Terhitung sudah berjalan tiga bulan, kegiatan yang berfokus untuk membersamai kemajuan penciptaan ruang-ruang inklusif lewat pemberdayaan perempuan, pemenuhan hak-hak disabilitas dan inklusi sosial serta penguatan masyarakat sipil di empat Masyarakat Adat Kasepuhan dan Masyarakat Adat Baduy yang berlokasi di Kabupaten Lebak, Banten. Di awali dengan kegiatan penyusunan baseline data program.
Sejak disosialisasikan, kegiatan ini berkomitmen untuk melibatkan kelompok pemuda dan perempuan dalam proses pengambilan data. Dengan keterlibatannya, kelompok pemuda dan perempuan memperlihatkan kemauan keras untuk belajar dan kapabilitas mereka sebagai kelompok yang partisipasinya minim di kampung untuk tujuan pendataan. Hal ini tampak dari kerja sama antar enumerator kader lokal yang bergerak dengan dua cara yaitu berkelompok dan individu dalam suatu jangkauan kampung. Mereka berkoordinasi, membagi peran dan tanggung jawab dalam proses pendataan.
Selain itu, dari proses pendataan ini, enumerator kader lokal mampu melihat permasalahan yang muncul secara tersirat dari pertanyaan yang mereka tanyakan ke masyarakat yang ada di kampung mereka. Beberapa diantaranya bercerita mengenai pendapatan yang lebih sedikit daripada pengeluaran setiap bulannya, banyaknya yang belum mendapatkan bantuan dalam bentuk apapun, sampai layanan administrasi kependudukan yang belum dimiliki oleh masyarakat.
Cerita menarik, salah satunya datang dari Kasepuhan Cibedug. Enumerator kader lokal disana terdiri dari dua orang yaitu Ega Juanda dan Ahmad Setiadi. Selama proses tiga bulan pendataan baseline data ini, mereka selalu terlibat dalam proses pelatihan pendataan yang diberikan terhitung tiga kali oleh RMI. Setelah itu, keduanya juga sering menanyakan kepada RMI mengenai permasalahan yang dihadapi saat pendataan, menanyakan teknis secara mendalam dan menyatakan alasan macetnya pendataan yaitu musim panen di Cibedug yang membuat orang-orang di Kasepuhan Cibedug sibuk dan menghambat proses pendataan. Alhasil, Ega Juanda mampu mengumpulkan paling banyak data dengan 82 data dan Ahmad Setiadi mengumpulkan 55 data tertinggi ketiga dibandingkan seluruh enumerator.
Dari proses selama tiga bulan tersebut, kedua enumerator dari Cibedug menunjukkan rasa ingin belajar, mau mengakui kesalahan dan belajar dari kesalahan. Menurut RMI, disinilah sisi inklusivitasnya, karena sebelumnya aktivitas pemuda di Kasepuhan Cibedug minim. Dengan terlibatnya kedua enumerator kader lokal disana, membuat mereka terlibat aktif dalam kegiatan di Kasepuhan Cibedug dan mampu melihat permasalahan yang muncul selama proses pendataan.
Hal positif lain yang bisa dilihat adalah praktik baik yang diperlihatkan oleh pemuda yang terlibat dalam pengumpulan data, ini memberikan dampak ke pemuda yang lain menjadi semangat untuk meningkatkan kapasitas dan mengembangkan diri. Karena memang pemuda dan perempuan bisa dikategorikan kedalam kelompok marjinal, di mana kesempatan untuk belajar dan partisipasi mereka masih sangat minim, baik dalam level desa maupun komunitas.
Berkerjasama dengan Kemitraan Partnership melalui program ESTUNGKARA “Kesetaraan untuk Menghapus Ketidakadilan dan Diskriminasi” RMI melakukan kegiatan yang sudah dijelaskan di atas.
Awal tahun 2021, sebuah pesan di aplikasi WhatsApp diterima RMI dari kawan-kawan Kasepuhan. Beritanya adalah bahwa perwakilan Kasepuhan Cibarani diundang hadir ke Jakarta dua hari lagi, tanggal 6 Januari 2021. Sebuah undangan juga dilampirkan dalam pesan ini, menyusul pesan sebelumnya yang meminta Abah Dulhani, Kepala Desa sekaligus tetua adat Kasepuhan Cibarani untuk hadir di Jakarta. Begitu dokumen undangan diunduh, terbaca penjelasan acara tanggal 7 Januari 2021. Acara yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat adat Kasepuhan Cibarani sejak setahun terakhir: penyerahan Surat Keputusan (SK) penetapan Hutan Adat Kasepuhan Cibarani seluas 490 Hektare yang berada di Desa Cibarani, Kecamatan Cirinten, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.
Dalam daftar undangan terbaca juga nama-nama Kasepuhan lain. Kasepuhan Cirompang, Kasepuhan Citorek dan Kasepuhan Pasir Eurih. Perwakilan dari Kasepuhan-kasepuhan tersebut diundang ke Jakarta untuk acara yang sama. Keempat Kasepuhan ini memang sudah mendapatkan penetapan Hutan Adatnya sebelumnya, yang diakui oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Hanya saja, mereka belum menerima dokumen utuh yang, secara tradisi sejak 2016, akan diserahkan langsung oleh Presiden.
Kasepuhan Cirompang dan Kasepuhan Pasir Eurih, yang difasilitasi oleh RMI, mengajukan penetapan Hutan Adatnya pada Oktober 2017. Kedua Kasepuhan masing-masing mengajukan luas 306 Hektare dan 580 Hektare hutan adatnya dikeluarkan dari status Hutan Negara berfungsi konservasi di bawah kelola Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Selanjutnya pihak KLHK melakukan verifikasi lapangan pada 29-30 Agustus 2018. Sesudah lama tidak terdengar kabar, termasuk tanpa melalui Gelar Hasil, penetapan Hutan Adat Kasepuhan Cirompang dan Kasepuhan Pasir Eurih diumumkan langsung oleh Menteri LHK Siti Nurbaya saat hadir dalam Riungan Gede Kasepuhan pada 1 Maret 2019 di Kasepuhan Citorek. Kedua Kasepuhan mendapatkan penetapan Hutan Adatnya seluas yang diajukan pada tahun 2017. Perlu dicatat bahwa dalam acara tersebut, baru terjadi pengumuman lisan penetapan Hutan Adat, belum penyerahan SK.
Lain lagi dengan Kasepuhan Cibarani. Pengajuan penetapan Hutan Adatnya dilakukan pada 5 November 2018 bersama komunitas Kampong Mului (Kalimantan Timur), enam komunitas dari Kalimantan Barat, dan 12 komunitas dari Bengkulu yang difasilitasi oleh Koalisi Hutan Adat—dikoordinir oleh HuMa dengan anggota antara lain AKAR, LBBT, PADI dan RMI. Pengajuan penetapan Hutan Adat ini diterima langsung oleh Menteri LHK. Sesudah menunggu delapan bulan, akhirnya tiba waktu verifikasi lapangan oleh KLHK pada 31 Juli – 1 Agustus 2019. Selanjutnya, RMI diundang pada tanggal 30 Agustus 2019 untuk mendiskusikan hasil verifikasi. Saat itu masyarakat Kasepuhan Cibarani tidak dilibatkan dalam diskusi karena rencananya akan dilibatkan pada diskusi terpisah, yang pada akhirnya tidak terjadi. Beberapa hal dibicarakan dalam diskusi tersebut, termasuk keberatan pihak Perhutani yang merasa masih ada aset Perhutani pada wilayah yang diajukan penetapannya sebagai Hutan Adat Kasepuhan Cibarani tersebut. Kasepuhan Cibarani memang satu-satunya Kasepuhan yang wilayah adatnya tumpang tindih dengan Hutan Negara berfungsi produksi. Tentunya di bawah kelola Perum Perhutani.
Informasi penetapan Hutan Adat Kasepuhan Cibarani akhirnya didapatkan tanpa pengumuman resmi seperti yang terjadi saat pengumuman penetapan Hutan Adat Kasepuhan Cirompang dan Kasepuhan Pasir Eurih. Informasi tersebut didapat antara lain saat perwakilan Kasepuhan Cibarani turut menemani perwakilan Kasepuhan Cibedug mengajukan permohonan penetapan Hutan Adatnya ke Gedung Manggala Wanabakti, yang diterima langsung oleh Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) Bambang Supriyanto. Menurut informasi, Hutan Adat Kasepuhan Cibarani yang ditetapkan adalah 490 Hektare dari yang diajukan seluas 644 Hektare. Jadi, 154 Hektare hutan adat yang diajukan penetapannya oleh Kasepuhan Cibarani masih berstatus Hutan Negara, padahal dalam Peraturan Daerah (Perda) Lebak no. 8 tahun 2015 tentang Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan Kasepuhan, wilayah tersebut sudah ditetapkan sebagai wilayah adat Kasepuhan Cibarani.
Kasepuhan Citorek, yang pengajuan penetapan Hutan Adatnya difasilitasi oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), malah mengalami pengurangan wilayah Hutan Adat yang ditetapkan lebih dari separuh. Kasepuhan Citorek mengajukan 4.439 Hektare Hutan Adatnya, dan mendapatkan penetapan seluas 1.647 Hektare. Lagi-lagi, wilayah adat Kasepuhan Citorek pun sudah diakui oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Lebak dalam Perda yang sama, yaitu Perda Lebak 8/2015. Perwakilan Kasepuhan Citorek yang hadir di Jakarta, yaitu Oyok Didi dan Kepala Desa (Jaro) Jajang tidak mengetahui alasan pengurangan Hutan Adat Kasepuhan Citorek dari yang mereka ajukan pada Januari 2019. Adapun luasan Hutan Adat empat Kasepuhan yang telah ditetapkan dapat dilihat dalam tabel di bawah ini:
Pengurangan luasan penetapan ini sudah terjadi sejak penetapan pertama Hutan Adat di 2016. Hutan Adat Kasepuhan Karang, salah satu dari delapan Hutan Adat yang pertama kali ditetapkan, hanya memuat wilayah hutan tutupan dalam wilayah adat mereka seluas 486 Hektare, sementara kawasan hutan yang telah dikelola secara produktif selama turun temurun oleh masyarakat seluas lebih dari 200 Hektare hingga kini justru masih berstatus Hutaan Negara dengan fungsi konservasi. Tidak diketahui alasan pengurangan tersebut, bahkan saat Gelar Hasil pada Desember 2016 tidak ada informasi mengenai pengurangan wilayah yang ditetapkan sebagai Hutan Adat Kasepuhan Karang.
Kembali ke masa kini, awal Januari 2021. Kabar undangan penyerahan SK Hutan Adat oleh Presiden langsung di awal tahun ini benar-benar kabar yang mengejutkan. Di saat tidak lagi ditunggu-tunggu penyerahannya, tiba-tiba undangan ini datang. Bersyukur bahwa Direktorat Jenderal PSKL terus bekerja dalam senyap mewujudkan tahap akhir proses pengumuman pengakuan legal Hutan Adat Kasepuhan, dan 31 Hutan Adat masyarakat adat lainnya di seluruh Indonesia.
Secara total, Kasepuhan Cirompang dan Kasepuhan Pasir Eurih menunggu 1,5 tahun sejak pengajuan hingga ditetapkan Hutan Adatnya. Selanjutnya, kedua Kasepuhan ini harus menunggu 22 bulan untuk mendapatkan SK penetapan tersebut secara resmi dari presiden RI.
Di samping itu, Kasepuhan Cibarani harus menunggu 14 bulan sejak pengajuan hingga penetapan Hutan Adatnya. Selanjutnya, 13 bulan berikutnya adalah waktu yang harus mereka tempuh sejak penetapan Hutan Adatnya hingga penyerahan resmi SK Hutan Adat mereka oleh Presiden RI.
Catatan penting lainnya adalah baik Kasepuhan Cibarani, Kasepuhan Citorek dan Kasepuhan Karang tidak memahami mengapa pengajuan penetapan Hutan Adatnya tidak dipenuhi seluruhnya, yang sesungguhnya sudah diakui dalam Perda Kabupaten Lebak 8/2015.
Walaupun syukur tetap perlu terus dipanjatkan atas event menggembirakan pada awal tahun ini, namun perbaikan untuk pemberlakuan sistem yang tepat dan lebih ringkas tetap perlu dilakukan. Selain perlu adanya konsultasi dan kesepakatan yang jelas dalam menetapkan Hutan Adat antara masyarakat adat dengan Pemerintah, Kami membayangkan Menteri LHK dapat langsung memberikan SK Hutan Adat ini ke masyarakat adat, sehingga keluarnya SK penetapan Hutan Adat masyarakat adat bisa langsung dinikmati oleh mereka, tanpa harus mengalami fase menggantung tidak jelas karena menunggu jadwal Presiden.
Catatan: Kasepuhan adalah masyarakat adat yang mendiami wilayah ekosistem Halimun yang berada di wilayah administratif Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, Kabupaten Bogor dan Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat. Pemerintah daerah Kabupaten Lebak telah mengakui keberadaan masyarakat adat Kasepuhan pada tahun 2015 melalui Peraturan Daerah (Perda) No. 8 tahun 2015 tentang Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan Kasepuhan. Dalam lampiran Perda tersebut, tertulis 590 komunitas yang merupakan bagian dari Masyarakat Adat Kasepuhan yang terdiri dari Kasepuhan induk (kasepuhan utama), kasepuhan rendangan (kasepuhan pengikut), dan unit lebih kecil lagi seperti sesepuh kampung.
RMI sendiri belajar bersama masyarakat di wilayah ekosistem Halimun sejak 1995 dan mendampingi proses untuk pengakuan wilayah adat masyarakat adat Kasepuhan terutama sejak 2003.
Lebak, RMI – Difasilitasi oleh Rimbawan Muda Indonesia (RMI) perwakilan Kelompok Tani Hutan Ongkol Beulah (Desa Harjawana) dan perwakilan Kelompok Tani Hutan Bitung Raya (Desa Pasir Bitung) menyerahkan usulan Izin Pemanfaatan Perhutanan Sosial atau IPHPS kepada Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Bambang Supriyanto di lokasi Perhutani, Desa Harjawana, Kecamatan Bojongmanik, Lebak, Banten, Jumat (21/12/2018). Luas IPHPS yang diusulkan …
Jakarta, RMI – Selama periode Februari-Juni 2018 RMI melakukan riset tentang Proses Pra dan Pasca Penetapan Hutan Adat di Indonesia bekerjasama dengan Koalisi Hutan Adat. Koalisi Hutan Adat ini terdiri dari HuMa (Jakarta), YMP (Sulteng), Bantaya (Sulteng), AMAN Sulsel, LBBT (Kalbar), dan Qbar (Sumbar). Hasil riset yang didukung oleh Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) ini disampaikan di Hotel Century …
Jakarta, RMI – Tercatat sudah 33 hutan adat yang ditetapkan oleh pemerintah pasca Putusan MK 35/PUU-X/2012 dengan luas 17.243,61 ha yang tersebar di 7 provinsi. Dengan demikian, rata-rata 11 hutan adat yang ditetapkan setiap tahunnya. Sejumlah hambatan masih ditemukan dalam proses penetapan hutan adat baik sebelum maupun setelah penetapan. Hal itu dikemukakan oleh Nia Ramdhaniaty, Koordinator Tim Peneliti saat Workshop …
Catatan Diseminasi Riset Pra dan Pasca Pengakuan Hutan Adat di Indonesia Jumat (30/11) RMI melangsungkan diseminasi hasil riset mengenai penetapan Hutan Adat kepada para pemangku kepentingan terkait. Riset yang terlaksana atas dukungan Food and Agriculture Organization (FAO) ini telah dilakukan selama setahun terakhir oleh RMI bersama beberapa organisasi anggota Koalisi Hutan Adat yang terdiri dari HuMa, Bantaya Sulawesi Tengah, Yayasan …