Jakarta, 16 Agustus 2024 – Selama sepuluh tahun Jokowi memerintah republik ini, Masyarakat Adat merasa tertipu dengan janji-janji yang pernah Jokowi sampaikan dan komitmennya di awal pemerintahan Jokowi yang tercantum dalam Nawacita. Demikian disampaikan oleh Abdon Nababandari Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat merespon pidato Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam Penyampaian Laporan Kinerja Lembaga-Lembaga Negara dan Pidato Kenegaraan dalam rangka Hari Ulang Tahun (HUT) ke-79 Kemerdekaan RI.
“Tidak ada satu pun frasa “Masyarakat Adat” dalam pidato itu. Pidato itu hanya berisi klaim-klaim angka keberhasilan pembangunan jalan, pelabuhan, bandara, bendungan dan jaringan irigasi. Jokowi juga mengklaim keberhasilan pembangunan smelter dan industri pengolahan untuk nikel, bauksit, dan tembaga,” tambah Abdon Nababan.
“Perjumpaan AMAN dengan calon Presiden Jokowi di tahun 2014 menorehkan 6 janji Nawacita Jokowi-JK untuk Masyarakat Adat. AMAN dan jaringan pendukung bekerja secara sukarela menggalang suara. Paling sedikit 12 juta suara kami sumbangkan untuk kemenangan Jokowi-JK. Setelah kemenangan, saya mewakili AMAN menerima obor relawan dari Surya Paloh dalam satu upacara di Kemayoran,” kata Abdon Nababan.
“Dalam sepuluh tahun terakhir, politik hukum Masyarakat Adat semakin memburuk. Penetapan Perppu Ciptaker menjadi UU Cipta Kerja, KUHP, revisi UU IKN, UU KSDAHE, dan berbagai peraturan perundang-undangan di bidang agraria dan sumber daya alam mengandung unsur-unsur “penyangkalan” yang kuat terhadap eksistensi Masyarakat Adat beserta hak-hak tradisionalnya. Political will pemerintahan sangat rendah. Negara masih terus menerus mengedepankan skenario hukum dengan latar kekuasaan yang berwatak merampas dan menindas yang tercermin dari skenario pengakuan hukum yang rumit, bertingkat-tingkat, sektoral, memisahkan proses pengakuan hak atas wilayah adat dari pengakuan Masyarakat Adat, bahkan mengecualikan wilayah-wilayah adat yang berkonflik dari pengakuan Masyarakat Adat,” papar Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).
Sayangnya lagi, seluruh klaim keberhasilan di dalam pidato tersebut dibangun di atas perampasan dan penggusuran wilayah masyarakat adat. “Data AMAN hingga Mei 2024 menunjukkan bahwa sepanjang rezim pemerintahan Jokowi berkuasa, telah terjadi perampasan wilayah adat seluas 11,07 juta hektar, 687 konflik Masyarakat Adat yang mengakibatkan 925 orang dikriminalisasi, serta puluhan diantaranya mengalami luka-luka dan satu orang meninggal dunia,” kata Syamsul Alam Agus, Ketua Badan Pelaksana Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN).
“Selain itu, pengakuan wilayah adat baru mencapai 16% dari 30,1 juta hektar peta wilayah adat yang teregistrasi di Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA). Sedangkan pengakuan hutan adat baru mencapai 8% dari 3,4 juta hektar potensi hutan adat dari wilayah adat yang telah ditetapkan pengakuannya oleh Pemerintah Daerah,” tambah Kasmita Widodo, Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA).
Hingga penghujung kepemimpinannya, belum ada legacy baik yang ditinggalkan Jokowi bagi Masyarakat Adat. Padahal, 10 tahun lalu, demi meraup suara Masyarakat Adat, Jokowi berjanji akan mendukung Masyarakat Adat.
“Janji tinggal janji. Janji Nawacita hanya tipuan. Jokowi 10 tahun berkuasa tak satu pun janjinya dipenuhi. Jangankan berterimakasih dan minta maaf bahkan satu kata Masyarakat Adat pun tidak disebutkan di Pidato Kenegaraan terakhirnya pagi tadi,” pungkas Abdon Nababan. [ ]
oooOOOooo Kontak media: A.P. Prayoga, Tim Kampanye Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, HP. 0857 2034 6154
Program Jelajah Kasepuhan Cirompang pada tanggal 25–29 Juli 2024 lalu di Kasepuhan Cirompang, Kecamatan Sobang, Lebak, Banten baru saja selesai dilaksanakan. 26 pemuda dari berbagai latar belakang organisasi mengikuti kegiatan tersebut, baik sebagai peserta maupun sebagai fasilitator. Dari jumlah tersebut, 10 (4 perempuan dan 6 laki-laki) merupakan alumni dari Pelatihan Fasilitator Pendidikan Lingkungan RMI “Environmental Child’s Rights Training Program”.
Sekitar satu bulan sebelumnya, selama 4 hari, para alumni memang sudah mendapatkan pembekalan untuk melakukan fasilitasi di komunitas. Pengetahuan dan keterampilan yang mereka dapatkan digunakan pada acara Jelajah Kasepuhan, misalnya dengan memfasilitasi perkenalan peserta, ice breaking dan energizer, serta permainan-permainan pemantik diskusi kelompok. Sepuluh fasilitator tersebut juga banyak memandu dan menginformasikan pengetahuan-pengetahuan lokal tentang Kasepuhan kepada para peserta.
Pengetahuan lokal yang disampaikan kepada para peserta banyak menimbulkan kekaguman akan budaya Kasepuhan. Pengetahuan lokal yang disampaikan mencakup berbagai aspek kehidupan, mulai dari praktik pertanian, pengelolaan ruang, penggunaan tanaman obat, bahasa, seni, budaya, hingga sistem nafkah.
“Seru sekali. Saya baru tahu tentang babay, sebuah benda yang terdiri dari bermacam-macam bagian tumbuhan hutan, yang sering dipakai sebagai penolak bala di Kasepuhan “ kata Jihan, salah seorang peserta dari Sumedang.
Metode fasilitasi yang digunakan oleh para fasilitator pada acara Jelajah Kasepuhan Cirompang ini juga menjadi salah satu keunggulan kegiatan. Aza, salah seorang peserta dari Jakarta, misalnya berpendapat bahwa metode yang digunakan para fasilitator asyik dan menyenangkan.
“Tidak terasa kita belajar karena menyenangkan, dan ini full pengetahuan banget kegiatannya.” cerita Aza saat berjalan pulang dari Hutan Adat Kasepuhan Cirompang.
Dalam kegiatan ini memang para alumni pelatihan menggunakan variasi-variasi metode. Hanifah memfasilitasi sesi energizer dan perkenalan lewat permainan “Tugu Pancoran” dan “Angka Setan”. Nina memfasilitasi lewat permainan “Pindah Rumah”, Rosi memancing diskusi tema lingkungan dan sosial lewat permainan “Injak Kertas”, dan Cecep sebagai fasilitator lokal berbagi pengetahuannya tentang Kasepuhan saat memandu para peserta berkeliling wilayah adat. Kesempatan ini memberikan ruang bagi alumni untuk bisa berkembang dan mengasah kemampuan fasilitasi mereka.
“Pelatihan menjadi fasilitator bulan Juni lalu memberikan banyak sekali pengetahuan baru untukku, banyak metode-metode baru yang aku dapatkan. Aku juga sempat mencoba salah satu metode tersebut, kemarin pada acara Jelajah Kasepuhan di Cirompang, aku sempat mengajak teman-teman peserta disana untuk bermain game, seru, mereka antusias dan game-nya berjalan dengan menyenangkan sekali. Menjadi fasilitator pada salah satu sesi pelatihan merupakan pengalaman baru yang menyenangkan untukku.” kesan Nisa, salah satu alumni Pelatihan Fasilitator Pendidikan Lingkungan, yang berkesempatan memfasilitasi peserta Jelajah Kasepuhan Cirompang.
Kombinasi teori dan praktik yang didapatkan selama kegiatan Jelajah Kasepuhan Cirompang, menjadi modal bagi alumni Pelatihan Fasilitator Pendidikan Lingkungan untuk dapat menunjukan relevansi pengetahuan lokal dengan model pendidikan yang semestinya bersifat kritis dan kontekstual di Kasepuhan, sesuatu yang menjadi permasalahan selama ini.
Pendidikan kontekstual melihat pengetahuan lokal sebagai pondasi dalam menciptakan pendidikan yang relevan dan efektif sesuai dengan budaya yang berkembang pada komunitas. Mengintegrasikan pendidikan kontekstual dan pengetahuan lokal berarti mendorong komunitas untuk memahami dan menyelesaikan permasalah yang ada di lingkungannya sendiri dengan kesadaran kritis.
Seperti yang terjadi secara umum di desa dan/atau secara lebih spesifik di daerah masyarakat adat, pendidikan jauh dari kata kritis-kontekstual. Pendidikan yang diajarkan oleh sekolah formal adalah “ilmu pergi” yang mendorong anak-anak muda pergi meninggalkan desa/wilayah adat, mencari pekerjaan di kota sebagai buruh. Pendidikan tidak mampu mengenali potensi yang ada di wilayah desa/adat, dan saat para pemuda selesai menyelesaikan sekolahnya, ilmu yang mereka dapatkan pun tidak dapat dipakai untuk menyelesaikan masalah yang ada di desa mereka.
Masalah hama dan kekeringan tidak dapat dipecahkan karena pelajar tidak belajar mencangkul di sekolah. Potensi pengobatan tidak dapat terlihat karena pelajar asing dengan rumput yang terlihat liar di hutan dan adat terkucilkan karena dipandang berseberangan dengan logika kapitalis.
Program Jelajah Kampung yang difasilitasi oleh para pemuda Kasepuhan adalah bagian dari “ilmu pulang”, dan model bagi kolaborasi pemecahan masalah antara anak muda yang tinggal di desa dan di kota. Di dalam diskusi-diskusi yang terjadi selama dan di sela-sela acara, banyak alternatif-alternatif pemecahan masalah yang baru dan membawa angin segar, bahwa anak muda tidak apatis dan bergerak dengan caranya masing-masing untuk melakukan perubahan sosial di lingkungan masing-masing.
Kasepuhan Bongkok tergabung dalam Forum KAWAL sejak pertemuan di Cangkuem, salah satu perkampungan Baduy, pada Desember 2022. Salah satu partisipan aktif Forum KAWAL[1] dari Kasepuhan Bongkok tersebut adalah perempuan berusia 16 tahun bernama Fina. Setiap harinya ia memiliki kegiatan yang cukup padat. Mulai dari bersekolah, berkegiatan dalam OSIS[2], berkegiatan ekstrakurikuler rohani Islami dan ngobong[3]. Ia berangkat ke sekolah pukul 07.30 dan pulang pukul 17.00 petang. Setelah maghrib, ia ngobong sampai pukul 22.00 malam dan tiba di rumah pukul 22.30 malam. Melakukan banyak hal dalam satu waktu membuat waktunya banyak sekali tersita, belum lagi pekerjaan-pekerjaan domestik yang harus ia kerjakan.
Fina merupakan satu dari enam partisipan yang berasal dari Kasepuhan Bongkok yang tergabung dalam komunitas Burakok[4] yang didirikan pada tahun 2022. Forum KAWAL sesi kelima yang diselenggarakan pada tanggal 26-28 Mei 2023 di wilayah adat Kasepuhan Pasir Eurih adalah forum pertama yang diikutinya. Ia menganggap pengalaman ini menarik dan bermanfaat baginya untuk lebih aktif di masyarakat.
“Kayaknya seru. Terus menambah pengalaman juga ke Finanya. Terus, kayaknya, ini yang bikin Fina lebih aktif deh di masyarakat. Jadi Fina lebih tau. Kan Fina gak tahu sama sekali kalau di (Kasepuhan) Bongkok itu ternyata belum merdeka (wilayah adatnya masih belum diserahkan oleh negara) kan, (gak) kayak di Pasir Eurih[5]. Fina cuman tau disini (forum KAWAL) aja. Disana tuh Fina gak pernah diceritain kalau di Bongkok itu belum merdeka.”
Forum KAWAL seri kelima ini mewadahi peserta untuk menggali dan merefleksikan pengalaman personal; merencakana perencanaan kelompok/komunitas; dan pengenalan dan simulasi pemetaan partisipatif melalui berbagai sesi yang dibagi ke dalam tiga hari. Fina terlibat dan mengikuti setiap sesi dengan antusias. Meskipun interaksinya terbatas pada teman-teman peserta perempuannya lainnya dan beberapa orang yang sudah ia kenali. Meskipun ia masih canggung untuk mengutarakan pendapatnya dalam diskusi besar, ia aktif ketika dalam diskusi kelompok.
Dalam sesi “Sepanjang Jalan Kenangan” yang bertujuan menceritakan pengalaman personal peserta, Fina dan peserta diajak berefleksi melalui media gambar gelombang naik-turun yang menggambarkan jatuh-bangkit kehidupan, bagaimana cara bangkit dari situasi sulit dan siapa saja yang terlibat dalam prosesnya. Sesi ini membuat Fina lebih bersyukur dengan merefleksikan orang-orang yang yang berjasa dalam hidupnya. Sepanjang hidupnya, ia sempat keluar masuk pesantren karena ditinggalkan teman dekat hingga pindah ke Kampung Bongkok dan mulai beradaptasi dengan lingkungan baru, teman baru dan aktivitas baru.
Hari selanjutnya, dalam sesi perencanaan kelompok/komunitas, Fina beserta anggota Burakok lainnya melihat kembali kelompok dan kampungnya lalu mencoba merencanakan tujuan bersama dalam kurun waktu satu tahun kedepan. Proses ini digambarkan melalui rute jalan perencanaan tujuan kelompok. Nampaknya mereka berencana untuk memajukan salah satu obyek wisata potensial yang ada di Kasepuhan Bongkok. Meskipun begitu mereka sadar bahwa rencana tersebut merupakan rencana jangka panjang yang memerlukan banyak langkah-langkah kolektif untuk mencapainya, termasuk para orang muda di kampunya. Di sisi lain, menyoroti kampungnya, Fina menambahkan bahwa pemuda-pemudi yang telah lulus SMA jarang menetap di Kampung Bongkok: “Disana tuh gak ada pemuda yang udah lulus SMA. Di Bongkok itu, mayoritasnya, kalau udah SMA, dia kerja di luar kota.”
Selanjutnya, dalam sesi pemetaan partisipatif, peserta Forum KAWAL diberikan materi pengantar pemetaan partisipatif oleh Slamet Widodo, Community Organizer RMI yang mengaitkan urgensi pemetaan partisipatif dengan tata laksana pembangunan nasional:
“Selama ini peta menjadi acuan tata ruang dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Tapi sayang, pembangunan yang dilakukan pemerintah lebih berpihak kepada pengusaha dan kurang memperhatikan hak-hak masyarakat setempat sehingga sering terjadi penyerobotan lahan, tumpang tindih kawasan, ketidajelasan tata batas dan sebagainya. Masyarakat yang hidup dan bekerja di wilayah itulah yang memiliki pengetahuan mendalam mengenai wilayahnya. Hanya mereka yang bisa membuat peta secara lengkap dan akurat mengenai sejarah, tata guna lahan, pandangan hidup dan harapan masa depannya.”
Pemetaan partisipatif—yang menjadi salah satu materi yang dirasa paling dibutuhkan oleh peserta Forum KAWAL—menarik perhatian peserta karena dilengkapi dengan pengenalan perangkat pemetaan, tukar cerita pengalaman pemetaan partisipatif oleh Carik Jajuli dari Kasepuhan Pasir Eurih, dan simulasi kelompok untuk melakukan pemetaan partisipatif. Fina yang terlibat langsung dalam sesi ini mengatakan bahwa:
“… KAWAL itu membantu sebagai wadah. Kalau misalkan di wilayah kita mau ada pemetaan, nanti dibantu sama KAWAL. Tadinya Fina gak bisa pake GPS, baru belajar juga kemarin. Terus pokoknya banyak banget (yang didapat) karena Fina baru. Menariknya GPS ini abis belajar langsung dipraktekin.”
Sebagai peserta baru, Fina cukup antusias mengikuti kegiatan Forum KAWAL. Antusiasmenya terlihat dari keinginannya untuk ikut kegiatan Forum KAWAL selanjutnya yang menurutnya adalah kegiatan yang membuatnya berpikir kritis. Selain itu Fina mengaku ingin mengetahui lebih dalam mengenai hutan adat yang masih asing dimatanya.
Fina, dengan kesehariannya menghabiskan waktu sekitar 13 jam di sekolah dan pesantren, memiliki waktu yang lebih minim untuk terlibat dalam proses-proses yang tengah terjadi di kampungnya. Sedangkan sebagai perempuan yang bertempat tinggal dan beraktivitas di wilayah adat Kasepuhan Bongkok, Fina juga memiliki banyak keterbatasan-keterbatasan termasuk dalam Forum KAWAL itu sendiri. Sejauh ini interaksinya terbatas pada peserta perempuan lain dan beberapa yang ia sudah kenal.
Tanpa mengecilkan usaha afirmatif fasilitator di lapangan kepada peserta perempuan dengan sering-sering mengajukan pertanyaan khusus bagi mereka (“ti perempuanna kumaha? Aya nu rek dicaritakeun?”[6]), usaha tersebut belum mampu memantik mayoritas peserta perempuan untuk mengutarakan pendapatnya. Entah karena merasa tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman, entah karena takut salah berpendapat, entah karena tidak berminat atau faktor-faktor lain yang merintanginya; namun yang jelas kehadiran Fina sebagai peserta baru Forum KAWAL merupakan langkah baik yang perlu disyukuri di tengah pusaran lemahnya artikulasi konsep partisipasi orang muda dan perempuan di konteks Kasepuhan.
Sarmani adalah laki-laki berusia 27 tahun yang sejak tahun 2018 bekerja sebagai perangkat desa Cirompang. Ia berasal dari keluarga petani, di mana kedua orang tuanya menggarap sawah di wilayah adat Kasepuhan Cirompang. Ia sempat berkuliah jurusan pertanian di salah satu universitas di Bandung selama empat semester sebelum kemudian memutuskan pulang ke wilayah adat Kasepuhan Cirompang di tahun 2015 dan menetap disana hingga saat ini. Setahun setelah kembali dari perantauan, ia mulai berkegiatan dengan RMI, ditandai dengan partisipasinya dalam kegiatan Sekolah Lapang Rakyat di tahun 2016. Selama tujuh tahun tentunya ia merasakan berbagai dampak dan proses-proses yang ia lalui berkegiatan dengan RMI. Kini ia sudah berkeluarga dan memiliki seorang anak berusia tiga tahun.
Tahun 2016 sampai 2017 menjadi salah satu babak penting dalam hidup Sarmani. Sejak kembali dari perantauan, ia mencoba aktif berkegiatan di komunitasnya. Selain ikut Sekolah Lapang Rakyat, ia berperan aktif dalam kegiatan pemetaan partisipatif di wilayah adat Kasepuhan Cirompang. Keduanya membuat Sarmani merasa lebih memahami kasepuhan dan mengetahui wilayah adat Kasepuhan Cirompang. Padahal, semasa bersekolah ia cenderung tidak memedulikan hal-hal terkait ritual adat, wilayah adat bahkan komunitas adatnya sendiri dan memilih untuk fokus belajar. Kepeduliannya terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan Kasepuhan Cirompang terus berproses dari waktu ke waktu hingga mengantarkannya pada suatu titik dimana ia merasa ada yang berkurang dalam dirinya jika adat tidak dilestarikan.
1 Maret 2019 menandai Pemetaan partisipatif yang dilakukan Sarmani dan tim membuahkan hasil. Negara mengembalikan hak adat Kasepuhan Cirompang dengan mengeluarkan SK Hutan Adat seluas 306 Hektar yang dikeluarkan dari wilayah Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Manfaatnya jelas terasa bagi Masyarakat Adat Kasepuhan Cirompang. Bahkan, di tahun 2023, Hutan Adat Cirompang relatif hampir seluruhnya sudah tergarap oleh masyarakat Kasepuhan Cirompang.
Setelah penetapan, Sarmani tetap menyadari pentingnya menjaga dan mengelola Hutan Adat Cirompang dengan baik. Sarmani memilih berkontribusi untuk menjaga hutan adat di Kasepuhan Cirompang dengan menjadi anggota Komunitas Pemuda Adat Kasepuhan Cirompang (Kisancang) yang salah satu kegiatannya adalah ronda leuweung/patroli hutan. Sejak tahun 2021, Kisancang berkolaborasi dengan baris kolot sekitar satu sampai tiga kali dalam setiap tiga bulan melakukan kegiatan tersebut. Sarmani mengatakan bahwa dari aktivitas tersebut, secara kolektif mereka mampu mengetahui wilayah mana yang harus ditanam, wilayah mana yang sudah mulai rusak dan titik-titik mata air mana yang harus dijaga. Pilihan tersebut menjadi alternatif yang memungkinkan karena Sarmani tidak memiliki akses terhadap tanah dan bekerja sebagai perangkat desa.
Kesetaraan Gender Menjadi Fokus Sarmani
Sebagai perangkat desa, ia berkontribusi kepada masyarakat di sekitarnya. Sehari-hari, ia bekerja sebagai staf data yang mengurusi pencatatan surat masuk maupun surat keluar dan pencatatan data kependudukan seperti data disabilitas, lansia dan keluarga miskin. Menurutnya, ia banyak mengambil pelajaran selama mengerjakan pekerjaannya. Salah satunya, Ia menjadi tahu mengenai kondisi masyarakat di sekitarnya dan mampu mengidentifikasikan sasaran prioritas program pemerintah seperti bantuan sosial.
Melalui profesinya sebagai perangkat desa dan aktifnya ia di Kisancang, membuatnya sering terlibat dalam musyawarah di tingkat dusun sampai musyawarah desa. Sepanjang keterlibatannya di setiap forum tersebut, ia menggarisbawahi pentingnya keterlibatan perempuan dalam forum-forum tersebut. Dengan nada prihatin, ia mengungkapkan hanya 10-20 persen perempuan dari total peserta yang hadir dalam musyawarah. Dari angka yang kecil itu, hanya satu sampai dua orang saja perempuan yang mau berpendapat dalam forum, itupun perempuan yang pendidikannya sudah tinggi (sarjana) atau berprofesi sebagai guru. Bagi perempuan yang terlibat dalam forum tersebut merasa bahwa ia hanya ibu rumah tangga yang sekedar ikut dan mendengarkan.
Perhatian Sarmani pada isu gender tidak berhenti di tingkat komunitas, ia juga mengaplikasikannya di tingkat keluarga. Dalam konteks pekerjaan domestik, Sarmani berbagi tugas dengan istrinya. Ia mengatakan kadang mereka bergantian melakukan pekerjaan domestik seperti mencuci piring, memasak, menjaga anak dan bersih-bersih rumah. Terutama ketika istrinya sedang hamil. Waktu-waktu dimana Sarmani melakukan porsi kerja domestik yang lebih besar. Keresahannya terhadap isu gender, ia kemukakan dalam satu sesi di forum Konsolidasi dan Advokasi Wilayah Adat Lebak (KAWAL). Pada salah satu sesi refleksi bersama, ia mengemukakan pentingnya melibatkan perempuan untuk ikut menyuarakan pendapatnya di tingkat komunitas.
Refleksi Sarmani Selama Mengikuti Forum KAWAL
Sarmani sangat aktif dalam Forum KAWAL. Forum KAWAL yang sudah keempat kalinya diselenggarakan, menjadi ruang belajar bersama dan bersolidaritas antar generasi muda berbagai kasepuhan. Ia selalu mengikuti setiap pertemuan KAWAL sejak Forum KAWAL pertama. Menariknya, ia mampu menjelaskan beberapa materi yang ia anggap menarik dari setiap pertemuannya. Baginya materi yang menarik adalah pengantar seks dan gender. Ia menyimpulkan bahwa dalam musyawarah di Kasepuhan maupun di desa, tidak harus selalu laki-laki yang terlibat. Peran dan pendapat perempuan juga harus dihargai dan jangan sampai dibatasi. Hal ini menurutnya perlu untuk disosialisasikan lebih lanjut di masyarakat. Selain itu, baginya materi sketsa perubahan desa juga menarik. Pada materi tersebut, sejak tahun 1990an sampai 2022, Sarmani berefleksi akan perubahan fisik di Kasepuhan Cirompang. Ia mendapati perubahan sungai dan lingkungan pemukiman. Ia menyoroti bahwa di tahun 1980-1990an, atap rumah masih berbahan ijuk. Sedangkan sekarang, menggunakan genteng. Meskipun begitu, dalam konteks hutan, sampai sekarang masih terjaga seperti dulu. Menurutnya, hal ini dapat terjaga karena masyarakat Kasepuhan menaati aturan baris kolot yaitu larangan menebang pohon di wilayah mata air. Kesadaran ini sudah terbangun sejak dulu dan masih terjaga hingga saat ini.
Perubahan-perubahan tersebut tidak dapat terlepas dari konteks hukum dan negara terutama dalam aspek hutan dan budaya bertani yang menjadi sumber kehidupan dan penghidupan di Cirompang. Hal inilah yang Sarmani dapatkan dari pertemuan kedua Forum KAWAL melalui permainan. Dari situ, Sarmani melihat bahwa penting bagi Kasepuhan untuk memiliki legalitas atau pengakuan dari pemerintah dan proses-proses advokasi di dalamnya. Baginya, penting bagi masyarakat adat untuk memahami hukum yang berlaku dan bertindak sesuai dengan peraturan yang ada.
Sarmani Saat Ini
Terkini, aktivitas Sarmani dengan RMI adalah Forum KAWAL keempat yang diselenggarakan di wilayah adat Kasepuhan Cibarani. Forum ini berbeda dari forum-forum sebelumnya karena Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat (direktorat KMA) ikut terlibat dan memberikan beberapa materi. Secara singkat, materi yang disampaikan seputar perkenalan lembaga; layanan advokasi yang disediakan direktorat KMA; program penunjang pemajuan kebudayaan yang disediakan direktorat KMA; dan sosialisasi warisan budaya berbentuk fisik dan non-fisik. Dari situ, Sarmani menjadi terpikirkan akan suatu situs yang dinamai batu keupeul (batu kepal) di wilayah adat Kasepuhan Cirompang. Ia mengatakan bahwa sebelumnya tidak terpikirkan sampai mengajukan batu keupeul menjadi cagar budaya. Hal ini menjadi penting karena peninggalan-peninggalan sejarah di wilayah Sarmani menjadi lebih disadari sebagai sebuah peninggalan sejarah yang bernilai. Bukan sebagai batu yang biasa-biasa saja.
Sebagaimana batu keupeul yang bernilai sejarah di Kasepuhan Cirompang namun dianggap biasa-biasa saja, begitu juga dengan perjalanan Sarmani yang sering dianggap biasa-biasa saja. Padahal, setiap potongan peristiwa dan refleksi yang berproses dalam dirinya merupakan sesuatu yang bernilai. Sesuatu yang bermakna bagi dirinya dan Kasepuhan Cirompang.
Sejak berkegiatan dengan RMI, Sarmani aktif berkegiatan dalam berbagai kesempatan yang berdampak bagi Kasepuhan Cirompang. Dimulai dari Sekolah Lapang Rakyat dan pemetaan partisipatif di tahun 2016 sampai aktif di Forum KAWAL di tahun 2023. Perubahan-perubahan yang ia alami, diawali dengan suatu hal yang umum yaitu pengetahuan tentang Kasepuhan Cirompang itu sendiri. Sejak saat itu, ia aktif memperdalam dan memperluas pengetahuannya. Selama berkegiatan dengan RMI, ia merasa banyak mengambil pelajaran. Bagi Sarmani, salah satu faktor pendukung hal tersebut adalah kegiatan RMI yang tidak memandang status pendidikan. Menurutnya, baik yang berpendidikan maupun yang tidak, tidak dibeda-bedakan dalam kegiatan. Karenanya, teman-temen lain yang tidak sekolah (formal) tidak minder.
Alhasil, dari perjalanan dengan RMI selama tujuh tahun, Ia menyatakan bahwa ia merasa lebih lebih dekat dan lebih sering menggali terkait sejarah Kasepuhan kepada baris kolot Kasepuhan Cirompang. Selain itu, ia sering mengikuti upacara (ritual) di Kasepuhan Cirompang. Seperti yang sudah dipaparkan di atas bahwa ia merasa ada yang berkurang dalam dirinya jika adat tidak dilestarikan. Sarmani merasa punya tanggung jawab untuk ikut serta melestarikan adat dengan perkataan “kalau tidak kita yang menjaga, (lalu) siapa lagi?”
Awan abu-abu mulai menyelimuti Hutan Adat, Desa Jagaraksa, Lebak, Banten. Dua orang laki-laki jalan kaki keluar dari hutan dan menghampiri kami di saung warung dekat jalan raya antar kecamatan Muncang dengan Sobang. Ada yang berteriak “itu dia orangnya”, orang yang pada tahun 2013 sempat ditangkap oleh Polisi Hutan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) karena memanfaatkan ranting di kawasan konservasi.
Laki-laki yang berusia 45 tahun itu menghampiri kami yang sedang duduk di pinggir jalan tersebut, dengan membawa koneren (tas yang terbuat dari karung plastik), baju biru, dan menggunakan topi mengajukan tangan untuk salaman dengan kami. Kami bersalaman dengan menyebutkan nama masing-masing, Pak SL namanya.
Percakapan diawali dengan menanyakan kabar dan kesibukan sehari-hari. Saat ini Pak SL sibuk menanam kopi, merawat kebun, kerja di pembibitan kopi dan bersawah. Ia juga menceritakan bahwa saat ini kopi sedang berkembang pesat dan harganya lumayan, oleh sebab itu ia menanam kopi di kebunnya. Selain kopi, ia juga menanam duren, pete, jengkol, manggis, serta jengjeng.
Saat kami menanyakan tentang kejadian penangkapan oleh polisi hutan di tahun 2013, raut wajahnya berubah, ia diam lama, air mengambang di matanya, jari-jari di tangan kanannya memainkan tulang hidungnya seolah menahan air agar tidak jatuh dari matanya.
“(dulu ditangkap karena) arang, bikin arang dari ranting-ranting karet di dalam kawasan (Taman Nasional / TN), yang nyieun (bikin) Ibu HN.” katanya. Ibu HN merupakan salah satu warga/tetangga Pak SL.
Sambil memegang tulang hidungnya, ia bercerita bahwa saat itu dia baru pulang mengambil arang dari dalam hutan. Setelah keluar dari hutan, di pinggir jalan ada polisi hutan yang menegur Pak SL, “jangan taro di sini” kata polisi hutan. Kemudian arang tersebut diambil dan ia ditangkap oleh polisi hutan lalu dibawa ke kantor TNGHS Resort Cikawah. Meskipun tidak lama, tapi kejadian tersebut sangat membekas di dirinya. Ia menceritakan bahwa ada masyarakat lainnya juga yang ditangkap. “Kalau [membuat] arang mah diambil aja [arangnya]. [tapi] Kalau [memiliki] kebun diancam penjara 20 tahun dan uang 100 juta,” katanya dibarengi dengan air mata yang jatuh.
Selanjutnya di tahun 2014, Komnas HAM bersama beberapa organisasi masyarakat sipil melaksanakan Inkuiri Nasional tentang Hak Masyarakat Adat. Pak SL juga hadir dalam pertemuan tersebut, tetapi ia takut bercerita sehingga kejadian tersebut diceritakan oleh Kepala Desa Jagaraksa, “tetapi yang ada kan hanya ada kepala-kepalanya (pimpinan TNGHS saat Inkuiri Nasional, bukan polisi hutan)”, kata Pak SL.
Sebelum berubah fungsi jadi Taman Nasional (TN) pada tahun 2003, wilayah adat Kasepuhan Karang merupakan bagian dari Perhutani. Di mana menurut Pak SL tidak ada bedanya saat wilayah adat dikuasai oleh Perhutani dengan saat dikuasai TN. “Pas (zaman penguasaan oleh) Perhutani (masyarakat) disuruh pulang, sama kaya (pada zaman penguasaan oleh] TN,” jelas Pak SL. Pak SL menambahkan di kedua era tersebut masyarakat sama-sama diminta upeti.
“Boro-boro ngebunharita mah, masuk wae geh sieun, punya Taman Nasional. (Boro-boro berkebun waktu itu, masuk aja takut karena punya Taman Nasional). Dulu tetep ke kebun tapi bukan di kawasan TN, tapi di kawasan yang ada SPPTnya,” jawab Pak SL, saat ditanya bedanya dulu dan sekarang.
Pembicaraan pun kembali ke masa kini, tahun 2022. Setelah kejadian tersebut, Pak SL dan Ibu HN tidak membuat arang lagi, karena takut, dan terlebih lagi saat ini jarang ada yang membeli. Pak SL menceritakan bahwa setelah Hutan Adat Kasepuhan Karang diakui oleh Negara sebagai milik masyarakat Kasepuhan Karang, ia mengaku merasa bungah (sangat senang). Perasaan tersebut tercermin dari raut wajahnya yang berubah. “Setelah hutan adat [diakui], bisa pepelakan (menanam pepohonan) lagi juga. Ada peningkatan pendapatan. Tetangkalan (pohon) nambah, baru nanam lagi,” katanya dengan senyum lebar. Meskipun kejadian tersebut telah berlalu, namun perasaan trauma masih menghantui Pak SL, ia mengakui bahwa hingga saat ini kalau bertemu dengan pihak Taman Nasional ia masih merasa sangat was-was.
Sementara, Ibu HN sibuk mengelola sawahnya yang jaraknya jauh, sehingga pulang sudah hampir maghrib, padahal warga lain biasanya pulang ke rumah lepas tengah hari. Sehingga membuat ia sulit untuk ditemui.
“Lelaki tua dengan iket khas Sunda di kepala terlihat tersenyum ramah menyambut kedatangan kami. Sosok ini adalah Olot A, beliau merupakan salah satu Ketua Adat di Kasepuhan Cirompang. Saat tiba di sana, kami langsung dipersilakan masuk dan duduk bercengkrama di area dapur. Nuansa dapur yang dominan dengan bahan kayu ditambah geliat asap dari tungku yang menyala menciptakan suasana hangat khas pedesaan. Di dekat tungku tersebut, terlihat Ambu O (istri Olot A) yang sedang sibuk ‘ngakeul’ nasi putih di dalam sebuah dulang. Beliau begitu terampil mengaduk nasi tersebut. Tangan kirinya memegang hihid (kipas) dan tangan kanannya mengaduk nasi menggunakan pangarih (centong yang terbuat dari kayu). Sembari berbincang dengan kami, Ambu O terlihat sibuk melanjutkan proses pembuatan nasi untuk dihidangkan kepada kami.”
Kegiatan yang dilakukan perempuan dalam masyarakat adat Kasepuhan Cirompang masih sangat identik dengan kegiatan yang ada di ranah domestik. Seperti pada kutipan di atas yang menggambarkan suasana ketika pertama kali kami tiba di Kasepuhan Cirompang. Terlihat jelas bagaimana pembagian peran antara Ambu O dan Olot A yang merepresentasikan pembagian peran dalam keseharian keluarga ini. Ketika kami datang, Ambu O terlihat sangat sibuk menyiapkan kopi, nasi, dan sayur untuk dihidangkan. Sedangkan Olot A duduk dan berbincang dengan kami. Pembagian peran yang sekilas terlihat biasa saja ini justru menjadi suatu hal yang menarik untuk kami telusuri lebih lanjut. Dari kegiatan “ngakeul” yang sedang dilakukan Ambu O kala itu menciptakan rasa ingin tahu kami tentang bagaimana perempuan adat Kasepuhan Cirompang menjalankan perannya dalam keseharian, terutama dalam kaitannya dengan agensi mereka dalam menciptakan ketahanan pangan dalam keluarga. Sekilas tentang Kasepuhan Cirompang, letak Kasepuhan ini berada di Desa Cirompang, Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Suasana bersih dan asri menjadi kesan pertama ketika kami menginjakkan kaki di Kasepuhan Cirompang pada 20 Oktober 2022 silam. Berjarak sekitar 79 km dari pusat kota Bogor, kami memerlukan waktu sekitar 4 jam untuk tiba di Kasepuhan Cirompang. Sebuah desa yang didiami oleh masyarakat adat yang masih kental dan memegang teguh berbagai aturan adat di dalamnya. Saat ini, masyarakat yang tinggal di Desa Cirompang merupakan masyarakat adat yang terdiri dari keturunan/incu putu dari Kasepuhan Citorek dan Ciptagelar. Desa Cirompang dikelilingi oleh pegunungan yang masih sangat hijau. Desa ini berbatasan langsung dengan Desa Sukaresmi (Kecamatan Sobang) di bagian utara dan berbatasan dengan Desa Citorek (Kecamatan Cibeber) di bagian selatan. Sedangkan di sebelah timur berbatasan langsung dengan Desa Sukamaju (Kecamatan Sobang), serta berbatasan dengan Desa Sindanglaya (Kecamatan Sobang) di bagian baratnya. Luas Desa Cirompang yaitu 637,608 ha (Data RMI, 2017).
Sebagian besar mata pencaharian masyarakat Cirompang yaitu berasal dari hasil pertanian (tatanen). Sehingga, aturan adat yang mengatur masyarakat Kasepuhan Cirompang kemudian juga berkaitan erat dengan kegiatan tetanen. Sebagai masyarakat adat yang dekat dengan kegiatan tetanen, salah satu hal yang membedakan masyarakat Cirompang dengan masyarakat lain yaitu berkaitan dengan cara pengelolaan bahan pangan yang dikonsumsi sehari-hari. Masyarakat adat masih memiliki pegangan dan tata cara adat tersendiri dalam proses produksi pangannya. Dalam upaya menciptakan ketahanan pangan, dahulu masyarakat adat Kasepuhan Cirompang menanam padi dengan varietas lokal (jenis pare gede) yang biasanya ditanam satu tahun sekali. Namun saat ini masyarakat menanam padi setahun dua hingga tiga kali (jenis pare leutik/pare handap). Padi yang ditanam tidak sepenuhnya dikonsumsi masyarakat sekaligus secara langsung. Namun biasanya mereka menyimpannya dalam leuit sehingga padi tersebut awet. Leuit merupakan lumbung yang digunakan untuk menyimpan padi (lihat gambar xx.xx). Adanya leuit merupakan bentuk dari sistem ketahanan pangan masyarakat Cirompang untuk menyimpan padi selama kurang lebih enam tahun. Keberadaan dan penggunaan leuit di desa ini sudah lama diwariskan secara turun menurun. Menariknya, dalam proses menciptakan ketahanan pangan keluarga di masyarakat Kasepuhan Cirompang, perempuan memiliki peran yang cukup dominan dibandingkan peran laki-laki. Perempuan terlibat mulai dari proses pengelolaan padi di sawah hingga mengolah beras menjadi nasi yang dapat disajikan untuk seluruh anggota keluarga. Sebelum menanam padi, perempuan melakukan kegiatan macul (menggemburkan tanah). Utamanya kegiatan ini dilakukan oleh laki-laki, tetapi perempuan seringkali “macul” untuk membantu laki-laki. Ketika tanah sudah siap ditanami padi, perempuan melakukan proses sebar/tebar (aktivitas menyebar benih padi) yang dilakukan selama satu hari. Selanjutnya, perempuan memindahkan benih padi dari tempat pabinihan ke sawah yang lebih luas. Proses ini dilakukan selama satu hari. Sama seperti macul, kegiatan ini dapat dilakukan oleh perempuan dan laki-laki. Setelah padi dipindahkan ke sawah, perempuan melakukan proses tandur (kegiatan menanam padi di sawah) selama 1-7 hari. Ketika padi mulai tumbuh (belum berbuah), selama seminggu perempuan membersihkan rumput yang mengganggu pertumbuhan padi. Setelah lima belas hari, perempuan kembali melakukan kegiatan ngoyos untuk kedua kalinya.
Kegiatan selanjutnya adalah ngubaran yaitu selamatan dan pemupukan untuk mengobati hama penyakit. Ngubaran ini biasanya menggunakan panglai (tanaman rempah sejenis kunyit dan jahe)dari Kasepuhan (Ritual Adat Kasepuhan). Pelaksanaan ngubaran biasanya dilakukan oleh laki-laki dan perempuan selama empat puluh hari lamanya. Usai ngubaran, upacara dilanjutkan dengan kegiatan selamatan ketika padi berbunga, menabuh lisung, dan gegenek (Ritual Adat Kasepuhan). Upacara ini disebut dengan apag pare beukah. Ketika padi tumbuh dan akan dipanen,dilakukanupacara selamatan yang disebut dengan beberes (Ritual Adat Kasepuhan). Kegiatan ini biasanya dilakukan oleh laki-laki dan perempuan selama empat puluh hari. Prosesi usai beberes disebut dengan mipit, yaitu kegiatan memanen padi yang dilakukan selama satu hari. Pelaksanaan mipit inimelibatkan peran perempuan dan laki-laki. Setelah padi dipanen kemudian padi dikeringkan dan diikat, hal ini disebut dengan mocong. Mocong biasanya dilakukan oleh laki-laki dan perempuan berperan membantu laki-laki. Kegiatan ini dilakukan selama setengah bulan. Setelah mocong dilakukan, proses selanjutnya adalah laki-laki ngunjal (memindahkan padi dari lantaian ke leuit), sedangkan perempuan berperan membantu proses menyalurkan padi yang akan dimasukkan ke leuit.Ngunjal ini berlangsung selama satu hari. Setelah ngunjal selesai, kegiatan selanjutnya adalah netepkeun, yaitu selametan padi selama berada di leuit (Ritual Adat Kasepuhan). Kegiatan ini biasanya dilakukan oleh laki-laki. Selanjutnya, prosesi terakhir adalah seren tahun yaitu selametan atas hasil bumi (padi) yang didapat (biasanya setiap minggu atau senin) dan jatuh pada bulan haji/rowah. Kegiatan ini melibatkan peran laki-laki dan perempuan dalam pelaksanaannya. (Data RMI, 2017).
Ketika peran laki-laki telah usai (dari proses pengelolaan sawah hingga puncak kegiatan penyimpanan padi ke dalam leuit), tetapi peran yang harus dijalani perempuan masih sangat panjang. Perempuan masih melanjutkan pengelolaan padi menjadi beras, dan mengolah beras menjadi nasi hingga dapat dimakan untuk seluruh anggota keluarga. Seperti yang terlihat pada gambar xx.xx di atas yang merupakan gambar kegiatan nutu padi dengan menggunakan lisung atau lesung. Nutu padi merupakan kegiatan menumbuk padi di dalam lisung. Kegiatan ini seutuhnya dilakukan oleh para perempuan (biasanya secara berkelompok). Nutu padi dilakukan oleh dua orang yang memegang halu (tongkat penumbuk padi) dan menumbuk padi dalam lisung secara bergantian. Kemudian dua orang lainnya memisahkan padi dari huut (kulit padi) dengan menggunakan tampah. Kegiatan memisahkan padi dari kulitnya ini disebut dengan napi. Jika padi sudah terpisah dari huut-nya, jadilah beras yang kemudian dapat dikonsumsi rumah tangga.
Setelah memisahkan padi dari kulitnya, para perempuan Kasepuhan Cirompang juga memiliki cara khusus dalam proses pengelolaan beras menjadi nasi. Proses yang dilalui dalam pengelolaan nasi ini lebih panjang dan membutuhkan waktu yang lebih lama dari proses pembuatan nasi pada umumnya. Pertama proses tersebut dimulai dengan memasukkan beras ke dalam bakul kecil (disebut boboko) lalu beras dicuci hingga bersih. Kegiatan ini dinamakan dengan ngisikan/diisikan. Usai ngisikan dilakukan, beras tersebut dituang ke wadah berbentuk anyaman kerucut yang disebut asepan dan diletakkan di atas dandang (seeng). Proses ini dilakukan di atas dandang yang berada di atas tungku (hau) yang masih menggunakan bahan kayu bakar. Beras dalam asepan didiamkan hingga dandang terlihat mengeluarkan asap sampai timus (mengebul).
Kemudian setelah nasi dalam asepan terlihat setengah matang, nasi tersebut diangkat dan dipindahkan ke dalam dulang dan dituangi sedikit air kemudian diaduk dengan pangarih (centong yang terbuat dari kayu). Kemudian nasi yang setengah matang ini diaduk. Setelah dirasa air meresap dalam nasi, nasi tersebut kembali ditaruh ke dalam asepan dan ditutup menggunakan penutup (dikekeb). Setelah nasi matang, proses selanjutnya yaitu ngakeul, yaitu proses mengaduk nasi sebelum disajikan dan dilakukan di dalam dulang. Kegiatan ini dilakukan dengan tangan kiri memegang hihid (kipas) dan tangan kanan mengaduk nasi menggunakan pangarih (centong yang terbuat dari kayu) dan dilakukan secara bersamaan. Proses pembuatan nasipun selesai dan nasi tersebut dapat disajikan untuk seluruh anggota keluarga.
Selain proses pembuatan nasi, hal lain yang menarik perhatian kami yaitu ketika kami melewati pekarangan rumah dan galengan sawah di sekitar Kasepuhan Cirompang. Disana terlihat para perempuan yang menanam tanaman sayur untuk dimasak dan memenuhi kebutuhan sayur sehari-hari mereka. Kegiatan menanam sayur yang dilakukan para perempuan di Kasepuhan Cirompang ini bermula karena sulitnya akses kebutuhan sayur yang dibudidaya di Desa Cirompang. Para perempuan di Kasepuhan Cirompang membentuk kelompok perempuan adat yang bernama Sompang Kisancang. Salah satu kegiatan kelompok perempuan ini yaitu berupaya menciptakan ketahanan pangan keluarga dengan belajar menanam sayur di pekarangan rumah, di pinggiran kolam Saung Kisancang, serta di galangan sawah yang mereka miliki.
Berdasarkan penuturan Teh IW (ketua kelompok Sompang Kisancang), kegiatan yang dilakukan kelompok perempuan Sompang Kisancang sangatlah beragam. Mulai dari belajar menanam sayur bersama RMI sehingga sayur tersebut bisa memenuhi kebutuhan dan dijual keluar desa, membuat keripik dan kerupuk, membuat kue, hingga belajar membuat nugget dari bahan ikan nila dan ayam bersama Sobat Mengajar. Namun sayangnya, keterlibatan perempuan di Sompang Kisancang masih sangat rendah, jumlah maksimal perempuan yang aktif dalam kelompok perempuan ini hanyalah sepuluh orang. Kendala yang mempengaruhi kegiatan tersebut biasanya dikarenakan bertubrukan dengan jadwal musim tandur dan urusan domestik yang kemudian menjadi kendala berjalannya kegiatan kelompok perempuan tersebut. Namun meskipun begitu, para perempuan secara mandiri tetap berupaya menanam kebutuhan sayur di depan pekarangan rumah (dengan polibek/bekas karung beras) dan galengan sawah mereka.
Dari seluruh uraian peran yang diemban oleh perempuan Kasepuhan Cirompang, keterlibatan diri perempuan di banyak lini kesempatan yang ada membuat kita menyadari bahwa masih ada pembagian peran yang timpang. Hal ini membuktikan adanya pandangan patriarki yang masih terasa kental di Kasepuhan Cirompang. Timpangnya pelibatan perempuan terlihat dari pembagian tugas domestik dalam keseharian yang banyak dibebankan pada perempuan. Perempuan menanggung beban yang cukup dominan dalam pekerjaan rumah tangga dibandingkan laki-laki. Selain memasak, perempuan di Kasepuhan Cirompang juga memiliki tugas dalam penggarapan sawah, mencuci, membersihkan rumah, dan beragam tugas rumah tangga lainnya.
Banyaknya tugas yang harus dilakukan perempuan dalam keseharian ini juga secara tidak langsung kemudian mempengaruhi keterlibatan perempuan dalam ruang publik. Seperti ketika terjadi rapat pengambilan keputusan yang berkaitan dengan urusan adat, perempuan seringkali tidak diajak, atau bahkan ketika diajak dan perempuan hadir dalam pertemuan tetapi pendapatnya tidak didengarkan. Sehingga suara perempuan acapkali tidak terwakilkan dalam rapat pengambilan keputusan adat. Bahkan Teh IW menyatakan ketika ada beberapa perempuan yang ikut hadir dalam rapat adat dan mencoba memberi masukan, pendapat mereka tidak seutuhnya didengar ataupun dijadikan rujukan dalam pengambilan keputusan adat yang ada. Tentu hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi perempuan adat dalam menegosiasikan perannya di ruang publik namun di sisi lain mereka juga harus hidup berdampingan dengan struktur adat yang telah terpatri. Meskipun perempuan di Kasepuhan Cirompang masih mengalami subordinasi dalam struktur adat dan kondisi ini sekilas terlihat fixed (tidak dapat dinegosiasikan), namun kami juga melihat dari sisi lain bahwa adanya semangat yang tinggi para perempuan Cirompang dalam mewujudkan posisi perempuan dalam masyarakat adat. Peran dominan pelibatan diri perempuan Kasepuhan Cirompang dalam menciptakan ketahanan pangan keluarga hingga terbentuknya kegiatan kelompok perempuan Sompang Kisancang menjadi bukti adanya agensi perempuan dalam menegosiasikan posisi mereka di Kasepuhan Cirompang. Selain memiliki tugas-tugas yang telah diidentikkan dengan tugas perempuan, namun perempuan Kasepuhan Cirompang tetap berupaya fleksibel membantu peran laki-laki di setiap kesempatan yang ada. Peran perempuan mulai dari pengelolaan tanah di sawah, pengelolaan tanaman padi, menumbuk padi hingga menjadi beras, mengelola beras dengan cara tradisional agar menjadi nasi, menanam sayur, hingga berinisiatif dan bergerak terlibat dalam kelompok perempuan Sompang Kisancang (menciptakan berbagai produk olahan rumah tangga) secara tidak langsung menjadi penanda bahwa negosiasi posisi perempuan di dalam Kasepuhan Cirompang sedang berlangsung. Fleksibilitas perempuan dalam membantu laki-laki menjalankan peran kesehariannya namun tetap menjalani kewajiban tugas perempuan sesuai aturan adat justru mendorong kreativitas perempuan Kasepuhan Cirompang dalam membentuk power perempuan itu sendiri. Sehingga peran yang diambil perempuan Kasepuhan Cirompang justru membawa mereka pada kondisi ‘berdaya’ dan tidak bergantung pada apapun. Tanpa peran aktif perempuan Kasepuhan Cirompang, ketahanan pangan di Kasepuhan Cirompang sulit untuk dapat terwujud.