RMI-The Indonesian Institute for Forest and Environment adalah sebuah organisasi nirlaba independen yang memfokuskan diri pada isu pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup lestari berbasis masyarakat. Organisasi ini didirikan di Bogor pada 18 September 1992 dan terdaftar secara resmi di KemenKumHAM tahun 2012. Untuk mencapai visinya, RMI melakukan program di tingkat pemerintah lokal dan nasional juga berjejaring dengan berbagai organisasi di berbagai tingkat hingga internasional. Program-program RMI dijalankan melalui seri aktivitas pengorganisasian masyarakat, riset aksi, kampanye publik, advokasi kebijakan, dan pengembangan wirausaha agraria berbasis keanekaragaman hayati dan budaya lokal. Dalam mencapai visinya, RMI menekankan pada terwujudnya keadilan gender dalam pengelolaan sumber daya alam, serta terencananya reproduksi sosial dan regenerasi pengelolaan sumber daya alam.
Divisi Pengelolaan Pengetahuan adalah bagian penting dalam melakukan kerja-kerja programatik RMI. Pembelajaran dari pelaksanaan program yang dihasilkan melalui pengelolaan pengetahuan menjadi alat utama dalam advokasi dan penggalangan dukungan publik. Karenanya, staf pengelolaan pengetahuan yang berkemampuan baik menjadi kebutuhan penting untuk mendukung keberhasilan kerja-kerja RMI.
Ruang Lingkup Pekerjaan
Staf Pengelolaan Pengetahuan diharapkan memberikan kontribusi sebagai berikut:
Mengelola sistem pemantauan, evaluasi, dan pembelajaran lembaga secara berkala untuk dilaporkan secara tahunan.
Mengelola inventaris penerima manfaat lembaga, dimulai dari level proyek, untuk dilaporkan secara tahunan.
Menyusun kerangka dan terlibat dalam kegiatan penelitian pada level proyek maupun programatik lembaga
Menyusun cerita perubahan berbasis abstraksi sistem pemantauan, evaluasi, dan pembelajaran lembaga, serta laporan pelaksanaan kegiatan dan proyek.
Terlibat dalam penyusunan berbagai kebutuhan narasi (dalam berbagai bentuknya) bersama Staf maupun Divisi lain yang terkait.
Persyaratan Kualifikasi dan Kompetensi
Staf Pengelolaan Pengetahuan RMI harus memiliki kualifikasi sebagai berikut:
Memiliki keingintahuan tinggi.
Mampu berkomunikasi dengan baik.
Mampu bekerja sama dengan tim.
Mampu berbahasa Inggris secara lisan dan tulisan.
Memiliki ketertarikan pada kerja-kerja sosial.
Memiliki gelar sarjana yang relevan, diutamakan dalam ilmu-ilmu sosial.
Memiliki pengetahuan dasar mengenai politik, HAM, pembangunan, dan lingkungan.
Memiliki kemampuan menulis yang baik (diutamakan).
Memiliki pengalaman mengelola maupun terlibat dalam penelitian lapangan (diutamakan).
Lamaran pekerjaan dikirimkan dengan melampirkan surat lamaran dan Curriculum Vitae (CV) ke email recruitment@rmibogor.id
RMI-The Indonesian Institute for Forest and Environment adalah sebuah organisasi nirlaba independen yang memfokuskan diri pada isu pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup lestari berbasis masyarakat. Organisasi ini didirikan di Bogor pada 18 September 1992 dan terdaftar secara resmi di KemenKumHAM tahun 2012. Untuk mencapai visinya, RMI melakukan program di tingkat pemerintah lokal dan nasional juga berjejaring dengan berbagai organisasi di berbagai tingkat hingga internasional. Program-program RMI dijalankan melalui seri aktivitas pengorganisasian masyarakat, riset aksi, kampanye publik, advokasi kebijakan, dan pengembangan wirausaha agraria berbasis keanekaragaman hayati dan budaya lokal. Dalam mencapai visinya, RMI menekankan pada terwujudnya keadilan gender dalam pengelolaan sumber daya alam, serta terencananya reproduksi sosial dan regenerasi pengelolaan sumber daya alam.
Divisi Keuangan adalah bagian penting dalam melakukan kerja-kerja programatik RMI. Pelaksanaan program dan aspek keuangannya adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan. Karenanya, staf keuangan yang berkemampuan baik menjadi kebutuhan penting untuk mendukung keberhasilan kerja-kerja RMI.
Ruang Lingkup Pekerjaan
Staf Keuangan diharapkan memberikan kontribusi sebagai berikut:
Mengelola (memegang, mencairkan, melaporkan, merekonsiliasi laporan secara bulanan) petty cash.
Melakukan rekapitulasi rekening koran secara bulanan.
Menjalankan transaksi keuangan lembaga.
Membantu mempersiapkan, implementasi, dan pelaporan keuangan tim program dalam pelaksanaan kegiatan lapangan.
Menyiapkan dan memverifikasi dokumen pendukung terkait dengan pelaporan keuangan lembaga.
Bersama-sama dengan tim program untuk menyiapkan dan memverifikasi laporan yang akan dikirimkan ke lembaga donor
Persyaratan Kualifikasi dan Kompetensi
Staf Keuangan RMI harus memiliki kualifikasi sebagai berikut:
Jujur dan teliti.
Mampu berkomunikasi dengan baik.
Mampu bekerja sama dengan tim.
Mampu berbahasa Inggris (lisan dan tulisan).
Memiliki gelar sarjana yang relevan dengan bidang keuangan
Memiliki pengetahuan kebijakan Akuntansi.
Memiliki kemampuan membuat Laporan Keuangan.
Memiliki pengalaman mengelola keuangan non-profit (diutamakan).
Memiliki pengalaman menggunakan software keuangan (diutamakan).
Memiliki pengetahuan terkait dengan PPh 21, PPh 23, PPh Badan (diutamakan).
Lamaran pekerjaan dikirimkan dengan melampirkan Surat Lamaran dan Curriculum Vitae (CV) ke email recruitment@rmibogor.id
Subject: [Loker Staf Keuangan]_[Nama Lengkap] Paling lambat Senin, 23 Desember 2024.
60% persen wilayah Kabupaten Katingan merupakan kawasan hutan, yang merupakan ekosistem yang sangat ideal bagi pertumbuhan berbagai jenis rotan. Kabupaten ini sudah lama dikenal sebagai salah satu penghasil rotan terbesar di Indonesia. Ladang rotan di Katingan mencakup area seluas lebih dari 325.000 hektar dan mampu menghasilkan 600-800 ton rotan basah per bulan, atau 7.000 – 9.000 ton rotan per bulan. Bahkan, 10 dari 13 kecamatan di Kabupaten Katingan merupakan penghasil rotan kualitas unggul.
Menurut laporan Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah, rotan merupakan hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang paling potensial dari 17 jenis yang tercatat di Kabupaten Katingan, dengan pendapatan rata-rata Rp 27.500.000,- per tahun dari 16 desa yang menjadi lokasi penelitian dengan pendapatan tertinggi mencapai Rp 71.320.000,- per tahun di desa dengan akses pasar terbaik. Laporan yang sama menyebutkan bahwa 49% rotan yang digunakan oleh masyarakat diperoleh dari rotan yang tumbuh secara alami di hutan, sedangkan sisanya berasal dari hasil budidaya masyarakat baik di dalam maupun di luar hutan.
Dalam model bisnis rotan mentah yang saat ini mendominasi di Katingan, masyarakat terlibat dalam rantai pasok dengan jejak karbon yang tinggi, terutama dalam hal pengangkutan bahan dan produk di berbagai tahap produksi. Potensi masalah lain dari model bisnis ini adalah eksploitasi rotan itu sendiri dalam jangka panjang. Karena produksi di tingkat masyarakat hanya sampai pada tahap pengambilan bahan mentah atau ekstraksi, maka rasa kepemilikan terhadap rotan sebagai sumber daya bersama menjadi rendah karena permintaan rotan berasal dari tempat lain; rotan terlepas dari kehidupan sehari-hari masyarakat.
Di sisi lain, budaya rotan memiliki aspek gender yang kuat. Di Katingan, secara tradisional, laki-laki lebih banyak berperan di ladang atau di hutan sebagai petani dan pengumpul rotan, sedangkan perempuan lebih banyak terlibat dalam proses pembersihan, karena dianggap lebih teliti dalam pengolahannya. Keduanya terlibat dalam penyiapan bahan rotan (perendaman dan pengasapan).
Pada tahap menganyam rotan menjadi produk di tingkat masyarakat, keterlibatan perempuan lebih banyak, terutama yang sudah tua. Para penenun biasanya menghabiskan waktu dari pagi hingga sore dalam waktu 2-3 hari untuk menghasilkan satu produk tergantung pada ukuran dan kerumitannya. Produk kemudian dijual langsung di lingkungan sekitar atau melalui pameran lokal yang diadakan oleh pemerintah. Karena pasar untuk produk anyaman rotan tidak dapat diakses secara teratur, menganyam tidak menguntungkan seperti mengumpulkan dan mengolah rotan mentah, sehingga perdagangan rotan mentah dan tradisi menenun di Katingan berkurang meskipun melimpahnya rotan dan larangan ekspornya.
Dalam situasi ini, diasumsikan bahwa proses pengambilan keputusan didominasi oleh petani dan produsen laki-laki; dengan demikian, peran perempuan semakin berkurang, dan arena mereka semakin menyempit dalam budaya rotan lokal. Dalam konteks yang lebih luas, alih fungsi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit tengah marak terjadi di Kabupaten Katingan. Fenomena ini diikuti dengan pengalihan mata pencaharian masyarakat ke sektor kelapa sawit. Selain kelapa sawit, pertambangan emas juga menjadi industri nonformal dan ilegal lainnya yang marak di Katingan.
Inisiatif Pemberdayaan Komunitas melalui Integrated Rattan Supply Chain (IRSC)
Merefleksikan hal tersebut, RMI yang memiliki pengalaman kerja di isu gender dalam pengelolaan kekayaan dan pemberdayaan komunitas– bekerjasama dengan PT. Harmoni Usaha Indonesia (HUI), yang telah menjadi pelopor dalam industri anyaman dan telah bekerja sama dengan lebih dari 7.500 penganyam rumahan di Jawa Tengah, dalam pemberdayaan komunitas melalui Integrasi Rantai Pasok Rotan.
Pemberdayaan komunitas ini akan menjangkau masyarakat Katingan di empat kecamatan yaitu Kecamatan Pulau Malan, Tasik Payawan, Tewang Sangalang Garing, dan Katingan Hilir, dengan hasil yang diharapkan akan ada 500 pengrajin rumahan, di mana 80% nya adalah Perempuan, akan terorganisir dan berbadan hukum, sehingga memiliki perlindungan sosial-lingkungan, memiliki kapasitas dalam produksi yang responsif dan berkelanjutan, serta secara aktif berproduksi untuk dan memperoleh manfaat dari IRSC.
Pada skema bisnis HUI, pengrajin rotan rumahan akan diintegrasikan sebagai mata rantai ketiga dari rantai pasokan rotan, di mana tahap satunya ada di petani rotan, dalam hal ini adalah Perkumpulan Petani Rotan Katingan (P2RK), tahap dua adalah proses pengolahan bahan baku, yang dilakukan di Hampangen, dan tahap ketiga adalah pengrajin rotan, bagian ini yang akan dikerjakan dalam inisiatif IRSC, dan yang terakhir adalah tahap empat, yaitu finishing dan ekspor.
Dengan demikian, tahap tiga ini membutuhkan konsentrasi modal sosial yang tinggi, sehingga diperlukan perlindungan. Inisiatif ini akan berkontribusi pada pembangunan organisasi dan integrasi perlindungan yang menyasar pengrajin tenun rumahan yang terintegrasi dan mengedepankan nilai-nilai keadilan dan keberlanjutan bagi masyarakat dan kekayaan alam. Lebih jauh lagi, RMI sebagai organisasi yang memiliki misi “Memperkuat identitas, kepemimpinan, dan solidaritas perempuan rural untuk perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan kekayaan alam dan budaya”, berharap inisiatif ini akan meningkatkan posisi tawar masyarakat di tengah industri rotan di Katingan.
Untuk memperkuat kerja-kerja di lapangan, RMI juga bekerjasama dengan Tropical Land and Forest Conservation (TFLC), organisasi lokal yang selama ini bekerja di Kalimantan Tengah, sebagai penanggung jawab atas semua aspek teknis dan terkait lapangan dari inisiatif ini.
Kick-off Meeting
Pada September 2024, inisiatif Pemberdayaan Komunitas melalui IRSC mengadakan pertemuan pertama kalinya secara luring di Katingan dan Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Ini adalah kegiatan paling pertama yang menandakan dimulainya inisiatif Pemberdayaan Komunitas melalui IRSC, sekaligus peluang untuk mensosialisasikan informasi dan menetapkan kesepakatan bersama yang berlaku selama berlangsungnya inisiatif. Pertemuan awal ini juga menjadi sarana untuk melihat tahap satu dan tahap dua dalam industri rotan terpadu yang sudah berjalan di Katingan dan Hampangen, mendiskusikan strategi-strategi yang berkontribusi terhadap pencapaian tujuan inisiatif seperti mendorong partisipasi bermakna perempuan dan anak muda dalam inisiatif lokal dan memetakan potensi resiko apa saja yang akan dihadapi selama inisiatif ini berjalan.
Inisiatif Pemberdayaan Komunitas melalui IRSC merupakan rangkaian kerja jangka panjang, yang berdasarkan Kick-off Meeting, akan diimplementasikan sejak Agustus 2024 – April 2026 dengan dukungan dari United Nations Environmental Programme (UNEP) melalui skema Tropical Landscapes Grant Fund (TLGF). Fokus pemberdayaan komunitas dengan metode live-in; penguatan identitas komunitas, khususnya Perempuan; serangkaian pelatihan kepemimpinan dan pelatihan kesehatan pada pekerja perempuan; dan sertifikasi Forest Stewardship Council – Chain of Custody (FSC-CoC), yaitu sertifikasi yang memastikan bahwa bahan atau produk berbasis hutan berasal dari sumber yang bertanggung jawab secara lingkungan, sosial, dan ekonomi, akan diorganisasi oleh RMI bersama HUI dan TFLC.
Penulis: Siti Marfu’ah
Sumber:
Sumardjani L. 2011. Studi Rotan di Katingan Kalimantan Tengah. Yayasan Rotan Indonesia.
Jemi, R., & Patimaleh, I. B. Report on the Study of Forest Management in the Katingan Landscape in the Managed Area of Unit XVII Production Forest Management Unit, Central Kalimantan Province. KPHP Katingan Hulu, 2020
RMI-the Indonesian Institute for Forest and Environment sejak awal berkomitmen untuk melakukan pembelajaran dengan mengedepankan prinsip pendidikan kritis, kontekstual, dan secara partisipatif. Melalui Program “Promoting Children’s Right to a Healthy Environment Through Children and Youth from the Philippines and Indonesia – Children and Youth Action for Environmental Children’s Rights (CYA-ECR)” atau “Mempromosikan Hak Anak atas Lingkungan yang Sehat Melalui Anak dan Remaja dari Filipina dan Indonesia serta Aksi Pemuda untuk Hak Anak Atas Lingkungan,” RMI melaksanakan kegiatan Environmental Children’s Rights (ECR) Training Program (ETP) atau Pelatihan Fasilitator Pendidikan Lingkungan.
Fasilitator Pendidikan Lingkungan terdiri dari tiga rangkaian seri yang dilaksanakan secara bertahap:
Seri Pertama: Dilaksanakan pada tanggal 22–25 Juni 2024 di The Garden-BIM Hotel, Rangkasbitung. Pelatihan ini fokus pada pembekalan mengenai pendidikan kontekstual dan dasar-dasar fasilitasi. Sebagai tindak lanjut, peserta diminta untuk melaksanakan mini project sebagai implementasi dari pelatihan tersebut, sekaligus sebagai kesempatan bagi mereka untuk mencoba menjadi fasilitator di komunitas masing-masing.
Seri Kedua: Dua bulan kemudian, seri kedua dilaksanakan pada tanggal 22–25 Agustus 2024 di Kasepuhan Pasir Eurih. Pelatihan kedua mengadopsi pendekatan People First Impact Method (PFIM), mendorong peserta untuk dapat menggali informasi melalui wawancara mendalam dengan topik yang telah ditentukan. Selain itu, dikenalkan pula isu-isu mengenai perubahan iklim, kemiskinan struktural, gender, dan politik ekologi yang dikaitkan dengan kondisi masing-masing komunitas.
Seri Ketiga: Seri terakhir dilaksanakan pada tanggal 25–27 Oktober 2024 di Kasepuhan Pasir Eurih, diikuti oleh 15 peserta, terdiri dari tiga perempuan dan 12 laki-laki, yang berasal dari Kasepuhan Cirompang, Kasepuhan Bongkok, Kasepuhan Pasir Eurih, Kasepuhan Jamrut, serta masyarakat lokal di sekitar Kasepuhan. Pelatihan ini berlangsung selama tiga hari dengan isu-isu yang saling berhubungan dengan pelatihan sebelumnya, seperti pembangunan berkelanjutan, gerakan sosial, keanekaragaman hayati, dan keadilan iklim.
Pada hari pertama, peserta diajak untuk mengenal diri mereka melalui tes MBTI, diharapkan dapat mengetahui arah pengembangan sesuai dengan kepribadian masing-masing. Selain itu, peserta juga diberikan kesempatan untuk saling berbagi pengetahuan berdasarkan keahlian atau ketertarikan masing-masing. Sesi pertama dilakukan oleh Hanifah Nur Hidayah dengan topik “Otoritas dan Kekerasan,” yang menjelaskan bahwa seseorang dapat melakukan tindakan yang bertentangan dengan moralnya ketika menerima perintah dari orang yang lebih berwenang. Selanjutnya, Siti Sopariah menjelaskan tentang “Keseimbangan Ekosistem,” membahas interaksi biotik dan abiotik yang dapat menyebabkan ketidakseimbangan ketika salah satu komponen hilang. Pendekatan ini memantik diskusi terbuka antara peserta karena sifatnya yang peer-to-peer.
Hari pertama diakhiri dengan pengenalan media pembelajaran melalui permainan quartet yang berisikan informasi mengenai Kasepuhan, seperti perangkat adat, hewan langka di kawasan Halimun, hingga objek Kasepuhan. Melalui permainan ini, peserta dapat membaca dan mengetahui informasi yang tertera di kartu. Hal ini diharapkan dapat menjadi pemicu untuk menciptakan alat serupa sebagai media pembelajaran bagi anak-anak dan kaum muda dengan cara yang lebih menyenangkan dan kontekstual.
Pada hari kedua, isu yang diangkat berkaitan dengan keanekaragaman hayati melalui praktik biomonitoring untuk menguji kualitas air sungai. Peserta dibagi menjadi empat kelompok dan melakukan biomonitoring di titik-titik sungai sekitar. Peserta diminta mengidentifikasi makhluk makroinvertebrata yang terdapat dalam ekosistem sungai sebagai indikator kualitas air. Sekalipun hasil yang didapat perlu dikaji lebih dalam untuk menghasilkan data yang valid, peserta tetap dapat mengenali dan mengidentifikasi secara sederhana kondisi lingkungan yang ada di sekitar mereka.
Menyusul isu yang sama, peserta terlibat dalam permainan “Mancing Mania,” yang mencerminkan tantangan pengelolaan kekayaan alam yang terbatas. Dalam permainan ini, peserta berperan sebagai perusahaan penangkap ikan yang berusaha untuk menangkap ikan sebanyak-banyaknya untuk mendapatkan skor paling tinggi. “Hanya satu orang yang sadar, sedangkan yang lainnya tidak,” ucap Yadin, salah satu peserta dari Kasepuhan Cirompang, ketika seluruh sumber daya ikan habis karena kurangnya tindakan pengelolaan yang bijak dari peserta. Hal ini dilanjutkan dengan pemaparan materi mengenai pembangunan berkelanjutan yang menegaskan tentang pentingnya pertimbangan lingkungan-sosial-ekonomi dalam pembangunan.
Di hari kedua, Dida Nuraida dan Arsani juga berbagi pengetahuan dengan topik yang berbeda. Dida Nuraida mengambil topik “Gizi Seimbang dari Pangan Lokal Menuju Gaya Hidup Sehat,” mengedukasi peserta tentang pengertian dan pentingnya gizi seimbang bagi tubuh serta mengaitkannya dengan kandungan gizi dalam pangan lokal yang sering kali diabaikan. Sementara itu, Arsani menjelaskan mengenai pengertian, tingkatan, dan manfaat keanekaragaman hayati, serta mengajak peserta mengidentifikasi keanekaragaman hayati di Kasepuhan masing-masing dari perspektif kesehatan, budaya, perikanan, dan pertanian. Diskusi dua arah pun terjadi, membahas kondisi lingkungan masing-masing dan keterkaitannya.
Hari ketiga dibuka dengan talkshow tentang keadilan iklim yang disampaikan oleh Fadilla Mutiarawati dari Sokola Institute dan Indra N. H. dari RMI. Talkshow dikemas secara interaktif dengan membahas tentang dampak krisis iklim dan mitigasi yang dapat dilakukan, terutama bagi peserta yang tinggal di kawasan pegunungan. “Rugi, biasanya bekal padi cukup untuk periode tertentu, tetapi jika masa tanam mundur, masyarakat harus membeli beras untuk mencukupi kebutuhan,” cerita Yadin mengenai dampak krisis iklim yang dialami masyarakat Kasepuhan. Fadilla dan Indra juga menjelaskan dampak serupa yang dialami masyarakat lain.
Talkshow ini diharapkan dapat mendorong peserta untuk mulai bergerak dan mengambil tindakan, seperti yang disampaikan Fadilla dalam pernyataannya, “Kita sudah berefleksi tentang banyak hal, harus dipikirkan lebih dalam dan segera mengambil tindakan. Anak-anak muda harus mengambil peran besar untuk mitigasi krisis iklim.” Melalui sesi ini, krisis iklim dijelaskan secara kontekstual sehingga menegaskan dampak nyata yang akan dihadapi oleh masyarakat, khususnya Masyarakat Adat.
Selanjutnya, isu tentang gerakan sosial diperkenalkan melalui permainan “Hands of Power.” Terdapat satu peserta yang mendapatkan perintah untuk mengikuti arah tangan dari fasilitator ke mana pun dan dalam kondisi apapun tanpa bisa berhenti. Sementara itu, peserta lain diminta agar dapat menghentikannya. Permainan ini menunjukkan pentingnya kekuatan kolektif dalam mengatasi suatu permasalahan, karena tanpa adanya keinginan melawan bersama maka kemungkinan besar gerakan sosial tidak akan terjadi.
Sebagai penutup dari rangkaian pelatihan, permainan “Jaring Laba-Laba” digunakan dengan cara peserta mengidentifikasi cerita yang telah disediakan. Cerita tersebut dibuat berdasarkan fenomena sosial yang terjadi sehingga peserta dapat menjelaskan hubungan sebab-akibat dari berbagai permasalahan sosial yang muncul, seperti isu iklim, kemiskinan struktural, pembangunan berkelanjutan, pendidikan, dan akar masalah lainnya. “Karena permasalahan ini kompleks, maka perlu dipecahkan satu per satu,” ungkap Manil, salah satu peserta, saat menanggapi permainan tersebut. Fasilitator menegaskan bahwa terdapat benang merah antar-isu yang ada, dan solusi yang ditawarkan harus mempertimbangkan berbagai sudut pandang.
Dalam prosesnya, peserta mengimplementasikan keterampilan yang didapat dari pelatihan ini melalui berbagai macam kegiatan. Seperti kegiatan mini project yang dilakukan di komunitas masing-masing, seperti pendokumentasian pengetahuan lokal di Kasepuhan Cirompang, pengenalan tanaman obat di Kasepuhan Pasir Eurih, serta pengenalan krisis iklim di SMAN 1 Sobang. Selain itu, beberapa peserta juga terlibat dalam kegiatan Forum KAWAL, Jelajah Kasepuhan, Semiloka yang diselenggarakan oleh KMA Kemendikbud, serta aktivitas lain yang menjadikan mereka sebagai penggerak pendidikan kontekstual.
Setelah mengikuti serial pelatihan ini, peserta akan melakukan aktivitas dalam rangka Global Action Month, seperti identifikasi tanaman obat dan kesenian di SD sekitar Kasepuhan, termasuk SDN 2 Sindanglaya, SDN 2 Wangunjaya, SDN 1 Sukaresmi, SDN 1 Cirompang, dan SDN 4 Hariang.
“Semua hal berkesan, tetapi yang paling berkesan adalah metodenya. Ternyata penyampaian materi tidak harus lewat presentasi, tetapi bisa melalui permainan, seperti permainan pohon-tupai, nasi garam, mancing-mancing, dan hands of power. Pada seri kedua, kami juga mendapatkan pengetahuan baru dari tempat tinggal sendiri saat wawancara,” ungkap Nina Nuraina ketika berbagai kesan setelah mengikuti pelatihan sepanjang tiga seri.
Melalui berbagai pengalaman yang telah dijalani, berbagai macam metode dan pendekatan yang telah dilakukan, salah satunya melalui pendidikan kontekstual. Maka diharapkan peserta dapat memahami pembelajaran secara lebih relevan dan bermakna, tidak hanya fokus pada pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga mendorong mereka untuk melihat keterkaitan antara pembelajaran dengan kondisi di komunitas mereka. Para peserta kini didorong untuk mengambil peran aktif dan memunculkan inisiatif yang baru di komunitas masing-masing. Mereka diharapkan mampu mengidentifikasi permasalahan yang ada di komunitas dan memberikan solusi yang relevan. Dengan keterampilan ini, para peserta dapat menganalisis tantangan yang dihadapi, baik dalam konteks lingkungan, sosial, maupun ekonomi. RMI berharap melalui pelatihan ini, akan muncul inisiatif-inisiatif baru yang muncul dari kebutuhan komunitas itu sendiri.
Wangunjaya, Rabu 25 September 2024 – Dalam rangka memperkuat pengakuan dan perlindungan terhadap hutan adat, semiloka bertajuk “Hutan Adat untuk Kesejahteraan lahir Batin Masyarkat Adat” acara ini diinisiasi oleh masyarkat adat Kasepuhan Jamrut dengan dukungan dari berbagai pihak, termasuk Kementrian Pendidikan, Kebudayan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) Melalui Dit.KMA, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Lebak, Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), dan Perkumpulan HuMa.
Semiloka ini menjadi momentum penting dalam Upaya pengakuan hutan adat sebagai wilayah Kelola Masyarakat adat yang berkelanjutan. Kasepuhan Jamrut, sebagai salah satu masyarkat adat di Kabupaten Lebak, telah lama menjaga kelestarian hutan sebagai bagian integral dari kahidupan mereka. Melalui Semiloka ini, berbagai pihak berkumpul untuk membahas Langkah-langkah yang perlu dilakukan agar wilayah hutan adat dapat di akui secara resmi oleh pemerintah.
Dalam Sambutan Sekdes Wangunjaya (Pemdes) – Beberapa bulan terakhir kami warga Kasepuhan Jamrut sudah melakukan proses pemetaan lapangan didampingi oleh teman- teman dari RMI, JKPP dan Forum KAWAL
Status lahan di Desa Wangunjaya ini ada 3 status:
Tanah Milik Taman Nasional (kami harap dengan adanya proses pemetaan ini mudah- mudahan menjadi awal mula dari kepemilikan masyarakat adat.
Milik Perum PERHUTANI, dengan adanya kegiatan ini mudah- mudahan harapan kami hak milik dapat berubah
HPL (PT. Pertiwi Lestari) kami juga sebagian menduduki hak milik tersebut
Mudah- mudahan kedepannya kami bisa lebih sejahtera dengan memiliki legalitas hak atas tanah masyarakat adat kami sendiri yang sudah sejak lama kami tempati untuk hidup sehari- hari secara turun temurun.
Pihak Dit.Kepercayaan Masyarakat Adat (Kemendikbutristek RI)
Data dari KLHK ada 137 Hutan Adat yang sudah mendapatkan SK, karena yang memiliki kewenangan menerbitkan SK Hutan adat adalah KLHK sementara Kemedikbud memberikan dukungan untuk memajukan objek dari Hutan Adat
KMA bisa membantu proses verifikasi dalam proses penetapan Hutan Adat (Masukan untuk melakukan verifikasi secara bersam- sama)
Dari KMA turut berpartisipasi dalam upaya mendorong pengakuan hutan adat
Berkaitan dengan kegiatan ini mudah- mudahan bisa menjadi awal untuk melakukan diskusi menuju kearah pengajuan SK Hutan Adat. Harapannya dari kegiatan ini bapak ibu semua memperoleh informasi terkait hutan adat dan bisa mendorong untuk mempercepat SK Hutan Adat, selain itu Dinas Lingkungan Hidup Kab.Lebak menyatakan bahwa pihaknya siap bekerja sama untuk mempersecepat proses adminitrasi pengakuan hutan adat diwilayah kasepuhan jamrut.
Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) juga berperan penting dalam memfasilitasi pemetaan wilayah adat secera partisipatif, sebagai salah satu langkah awal menuju pengakuan resmi. Sementara itu, Perkumpulan Huma – Definisi Politik Hukum dalam buku Ilmu Hukum by Satjipto Rahardjo Ketidakadilan Agraria sudah terjadi prakteknya selama ini di Indonesia.
Proses pengajuan Hutan Adat adalah proses yang panjang dan tidak instant, oleh karena itu masyarakat adat harus memiliki konsistensi dan juga keterikatan yang solid antar satu sama lain dalam memperjuangkan wilayah adat mereka. Masyarakat sudah mulai sadar bahwa selama ini pemerintah belum menganggap masyarakat hidup dan berkegiatan didalam wilayah hutan yang merupakan bagian dari kehidupan mereka.
Ada 3 jenis Hutan yang ditetapkan oleh Undang- undang, yaitu: Hutan Negara, Hutan Hak dan Hutan Adat. Setiap kasepuhan yang sudah diakui oleh Perda berhak mendapatkan hak mereka terhadap wilayah adat mereka masing- masing berdasarkan Perda Lebak tentang kasepuhan.
Dengan berakhirnya Semiloka ini, diharapkan Langkah-langkah konkret segera dilakukan oleh semua pihak terkait, guna mempercepat pengakuan hutan adat yang akan memberikan dampak positif terhadap kesejahteraan Masyarakat adat, kelestarian lingkungan, dan perlindungan hak- hak Masyarakat Adat di Indonesia.
Banyak Perempuan Indonesia di pedesaan yang masih belum sepenuhnya mengetahui dan memahami hak-hak mereka sebagai perempuan. Hal ini dikarenakan, kurangnya akses pendidikan dan informasi, budaya dan nilai tradisional yang cenderung membatasi Perempuan, minimnya peran pemerintah, keterbatasan ekonomi, dan ketidaksetaraan dalam hukum dan kebijakan.
Alhasil, banyak Perempuan Indonesia di pedesaan rentan terhadap kekerasan dan diskriminasi, mengalami ketidak setaraan ekonomi, tidak berpartisipasi dalam pengambilan Keputusan, hak-hak tidak dipenuhi, sulit keluar dari lingkar kemiskinan, hingga terjadi penurunan kualitas hidup keluarga.
Oleh karena itu, RMI yang bekerjasama dengan Kemitraan Partnership dalam program Estungkara, berupaya untuk melakukan peningkatan kesadaran terhadap hak-hak perempuan di Kasepuhan, melalui pertemuan ke-dua Forum Perempuan di Kasepuhan Pasir Eurih, Desa Sindanglaya dan di Kasepuhan Cirompang, Desa Cirompang, Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak.
Forum Perempuan Kasepuhan
Jika pertemuan Forum Perempuan Kasepuhan yang pertama, yang dilakukan pada bulan Juni lalu, lebih banyak menggali aspirasi perempuan tentang pembangunan desa, pada pertemuan ke-dua Forum Perempuan Kasepuhan, yang dilakukan pada sekitar akhir Agustus dan awal September 2024, para perempuan diajak untuk memahami tentang keadilan gender.
Dalam sesi kali ini RMI memaparkan materi mengenai Gender dengan maksud agar para perempuan di Desa Sindanglaya dan Desa Cirompang bisa memahami terlebih dahulu makna tentang Gender dan juga beberapa hal terkait hak- hak dasar Perempuan, terutama dalam Pembangunan desa.
Selama ini kondisi masyarakat di Komunitas Adat Kasepuhan masih sangat minim informasi terkait isu tentang keadilan gender dan mereka biasanya mengaggap isu ini cenderung tabu untuk dibahas secara luas, padahal sebenarnya isu tentang keadilan gender ini merupakan informasi dasar yang bisa menjadi modal utama kaum perempuan untuk bisa ikut berparpartisipasi aktif dalam proses pembangunan masyarakat dan desa. Keadilan gender cenderung dianggap tabu karena banyak factor, diantaranya adalah karena budaya patriarki yang selama ini mengakar kuat di Kasepuhan, minimnya sumber informasi yang bisa diakses dan juga rasa keingintahuan dari masyarakat sendiri yang belum memiliki kesadaran dan kemauan untuk memahami isu- isu semacam ini karena dianggap tidak terlalu berpengaruh dalam keseharian mereka. Selain informasi dan pemahaman yang sama terkait keadilan gender, forum dilanjutkan dengan membahas materi tentang Ketidakadilan Gender. Dalam forum ini peserta yang hadir juga diajak untuk sharing pengalaman atau bercerita tentang kondisi yang pernah dialami oleh masing- masing peserta.
Di forum ini para peserta mendapatkan pengalaman baru membahas mengenai topik gender dan juga memahami hal- hal apa saja terkait ketidakadilan gender yang sebenarnya terjadi sekitar lingkungan mereka. Dengan saling bertukar informasi seperti ini diharapkan kedepannya para perempuan lebih peduli dan peka dengan kondisi kesejahteraan kaum perempuan di lingkungannya.
Partisipasi Perempuan di Pembangunan Desa
Setelah materi-materi di sampaikan, para perempuan juga diajak untuk memahami tentang hak perempuan dalam pembangunan desa. Para perempuan yang hadir meyampaikan bahwa selama ini belum terlalu memahami hak- hak mereka dalam pembangunan desa mereka sendiri, karena tidak pernah merasa dilibatkan dalam kegiatan pertemuan musyawarah pengambilan keputusan ataupun penyusunan anggaran desa.
Kemudian para Perempuan diajak juga untuk memahami beberapa tahapan dalam proses musyawarah pembangunan desa. Tujuannya agar mereka juga memahami bahwa dalam penentuan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes), pemerintah desa juga memiliki tahapan- tahapan yang cukup sistematis dalam pengambilan keputusan bukan bisa secara otomatis memutuskan usulan mana yang akan dianggarkan dalam RPJMDes.
RMI berharap dengan adanya pembelajaran bersama kali ini perempuan menjadi lebih teredukasi dengan hak- hak mereka untuk nantinya berperan aktif terlibat dalam pembangunan desa.