimana orang-orang yang kalah dalam permainan ini (si miskin) bukan karena tidak mau berusaha, melainkan karena adanya orang-orang yang “menang” (si kaya) yang terus menjalankan sistem sosial-ekonomi yang melanggengkan kondisi ini.

Penguatan Komitmen Peserta untuk Kerja-Kerja Bersama di Komunitas

Rangkaian kegiatan Pelatihan Kepemimpinan 1 diakhiri dengan melakukan penguatan komitmen dari seluruh peserta yang dilakukan di Pantai Asam Satu. Sebelum berangkat ke pantai, seluruh peserta diminta untuk menuliskan harapan dan komitmen berkaitan dengan komunitas mereka masing-masing. Setelah sampai di pantai, peserta yang mendapatkan giliran untuk membacakan harapan dan komitmen dikelilingi oleh peserta lain dengan memegang pundak atau kepala peserta sembari membacakan tulisan yang telah disiapkan sebelumnya. Setelah selesai membacakan komitmen serta harapan, peserta diminta untuk berlari ke arah pantai dan melompat ke dalam air sebagai simbol penguatan komitmen yang sebelumnya sudah mereka buat.

Setelah Pelatihan Kepemimpinan 1 selesai diselenggarakan, diharapkan seluruh peserta yang juga tergabung ke dalam inisiatif Kampung Katong ini mendapatkan pembelajaran terkait pengenalan diri dan kepemimpinan pribadi yang nantinya akan sangat dibutuhkan untuk menjaga semangat kerja kolektif yang tengah diusahakan oleh ketiga komunitas. Sampai bertemu di Pelatihan Kepemimpinan selanjutnya!

Penulis: Dinah Ridadiyanah

Editor: Supriadi