Kembali Belajar Pemetaan Sosial-Spasial, Upaya Lebih Mengenal Ruang Hidup dan Penghidupan

Berangkat dari kesadaran bahwa perjuangan mendapatkan hak dan pengakuan bukanlah tujuan akhir, maka dibutuhkan proses-proses pengorganisasian yang dapat mendukung langkah-langkah selanjutnya. Pengakuan Hutan Adat merupakan ‘penghantar’ menuju perjuangan yang lebih besar, salah satu tujuannya menciptakan prinsip pemerataan akses, berkeadilan serta mencapai kesejahteraan lahir-batin. 

Dalam konteks pengakuan Hutan Adat Kasepuhan Cibarani, SK Hutan Adat yang diterima pada awal tahun 2021, belum menyentuh pada prinsip-prinsip berkeadilan di internal masyarakat adat Kasepuhan Cibarani. Pasalnya, belum ada perubahan struktur yang berarti dalam penguasaan dan pengelolaan, dengan kata lain masih melanjutkan warisan tata kelola semasa masih dikuasai Perum Perhutani. Sehingga belum lah jelas ‘kemana arah’ Hutan Adat Kasepuhan Cibarani. Lebih lanjut belum layak dinilai sejauh mana Hak Hutan Adat berkontribusi pada perbaikan penghidupan dan kehidupan anggota komunitas. Terlebih kepada golongan lemah yang tidak dan/atau terbatas dalam menjangkau akses atas sumber-sumber penghidupan berbasis tanah dan hutan. 

Di lain sisi, kelembagaan Adat membutuhan baseline data yang dapat menjadi acuan dasar dalam perencanaan, pengelolaan, pengambilan keputusan dan kebijakan pada tingkat komunitas. Yang selanjutnya dapat terealisasi di internal komunitas dalam melakukan upaya-upaya pembenahan ke arah yang lebih baik.

Ruang belajar Lintas Generasi 

Sebagai upaya meningkatkan kapasitas komunitas, terutama kelompok perempuan dan pemuda, dalam sepekan diadakan Pelatihan Pemetaan Sosial-spasial Wilayah Adat. Kerangkanya adalah sebagai tahap lanjutan dari proses pengaturan dan pengelolaan serta keadilan di internal masyarakat Cibarani. Pada kesempatan ini, mengundang juga peserta muda dari beberapa Kasepuhan seperti Kasepuhan Pasir Eurih, Cirompang dan Cibeas.  Harapannya dapat saling berbagi pengetahuan dan pengalaman dalam proses pengelolaan Hutan Adat. Mengingat Kasepuhan Pasir Eurih dan Kasepuhan Cirompang Hutan Adatnya juga telah ditetapkan. 

Pelatihan berlangsung selama 5 hari, yaitu pada 25-29 Januari 2022, bertempat di Imah Gede Kasepuhan Cibarani. Peserta yang terlibat dalam pelatihan ini sebanyak 20 orang yang terdiri dari 9 perempuan, 5 pemuda, 3 Perangkat Desa dan 3 baris kolot. Pelibatan para tetua dipandang lebih memberi warna dalam berbagi pengalaman. 

Materi-materi yang disampaikan pada kegiatan ini berkaitan dengan sejarah pengakuan Hutan Adat, makna Hutan Adat bagi komunitas, ancaman serta kerentanan yang menyertainya. Materi tersebut sebagai pengantar untuk diskusi-diskusi ke depannya mengenai pentingnya melakukan pemetaan sosial-spasial.

Imam Mas’ud (Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif/JKPP) sebagai narasumber membuka diskusi dengan membagikan kertas meta plan kepada para peserta untuk menuliskan “Apa makna Hutan Adat dan/atau Wilayah Adat”?.  Sebagian besar peserta menuliskan bagi mereka Hutan Adat adalah sumber kehidupan dan penghidupan. Alasan itu juga yang disampaikan kenapa penting menjaga dan memelihara kampung, tempat di mana mereka dillahirkan dan dibesarkan. Lebih jauh bagaimana mengenali dan mengelola potensi-potensi yang ada, karena masyarakat lah yang lebih tahu tentang kondisi ruang hidupnya sendiri. Didukung dengan pengalaman dan pengetahuan yang diwariskan secara turun-temurun. Untuk itu, wilayah adat dikelola oleh masyarakat suatu keniscayaan. Masyarakat tidak bisa menitipkan nasibnya kepada orang lain, melainkan masyarakat sendiri yang mampu merencanakan serta mengelola Hutan Adatnya berbasis pada pengetahuan dan pengalaman sendiri.

Di waktu yang sama, peserta juga belajar mengenai strategi mata pencaharian (livelihood), mengenal kampung/adat, analisis kelembagaan Adat/Desa dan pengenalan Gender dan PSDA. Untuk pengenalan Gender dan PSDA lebih fokus pada alokasi waktu kerja dan ruang jelajah laki-laki dan perempuan, utamanya dalam kerangka subsitensi yang bersumber dari alam.  

Pada saat yang sama, kami juga melakukan pemetaan spasial wilayah adat dengan menggunakan drone. Hasil tangkapan drone kembali didiskusikan bersama masyarakat kasepuhan untuk mengidentifikasi pembagian ruang menurut pengetahuan lokal. Langkah ini guna mempertegas ruang berikut asal-usul penamaan dan kesejarahannya. Khusus untuk lahan garapan dalam rencana tindak lanjut akan dilakukan pemetaan persil secara partisipatif dan rencana pemanfaatannya. Selain itu akan dilakukan juga identifikasi pangan liar berbasis gender dan keanekaragaman hayatinya.

Kolaborasi Antar Generasi Muda Kasepuhan

Belajar dari beberapa komunitas di Kabupaten Lebak yang sudah ditetapkan Hutan Adatnya, masih minim adanya pelibatan kelompok perempuan dan pemuda dalam perencanaan, pengelolaan dan pengambilan keputusan di level komunitas. Di konteks Cibarani, kecenderungan para pemuda lebih memilih mencari nafkah di kota ketimbang mengelola lahan di tanah tumpah darah. Hal ini menunjukan bahwa kepastian hak bukan semata sebagai penjamin terutama bagi kelompok perempuan dan generasi muda dapat memanfaatkan potensi dari sumber-sumber kekayaan alam lingkungannya.

Pasca pelatihan ini, harapannya generasi muda lebih peka untuk melibatkan diri dalam proses-proses pengelolaan Hutan Adat. Berbekal asupan pengetahuan pemetaan sosial-spasial tentunya lebih bisa mengukur sejauh mana agenda perencanaan dapat berkontribusi pada gerakan kaum muda dan kedaulatan atas ruang adatnya. Pun satu hal yang pasti generasi muda adalah tonggak pelanjut atas identitas komunitas.

Penulis: Abdul Waris

Editor: Siti Marfu’ah

Perjalanan Berliku Masyarakat Ciwaluh – Cipeucang untuk Memperoleh Kesepakatan Kemitraan Konservasi dengan TNGGP

Penandatanganan Perjanjian Kerjasama antara pihak Masyarakat Ciwaluh dan Kepala Balai TNGGP dan disaksikan oleh Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem.

Akhir tahun 2021, RMI menerima pesan WhatsApp dari kawan-kawan Ciwaluh dan Cipeucang mengenai undangan  dari Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP). Kawan-kawan Kampung Ciwaluh dan Kampung Cipeucang diundang datang ke Jakarta besok, yaitu 29 Desember 2021. Setelah dokumen undangan diunduh terbaca acara tersebut adalah penandatangan kerjasama Kemitraan Konservasi dengan TNGGP. Acara yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat Kampung Ciwaluh  dan kampung Cipeucang sembilan tahun terakhir, sejak pertemuan pertama dengan Kepala Balai Taman Nasional untuk mencari kesepakatan terkait aktivitas masyarakat di wilayah kawasan hutan TNGGP.  

Proses Mendapatkan Kembali Hak Kelola Lahan di Wilayah Kawasan Hutan TNGGP

RMI pertama kali masuk ke Kampung Ciwaluh guna pemberdayaan generasi muda melalui pendidikan lingkungan hidup pada tahun 2009. Dari proses ini ditemukan bahwa terdapat permasalahan akses lahan garapan masyarakat di wilayah TNGGP, juga tanah-tanah di wilayah kampung ini sudah di bawah kepemilikan PT. Pengembangan Agro Prima (PAP). Masyarakat tidak memiliki lahan mereka.

Satu tahun berikutnya, masyarakat, difasilitasi oleh RMI, melakukan pemetaan partisipatif di wilayah kampung untuk mengetahui luas kampung sesuai pemahaman masyarakat. Kemudian di tahun 2011, masyarakat melakukan pengembangan ekowisata yang diorganisir oleh masyarakat, terutama generasi muda. Dari proses pengembangan ekowisata ini, masyarakat Ciwaluh dengan RMI melaksanakan Green Camp pertama dengan menghadiri pihak Kementerian Lingkungan Hidup (saat itu).

Inisiasi untuk mencari kesepakatan terkait aktivitas masyarakat Ciwaluh dan Cipeucang di wilayah kawasan hutan dilakukan pada tahun 2012 melalui diskusi dengan Kepala Balai TNGGP. Namun, belum didapati jalan tengah untuk mengakomodir keberadaan dan aktivitas masyarakat di wilayah TNGGP.

Pada tahun 2013, generasi muda di wilayah setempat membuat film Suara Hulu Cisadane, yang kemudian ditayangkan di Jogja Netpac Asian Film Festival ke-8 tahun 2014. Pembuatan film tersebut berkembang menjadi pengorganisasian untuk peningkatan ekonomi lokal melalui ekowisata air terjun dan produk kopi lokal. Di tahun 2015, bekerjasama dengan RMI dan Kopi Ranin, Trip Piknik Kopi pertama dilaksanakan. Di tahun yang sama, timbul peluang Inventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (IP4T), berdasarkan peraturan bersama empat menteri tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang Berada di dalam Kawasan Hutan. Saat itu masyarakat mulai memetakan wilayah garapan di wilayah TNGGP.

Piknik Kopi Ciwaluh

Namun, proses advokasi harus terhenti pada tahun 2017, karena kemungkinan lahirnya Perpres No.88 tahun 2018 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan. Perpres tersebut menggantikan IP4T, dan di dalamnya mengatur penyelesaian penguasaan tanah di wilayah hutan konservasi hanya dapat dilakukan melalui realokasi warga.

Peluang mendapatkan hak kelola atas tanah kemudian timbul kembali seiring akan diterbitkannya Perdirjen No.6 tahun 2018 tentang Kemitraan Konservasi. Merespon hal tersebut, pada Desember 2017, masyarakat Ciwaluh dan Cipeucang dengan difasilitasi oleh RMI, melakukan pertemuan dengan Kepala Bidang Wilayah III TNGGP untuk membuka kemungkinan akses legal garapan masyarakat.

Kemudian di Januari tahun 2018, pertemuan untuk membicarakan zonasi di Kampung Ciwaluh dan Cipeucang berlangsung di Cibodas. Dari pertemuan tersebut diperoleh hasil scan peta zonasi yang diperbarui pada tahun 2016, sayangnya dokumen tersebut tidak dapat dimanfaatkan untuk mengetahui secara pasti zonasi di kampung Ciwaluh, Cipeucang, dan Lengkong, karena resolusi dokumen yang buruk.  Setelah itu, di bulan yang sama, masyarakat Ciwaluh dan Cipeucang, difasilitasi RMI, melakukan pertemuan untuk menyepakati strategi advokasi untuk kedepannya. Dari pertemuan tersebut, disepakati untuk meneruskan pemetaan partisipatif untuk memperbarui dan mencakup wilayah garapan masyarakat Cipeucang dan Lengkong yang belum terpetakan. Hasil lainnya adalah untuk bersama meminta TNGGP melakukan sosialisasi zonasi. Setelah pertemuan tersebut hingga April 2018, pemetaan partisipatif dilakukan secara swadaya untuk memperbarui sekaligus meluaskan cakupan areal yang dipetakan di tiga kampung (Ciwaluh, Cipeucang, dan Lengkong). Sebulan berikutnya sosialisasi zonasi wilayah oleh TNGGP dilakukan. Dari sosialisasi tersebut, diketahui bahwa sebagian besar wilayah garapan Ciwaluh, Cipeucang, dan Lengkong berada dalam zona Rehabilitasi. Diketahui juga bahwa pada proses penyusunan dan penetapan zonasi pada tahun 2016, hanya Kades Wates Jaya dan Pasir Buncir yang diundang dalam Konsultasi Publik. Pun keduanya tidak meneruskan informasi tersebut ke tingkat kampung sementara ketiga kampung terletak cukup terpencil.

Bulan Oktober-Desember di tahun yang sama, masyarakat membentuk Kelompok Tani Hutan (KTH) untuk memenuhi persyaratan Kemitraan Konservasi, walaupun sebelumnya masyarakat sendiri sudah memiliki kelompok tani dengan nama Ciwaluh Berkah, dan kelompok generasi muda yang bernama Senandung Nada Hijau. Setelah pembentukan kelompok tersebut, penyusunan proposal kemitraan konservasi di mulai dan diajukan kembali pada 19 Desember 2018 di kantor Balai Besar TNGGP, di Cibodas.

Sawah dan petani perempuan di Kampung Ciwaluh, Desa Wates Jaya, Kec. Cigombong, Kab. Bogor

Pada 6 Februari 2019, proposal yang diajukan dibalas dengan surat dari TNGGP bernomor TNGGP No. S.194/BBTNGGP/BTU/KS/2/2019 diterima KTH Ciwaluh dan Cipeucang. Surat tersebut berisi arahan untuk mendetailkan rencana pengelolaan Kemitraan Konservasi untuk tiap blok dan agar berkonsultasi dengan Kepala Bidang Pengelolaan Taman Nasional (Kabid PTN) Wilayah III Bogor untuk melanjutkan proses. Proses berlanjut pada bulan April, RMI didatangi oleh Kabid PTN Wilayah III Bogor dan Kepala Seksi V TNGGP, yang menjelaskan bahwa Ada opsi yang bisa disepakati bila masing-masing mau menurunkan ekspektasi, yaitu melanjutkan proses dengan skema Kemitraan Konservasi Pemulihan Ekosistem karena sebagian besar areal yang diajukan berada dalam zona Rehabilitasi. Kabid PTN Wilayah III Bogor berharap RMI dapat menyampaikan hal tersebut kepada masyarakat pada saat pertemuan bersama yang telah direncanakan sebelumnya.

Sepanjang tahun 2019, berbagai pertemuan dilakukan dengan berbagai pihak, seperti TNGGP dan Subdit Pemulihan Ekosistem di KLHK. Dari pertemuan-pertemuan tersebut disimpulkan bahwa pihak-pihak tersebut tetap menyarankan skema pemulihan ekosistem tetap diproses dan dijalankan, lahan-lahan di zona rehabilitasi perlu ditanami dengan tanaman buah yang bisa dimanfaatkan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). Pada Desember 2019, Masyarakat Ciwaluh dan Cipeucang, bersama RMI, beraudiensi dengan Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (Ditjen KSDAE). Dari audiensi tersebut Kemitraan Konservasi yang semula diarahkan skema pemulihan ekosistem mendapat sambutan baik dari Dirjen KSDAE, beliau akan segera memanggil kepala balai TNGGP untuk menginstruksikan perubahan zonasi di TNGGP. Termasuk usulan Kemitraan Konservasi Ciwaluh dan Cipeucang yang masih berstatus zona rehabilitasi akan diubah menjadi zona tradisional yang dapat mengakomodir kemitraan konservasi skema pemberdayaan masyarakat.

Di tahun 2020, verifikasi data penggarap dan penandatangan kesepakatan hasil verifikasi dan validasi dilakukan. Di bulan April tahun 2021, proposal kemitraan konservasi diajukan ulang menyusul adanya arahan dri TNGGP dalam rangka penyesuaian perubahan zonasi. Dilanjutkan di bulan September, yaitu pembahasan draft Perjanjian Kerjasama Kemitraan Konservasi di Kantor Bidang Wilayah III Bogor, dari sesi ini masyarakat mendapatkan salinan Surat Keputusan perubahan zonasi TNGGP. Kemudian di tanggal 10 Desember 2021, pembahasan draft Perjanjian Kerjasama Kemitraan Konservasi dilakukan kedua kalinya.

Sejarah Masyarakat Ciwaluh dan Cipeucang berada di Wilayah Hutan

Masyarakat kampung Ciwaluh dan Cipeucang, yang difasilitasi oleh RMI sejak tahun 2009, telah meninggali wilayah tersebut sejak tahun 1930-an, diawali dengan kedatangan tiga orang yang kabur dari pemerintah Belanda, yaitu Uyut Usnan, Uyut Eri dan Uyut Undan. Semenjak Uyut Usnan dan yang lainnya tinggal dan bermukim di wilayah Kampung Ciwaluh, beliau mulai membuat rumah untuk tempat tinggal serta membuka lahan untuk ladang guna memenuhi kebutuhan hidup dan bersawah sehari-hari. Kurang lebih tahun 1942, Uyut Usnan mulai membuka kembali lahan untuk membuat sawah di wilayah yang sebelumnya masih berupa hutan. Saat itu, lahan-lahan di sekitar pegunungan wilayah tersebut hampir sama dengan daerah lain di Indonesia pada umumnya, yakni dijadikan areal perkebunan teh oleh Belanda.

Kemudian, beberapa tahun sebelum kemerdekaan, Kampung Ciwaluh dijadikan markas tentara Indonesia yang dipimpin oleh Irsak Djuarsa, yang berjuang melawan Belanda dan pemberontak DI/TII pada tahun 1942 di Jawa Barat. Pada masa tersebut, Irsak Djuarsa memerintahkan masyarakat Ciwaluh dan Cipeucang yang telah ada di sana untuk mengembangkan lahan pertanian mereka guna mencukupi kebutuhan makan mereka sendiri dan juga para tentara Indonesia.

Pada tahun 1945, pemerintah memberikan tanah-tanah tersebut kepada masyarakat setempat sebagai penghargaan atas perjuangan memerdekakan Indonesia, surat-surat tanah tersebut disimpan oleh salah satu tokoh masyarakat yang bernama Pak Kasim. Namun, pada tahun 1960an sebagian tanah-tanah tersebut diambil lagi oleh pemerintah dan ditanami dengan tanaman karet melalui PT. Perkebunan Nasional XI (PTPN XI). Masyarakat tidak bisa menggugat hak atas tanah mereka, karena bukti kepemilikan tanah sudah habis terbakar pada awal tahun 1961 ketika rumah Pak Kasim dibakar oleh pemberontak DI/TII. Tahun 1985 pohon karet milik PTPN XI ditebang karena  pengalihan Hak Guna Usaha (HGU) ke PT Pengembangan Agro Prima (PAP) dan tanah masyarakat pun jadi berpindah kepemilikan dan pengelolaan. Pada tahun 1985-1986, CV Kertajaya membeli sebagian tanah masyarakat yang masih tersisa untuk dieksploitasi menjadi pertambangan pasir.

Pertemuan sebelum penandatanganan perjanjian kerjasama Kemitraan Konservasi, di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

TNGGP berada di wilayah tersebut sejak tahun 1980 dengan luasan 15.196 Ha. Penetapan wilayah TNGGP tersebut tidak mencakup wilayah kelola masyarakat, saat itu wilayah kelola masyarakat berada di bawah penguasaan Perum Perhutani, sehingga masyarakat masih bisa mengelola wilayah tersebut dengan catatan harus membayar “pajak”. Pada tahun 2003, TNGGP diperluas menjadi 21.975 Ha. Hal ini menyebabkan terhapusnya wilayah kelola Perum Perhutani menjadi wilayah konservasi TNGGP, dan membuat masyarakat tidak dapat mengakses wilayah kelolanya lagi.

Kembali ke saat ini, pada 29 Desember 2021, Perjanjian Kerjasama Kemitraan Konservasi ditandatangani oleh pihak Balai Besar TNGGP dengan Masyarakat Ciwaluh dan Cipeucang. Perjanjian Kerjasama Kemitraan Konservasi tersebut akan berlaku selama lima tahun ke depan di zona tradisional TNGGP.  

Penulis: Siti Marfu’ah

Kampung Katong dan Semangat Dekolonisasi Tiga Komunitas Di Nusa Tenggara Timur

Seiring dengan menguatnya tantangan sosial dan lingkungan yang muncul beberapa dekade terakhir di Indonesia, makin menguat pula pertumbuhan gerakan sosial berbasis masyarakat yang hadir untuk merespons tantangan-tantangan tersebut. Dengan mengedepankan semangat dekolonisasi, baik disadari maupun tidak, gerakan-gerakan ini utamanya hadir dengan tujuan mereposisi pengetahuan lokal sebagai pusat dari identitas generasi muda dan komunitasnya—sebagai reaksi atas konteks dan permasalahan yang dihadapi di wilayahnya masing-masing.

Gerakan sosial itu sendiri umumnya aktif bergerak dalam skala kecil (level komunitas) yang diantaranya bertujuan untuk mereproduksi pengetahuan kritis dan kontekstual, berbasis sukarela dan dipimpin oleh anak muda setempat, serta memanfaatkan media kreatif untuk menarik partisipasi lebih luas dari anggota masyarakat di sekitarnya. Namun agenda untuk memperluas dampak gerakan sosial tersebut, dalam praktiknya, seringkali terbentur oleh keterbatasan sumber daya dan kemampuan manajerial yang mereka miliki.

Inisiatif Kampung Katong

Penguatan gerakan secara sosial-organisasional oleh karenanya menjadi penting mengingat tren global yang memobilisasi sumber daya langsung ke dalam komunitas berpotensi mengancam keguyuban di dalam komunitas itu sendiri. Merefleksikan hal tersebut di atas, di samping pengalaman melakukan kerja kolaborasi bersama komunitas adat dalam inisiatif Being and Becoming Indigenous di tahun 2020-2021 lalu; RMI bersama dengan Lakoat Kujawas, SimpaSio Institute, dan Kolektif Videoge bekerja sama dalam satu konsorsium untuk mengimplementasikan inisiatif Kampung Katong.

Nama Kampung Katong,  secara harfiah berarti Kampung Kami, berasal dari dialek Nusa Tenggara Timur yaitu “kami pung manekat, papada, kampong tangayang berarti semangat kerja bersama untuk membangun kampung. Dengan dekolonisasi sebagai semangat utama, inisiatif ini berupaya mendukung gagasan berbasis komunitas yang berfokus pada orang muda guna memperkuat identitas dan mengelola potensi lokal mereka secara kolektif. Kampung Katong dalam pelaksanaannya juga berusaha memperkokoh kapasitas kepemimpinan orang muda yang akan berimplikasi positif pada kegiatan-kegiatan lokal yang bersifat komunal, dengan mengedepankan partisipasi bermakna dari para pemegang hak (rightsholder) yaitu Masyarakat Adat Mollo; Suku Bugis, Bima, dan Bajo; serta etnis Melayu-Larantuka sehingga mereka dapat mendapatkan dukungan dari berbagai pihak.

RMI berkolaborasi dengan tiga komunitas lokal di Nusa Tenggara Timur yaitu Kolektif Videoge di Labuan Bajo, Lakoat.Kujawas di Mollo, dan Simpasio Institute di Larantuka; inisiatif ini diproyeksikan sebagai studi kasus bagaimana revitalisasi tradisi, perlindungan ekologi, serta pengelolaan sumber daya yang menopang penghidupan berkelanjutan sejatinya dapat berjalan beriringan.  Selain itu hadirnya ruang belajar bersama dan solidaritas antarkomunitas difasilitasi melalui rangkaian kegiatan seperti residensi lintas pembelajaran serta pengarsipan dan pendokumentasian tradisi lokal.

Kick-off Meeting untuk saling mengenal dan meningkatkan kapasitas kolaborator

Pada 19-24 November 2021, inisiatif Kampung Katong mengadakan pertemuan pertama kalinya secara luring di Bogor, Jawa Barat. Ini adalah kegiatan paling pertama yang menandakan dimulainya inisiatif Kampung Katong, sekaligus peluang untuk mensosialisasikan informasi dan menetapkan kesepakatan bersama yang berlaku selama berlangsungnya inisiatif. Pertemuan awal ini juga menjadi sarana untuk mendiskusikan strategi-strategi yang berkontribusi terhadap pencapaian tujuan inisiatif seperti mendorong partisipasi bermakna perempuan dan anak muda dalam inisiatif lokal dan memetakan potensi lokal.

Perwakilan Kolektif Videoge sedang mepresentasikan hasil analisis SWOT komunitas mereka.

Dengan dua perwakilan dari masing-masing komunitas, pertemuan ini dimulai dengan pekenalan dan saling berbagi pengalaman kerja-kerja di komunitas Kolektif Videoge aktif melakukan kegiatan komunitas di Labuan Bajo dengan telusur (riset) yang dilakukan oleh komunitas, kemudian dilanjutkan dengan rekam (proses produksi) melalui pencatatan dan penciptaan karya, kemudian penyaluran karya. Empat program utamanya adalah Sapa Tetangga Hari Ini, kegiatan berkala untuk mencermati apa yang terjadi di lingkungan sekitar; Buka Layar, penyaluran karya yang dibuat oleh pemuda untuk membaca respon masyarakat dengan film; Pesiar: Satu Hari Untuk Pulau yaitu kegiatan pelesir untuk merespon pemahaman masyarakat sekitar terkait dengan pengetahuan lokal; dan yang terakhir adalah Maigezine wadah untuk menyalurkan karya-karya yang dibuat oleh komunitas.

Kemudian Simpasio Institute yang merupakan lembaga arsip yang embrionya sudah ada sejak tahun 1986 dan telah menjadi lembaga untuk umum pada tahun 2016. Lembaga ini memiliki tujuan untuk mengarsipkan pengetahuan lokal Melayu-Larantuka di wilayah Flores Timur. Beberapa kegiatan Simpasio diantaranya program perpustakaan (taman baca) berupa lapak baca dengan mekanisme plesiran dari kampung ke kampung; dongeng lokal menggunakan dua bahasa; pesta anak untuk merayakan hari anak nasional, untuk memperkenalkan permainan-permainan tradisional; lingkar belajar, mengenai sejarah Larantuka; Muko Sorghum Kitchen, yang menjadi sumber pemasukan bagi komunitas; dan jejak musik di Larantuka sebagai upaya kaum muda untuk mempelajari genre musik Keroncong Melayu Larantuka.

Perwakilan Simpasio Institute sedang mepresentasikan hasil analisis SWOT komunitas mereka.

Sedangkan untuk Lakoat.Kujawas, dijelaskan bahwa nama komunitasnya merupakan nama yang identik dengan anak-anak, karena kebanyakan anak-anak yang sering memanjat pohon Lakoat dan Kujawas. Program utama Lakoat.Kujawas diantaranya adalah Skol Tamolok yaitu sekolah budaya yang dilakukan secara online dan juga offline untuk membahas keterkaitan Masyarakat Adat  dengan alam; Mnahat Fe’u atau kelas menulis kreatif yang dibuat untuk membimbing anak tingkat SMP/sederajat dan SMA/sederajat untuk menggali dongen-dongen yang biasa diceritakan, kemudian cerita tersebut dibukukan; serta kelas menenun yang dibuat untuk anak muda yang memiliki ketertarikan belajar menenun kepada orang tua Mollo secara langsung.

Perwakilan Lakoat.Kujawas sedang mepresentasikan hasil analisis SWOT komunitas mereka.

Enam hari pelaksanaan kegiatan kick off meeting ini pada dasarnya diarahkan sebagai satu proses dua arah. Tidak hanya berupaya mengenalkan organisasi anggota konsorsium dengan inisiatif Kampung Katong beserta persoalan teknis-administrasinya, Kick off meeting ini juga menjadi media RMI dan tiga anggota konsorsium lainnya untuk saling memetakan kondisi saat ini dan asesmen kebutuhan peningkatan kapasitas ke depan. Berkaca dari proses diskusi dan asesmen awal ketika merancang inisiatif Kampung Katong, perencanaan strategis program dan manajemen keuangan merupakan dua hal yang menurut anggota konsorsium paling mereka butuhkan. Oleh karena itu, masing-masing dua sesi perencanaan strategis program dan manajemen keuangan yang menyeimbangkan antara pengetahuan konseptual dan praktik juga dilaksanakan pada saat kick off meeting berlangsung. Bersama dengan diskusi terkait kampanye sosial media, sesi-sesi yang diberikan diharapkan dapat meningkatkan keterampilan komunitas selain juga tentunya berkontribusi pada peningkatan efektivitas dan transparansi pelaksanaan inisiatif Kampung Katong.

Inisiatif Kampung Katong merupakan serangkaian program jangka panjang yang diimplementasikan sejak November 2021 hingga Desember 2023 dengan dukungan dari Voice Global. Fokus mendorong pengembangan inisiatif lokal dan praktik-praktik baik dekolonisasi di akar rumput; serangkaian kegiatan seperti reproduksi pengetahuan lokal, pengarsipan dan pendokumentasian, residensi saling-belajar, serta pelatihan kepemimpinan akan diorganisasi oleh RMI bersama Lakoat Kujawas, SimpaSio, dan Videoge dengan menyasar anak muda dan perempuan di komunitasnya masing-masing.

Penulis: Siti Marfu’ah

Editor: Supriadi

Sekolah Kaki Gunung 2021

Pelatihan Kepemimpinan Generasi Muda Adat

Anak muda merupakan aspek penting dalam mendukung kerja-kerja sosial dan lingkungan. Anak muda merupakan agen perubahan yang akan memberikan dampak positif yang signifikan apabila peran aktifnya dapat disalurkan melalui berbagai program yang langsung berhubungan dengan masalah sosial dan lingkungan. 

Sekolah Kaki Gunung (SKG) adalah sebuah kursus singkat untuk penggerak lokal di masyarakat, karena dalam keadaan pandemi kursus singkat ini diadakan secara online, melaui aplikasi Zoom. SKG diinisiasi oleh Forest Watch Indonesia (FWI), Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), RMI-The Indonesian Institute For Forest and Environment (RMI), dan Sajogyo Institute (Sains). Berangkat dari banyaknya ketimpangan pembangunan yang perlu dibenahi dan masyarakat perlu jadi bagian dari penyelesaian masalah tersebut.

Pada kursus ini peserta akan dibekali pengetahuan, wawasan, keterampilan, pengalaman, dan jaringan untuk meningkatkan kesiapan mereka agar dapat beraktivitas sesuai kapasitas masing-masing, dan tetap berkontribusi pada keadilan sosial dan lingkungan. Peserta juga akan diajak untuk berpikir kritis, luas, dan mendalam guna melihat alternatif-alternatif pemecahan masalah untuk mewujudkan keadilan sosial dan lingkungan. 

Adanya kolaborasi empat organisasi, metode penyampaian dalam pelatihan lebih beragam, pengetahuan yang disampaikan lebih komprehensif, sehingga memperkaya cara dalam mencetak generasi muda yang berani berpihak. 

 

Persyaratan peserta 

  1. Pendaftar adalah mahasiswa/i atau yang mewakili kelompok masyarakat dari usia 20-30 tahun.
  2. Mengisi formulir peserta pada link berikut:  
  3. Menulis essay  sebanyak 500-800 kata, dengan format penulisan A4, font Times New Roman, ukuran 12, margin normal, kiri  4, kanan 3, atas dan bawah 3. 

Tema Penulisan: 

  1. Kearifan Lokal Sebagai Alternatif Pemecahan Masalah Lingkungan
  2. Reforma Agraria Era Jokowi: Peluang atau Jebakan?
  3. Pendayagunaan data dan informasi dalam pemantauan Hutan
  4. Peta Partisipatif dan Perluasan Wilayah Kelola Masyarakat

 

Narahubung

Silakan menghubungi Ani 0899-9505-028 atau Sifu 0818-0711-7488 

Mengenal Sistem Pangan dan Dampak Krisis Iklim Bagi Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug

Sistem pangan adalah hal yang mencakup seluruh jajaran pelaku, aktivitas, dan nilai tambah yang saling terkait dalam produksi, agregasi, pemrosesan, distribusi, konsumsi, dan pembuangan produk makanan. Sistem pangan terdiri dari semua produk pangan yang berasal dari tumbuhan, ternak, hutan, perikanan dan akuakultur, serta lingkungan ekonomi, sosial dan alam yang lebih luas. Sistem pangan masyarakat adat sendiri memiliki siklus produksi pangannya berbasiskan nilai dan praktik kearifan lokal.

Salah satunya adalah sistem pangan masyarakat adat Kasepuhan Cibedug yang berada di wilayah administratif Desa Citorek Barat, Kecamatan Cibeber, kecamatan terluas di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Penghidupan warga Kasepuhan Cibedug berpola subsisten. Aktivitas memproduksi sumber pangan di Kasepuhan Cibedug sendiri dapat dibedakan berdasarkan lokasi aktivitas tersebut dilaksanakan; antara lain bercocok tanam di sawah dan kebun (dudukuhan), beternak di sekitar kebun dan perkampungan, memancing dan memelihara ikan di kolam (balong) dan sawah, mengumpulkan tanaman liar, juga berburu dan menjebak binatang dari hutan. Kegiatan pertanian diatur oleh Kasepuhan sesuai dengan ketentuan adat yaitu rukun tujuh (tujuh langkah kegiatan bercocok tanam pare gede), dimulai dari membersihkan dan memberi batas lahan yang akan ditanami hingga panen. Kegiatan bercocok tanam di sawah juga mengenal sistem tumpangsari. Beberapa jenis tanaman ada yang ditanam di pematang sawah, seperti terubuk, pinang juga sebagai penjaga tanah sawah supaya tidak longsor, talas, dan beberapa jenis palawija. Sementara itu, di beberapa sawah juga ada yang sengaja menyisihkan sedikit lahan di bagian pinggirannya untuk ditanami sayuran berumur pendek.

Dari hutan, masyarakat tidak hanya mengumpulkan kayu bakar namun juga mengumpulkan tanaman liar yang dapat diolah sebagai sumber pangan. Tanaman-tanaman liar tersebut biasanya mereka konsumsi dengan cara dilalap atau diolah terlebih dahulu (direbus, dijadikan sebagai campuran untuk sayur, dan lain-lain). Saking seringnya masyarakat memanfaatkan tanaman-tanaman liar tersebut sebagai sumber pangan sehari-hari; beberapa tanaman liar tersebut didomestikasi dengan cara ditanam di kebun, pinggiran sawah, maupun kebun pinggiran rumah. Tiga diantara jenis tanaman liar yang didomestikasi tersebut yaitu terubuk, pohpohan, dan rendeu (tiga jenis tanaman liar yang juga sering dijual oleh perempuan Cibedug ke luar kampung). Selain itu pisang, pare gede, dan cengkeh juga hasil kekayaan alam yang umum mereka jual. Leweung juga menjadi tempat tumbuhnya beragam jenis obat-obatan herbal yang masih dimanfaatkan warga Cibedug dengan baik. Tanaman yang diambil liar dari leweung tersebut dimanfaatkan dengan beragam cara (direbus, diminum getahnya, ditumbuk dan dibalurkan, langsung dimakan, dll) dan berkhasiat untuk mengobati berbagai jenis penyakit.

Sekitar tahun 1960 hingga akhir 1990-an warga Cibedug juga sebenarnya cukup sering berburu dan menjebak hewan di hutan untuk dimakan (terutama kijang/rusa). Namun memasuki tahun 2000-an kijang tersebut sudah semakin jarang terlihat. Kegiatan menjebak ikan menggunakan sosog dan badodon (perangkat ikan berbahan dasar bambu) di sungai, di sisi lain, masih dipraktikkan. Terkadang ketika menangkap ikan, untuk dikonsumsi; warga juga secara tidak sengaja menemukan bulus (Dogania subplana) yang dikenal berkhasiat mengobati berbagai penyakit. Selain itu ada juga warga yang berburu tupai, puyuh, dan beragam jenis burung dengan menggunakan senapan angin. Selain tiga acara pemenuhan pangan di atas, Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug juga beternak ayam, bebek, ikan, dan kambing. Lebih jauh, kebutuhan pangan warga tidak hanya dipenuhi melalui hasil panen yang ditanam sendiri atau diambil liar dari hutan, namun juga dibeli dari warung-warung di Kampung Cibedug mapun Desa Citorek Tengah.

Secara umum Kasepuhan Cibedug memiliki tingkat kemandirian yang tinggi dalam hal pemenuhan kebutuhan pangan dan penghidupannya sendiri. Proporsi sumber makanan yang dikonsumsi warga Cibedug yang merupakan hasil produksi sendiri sekitar 50-60% sedangkan 20-30% diambil langsung dari wilayah adat Kasepuhan Cibedug. Sumber penghasilan utama masyarakat berasal dari aktivitas berbasis lahan (menjadi buruh tani) di mana 100% warga Cibedug sendiri masih mengakses lahan pertaniannya sendiri-sendiri. Kemandirian dan ketahanan pangan Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug juga ditopang oleh sistem penyimpangan padi dalam lumbung tradisional (leuit). Setiap rumah memiliki setidaknya satu buah leuit yang berisi antara 100-500 pocong pare gede (1 pocong setara dengan 5 liter beras). Pare gede yang disimpan di leuit dapat bertahan antara 5 hingga 20 tahun lamanya dan kualitasnya tetap terjaga dengan baik.

Dampak Krisis Iklim Bagi Masyarakat Adat Cibedug

Kampung Cibedug, salah satu dari 5 kampung yang masuk wilayah adat (wewengkon) Kasepuhan Cibedug di Desa Citorek Barat, berjarak 8 kilometer jauhnya dari pusat desa. Kasepuhan Cibedug di Desa Citorek Barat, berjarak 8 kilometer jauhnya dari pusat desa. Kampung Cibedug dapat diakses selama 3,5 jam berjalan kaki atau menggunakan sepeda motor melewati jalanan tanah berbatu yang menghubungkan Desa Citorek dengan kampung tersebut. Menurut stasiun pengamatan cuaca di Cikotok dan Cirotan, curah hujan di wewengkon Kasepuhan Cibedug ini cukup tinggi yaitu berkisar antara 4.000-5.000 milimeter per tahun. Dengan kemiringan lahan 0% sampai 45%, suhu rata-rata bulanan adalah 21°C sedangkan suhu terendah yang pernah tercatat yaitu 17°C dan tertinggi 33°C. Wilayah adat Kasepuhan Cibedug seluas 2.104,4 Ha terletak di ketinggian antara 600-900 mdpl di kawasan pegunungan Halimun Salak yang ditetapkan menjadi taman nasional sejak tahun 1992 hingga saat ini.

Bentang alam Kasepuhan Cibedug yang terdiri atas bukit dan pegunungan dengan musim hujan dan kemarau yang tidak terlalu ekstrem memastikan keamanan pangan warga Cibedug. Namun tercatat bahwa krisis iklim, yang hadir dalam bentuk bencana hidrometeorologi, membawa dampak-dampak sebagai berikut:

Kesulitan membaca pergantian musim dan perubahan pola tanam. Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug mengenal adanya fenomena-fenomena alam yang menandai pergantian musim tertentu untuk bercocok tanam. Tanda alam yang ditunjukkan oleh hewan dan tumbuhan tertentu ini menjadi penanda penting bagi warga Kasepuhan Cibedug sejak berpuluh-puluh tahun lamanya. Namun, saat ini mereka menyadari bahwa musim telah bergeser hingga warga kesulitan mengenali pergantian musim dan kapan waktu yang tepat untuk bercocok tanam jenis tanaman tertentu. Misalnya menurut kalender lokal musim ngijih (hujan) ini terjadi dari Desember hingga April, namun saat ini hujan lebat sudah terjadi sejak November bahkan terkadang Oktober sedangkan padi belum memasuki masa tanam dan lahan pertanian masih waktunya diistirahatkan. Terlebih dengan berkurangnya jumlah burung bareboyan yang semakin jarang ditemui di hutan-hutan menyebabkan warga kesulitan mengenali bahwa musim ngijih telah datang.

Perubahan curah hujan, minimnya pasokan air bersih, dan gagal panen. Di tahun 2019 curah hujan di sekitar wilayah Kasepuhan Cibedug berkurang cukup drastis, memicu gagal panen pare gede saat itu. Padahal di tahun sebelumnya curah hujan relatif tinggi dan hasil panen pun memuaskan. Di tahun itu sayur-sayuran yang ditanam warga juga banyak yang tidak tumbuh sebab pasokan air berkurang drastis. Kemarau ini juga menyebabkan area Waru Doyong (pemukiman penduduk Cibedug di sebelah selatan) mengalami kekeringan. Karena secara geografis Waru Doyong berada di ketinggian dan sumber air warga di sini berasal dari sumur, maka kemarau di tahun 2019 berdampak pada keringnya sumur dan sawah-sawah. Keluarga di Waru Doyong harus turun 400-500m untuk mengambil air ke sungai tiap pagi dan sore hari setiap harinya—sedangkan yang biasanya bertugas memastikan air selalu tersedia di rumah adalah perempuan. Kemarau di tahun 2019 ini merupakan kemarau terparah yang pernah dialami oleh warga Cibedug diantara musim kemarau berkepanjangan lainnya (tahun 1958, 1963, dan 1965) yang dialami warga. Di tahun 1958 kemarau terjadi selama beberapa bulan tanpa diselingi hujan sekalipun. Sedangkan pola kemarau di tahun 1963 dan 1965 yaitu musim kemarau berlangsung cukup panjang selama 3 bulan diselingi hujan tiap seminggu sekali. Kondisi ini menyebabkan rendahnya hasil panen pare gede dan sayur-sayuran warga sebab lahan pertanian mengering.

Masuknya pupuk kimia ke dalam sistem pertanian mengikis kesuburan lahan dan menggeser kearifan lokal. Kondisi musim yang tidak bersahabat tersebut juga menjadi salah satu faktor pemicu lebih masifnya penggunaan pupuk kimia oleh masyarakat di awal tahun 1970-an sebab pupuk kimia dinilai lebih cepat menyuburkan tanah. Setelah menggunakan pupuk kimia, yang awalnya 1-3 liter per pocongnya, hasil panen pare gede setelah memakai pupuk kimia bertambah menjadi 5 liter per pocong. Meskipun demikian, masyarakat mengakui bahwa kondisi tanah lebih subur dahulu dibandingkan sekarang. Sebelum tahun 1970, dalam bercocok tanam hampir semua warga menggunakan pupuk dari daun kotoran ternak. Daun-daun, rumput, dan tanaman pare gede sisa panen diinjak ke dalam sawah sebagai pupuk alami. Berbeda dengan saat ini yang mayoritas petani menggunakan pupuk jenis TSP (Triple Super Phospate), urea, dan phonska. Dengan kedalaman tanah 1-2m, sekarang pun lahan sawah warga dirasa cepat mengering jika tidak terairi. Namun demikian, warga menyadari bahwa penggunaan pupuk kimia telah menyebabkan lahan pertanian semakin kering dan mematikan bakteri-bakteri baik dalam tanah. Oleh karenanya saat ini petani Cibedug mulai mengurangi penggunaan pupuk kimia dan kembali memanfaatkan dedaunan, kotoran ternak, serta rumput sebagai pupuk organik.

Serangan hama dan munculnya jenis penyakit tanaman yang tidak dikenali. Maraknya penggunaan pupuk kimia serta perubahan pola musim menimbulkan permasalahan hama dan penyakit tanaman yang masih sulit ditangani oleh warga Kasepuhan Cibedug. Hama yang menyerang tanaman sayuran di Kasepuhan Cibug utamanya adalah wereng dan ulat yang menyerang cesin, kacang panjang, timun, dan singkong. Wereng dan ulat ini menyebabkan batang dan daun tanaman berlubang-lubang yang kemudian mengering dan akhirnya tanaman menjadi mati. Sedangkan padi di Cibedug umumnya diserang oleh walang sangit yang menghisap sari padi sehingga bulir-bulir padi mengering atau kosong (hapa). Wereng dan walang sangit ini sangat mudah berkembang populasinya terutama apabila bercocok tanam tidak serentak—kegiatan bercocok tanam yang saat ini kian ditemui di Kasepuhan Cibedug sendiri. Gangguan lainnya pada tanaman padi warga Cibedug berasal dari virus/bakteri yang menyebabkan pucuk-pucuk daun padi memerah kemudian mengering dan mati (warga Cibedug menyebut penyakit padi tersebut dengan ganyur atau angin lada). Disamping ada hama-hama yang diketahui, ada pula penyakit tanaman yang tidak diketahui sumber masalahnya apa dan menimbulkan kebingungan warga seperti tanaman sayur atau padi yang mati secara cepat dan tiba-tiba.

Meningkatnya risiko longsor yang mencemari pasokan air bersih dan mengancam kesehatan. Karena Kampung Cibedug berada di ketinggian dengan kontur tanah berupa bukit dan pegunungan, maka kemiringan lahan di Cibedug pun cukup tinggi. Hujan lebat diikuti longsor beberapa kali terjadi yang masa tanahnya jatuh menimpa lahan pertanian atau kebun warga maupun akses jalan dan listrik menuju Kampung Cibedug. Longsor ini meningkatkan ancaman bagi keselataman warga selain berdampak pada kesehatan Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug. Longsor dan hujan lebat di hulu sungai atau dekat mata air mencemari pasokan air bersih yang apabila dikonsumsi dalam jangka waktu lama akan mengganggu kesehatan warga Cibedug. Apalagi beberapa kegiatan seperti mandi, mencuci, dan buang air besar pun masih dilakukan oleh sejumlah warga di sungai sebab tidak semua rumah sudah memiliki fasilitas mandi, cuci, kakus (MCK) yang baik. Rata-rata jarak antara sungai dengan rumah-rumah warga sendiri adalah 100-200m jauhnya. Air-air dari sungai masuk ke dalam rumah warga dengan melewati selang-selang yang dibeli sendiri-sendiri oleh tiap keluarga sejak tahun 2008. Air tersebut utamanya digunakan untuk memasak, mandi, dan mencuci.

 

Penulis: Supriadi

Sumber: 

Supriadi. (2020). Food System Profile of Kasepuhan Cibedug Indigenous Peoples in Cibeber, Lebak, Indonesia and Elements of Sustainability and Climate Resilience. Bogor: RMI-The Indonesian Institute for Forest and Environment.

 

 

Meneguhkan Pagar; Daya Upaya Merawat Titipan Leluhur

Pada tahun ini, gelaran acara seren tahun Kasepuhan Cibarani diagendakan selama 3 (tiga) hari, mulai tanggal 10-13 Oktober 2021. Seren taun merupakan puncak ritual adat dengan maksud uangkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Para Leluhur atas hasil bumi yang diperoleh serta memberi kehidupan dan penghidupan kepada incu-putu masyarakat kasepuhan. (baca juga; https://rmibogor.id/2021/06/30/seren-taun-kemeriahan-dan-upaya-untuk-kembali-ke-asal/)

Bersamaan dengan perayaan seren taun, lembaga adat memasukkan agenda bertajuk Riungan Adat; Mageuhkeun Tali Pager, Sabeungketan Ngaraksa Alam Gunung Liman. Acara ini merupakan upaya yang kedua kali dalam kerangka perlindungan area sakral (titipan) masyarakat kasepuhan Cibarani. Mengingat baru—baru ini terjadi pengrusakan oleh orang-orang yang diduga dari tetangga kecamatan dengan maksud menambang emas. Akibatnya, beberapa area mengalami kerusakan termasuk sumber mata air yang menjadi kebutuhan hidup hajat banyak orang, bukan saja bagi masyarakat sekitar Gunung Liman, lebih jauh mencakup wilayah Kabupaten Pandeglang- Banten.

Momentum seren taun sebagai waktu yang tepat melakukan musyawarah adat yang juga mengundang beberapa komunitas/ kampung, khususnya yang berbatasan langsung denga Gunung Liman. Perwakilan komunitas yang hadir pada kegiatan ini dari Kasepuhan Cisaat Desa Cirinten, Kampung Cangkeutek, Cijakima dan Jamrut Desa Wangun Jaya, kampung Cisigung Desa Cigemblong, Kasepuhan Cinangka Desa Cibarani.

Masing-masing perwakilan diberi kesempatan yang sama untuk mengutarakan kondisi eksisting Gunung Liman yang berada di wilayahnya. Selanjutnya memaparkan aturan-aturan adat terkait Gunung Liman yang masih diyakini serta dipatuhi oleh masing-masing anggota masyakat. Dari pemaparan tersebut secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa masing-masing kampung memiliki aturan kurang lebih sama, terutama memaknai gunung liman sebagai hutan titipan leluhur yang harus dijaga dan dilindungi keberadaannya.

Dua tahun sebelumnya, tepatnya pada awal tahun 2020 Kasepuhan Cibarani bersama masyarakat Baduy melakukan musyawarah serta menyusun kesepakan bersama terkait perlindungan gunung Liman. Hasil musyawarah adat tersebut menjadi rujukan bersama sebagai dasar-dasar penetapan peraturan. Konsensus pada musyawarah kali ini bersepakat untuk saling menguatkan tegaknya penjagaan dan perlindungan gunung sakral tersebut. Acara Riungan Adat ini dapat terlaksana dengan dukungan berbagai pihak, salah satunya dari SGP-ICCAs Indonesian.

Penulis: Abdul Waris