Hutan Adat Sebagai Obat Trauma Bagi Masyarakat Kasepuhan Karang

Awan abu-abu mulai menyelimuti Hutan Adat, Desa Jagaraksa, Lebak, Banten. Dua orang laki-laki jalan kaki keluar dari hutan dan menghampiri kami di saung warung dekat jalan raya antar kecamatan Muncang dengan Sobang. Ada yang berteriak “itu dia orangnya”, orang yang pada tahun 2013 sempat ditangkap oleh Polisi Hutan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) karena memanfaatkan ranting di kawasan konservasi.

Laki-laki yang berusia 45 tahun itu menghampiri kami yang sedang duduk di pinggir jalan tersebut, dengan membawa koneren (tas yang terbuat dari karung plastik), baju biru, dan menggunakan topi mengajukan tangan untuk salaman dengan kami. Kami bersalaman dengan menyebutkan nama masing-masing, Pak SL namanya.

Percakapan diawali dengan menanyakan kabar dan kesibukan sehari-hari. Saat ini Pak SL sibuk menanam kopi, merawat kebun, kerja di pembibitan kopi dan bersawah. Ia juga menceritakan bahwa saat ini kopi sedang berkembang pesat dan harganya lumayan, oleh sebab itu ia menanam kopi di kebunnya. Selain kopi, ia juga menanam duren, pete, jengkol, manggis, serta jengjeng.

Saat kami menanyakan tentang kejadian penangkapan oleh polisi hutan di tahun 2013, raut wajahnya berubah, ia diam lama, air mengambang di matanya, jari-jari di tangan kanannya memainkan tulang hidungnya seolah menahan air agar tidak jatuh dari matanya.

“(dulu ditangkap karena) arang, bikin arang dari ranting-ranting karet di dalam kawasan (Taman Nasional / TN), yang nyieun (bikin) Ibu HN.” katanya. Ibu HN merupakan salah satu warga/tetangga Pak SL.

Sambil memegang tulang hidungnya, ia bercerita bahwa saat itu dia baru pulang mengambil arang dari dalam hutan. Setelah keluar dari hutan, di pinggir jalan ada polisi hutan yang menegur Pak SL, “jangan taro di sini” kata polisi hutan. Kemudian arang tersebut diambil dan ia ditangkap oleh polisi hutan lalu dibawa ke kantor TNGHS Resort Cikawah. Meskipun tidak lama, tapi kejadian tersebut sangat membekas di dirinya. Ia menceritakan bahwa ada masyarakat lainnya juga yang ditangkap. “Kalau [membuat] arang mah diambil aja [arangnya]. [tapi] Kalau [memiliki] kebun diancam penjara 20 tahun dan uang 100 juta,” katanya dibarengi dengan air mata yang jatuh.

Selanjutnya di tahun 2014, Komnas HAM bersama beberapa organisasi masyarakat sipil melaksanakan Inkuiri Nasional tentang Hak Masyarakat Adat. Pak SL juga hadir dalam pertemuan tersebut, tetapi ia takut bercerita sehingga kejadian tersebut diceritakan oleh Kepala Desa Jagaraksa, “tetapi yang ada kan hanya ada kepala-kepalanya (pimpinan TNGHS saat Inkuiri Nasional, bukan polisi hutan)”, kata Pak SL. 

Sebelum berubah fungsi jadi Taman Nasional (TN) pada tahun 2003, wilayah adat Kasepuhan Karang merupakan bagian dari Perhutani. Di mana menurut Pak SL tidak ada bedanya saat wilayah adat dikuasai oleh Perhutani dengan saat dikuasai TN.  “Pas (zaman penguasaan oleh) Perhutani (masyarakat) disuruh pulang, sama kaya (pada zaman penguasaan oleh] TN,” jelas Pak SL. Pak SL menambahkan di kedua era tersebut masyarakat sama-sama diminta upeti.  

“Boro-boro ngebun harita mah, masuk wae geh sieun, punya Taman Nasional. (Boro-boro berkebun waktu itu, masuk aja takut karena punya Taman Nasional). Dulu tetep ke kebun tapi bukan di kawasan TN, tapi di kawasan yang ada SPPTnya,” jawab Pak SL, saat ditanya bedanya dulu dan sekarang. 

Pembicaraan pun kembali ke masa kini, tahun 2022. Setelah kejadian tersebut, Pak SL dan Ibu HN tidak membuat arang lagi, karena takut, dan terlebih lagi saat ini jarang ada yang membeli. Pak SL menceritakan bahwa setelah Hutan Adat Kasepuhan Karang diakui oleh Negara sebagai milik masyarakat Kasepuhan Karang, ia mengaku merasa bungah (sangat senang). Perasaan tersebut tercermin dari raut wajahnya yang berubah. “Setelah hutan adat [diakui], bisa pepelakan (menanam pepohonan) lagi juga. Ada peningkatan pendapatan. Tetangkalan (pohon) nambah, baru nanam lagi,” katanya dengan senyum lebar.  Meskipun kejadian tersebut telah berlalu, namun perasaan trauma masih menghantui Pak SL, ia mengakui bahwa hingga saat ini kalau bertemu dengan pihak Taman Nasional ia masih merasa sangat was-was. 

Sementara, Ibu HN sibuk mengelola sawahnya yang jaraknya jauh, sehingga pulang sudah hampir maghrib, padahal warga lain biasanya pulang ke rumah lepas tengah hari. Sehingga membuat ia sulit untuk ditemui.

Penulis: Siti Marfu’ah

Cerita Perubahan : Perawatan Kepedulian Pemuda Terhadap Kampung Sendiri

Terhitung sudah berjalan tiga bulan, kegiatan yang berfokus untuk membersamai kemajuan penciptaan ruang-ruang inklusif lewat pemberdayaan perempuan, pemenuhan hak-hak disabilitas dan inklusi sosial serta penguatan masyarakat sipil di empat Masyarakat Adat Kasepuhan dan Masyarakat Adat Baduy yang berlokasi di Kabupaten Lebak, Banten. Di awali dengan kegiatan penyusunan baseline data program.

Sejak disosialisasikan, kegiatan ini berkomitmen untuk melibatkan kelompok pemuda dan perempuan dalam proses pengambilan data. Dengan keterlibatannya, kelompok pemuda dan perempuan memperlihatkan kemauan keras untuk belajar  dan  kapabilitas mereka sebagai kelompok yang partisipasinya minim di kampung untuk tujuan pendataan. Hal ini tampak dari kerja sama antar enumerator kader lokal yang bergerak dengan dua cara yaitu berkelompok dan individu dalam suatu jangkauan kampung. Mereka berkoordinasi, membagi peran dan tanggung jawab dalam proses pendataan.

Selain itu, dari proses pendataan ini, enumerator kader lokal mampu melihat permasalahan yang muncul secara tersirat dari pertanyaan yang mereka tanyakan ke masyarakat yang ada  di kampung mereka. Beberapa diantaranya bercerita mengenai pendapatan yang lebih sedikit daripada pengeluaran setiap bulannya, banyaknya yang belum mendapatkan bantuan dalam bentuk apapun, sampai layanan administrasi kependudukan yang belum dimiliki oleh masyarakat.

Cerita menarik, salah satunya datang dari Kasepuhan Cibedug. Enumerator kader lokal disana terdiri dari dua orang yaitu Ega Juanda dan Ahmad Setiadi. Selama proses tiga bulan pendataan baseline data ini, mereka selalu terlibat dalam proses pelatihan pendataan yang diberikan terhitung tiga kali oleh RMI. Setelah itu, keduanya juga sering menanyakan kepada RMI mengenai permasalahan yang dihadapi saat pendataan, menanyakan teknis secara mendalam dan menyatakan alasan macetnya pendataan yaitu musim panen di Cibedug yang membuat orang-orang di Kasepuhan Cibedug sibuk dan menghambat proses pendataan. Alhasil, Ega Juanda mampu mengumpulkan paling banyak data dengan 82 data dan Ahmad Setiadi mengumpulkan 55 data tertinggi ketiga dibandingkan seluruh enumerator.

Dari proses selama tiga bulan tersebut, kedua enumerator dari Cibedug menunjukkan rasa ingin belajar, mau mengakui kesalahan dan belajar dari kesalahan. Menurut RMI, disinilah sisi inklusivitasnya, karena sebelumnya aktivitas pemuda di Kasepuhan Cibedug minim. Dengan terlibatnya kedua enumerator kader lokal disana, membuat mereka terlibat aktif dalam kegiatan di Kasepuhan Cibedug dan mampu melihat permasalahan yang muncul selama proses pendataan.

Hal positif lain yang bisa dilihat adalah praktik baik yang diperlihatkan oleh pemuda yang terlibat dalam pengumpulan data, ini memberikan dampak ke pemuda yang lain menjadi semangat untuk meningkatkan kapasitas dan mengembangkan diri. Karena memang pemuda dan perempuan bisa dikategorikan kedalam kelompok marjinal, di mana kesempatan untuk belajar dan partisipasi mereka masih sangat minim, baik dalam level desa maupun komunitas.

Berkerjasama dengan Kemitraan Partnership melalui program ESTUNGKARA “Kesetaraan untuk Menghapus Ketidakadilan dan Diskriminasi” RMI melakukan kegiatan yang sudah dijelaskan di atas.  

Penulis : Rifky Putra K  dan Slamet Widodo

Editor: Siti Marfu’ah

Seberapa Mendesaknya RUU Masyarakat Adat bagi Generasi Muda Adat?

Foto 1: Anak-anak Kasepuhan Karang bermain di tempat ekowisata di dalam kawasan Hutan Adat Kasepuhan Karang, Lebak, Banten yang ditetapkan akhir tahun 2016 (sumber foto: RMI)

Sekitar 370 juta orang—atau setara dengan 5 persen penduduk dunia—adalah Masyarakat Adat (Interfaith Rainforest Initiative, 2019) yang kemudian diperkirakan bahwa 70 juta orang diantaranya hidup tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Di sisi lain narasi dan hasil studi kerap menyatakan bahwa meskipun mereka “hanya” menyumbang 5 persen dari total populasi dunia, namun Masyarakat Adat mengelola lebih dari 80 persen keanekaragaman hayati global. Menilik pentingnya peran masyarakat adat dalam menjaga keberagaman biodiversitas—apalagi di tengah laju krisis iklim yang kian mengkhawatirkan—sudah sepatutnya hak dan keberlanjutan penghidupan mereka dilindungi oleh tiap negara di mana Masyarakat Adat tinggal. Dalam konteks Indonesia sendiri, pemerintah Indonesia merupakan salah satu dari 144 negara yang mendukung pengesahan deklarasi PBB mengenai Hak Masyarakat Adat (United Nations Declarations on the Rights of Indigenous PeoplesUNDRIP) di Sidang Umum PBB pada 13 September 2007. 14 tahun telah berlalu sejak UNDRIP disahkan, namun Indonesia tak kunjung memiliki payung hukum yang memastikan terjaminnya hak-hak Masyarakat Adat.

Masyarakat Adat di Indonesia memiliki latar belakang sosial budaya beserta pola penghidupan yang relatif berbeda antara satu dan yang lainnya. Namun diantara perbedaan tersebut, terdapat kesamaan cara hidup dan sistem kepercayaan yang mengikat mereka menjadi satu kesatuan Masyarakat Adat yaitu penghormatan terhadap alam dan roh leluhur. Perampasan ruang hidup dengan dimasukannya wilayah adat ke dalam hutan negara maupun eksploitasi wilayah kelola Masyarakat Adat oleh perusahaan perkebunan dan pertambangan selama puluhan tahun, di sisi lain, telah menunjukkan dampak merugikan bagi kelestarian alam dan keberlangsungan hidup Masyarakat Adat. Situasi konflik dengan perusahaan dan negara seringkali memicu disintegrasi diantara anggota Masyarakat Adatnya sendiri, selain juga makin membatasi ruang tumbuh perempuan dan generasi muda adat yang masih diposisikan sebagai kelompok masyarakat kelas dua.

Persoalan Masyarakat Adat Mentawai dan perspektif anak muda

Hidup selaras dengan alam selama ratusan tahun lamanya, Masyarakat Adat Mentawai bertahan hidup dengan mengandalkan sumber daya hutan dan laut Kepulauan Mentawai dari generasi ke generasi. Meskipun demikian, laju deforestasi dan perusakan ekosistem akibat eksploitasi hutan oleh beberapa perusahaan pemegang izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) sejak tahun 1970-an kian membuat orang Mentawai khawatir akan masa depannya. “Perusahaan saat ini akan hadir di wilayah adat kami. Kalau itu [wilayah adat] rusak, kami akan kehabisan sumber daya dan mata pencaharian. Tanpa wilayah adat kami tidak bisa berbuat apa-apa,” kata Gayus Sihan, salah seorang generasi muda adat Mentawai.

Bertahun-tahun para pemodal mengincar wilayah adat Mentawai untuk dieksploitasi, bertahun-tahun pula Masyarakat Adat Mentawai berjuang menolak mereka masuk. Gayus menambahkan bahwa perjuangan tersebut sangatlah berat, terutama karena masyarakat sendiri terpecah menjadi golongan yang pro dan kontra terhadap rencana masuknya investor tersebut. Pemilik wilayah atau lembaga adat memang menolak secara secara tegas masuknya perusahaan karena mereka menilai alam dan tradisi adatnya secara otomatis akan hancur. Sedangkan mereka yang mendukung berargumen bahwa peluang pekerjaan akan terbuka apabila ada perusahaan yang beroperasi di sekitar mereka dan mereka tidak perlu lagi bertani: cukup bekerja dan menerima upah setiap hari.

Pemikiran kelompok yang menerima pendirian perusahaan tersebut utamanya bersumber dari kalangan anak-anak muda Mentawai saat ini. Pemikiran itu didasari oleh persoalan sumber penghidupan di kampung yang diperkeruh juga oleh adanya persepsi bahwa bekerja di perusahaan akan jauh lebih menghasilkan dibanding berlelah-lelah menggarap lahan pertanian—apalagi hasil dari bertani dianggap tidak seimbang dengan penghasilan yang didapat. “Jadi kesannya mereka lebih senang menjadi kuli disbanding mengelola wilayah adatnya sendiri,” ujar Gayus.

Generasi muda adat Mentawai yang kontra dengan keberadaan perusahaan lebih jauh berpandangan bahwa daripada mereka harus pergi ke luar kampung untuk mencari nafkah dan menjadi kuli seumur hidup, lebih baik mengelola wilayah adatnya yang terbentang luas di depan mata karena otomatis hasil jerih payahnya tersebut akan dinikmati oleh dirinya serta dapat diwariskan ke anak cucu. Ketika mendengar rencana masuknya investasi ke wilayah kampungnya, Gayus mengaku sempat berdebat dengan golongan tua yang menyambut kehadiran perusahaan dengan tangan terbuka. “Bagi saya wilayah adat itu adalah ibu yang menyusui saya karena di wilayah adat ini ada sumber penghidupan yang tidak akan habis. Di sini saya bisa menata masa depan yang lebih cerah dibanding menjadi guru atau menjadi kuli di perusahaan. Jangan jadikan kami kuli di Tanah kami sendiri,” pungkasnya.

Di kampungnya, anak muda Mentawai aktif berkegiatan termasuk mengenal tradisi adatnya sendiri. Mereka telah mencoba menelusuri sejarah leluhur, menginisiasi diskusi dan pelatihan terkait kedaulatan pangan, belajar memetakan wilayah adat, dan mengikuti diskursus seputar Masyarakat Adat yang salah satunya adalah terkait mandeknya pengesahan UU Masyarakat Adat yang sudah dibahas di DPR sejak tahun 2009 namun hingga hari ini tak kunjung disahkan. Mereka berusaha mencari aturan-aturan yang berlaku di negara kita kalau seandainya wilayah adat dikelola oleh perusahaan. Menurutnya penting untuk mendesak pejabat negara agar segera mengesahkan UU Masyarakat Adat supaya kami dapat terus menjaga wilayah adat dan nilai-nilai yang menyertainya.

Pengesahan RUU Masyarakat Adat terseok-seok

Posisi Masyarakat Adat sangatlah istimewa karena keberadaan mereka sudah ada sejak ribuan tahun lalu. Namun persoalannya kedudukan mereka tidak dilindungi atau diatur dalam sistem hukum di Negara Indonesia. RUU Masyarakat Adat adalah suatu rancangan UU yang dasar pembentukannya  diamanatkan oleh oleh konstitusi UUD 1945 pasal 18 ayat 2. Namun sudah 76 tahun Indonesia merdeka, UU Masyarakat Adat belum juga disahkan. Padahal harusnya ia hadir sebagai payung hukum yang memastikan pemulihan, perlindungan, pengakuan hak, dan pemberdayaan Masyarakat Adat. Misalnya Masyarakat Adat Mentawai yang telah memiliki kepercayaan asli bernama arat sabulungan, mereka harusnya itu diakui dan dihormati oleh siapapun termasuk negara. Namun yang terjadi malah agama leluhur ini tersingkir karena tidak diakui.

Selain terkait kepercayaan, permasalahan terbesar Masyarakat Adat di Indonesia adalah perampasan paksa wilayah adat yang mereka kelola. Tidak terhitung banyaknya izin konsesi yang tidak melalui proses adat, tidak ada pemberitahuan, apalagi minta izin kepada Lembaga adat. Masyarakat adat mengalami pemiskinan, setelah itu perusahaan pergi ke tempat lain dan melakukan kerusakan ekologi di wilayah lainnya. Kondisi yang merugikan Masyarakat Adat ini seharusnya dapat dihindari jika UU Masyarakat Adat telah lama terbentuk sebab ia mampu mendasari pembentukan program-program yang memprioritaskan kesejahteraan Masyarakat Adat di Indonesia.

Foto 2: Kegiatan Skol Tomolok yang diinisasi oleh Masyarakat Adat Mollo di Timor Tengah Selatan, NTT (sumber foto: Lakoat.Kujawas)

UU Masyarakat Adat tidak disahkan sampai saat ini, menurut Abdon Nababan, karena belum adanya kemauan politik (political will) yang kuat dari negara. Kendati sejak era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono hingga Joko Widodo RUU Masyarakat Adat masuk ke dalam program legislasi nasional (prolegnas) tiap tahunnya, RUU ini tidak kunjung rampung dibahas dan disahkan. “Memang masih ada yang merasa bahwa kalau wilayah adat dikembalikan ke masyarakat adat, nanti mereka tidak bisa lagi mengeksploitasinya. Sedangkan izin konsesi telah disebarkan ke berbagai wilayah masyarakat adat, terutama pada masa Orde Baru. Jadi ada kekuatan kekuatan politik ekonomi yang secara terus-menerus berusaha agar RUU ini tidak disahkan,” terang Abdon.

Pembahasan mengenai RUU Masyarakat Adat dimulai sejak tahun 2006 ketika peringatan Hari Masyarakat Adat Internasional di Taman Mini Indonesia Indah. Saat itu Presiden SBY menyatakan bahwa RUU Masyarakat Adat ini sangat penting dan berdasarkan itu kemudian terjadi proses dialog-dialog dengan pemerintah. RUU ini kemudian masuk prolegnas sejak tahun 2012, bahkan di tahun 2014 sudah dibentuk panitia khusus yang dipimpin oleh Himmatul Aliyah Shintyawati—meskipun semua proses yang telah dilalui menguap begitu saja. Kelompok LSM sendiri mencurigai bahwa ada kepentingan-kepentigan pejabat pemerintah yang menghalangi rampungnya pembahasan RUU Masyarakat Adat.

Zulkifli Hasan, Menteri Kehutanan pada saat itu, terkesan mengulur-ulur waktu dan mengutus orang yang tidak punya kapabilitas untuk membahas RUU ini. Karena di tahun 2014 gagal disahkan, memasuki periode kepemimpinan Joko Widodo, RUU ini kemudian harus disusun lagi dari nol—meskipun secara substansi sudah cukup dan tinggal disahkan saja pada tahun 2014 lalu. Meskipun masuk prolegnas setiap tahun, nyatanya Joko Widodo nampak tidak memprioritaskan perlindungan dan pemajuan Masyarakat Adat sebagaimana dijanjikan olehnya ketika masa pemilihan presiden 2014 lalu dan tertuang dalam Nawacita.

Secara keseluruhan memang nampak terlihat adanya upaya untuk menyingkirkan RUU Masyarakat Adat dari agenda politik nasional. Misalnya pernyataan fraksi Golkar pada 14 Januari 2021 lalu yang secara terang-terangan menolak pengesahan RUU Masyarakat Adat untuk masuk ke dalam prolegnas prioritas 2021. “Seberapapun kuatnya kepentingan politik ekonomi yang berusaha meminggirkan RUU Masyarakat Adat, kita harus terus perjuangkan karena ini bukan hanya untuk Masyarakat Adat tapi untuk kita semua, untuk bangsa dan negara Indonesia. Ini adalah perjuangan menyelamatkan 57 juta hektar kawasan hutan yang kita miliki saat ini yang sebenarnya wilayah adat dan 40 juta hektar diantaranya adalah hutan hutan hutan terbaik negeri ini,” tambah Abdon.

Penting dan mendesak, segera sahkan RUU Masyarakat Adat!

Selain menjalankan perintah konstitusi UUD 1945, hadirnya UU Masyarakat Adat dapat menjamin kepastian hukum bagi keberadaan Masyarakat Adat seluruh Indonesia. Selama ini kriminalisasi dan perampasan paksa ruang hidup Masyarakat Adat ditengarai terjadi salah satunya karena belum adanya satu UU yang menjamin perlindungan dan pemastian hak-hak Masyarakat Adat. Keberadaan UU Masyarakat Adat mampu menginisiasi peraturan turunan yang dapat mengembalikan wilayah adat kepada pengelola asalnya yang telah menjaganya selama ratusan tahun yaitu Masyarakat Adat itu sendiri. Mana daerah-daerah yang tidak dapat dan dapat dieksploitasi akan tergambar jika RUU Masyarakat Adat telah disahkan.

“Mengingat besar dan terhubungnya dampak dari disahkannya RUU ini, maka RUU Masyarakat Adat harus kita perjuangkan bersama—bukan hanya oleh golongan Masyarakat Adat dan LSM saja. Kalau ini tidak kita perjuangkan, maka bukan hanya Masyarakat Adat saja yang mengalami kerugian; namun seluruh bangsa ini akan mengalami kerusakan-kerusakan ekologis yang besar. [Perjuangan] Ini menjadi tanggung juga semua orang, bukan hanya oleh masyarakat adat yang di kampung-kampung tapi juga warga Indonesia juga anak muda yang ada di kota-kota,” papar Abdon. Keberadaan UU Masyarakat Adat, beserta kepastian perlindungan dan pemberdayaan Masyarakat Adat yang menyertainya, diproyeksikan mampu menyediakan sumber penghidupan bagi generasi muda adat di kampung sehingga mereka tidak harus meninggalkan kampung untuk bekerja di kota.

Jika anak muda adat dibekali dengan pengetahuan adat, pengetahuan tentang bagaimana mengurus dan mengelola wilayah adatnya; tentu mereka akan bisa menjadi bagian dari pemajuan kesejahteraan Masyarakat Adatnya itu. Anak-anak muda adat yang kemudian masuk ke sekolah-sekolah formal hanya untuk mempelajari “ilmu pergi”—belajar untuk mendapatkan gelar atau level pendidikan tertentu untuk bekal keluar dari wilayah adatnya—juga diharapkan dapat berkurang apabila peluang penghidupan di wilayahnya sendiri sudah memadai sehingga dapat berkontribusi membangun komunitas adatnya sendiri. Akan lebih banyak potensi kerusakan bagi Masyarakat Adat, penghidupan, dan lingkungan mereka yang dapat dihindari jika RUU Masyarakat Adat ini disahkan saat ini juga.

Keinginan agar segera disahkannya RUU Masyarakat Adat juga disampaikan oleh Gayus, mewakili harapan dan suara generasi muda adat Mentawai yang ruang hidupnya terancam oleh kehadiran investasi. “Saya sempat baca draft RUU Masyarakat Adat itu, saya lihat negara dapat melindungi, mengakui, dan melakukan pemberdayaan seperti menyediakan anggaran untuk Masyarakat Adat. Artinya kalau RUU ini disahkan otomatis kami sebagai Masyarakat Adat yang tinggal di komunitas akan memperoleh akses untuk bebas mengelola sumber daya yang ada di wilayah adat kami sesuai dengan kearifan lokal,” tutup Gayus.

Penulis: Supriadi

 

‘Negara Hadir’, Respon atas Perusakan Gunung Liman di Hutan Adat Kasepuhan Cibarani

Foto 1: Papan informasi pelarangan kegiatan perusakan hutan dan/atau penambangan di dalam kawasan hutan/Hutan Adat Kasepuhan Cibarani (Foto: RMI/Abdul Waris)

Pada hari Kamis, 27 Mei 2021 ada pemandangan yang berbeda di Masyarakat Adat Kasepuhan Cibarani, Desa Cibarani, Kecamatan Cirinten, Lebak-Banten. Pagi itu kampung yang biasanya sepi cukup ramai dipenuhi orang-orang yang akan melaksanakan proses pemulihan ekosistem di Gunung Liman. Kegiatan ini adalah respon dari viralnya aktivitas tambang ilegal di media sosial, di lokasi yang termasuk wilayah adat  Masyarakat Adat Kasepuhan Cibarani yang telah berstatus Hutan Adat sejak Desember 2019 silam.

Pada video yang sempat viral di media sosial pada pertengahan bulan Mei 2021 tersebut tampak Masyarakat Adat Baduy menangis dan memohon penghentian perusakan lingkungan oleh tambang ilegal di Gunung Liman kepada Pemerintah Daerah dan Pusat. Wilayah Gunung Liman sendiri telah disepakati sebagai wilayah yang harus dijaga kelestariannya secara adat, terutama oleh Masyarakat Baduy dan Kasepuhan Cibarani.

Mewakili Negara -demikian masyarakat biasa menyebut pemerintah secara umum, hadir Ditjen Penegakan Hukum Kementerian LHK yang bertindak sebagai penyelenggara kegiatan yang berkolaborasi dengan para pihak termasuk penegak hukum di Kabupaten Lebak-Banten. Kasepuhan Cibarani sendiri bertindak sebagai tuan rumah kegiatan ini.

Foto 2. Kegiatan pemulihan ekosistem Gunung Halimun (Foto: RMI/Abdul Waris)

Seusai pertemuan pagi di lapangan Cibarani, para peserta bersama-sama berangkat ke lokasi tambang ilegal di Gunung Liman. Titik pertama yang didatangi berada di mata air Cibaso, lokasi di mana video masyarakat Baduy yang viral diambil. Para peserta dengan sigap, sesuai dengan pembagian tugas, menutup bekas galian menggunakan alat seadanya, cangkul, linggis, bahkan kayu yang sudah diruncingkan ujungnya. Kurang lebih sepuluh lubang galian ditimbun kembali, tiga diantaranya telah cukup dalam digali.

Setelah rata dengan tanah, bekas galian ditanami dengan bibit pohon buah seperti durian, manggis, jengkol, dan pete. Selain sebagai penahan erosi, pilihan pohon buah menjadi simbol tanaman yang memberi manfaat lebih kepada makhluk hidup. Papan informasi berisi larangan melakukan aktivitas yang dapat merusak ekosistem Gunung Liman di Hutan Adat Kasepuhan Cibarani pun tak lupa ditancapkan. Di lokasi kedua di Gunung Tasuk -masih dalam area Gunung Liman, kurang lebih lima lubang mendapat perlakuan sama.

Foto 3: Ditanaminya lubang bekas galian dengan bibit pohon buah (Foto: RMI/Abdul Waris)

Sayangnya, Masyarakat Baduy tidak hadir dalam kegiatan yang merespon kecemasan mereka. Seharusnya seluruh komunitas penjaga Gunung Liman dapat dilibatkan. Jauh sebelum kejadian luar biasa ini, Masyarakat Kasepuhan Cibarani bersama dengan Masyarakat Baduy dan beberapa komunitas Masyarakat Adat lain di sekitar Gunung Liman telah menyepakati komitmen bersama untuk penjagaan Gunung Liman dalam kegiatan “Ngariung Ngaraksa Gunung Liman” pada bulan Februari 2020 silam. Kegiatan ini merespon bencana banjir dan longsor yang menimpa Kabupaten Lebak di awal tahun 2020. Komunitas Masyarakat yang terlibat adalah mereka yang sama-sama menganggap Gunung Liman sebagai titipan dari leluhur mereka untuk tidak diganggu kelestariannya. Dengan kata lain, riwayat leluhur mengamanahkan untuk “menjaga dan meraksa alam, alam caina, alam duniana, alam rasana”. 

Landasannya berpegang teguh pada siloka berikut “Lamun geus aya ketuk tujuh kali ti Gunung Bongkok, Gunung Liman jeung sirah Ciujung, eta urang tanda-tanda kiamat”. Tafsir kiamat oleh komunitas dibaca berupa bencana banjir, kebakaran, penyakit serta musibah lainnya. 

Komitmen kolektif yang muncul dari inisiatif lokal ini harus terus diperkuat, salah satunya melalui pelibatan para pihak dalam berbagai kegiatan pemerintah, seperti pada pemulihan Gunung Liman ini. Dengan begitu, usaha pelestarian alam yang sejatinya telah ada dalam praktik adat setempat -seperti ronda leuweung atau patroli hutan- dapat dilakukan secara kolektif melalui pendekatan lanskap, bukan sekedar di level komunitas yang tersegregasi batas-batas wilayah adat. 

Aksi kolektif ini menjadi penting karena praktik perusakan lingkungan sebenarnya sangat banyak terjadi di wilayah Banten, baik itu pembalakan dan penambangan, maupun perburuan dan kegiatan eksploitatif lainnya. Umumnya, para pelaku perusakan lingkungan menjalankan aktivitasnya di luar teritorial atau wilayah adatnya. Di samping dampak negatifnya, gejala ini menunjukkan masih adanya kesadaran akan pentingnya kelestarian lingkungan (sehingga tidak mau merusak lingkungannya sendiri). Di sisi lain, pemerintah sebagai otoritas di Kawasan Hutan -yang mendominasi lanskap Kabupaten Lebak-Banten, tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk benar-benar menjaga kelestarian hutan. Karenanya pengakuan wilayah adat secara masif dengan pendekatan lanskap, dan lebih penting lagi: pelibatan masyarakat, adalah strategi yang patut dipertimbangkan. Jika di dalam dan sekitar satu lanskap -seperti contohnya Gunung Liman, wilayah-wilayah adatnya telah diakui, masyarakatnya dapat secara kolektif memperkuat penjagaan pelestarian lanskap tersebut. Bagaimanapun juga, kehidupan dan penghidupan mereka sangat bergantung pada kekayaan alam yang terkandung didalamnya.

 

Penulis: Abdul Waris

Editor: Indra N Hatasura, Wahyubinatara Fernandez

Foto: Abdul Waris

Perjalanan SK Hutan Adat Empat Kasepuhan

Foto 1: Seorang perempuan adat Kasepuhan Cibarani tengah menyiangi gulma di lahan garapannya (Foto: RMI/Waris)

Awal tahun 2021, sebuah pesan di aplikasi WhatsApp diterima RMI dari kawan-kawan Kasepuhan. Beritanya adalah bahwa perwakilan Kasepuhan Cibarani diundang hadir ke Jakarta dua hari lagi, tanggal 6 Januari 2021. Sebuah undangan juga dilampirkan dalam pesan ini, menyusul pesan sebelumnya yang meminta Abah Dulhani, Kepala Desa sekaligus tetua adat Kasepuhan Cibarani untuk hadir di Jakarta. Begitu dokumen undangan diunduh, terbaca penjelasan acara tanggal 7 Januari 2021. Acara yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat adat Kasepuhan Cibarani sejak setahun terakhir: penyerahan Surat Keputusan (SK) penetapan Hutan Adat Kasepuhan Cibarani seluas 490 Hektare yang berada di Desa Cibarani, Kecamatan Cirinten, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.

Dalam daftar undangan terbaca juga nama-nama Kasepuhan lain. Kasepuhan Cirompang, Kasepuhan Citorek dan Kasepuhan Pasir Eurih. Perwakilan dari Kasepuhan-kasepuhan tersebut diundang ke Jakarta untuk acara yang sama. Keempat Kasepuhan ini memang sudah mendapatkan penetapan Hutan Adatnya sebelumnya, yang diakui oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Hanya saja, mereka belum menerima dokumen utuh yang, secara tradisi sejak 2016, akan diserahkan langsung oleh Presiden.

Kasepuhan Cirompang dan Kasepuhan Pasir Eurih, yang difasilitasi oleh RMI, mengajukan penetapan Hutan Adatnya pada Oktober 2017. Kedua Kasepuhan masing-masing mengajukan luas 306 Hektare dan 580 Hektare hutan adatnya dikeluarkan dari status Hutan Negara berfungsi konservasi di bawah kelola Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Selanjutnya pihak KLHK melakukan verifikasi lapangan pada 29-30 Agustus 2018. Sesudah lama tidak terdengar kabar, termasuk tanpa melalui Gelar Hasil, penetapan Hutan Adat Kasepuhan Cirompang dan Kasepuhan Pasir Eurih diumumkan langsung oleh Menteri LHK Siti Nurbaya saat hadir dalam Riungan Gede Kasepuhan pada 1 Maret 2019 di Kasepuhan Citorek. Kedua Kasepuhan mendapatkan penetapan Hutan Adatnya seluas yang diajukan pada tahun 2017. Perlu dicatat bahwa dalam acara tersebut, baru terjadi pengumuman lisan penetapan Hutan Adat, belum penyerahan SK.

Lain lagi dengan Kasepuhan Cibarani. Pengajuan penetapan Hutan Adatnya dilakukan pada 5 November 2018 bersama komunitas Kampong Mului (Kalimantan Timur), enam komunitas dari Kalimantan Barat, dan 12 komunitas dari Bengkulu yang difasilitasi oleh Koalisi Hutan Adat—dikoordinir oleh HuMa dengan anggota antara lain AKAR, LBBT, PADI dan RMI. Pengajuan penetapan Hutan Adat ini diterima langsung oleh Menteri LHK. Sesudah menunggu delapan bulan, akhirnya tiba waktu verifikasi lapangan oleh KLHK pada 31 Juli – 1 Agustus 2019. Selanjutnya, RMI diundang pada tanggal 30 Agustus 2019 untuk mendiskusikan hasil verifikasi. Saat itu masyarakat Kasepuhan Cibarani tidak dilibatkan dalam diskusi karena rencananya akan dilibatkan pada diskusi terpisah, yang pada akhirnya tidak terjadi. Beberapa hal dibicarakan dalam diskusi tersebut, termasuk keberatan pihak Perhutani yang merasa masih ada aset Perhutani pada wilayah yang diajukan penetapannya sebagai Hutan Adat Kasepuhan Cibarani tersebut. Kasepuhan Cibarani memang satu-satunya Kasepuhan yang wilayah adatnya tumpang tindih dengan Hutan Negara berfungsi produksi. Tentunya di bawah kelola Perum Perhutani.

Foto 2. Masyarakat Adat menerima SK penetapan Hutan Adatnya pada Kamis, 7 Januari 2021 di Jakarta (Foto: BPMI Setpres)

Informasi penetapan Hutan Adat Kasepuhan Cibarani akhirnya didapatkan tanpa pengumuman resmi seperti yang terjadi saat pengumuman penetapan Hutan Adat Kasepuhan Cirompang dan Kasepuhan Pasir Eurih. Informasi tersebut didapat antara lain saat perwakilan Kasepuhan Cibarani turut menemani perwakilan Kasepuhan Cibedug mengajukan permohonan penetapan Hutan Adatnya ke Gedung Manggala Wanabakti, yang diterima langsung oleh Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) Bambang Supriyanto. Menurut informasi, Hutan Adat Kasepuhan Cibarani yang ditetapkan adalah 490 Hektare dari yang diajukan seluas 644 Hektare. Jadi, 154 Hektare hutan adat yang diajukan penetapannya oleh Kasepuhan Cibarani masih berstatus Hutan Negara, padahal dalam Peraturan Daerah (Perda) Lebak no. 8 tahun 2015 tentang Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan Kasepuhan, wilayah tersebut sudah ditetapkan sebagai wilayah adat Kasepuhan Cibarani.

Kasepuhan Citorek, yang pengajuan penetapan Hutan Adatnya difasilitasi oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), malah mengalami pengurangan wilayah Hutan Adat yang ditetapkan lebih dari separuh. Kasepuhan Citorek mengajukan 4.439 Hektare Hutan Adatnya, dan mendapatkan penetapan seluas 1.647 Hektare. Lagi-lagi, wilayah adat Kasepuhan Citorek pun sudah diakui oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Lebak dalam Perda yang sama, yaitu Perda Lebak 8/2015. Perwakilan Kasepuhan Citorek yang hadir di Jakarta, yaitu Oyok Didi dan Kepala Desa (Jaro) Jajang tidak mengetahui alasan pengurangan Hutan Adat Kasepuhan Citorek dari yang mereka ajukan pada Januari 2019. Adapun luasan Hutan Adat empat Kasepuhan yang telah ditetapkan dapat dilihat dalam tabel di bawah ini:

Pengurangan luasan penetapan ini sudah terjadi sejak penetapan pertama Hutan Adat di 2016. Hutan Adat Kasepuhan Karang, salah satu dari delapan Hutan Adat yang pertama kali ditetapkan, hanya memuat wilayah hutan tutupan dalam wilayah adat mereka seluas 486 Hektare, sementara kawasan hutan yang telah dikelola secara produktif selama  turun temurun oleh masyarakat seluas lebih dari 200 Hektare hingga kini justru masih berstatus Hutaan Negara dengan fungsi konservasi. Tidak diketahui alasan pengurangan tersebut, bahkan saat Gelar Hasil pada Desember 2016 tidak ada informasi mengenai pengurangan wilayah yang ditetapkan sebagai Hutan Adat Kasepuhan Karang.

Kembali ke masa kini, awal Januari 2021. Kabar undangan penyerahan SK Hutan Adat oleh Presiden langsung di awal tahun ini benar-benar kabar yang mengejutkan. Di saat tidak lagi ditunggu-tunggu penyerahannya, tiba-tiba undangan ini  datang. Bersyukur bahwa Direktorat Jenderal PSKL terus bekerja dalam senyap mewujudkan tahap akhir proses pengumuman pengakuan legal Hutan Adat Kasepuhan, dan 31 Hutan Adat masyarakat adat lainnya di seluruh Indonesia.

Secara total, Kasepuhan Cirompang dan Kasepuhan Pasir Eurih menunggu 1,5 tahun sejak pengajuan hingga ditetapkan Hutan Adatnya. Selanjutnya, kedua Kasepuhan ini harus menunggu 22 bulan untuk mendapatkan SK penetapan tersebut secara resmi dari presiden RI.

Di samping itu, Kasepuhan Cibarani harus menunggu 14 bulan sejak pengajuan hingga penetapan Hutan Adatnya. Selanjutnya, 13 bulan berikutnya adalah waktu yang harus mereka tempuh sejak penetapan Hutan Adatnya hingga penyerahan resmi SK Hutan Adat mereka oleh Presiden RI.

Catatan penting lainnya adalah baik Kasepuhan Cibarani, Kasepuhan Citorek dan Kasepuhan Karang tidak memahami mengapa pengajuan penetapan Hutan Adatnya tidak dipenuhi seluruhnya, yang sesungguhnya sudah diakui dalam Perda Kabupaten Lebak 8/2015.

Walaupun syukur tetap perlu terus dipanjatkan atas event menggembirakan pada awal tahun ini, namun perbaikan untuk pemberlakuan sistem yang tepat dan lebih ringkas tetap perlu dilakukan. Selain perlu adanya konsultasi dan kesepakatan yang jelas dalam menetapkan Hutan Adat antara masyarakat adat dengan Pemerintah, Kami membayangkan Menteri LHK dapat langsung memberikan SK Hutan Adat ini ke masyarakat adat, sehingga keluarnya SK penetapan Hutan Adat masyarakat adat bisa langsung dinikmati oleh mereka, tanpa harus mengalami fase menggantung tidak jelas karena menunggu jadwal Presiden.

 

Catatan: Kasepuhan adalah masyarakat adat yang mendiami wilayah ekosistem Halimun yang berada di wilayah administratif Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, Kabupaten Bogor dan Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat. Pemerintah daerah Kabupaten Lebak telah mengakui keberadaan masyarakat adat Kasepuhan pada tahun 2015 melalui Peraturan Daerah (Perda) No. 8 tahun 2015 tentang Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan Kasepuhan. Dalam lampiran Perda tersebut, tertulis 590 komunitas yang merupakan bagian dari Masyarakat Adat Kasepuhan yang terdiri dari Kasepuhan induk (kasepuhan utama), kasepuhan rendangan (kasepuhan pengikut), dan unit lebih kecil lagi seperti sesepuh kampung.

RMI sendiri belajar bersama masyarakat di wilayah ekosistem Halimun sejak 1995 dan mendampingi proses untuk pengakuan wilayah adat masyarakat adat Kasepuhan terutama sejak 2003.

Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug Dalam Menjaga Lingkungan

Masyarakat adat suku Sunda, atau lebih dikenal sebagai masyarakat adat Kasepuhan memiliki kearifan lokal dalam menjaga hutannya. Mereka masih menggantungkan sebagian besar penghidupannya pada hutan dan mengembangkan kebiasaan-kebiasaan untuk hidup harmonis dengan lingkungan sekitarnya. Hutan dan masyarakat adat Kasepuhan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. 

Kasepuhan Cibedug merupakan salah satu Kasepuhan yang terletak di Desa Citorek Barat, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Kasepuhan Cibedug terletak di wilayah ekosistem Gunung Halimun. Perjalanan menuju Kasepuhan Cibedug umumnya dilakukan menggunakan motor selama 30 menit, setelah jalan beraspal habis di Kampung Cibengkung, Citorek (3,5 jam dari Kota Bogor dengan kendaraan bermotor). Lokasi cukup terisolir dengan perjalanan naik turun bukit. Kabut seringkali turun saat udara mendingin di pagi atau menjelang sore hari.

Kasepuhan Cibedug merupakan salah satu kelompok Kasepuhan yang masih teguh dalam memelihara hubungan yang harmonis dengan alam, di masa dimana banyak kelompok masyarakat adat lainnya mengalami perubahan-perubahan drastis. Peran kelembagaan adat yang kuat, isolasi geografis serta modal sosial budaya merupakan salah satu dari faktor-faktor yang mendukung kekuatan itu. 

Dalam hal filosofi budaya, terdapat beberapa pepatah yang dipercayai oleh masyarakat adat Kasepuhan Cibedug (dan juga kasepuhan-kasepuhan lainnya), yang berhubungan dengan kearifan lokal dalam menata atau mengatur wilayahnya. 

‘Gunung teu meunang dilebur, leuweung teu meunang diruksak’, (gunung tidak boleh dihancurkan dan hutan tidak boleh dirusak. Pepatah ini menyiratkan sistem pengelolaan sumber daya alam sesuai dengan kearifan lokal, yang mengandung arti bahwa manusia merupakan bagian dari sistem alam. Di mana jika sumber daya alam rusak, maka kehidupan manusia juga terganggu. Pepatah lainnya adalah  ‘penyangga kahirupan supaya hurip’, (penyangga kehidupan supaya hidup). Di mana masyarakat adat Kasepuhan Cibedug percaya bahwa hutan dan air adalah penyangga kehidupan yang harus dijaga.

Dalam pengaturan wilayah hutan (leuweung), masyarakat adat Kasepuhan Cibedug membagi hutan menjadi beberapa bagian yaitu leuweung kolot, leuweung titipan, leuweung cadangan, dan leuweung garapan.

Masyarakat adat Kasepuhan Cibedug menerangkan bahwa leuweung kolot adalah kawasan hutan yang tidak boleh diganggu, karena di kawasan tersebut terdapat sumber mata air. Leuweung titipan adalah leuweung kolot yang didalamnya terdapat lokasi yang dianggap suci, ditandai misalnya dengan adanya bangunan-bangunan bersejarah (misalnya pada lokasi situs Cibedug yang berupa punden berundak, serta pada lokasi di mana ditemukan tugu-tugu penanda batas). Leuweung cadangan berupa lahan yang dicadangkan oleh masyarakat untuk masa depan, sedangkan leuweung garapan merupakan kawasan yang di dalamnya terdapat, sawah, kebun, serta perkampungan (lembur).

Masyarakat adat Kasepuhan Cibedug meyakini terdapat suatu kekuatan supranatural yang ikut menjaga leuweung mereka, oleh karena itu mereka percaya jika mereka merusak leuweung maka mereka dapat tertima kemalangan/bencana, atau sering diistilahkan sebagai kebendon. Penggundulan hutan di wilayah adat (wewengkon) misalnya, dipercaya akan menyebabkan alam marah dan menyebabkan hujan tidak akan turun. Kabendon bisa juga turun dalam bentuk lain seperti gagalnya panen karena serangan hama, kebakaran, sampai kecelakaan. Hal ini bisa menimpa orang perseorangan, atau dalam bentuk yang lebih besar (komunitas).

Masyarakat adat Kasepuhan Cibedug memandang hutan dan sekelilingnya sebagai pemberi kehidupan dan  perlu dijaga. Hubungan manfaat yang terjadi perlu berlaku timbal balik di mana masyarakat tidak hanya mengambil manfaat dari hutan, tetapi juga menjaganya melalui pemanfaatan lahan pertanian secara bijak. Dalam bersawah dan berhuma contohnya, penanaman padi (pare gede/padi besar) dilakukan hanya satu kali dalam setahun guna memberikan waktu bagi tanah untuk beristirahat. Selama masa istirahat tersebut, jerami dimasukkan kembali ke dalam tanah (malik jarami) tanpa dibakar guna mengembalikan kesuburan tanah. Tanah (Ibu Bumi) dihormati di dalam budaya kasepuhan, seperti yang dapat dilihat pada ritual nibakeun, yang dilaksanakan sebelum tebar benih di sawah, masyarakat meminta izin dulu kepada Nu Bogana (Tuhan) untuk melakukan tebar benih di sawah .  

Keberadaan dan peran masyarakat adat Kasepuhan Cibedug dalam menjaga alam bukan hanya menjaga lingkungan, tetapi juga menjaga budaya mereka. Seperti melaksanakan ritual Nibakeun, yaitu kumpulan adat untuk meminta izin mulai tebar benih di sawah. 

Perluasan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) pada tahun 2003 membuat hampir seluruh wewengkon Kasepuhan Cibedug masuk ke dalam wilayah inti taman nasional. Pihak taman nasional melakukan pelarangan-pelarangan terhadap aktivitas masyarakat adat Kasepuhan Cibedug yang mereka anggap merusak hutan. Kegiatan bertani di lahan kering (ngahuma) misalnya dilarang. Dari pelarangan ini, pada riset yang dilakukan oleh RMI pada tahun 2020, sekitar 10 varietas padi (pare gede) huma menghilang (tidak ditemukan ditanam oleh masyarakat).

Pada tahun 2019, masyarakat adat Kasepuhan Cibedug menuntut wewengkon yang diklaim oleh negara dikembalikan kepada kelompok masyarakat adat, melalui skema Hutan Adat.

Di Hari Lingkungan Hidup Sedunia, yang diperingati setiap tanggal 5 Juni tiap tahunnya, kita perlu melihat kembali, bahwa kontribusi masyarakat adat Kasepuhan Cibedug sangat besar dalam menjaga lingkungan hidup. Oleh sebab itu, sepatutnya negara mengembalikan hak kelola hutan kepada yang berhak, yaitu masyarakat adat Kasepuhan Cibedug, sehingga dapat dipastikan bahwa hutan dikelola secara adil, lestari, berkesinambungan, untuk kesejahteraan masyarakat adat Kasepuhan Cibedug.  

 

Referensi:

Andri Santosa, L. N. (2007). Nyanghulu Ka Hukum, Nyanghunjar Ka Nagara – Sebuah Upaya Masyarakat Cibedug Memperoleh Pengakuan. Bogor: RMI-The Indonesian Institute for Forest and Environment.

Riset RMI-The Indonesian Institute for Forest and Environment. Profiling Indigenous Food Systems And Their Contribution To Debates On Sustainibility And Climate Resilience. Unpublished