Ngobrol Bareng #AnakMudauntukTanah Air: Menoleh Inisiatif dan Aspirasi Anak Muda Indonesia

Sejak dahulu, dan sampai sekarang — Anak Muda terbukti secara nyata telah menunjukkan kontribusinya dengan mempelopori berbagai gerakan perubahan. 

 

Sejak dahulu, Anak Muda terbukti telah secara nyata menunjukkan kontribusinya dengan mempelopori berbagai gerakan perubahan. Banyak momen-momen bersejarah yang dibangun oleh semangat anak muda seperti Sumpah Pemuda, Reformasi, bahkan banyak momentum di masa depan yang akan sangat bergantung pada keberadaan anak muda saat ini, seperti Pilpres 2024 dan Visi Indonesia 2045, tepat pada 100 tahun Kemerdekaan Indonesia. 

Atas dasar tersebut RMI dan Econusa menyadari bahwa perlu adanya titik temu bagi komunitas dan organisasi untuk membahas persoalan Anak Muda, menyediakan platform bagi mereka untuk menyampaikan aspirasi dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, dan lebih jauh lagi yaitu menghubungkan Anak Muda dengan ruang hidup dan tanah airnya. Pada 3 Agustus 2021, RMI dan Econusa menginisiasi Diskusi Konsolidasi Anak Muda untuk Tanah Air, yang dihadiri 59 peserta dari 22 komunitas anak muda dan 15 lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang memiliki fokus pada isu lingkungan, agraria, anak muda, pemberdayaan ekonomi dan kewirausahaan sosial serta aktif berkegiatan di wilayah Indonesia Barat, Indonesia Tengah, Indonesia Timur maupun level nasional.

Kegiatan ini dibuka dengan perkenalan antarkomunitas dan LSM, yang difasilitasi oleh Wahyu (RMI). Para peserta diminta mengakses link Menti.com untuk selanjutnya mereka dipersilakan menuliskan nama organisasi dan nama makhluk hidup yang menyimbolkan organisasinya masing-masing.

Selanjutnya  pada sesi Diskusi #AnakMudauntukTanahAir terdapat dua pertanyaan kunci untuk dibahas lebih lanjut dalam dua kelompok besar (Komunitas Anak Muda dan LSM) yaitu: (1) Apa aksi anak muda yang sedang dilakukan dan (2) Apa refleksi (tantangan, aspirasi, pengalaman, dll) untuk gerakan anak muda sekarang dan masa mendatang.

Aksi dan Inisiatif yang sudah dan tengah dilakukan

 

Dari pertanyaan kunci pertama yaitu “Apa aksi anak muda yang sedang dilakukan?”, kelompok LSM menyampaikan bahwa pendampingan Anak Muda telah dilakukan di seluruh Indonesia dengan berbagai kegiatan dan isu, seperti peningkatan kapasitas individu dan kelompok anak muda melalui pendidikan hukum rakyat untuk penguatan kampung, membangun kesadaran Anak Muda di kampus terkait isu-isu agraria dan pangan di pedesaan, juga menstimulasi pertukaran informasi pedesaan-perkotaan (rural-urban). Ada pula kegiatan berupa konsolidasi Anak Muda khususnya Serikat Tani. 

 

Di kelompok Komunitas Anak Muda yang diikuti oleh 34 orang terlihat bahwa kegiatan anak muda yang ada di rural maupun urban juga tidak kalah beragam. Mulai dari kampanye di ranah pendidikan, krisis iklim dan lingkungan hidup, sampah plastik di wilayah pesisir, kegiatan bertani dan berkebun kelompok Anak Muda, sampai membahas persoalan regenerasi anak muda di pedesaan. Aksi dan inisiatif yang dilakukan menekankan kreativitas, gaya kekinian, kolaboratif, mengikuti trend, dan optimalisasi penggunaan teknologi dan media sosial sangat mencirikan inisiatif khas ala anak muda jaman now. Kegiatan Anak Muda tersebut dilakukan dengan berbagai pendekatan berbeda-beda, mulai dari kegiatan berbasis riset, kampanye daring, gerakan turun ke jalan, pendidikan di luar kelas, hingga menginisiasi lokakarya. 

 

Terlihat pula andil besar anak muda dalam penguatan kampung melalui berbagai fokus kegiatan yang dipilih, diantaranya: peningkatan kapasitas individu maupun kelompok, literasi dan pendidikan, pengarsipan kearifan lokal dan kekayaan pangan komunitas. Sementara pada kegiatan berorientasi advokasi, utamanya terkait dengan isu perubahan iklim, sampah, dan hak hak masyarakat adat juga lokal. Meski belum sebanyak kegiatan lain, ada pula program Anak Muda yang menyasar pada perubahan kebijakan seperti menggalang dukungan atau petisi dan long march.

 

Refleksi Gerakan Anak Muda Indonesia di Masa Kini dan Masa Mendatang

 

Dalam diskusi terfokus bersama kawan-kawan LSM, teridentifikasi bahwa tantangan gerakan anak muda adalah: (1) Adanya perbedaan/disparitas sosial dan geografis maupun teknologi antara anak muda di kampung dan urban; (2) Sulitnya menarik minat dan mengemas suatu isu untuk Anak Muda; (3) Anak muda dalam berkegiatan juga harus fokus pada pemenuhan kehidupan (livelihood) mereka, ada juga yang harus sekolah di luar kampung sehingga mereka tidak dapat sepenuhnya fokus berkegiatan untuk membangun kampungnya dan menyebabkan kekosongan kampung; (4) Dengan adanya sumber daya di masing-masing organisasi/ komunitas, dirasa sulit untuk membuka ruang kolaborasi. Adapun menjawab tantangan-tantangan tersebut, beberapa hal yang sudah dan sedang direncanakan adalah internalisasi nilai-nilai perjuangan kaum muda: menginternalisasi semangat perjuangan Anak Muda ke dalam kehidupan sehari-hari, merancang kegiatan pemberdayaan generasi muda di kampung untuk menyediakan sumber penghasilan bagi mereka sekaligus menahan laju urbanisasi, dan mencari format kelompok belajar dengan latar belakang dan tingkat pengetahuan yang berbeda-beda, 

 

Sementara itu, di kelompok Komunitas Anak Muda, setidaknya ada lima tantangan yang berhasil ditangkap dari fasilitasi diskusi di kelompok komunitas anak muda terkait refleksi (tantangan, aspirasi, pengalaman dll) mereka untuk gerakan anak muda. (1) Tantangan atas akses, dana dan materi; (2) Peralatan dan pengetahuan terbatas; (3) Mengarusutamakan isu-isu yang berat dan sulit dipahami harus diinternalisasikan dalam kehidupan sehari-hari; (4) Meningkatkan kerelawanan anak muda, karena tak sedikit anak muda yang  mengharapkan imbalan, seperti uang, saat melakukan kegiatan; (5) Tidak dianggap dan ditindaklanjutinya aspirasi anak muda oleh korporasi atau pemerintah; dan (6) Kurangnya kesadaran masyarakat atas isu-isu yang ada di sekitarnya. 

 

Di satu sisi kurangnya ruang anak muda untuk berpartisipasi di masyarakat menjadi tantangan sekaligus peluang bagi mereka untuk menciptakan ruang ekspresinya masing-masing dengan membentuk komunitas anak muda–tidak hanya sebagai ruang kreasi dan pengembangan diri, namun ruang bagi anak muda berkontribusi bagi lingkungannya.  

 

Kolaborasi dan Tindak Lanjut

 

Sesi berikutnya dilanjutkan dengan pemaparan kerangka inisiatif #AnakMudauntukTanahAir yang menegaskan bahwasanya RMI dan EcoNusa hanya berperan sebagai inisiator awal, sehingga desain dan konsep inisiatif ini kedepannya bisa diolah secara bersama-sama.  

 

Setelah menyampaikan alur inisiatif yang dibayangkan mulai dari Konsultasi Anak Muda, pelaksanaan kegiatan Youth Summit dan kegiatan-kegiatan pasca-Youth Summit sampai ke putaran berikutnya dan terus berulang menuju Indonesia Emas (2045). RMI dan EcoNusa kembali mengajak semua peserta untuk berkolaborasi dan bersama-sama membayangkan kerangka #AnakMudauntukTanahAir sebagai inisiatif yang berkesinambungan.

 

Diskusi pun berlanjut dengan tanggapan dan ide-ide menarik yang dilontarkan para peserta: 

“Jika momennya adalah sumpah pemuda, menurutku perlu mendefinisikan ulang ‘bagaimana menjadi Anak Muda Indonesia dalam perspektif mereka sendiri akan ruang hidup’. Ini dijadikan satu definisi/piagam/plakat. Setelah itu hasil-hasilnya ada pertemuan tidak hanya dengan pemerintah dan media, namun juga industri—karena bagaimanapun yang membuat kotor dan implementor adalah industri.” (Sulis/WWF Indonesia)

 

Salah satu peserta dari kelompok Anak Muda juga turut menyampaikan pendapatnya terkait potensi keberlanjutan dari inisiatif ini:

“Anak muda saat ini, dengan berbagai privilege yang dimilikinya, harusnya bisa mengoptimalkan hal tersebut. Trend pergerakan Anak muda saat ini bermacam-macam… ada juga yang sporadis dan spontan, namun dengan idealisme yang dimiliki Anak muda silahkan berikan kebebasan kepada kami untuk berekspresi (setidaknya aspirasi kami ditampung saja dulu). Jangan pernah ragukan Anak muda, namun kami juga masih memerlukan dukungan dari NGO dan tetapkan ‘koridor-koridor’ apa saja yang tidak boleh dilewati oleh kami sebagai Anak Muda.” Novita/XR (Extinction Rebellion Indonesia)

 

Setelah menyampaikan kemungkinan tindak lanjut, tim inisiator membagikan formulir online berisi pertanyaan-pertanyaan masukan bagi kerangka dan konsep kegiatan inisiatif #AnakMudauntukTanahAir serta potensi kolaborasi dan rencana pertemuan berikutnya. Acara ditutup dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya.  

 

15 LSM yang hadir dalam diskusi kali ini adalah LSM dengan fokus kerja di area terestrial, pesisir, maupun keduanya yaitu Perkumpulan HuMa, Walhi, Perkumpulan Qbar, AKAR Foundation, Terasmitra, Sulawesi Community Foundation (SCF), WWF Indonesia, Sajogyo Institute, Sokola Institute, Yayasan Merah Putih Sulawesi Tengah, Perhimpunan Filantropi Indonesia, Konsorsium Pembaruan Agraria, Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), EcoNusa, dan RMI.

 

Adapun 22 Komunitas Anak Muda, yang berkegiatan di area pesisir dan terestrial juga berasal dari komunitas masyarakat adat dan non-adat yang aktif bergerak di wilayah rural dan urban, antara lain: Alumni School of Eco Diplomacy (SED), Relawan4Life, Earth Hour Jayapura, Golongan Hutan, Lawe Indonesia, Green Politician, Twelve’s Organic, Project Semesta, Teens Go Green (TGG), Global Youth Biodiversity Network (GYBN) Indonesia, Climate Rangers, Kompilasi Ujung Kulon, Extinction Rebellion, Narasea Indonesia, Lakoat.Kujawas, SimpaSio Institute, Kelompok Makekal Bersatu (KMB), Pemuda Kasepuhan Cibeas, Pemuda Tani Merdeka, Lumbung Ilmu Kasepuhan Cirompang, Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN), dan Kompak Pasir Eurih.

 

Penulis: Alfina dan Novia

Editor: Siti Marfu’ah

Anak Muda Berani Berpihak: Aksi Anak Muda Atas Sumber Daya Alam Selama Pandemi

Anak muda Kasepuhan Pasir Eurih

Telah banyak bukti bahwa generasi muda menjadi tokoh utama dari perkembangan suatu zaman dengan kompleksitasnya tersendiri. Sudah seharusnya kaum muda berpartisipasi dalam isu-isu sosial, lingkungan, ekonomi, yang tidak dapat dilepaskan dari elemen politik. Dalam gerakan sosial, pemuda dianggap mampu untuk menyadarkan masyarakat untuk melakukan perubahan. Ini merupakan gerakan politik baik disadari maupun tidak. Banyak juga inisiasi pemuda di aspek ekonomi yang kemudian mempengaruhi praktik ekonomi bahkan tata kelola pemerintahan. Gerakan pemuda adalah aspek game changer.  Namun begitu, perubahan selalu menuntut keberpihakan, yang berarti mengambil suatu sikap tegas tentang suatu masalah dan membela apa yang dirasa benar dan penting. Lebih jauh lagi, keberpihakan pemuda juga ditantang untuk memberi perubahan positif bagi pihak-pihak marginal, bukan hanya bagi kelompok manusia, misalnya perempuan dan masyarakat adat, tetapi juga bagi lingkungan hidup yang menjadi tempat manusia menggantungkan keberlangsungan hidupnya.

Sangat banyak generasi muda yang sudah menunjukan keberpihakan dengan melakukan tindakan yang sederhana. Terlebih lagi adanya pandemi Covid-19 yang memaksa seluruh kegiatan dilakukan secara daring, sehingga banyak generasi muda yang di kota kembali ke kampung halaman mereka, dan membuat sesuatu untuk memajukan kampung mereka. Seperti Siti Sopariah yang berasal dari Komunitas Pemuda Adat Kasepuhan (KOMPAK) Pasir Eurih di Lebak, Banten dan Ilham dari Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Kahayya Hills di Bulukumba, Sulawesi Selatan.

Pada 23 Juli 2021, RMI, yang diwakilkan oleh Alfina, mengundang dua orang  tersebut dalam kegiatan IG Live yang berjudul Anak Muda Berani Berpihak: Aksi Anak Muda atas Sumber Daya Alam Selama Pandemi, untuk menceritakan kegiatan mereka di wilayah masing-masing.

KOMPAK Pasir Eurih adalah sebuah kelompok anak muda yang berada di wilayah Kasepuhan Pasir Eurih, Banten. KOMPAK sendiri telah melakukan banyak kegiatan diantaranya Kelas Kasepuhan dan berkebun.  Kelas Kasepuhan adalah ruang untuk belajar mengenai sejarah dan budaya-budaya kasepuhan seperti kebiasaan, kesejarahan, kesenian, kuliner tradisional serta lainnya yang berkaitan dengan Kasepuhan.  

Ide awal diselenggarakannya Kelas Kasepuhan adalah melihat sisi positif dari adanya Pandemi COVID-19 yaitu banyak masyarakat yang pulang kampung karena beberapa kegiatan seperti bersekolah, berkuliah, dan bekerja bisa dilakukan dari rumah. Fenomena ini menjadi sebuah kesempatan untuk mengetahui lebih lanjut tentang apa yang ada di kampung dan mencari hal unik yang ada di kampung. Lalu, terpikir bahwa sebenarnya banyak nilai-nilai budaya yang hanya diketahui oleh orang-orang tua dan tidak diketahui oleh generasi muda saat ini. Dari situ kemudian KOMPAK Pasir Eurih termotivasi untuk mengadakan Kelas Kasepuhan dengan mengundang orang-orang yang memiliki pengetahuan adat untuk dibagikan kepada generasi yang lebih muda. 

Hal menarik dari adanya Kelas Kasepuhan menurut Siti Sopariah adalah bagaimana adat sangat menjaga alam. Filosofi tersebut tercermin dalam nilai-nilai adat yang sangat menghargai alam dengan mengelola dan memanfaatkan kekayaan alam dengan sebaik-baiknya. 

Dalam melaksanakan kegiatan Kelas Kasepuhan, KOMPAK Pasir Eurih juga menghadapi tantangan, salah satunya mengenai waktu. Mengingat anak muda banyak kegiatan lain seperti bersekolah, berkuliah, bekerja, serta lainnya menjadi sebuah tantangan tersendiri untuk mengumpulkan teman-teman untuk duduk merancang serta hadir dalam acara tersebut. Tetapi kemudian dengan segala cara dan menyesuaikan waktu dari masing-masing orang akhirnya Kelas Kasepuhan tersebut bisa berjalan dengan baik.

Selain Kelas Kasepuhan, KOMPAK Pasir Eurih juga memiliki kegiatan lain yaitu berkebun. Sebenarnya, banyak dari anak muda yang tergabung dalam KOMPAK Pasir Eurih yang sudah mulai berkebun di pekarangan rumah masing-masing. Namun, berkebun bersama ini baru pertama kali dilakukan. Berkebun ini berawal dari keinginan untuk menanam berbagai jenis tanaman obat. Namun, karena pada saat ini masih dalam tahap identifikasi, KOMPAK Pasir Eurih mencari alternatif lain dengan cara menanam sayur-sayuran seperti timun dan buncis. Tanaman ini ditanam di lahan kosong yang tidak dimanfaatkan. Setelah panen pertama beberapa waktu lalu, saat ini KOMPAK Pasir Eurih sedang menentukan jenis tanaman apa yang akan ditanam selanjutnya. 

Bergerak ke wilayah Sulawesi Selatan, Pokdarwis Kahayya Hills merupakan sebuah kelompok yang bergerak dalam bidang pengembangan pariwisata. Pokdarwis Kahayya Hills dalam kegiatannya banyak berkolaborasi dengan komunitas-komunitas lokal setempat juga dengan pemerintah daerah dalam rangka mempromosikan destinasi wilayah yang berada di Desa Kahayya. Beberapa kegiatan yang sudah dilakukan oleh Pokdarwis Kahaya Hills diantaranya Festival Kopi, Kemah Inklusi yang bekerja sama dengan Sulawesi Community Foundation (SCF), aksi bersih-bersih yang berkolaborasi dengan penggiat pariwisata di Kabupaten Bulukumba, pendampingan bagi mahasiswa yang ingin melakukan studi banding di Desa Kahayya, dan lain-lain. 

Festival Kopi menjadi acara yang rutin diadakan oleh Pokdarwis Kahayya Hills setiap tahun tepatnya di Bulan September. Ide Festival Kopi berawal dari kesadaran akan potensi wisata Desa Kahayya serta kebiasaan masyarakatnya mengkonsumsi kopi khas Kahayya sehingga diadakanlah Festival Kopi dengan tujuan mengenalkan serta mempromosikan potensi wisata di Desa Kahayya sekaligus Kabupaten Bulukumba.

Festival Kopi menyajikan kopi-kopi khas dari Desa Kahayya. Salah satu acara dalam Festival Kopi adalah adanya senandung kopi atau sungkabala. Senandung kopi sendiri merupakan bukti rasa syukur kepada Tuhan YME karena telah memberikan tanah yang subur sehingga tanaman bisa tumbuh dan dinikmati oleh Masyarakat Desa Kahayya. Untuk mempromosikan Festival Kopi, Pokdarwis Kahayya Hills bekerja sama dengan penggiat kopi di Indonesia dan komunitas-komunitas penggiat pariwisata setempat, seperti Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI). Bentuk kerjasamanya adalah menyediakan paket wisata kopi satu hari untuk mengenal tentang pengolahan kopi tradisional di Desa Kahayya. Tantangan yang dihadapi oleh Pokdarwis Kahayya Hills dalam mengadakan Festival Kopi yaitu bagaimana cara menyusun kegiatan supaya tidak bertolak belakang dengan pandangan masyarakat.

Selain Festival Kopi, kegiatan lain yang dilakukan oleh Pokdarwis Kahayya Hills adalah wisata trekking dimana anggota dari Pokdarwis Kahayya Hills menjadi pramuwisata dan mengantar wisatawan menyusuri jalan-jalan yang ada di alam sambil menikmati keindahan alam yang ada di Desa Kahayya. Kegiatan trekking ini juga berkolaborasi dengan komunitas-komunitas setempat untuk saling mempromosikan kegiatan yang dilakukan satu sama lain. Dalam mengelola kegiatan trekking ini, Pokdarwis sangat memperhatikan kondisi pengunjung. Bagi mereka yang berisiko untuk melakukan trekking maka akan dipilih jalur atau akses lain yang lebih mudah. 

Sebagai penutup, pesan untuk anak muda saat ini adalah untuk lebih peka terhadap lingkungan dan tidak semena-mena dalam mengelola sumber daya yang ada di sekitar kita. Hal ini bisa dimulai dari diri sendiri sehingga nantinya akan menyebar ke khalayak luas untuk bergerak bersama-sama.

Simak cerita lengkapnya di sini.

Penulis: Alfina Khairunnisa

Editor: Siti Marfu’ah 

Kesejahteraan Lahir Batin: Korupsi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup

Fokus pembangunan saat ini berpijak pada pembangunan ekonomi, mengikuti rezim kapitalisme. Demi  pertumbuhan ekonomi terus-menerus, banyak hal dikorbankan demi ekstraksi kekayaan alam, mulai dari peminggiran masyarakat lokal dan masyarakat adat, penegakan hukum yang lemah termasuk pembiaran atas terjadinya, serta minimnya upaya untuk mendorong terjadinya perubahan relasi kuasa antara institusi-institusi yang tidak setara, termasuk antara perempuan dan laki-laki. Ketimpangan relasi kuasa, bukan hanya antara perempuan dan laki-laki, tetapi juga antar institusi. Salah satu contohnya adalah saat pemerintah meloloskan UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja di tengah berbagai protes yang disampaikan masyarakat sipil dan akademisi. Diperkirakan, lagi-lagi, UU No. 11/2020 tersebut akan mengorbankan berbagai aspek lingkungan dan sosial demi pertumbuhan ekonomi. Perlu dicatat bahwa pemberlakuan UU tersebut dilakukan di tengah pandemi COVID-19 yang disebut para ahli muncul karena eksploitasi sumber daya alam yang sudah sangat berlebihan.  

Untuk menyebarluaskan dan membangun kesadaran masyarakat akan hal tersebut, RMI-The Indonesian Institute for Forest and Environment, akan merekam serial podcast Kesejahteraan Lahir Batin untuk mengangkat berbagai pembahasan yang tidak mendapat banyak sorotan di tengah rezim pembangunan ekonomi yang terus menguat.

Episode pertama pada Serial Podcast Kesejahteraan Lahir Batin adalah Korupsi Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam. Di mana korupsi merupakan topik yang saat ini masih belum masif dibicarakan. Padahal, banyak sekali korupsi perizinan ekstraksi sumber daya alam untuk perkebunan skala besar, pertambangan, atau hutan monokultur menjadi awal malapetaka kerusakan lingkungan yang menyebabkan masyarakat sekitar menjadi miskin, tidak sejahtera, dan tersingkir dari tanah-tanah leluhur mereka. Selain itu, isu pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga sedang marak di protes oleh masyarakat.

Dengan mengundang Grahat Nagara sebagai narasumber, podcast ini dibuka dengan fakta bahwa nilai korupsi dari illegal logging saja cukup besar dan jika dikonversikan maka bisa digunakan untuk membangun sekitar 200.000 lebih bangunan sekolah. Sangat mengagetkan mendengar angka sebanyak itu, melihat banyak wilayah-wilayah di Indonesia yang memiliki gedung sekolah yang masih belum maksimal untuk mendukung kegiatan belajar. Fakta tersebut kemudian diperkuat dengan ucapan Narasumber, yang bersumber dari kajian KPK, bahwa nilai manfaat yang tercatat oleh pemerintah hanya ⅓ dari total manfaat yang sebetulnya bisa diperoleh. Hal ini dilihat dari hilangnya sumber daya alam yang diekstraksi yang ternyata 3 kali lebih besar dari yang dicatat. Hal ini berarti bahwa pendapatan negara sebenarnya bisa lebih tinggi dan seharusnya bisa digunakan untuk kesejahteraan rakyat.

Walaupun sebenarnya  tidak heran karena banyaknya kasus korupsi yang terjadi, namun mendengar nilai yang cukup fantastis tersebut, tetap saja membuat siapapun bertanya-tanya. Kemana? 

Beberapa fakta yang dibeberkan menunjukkan bahwa ternyata korupsi tidak sesederhana itu, tetapi kompleks, berlapis, dan melibatkan banyak pihak. Seperti contoh sederhana yang diberikan mengenai korupsi bahan pokok, di Indonesia sendiri bawang putih kurang cocok untuk ditanam sehingga untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri diperlukan dari negara lain. Maka, bawang putih perlu diimpor dengan harga sembilan ribu rupiah per kilogram, sedangkan harga di pasaran terkadang bisa mencapai 48 ribu rupiah perkilogram. Fantastis, bukan? Adanya selisih harga yang sangat signifikan tersebut salah satunya dipengaruhi oleh korupsi.

Berbicara mengenai korupsi, ada dua cara korupsi yang sering terjadi, yang pertama adalah Rent Seeking/Perburuan Rente yang merupakan cara dimana oknum mencoba mencari manfaat lebih dari proses pengurusan izin-izin, salah satunya adalah pungutan liar/pungli. Cara korupsi yang kedua adalah Patron Client, dimana korupsi dilatarbelakangi oleh relasi kuasa dan adanya rasa utang budi.

Korupsi sendiri sangat lekat hubungannya dengan politik. Ongkos politik, yaitu biaya yang diperlukan untuk memperoleh jabatan, di Indonesia bisa dibilang sangat mahal. Setidaknya 80% politisi memperoleh ongkos politiknya dari pelaku usaha yang ternyata memiliki motif untuk meminta balas jasa tertentu. Balas jasa tersebut diantaranya berupa kemudahan pengadaan barang dan jasa, kemudahan perizinan, memiliki akses terhadap proyek-proyek pemerintahan, memiliki pengaruh terhadap pengambilan keputusan dan regulasi, dan lain-lain.

Salah satu sektor dengan korupsi terbesar bahkan sejak awal Indonesia merdeka adalah korupsi sumber daya alam. Hal ini dikarenakan sumber pendapatan negara di Indonesia masih didominasi oleh hasil sumber daya alam dan adanya nilai ekonomis yang tinggi. 

Ada sebuah pengalaman lain yang diceritakan oleh Grahat, yang sangat mengagetkan tentunya. Saat itu Grahat mengunjungi gedung planologi kehutanan untuk memperoleh informasi mengenai peta kawasan hutan. Hal yang pertama kali ditemukannya di depan gedung adalah seorang calo. Setelah mengobrol dan bertanya-tanya dimana kira-kira bisa mendapatkan peta kawasan hutan di wilayah X untuk membuka perkebunan, ternyata orang tersebut langsung menawarkan peta kawasan hutan di satu pulau dengan nilai yang sangat besar, sekitar 400 juta rupiah. Singkat cerita, inti dari pengalaman ini adalah bahwa peta kawasan hutan yang seharusnya dimiliki oleh pemerintah ternyata dikuasai oleh individu. Hal ini diakibatkan karena pada saat itu peta kawasan hutan aksesnya masih tertutup dan kemudian dimanfaatkan oleh segelintir pihak untuk dikomersialisasikan. 

Melihat hal tersebut, dilihat perlu untuk kemudian menyelidiki lebih lanjut dan diadakan kunjungan berikutnya. Setelah memperoleh data lebih banyak, diketahui bahwa perlu koordinasi dari 12 kementerian dan lembaga hanya untuk menyelesaikan isu peta kawasan hutan. Angka tersebut terus bertambah hingga pada akhirnya memerlukan koordinasi dari 27 kementerian dan lembaga serta pemerintah daerah. Karena terlalu banyak dan membutuhkan waktu yang cukup lama, akhirnya dibentuk sebuah nota kesepahaman bersama yang kemudian menjadi cikal bakal terbentuknya Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNPSDA).

Mendengar cerita dan fakta serta pengalaman dari  nrasumber membuat kita menyadari, bahwa korupsi, khususnya di sektor sumber daya alam, sangat berdampak bagi semua kalangan, bagi mereka yang tinggal di perkotaan karena harga-harga semakin tinggi, mereka yang tinggal berdampingan dengan lokasi sumber daya alam pun juga terdampak karena mengalami langsung kerusakan lingkungan yang terjadi. 

Dengarkan lebih lengkapnya di sini dan di sini

 

Penulis: Alfina Khairunnisa

Editor: Siti Marfu’ah

Rencana Aksi Ibu-ibu, Kelompok PKK dan Kader Posyandu Kasepuhan Cibarani dalam Perbaikan Gizi Keluarga

Tetet…tetet…tetettt Tetet…tetet…tetetttttt, sayuuuuurr, sayuuuuurrr”! Begitulah bunyi dan teriakan tukang sayur saling bersahut-sahutan di kampung.

Suara khas klakson motor yang disertai teriakan tukang sayur hampir setiap pagi mengisi nuansa perkampungan di Kasepuhan Cibarani, Kecamatan Cirinten di Kabupaten Lebak, Banten. Bermula dari suara klakson motor itu pula penyebutan masyarakat terhadap tukang sayur keliling dengan istilah tetetet.

Bagi tukang sayur, ada rute yang sudah biasa dilalui berikut titik-titik yang menjadi tempat mangkal mereka. Setelah tukang sayur berhenti dan memarkirkan motor, umumnya ibu-ibu datang berkerubung, membentuk formasi setengah lingkaran. Berdasarkan pengamatan, selain belanja bawang-bawangan, tomat dan cabe, sayur segar juga menjadi incaran. Jumlah dan variasi belanjaan tentu saja disesuaikan juga dengan kondisi keuangan masing-masing orang.

Menyaksikan peristiwa ini berulang terjadi pada ruang dan waktu yang berbeda, sama halnya berdiri di ruang ambiguitas. Pasalnya, akses pada lahan subur cukup terbuka dan apabila dimanfaatkan, lahan tersebut dapat digunakan untuk memproduksi sebagian bahan pangan yang biasanya mereka beli dari tetetet.

   

Berangkat dari kegelisahan ini pada tanggal 30 Juni 2021 pendamping kelompok dari RMI mencoba mengajak ibu-ibu masyarakat Kasepuhan Cibarani, Kelompok PKK serta Kader Posyandu untuk berdiskusi. Tujuannya adalah untuk menggali hal-hal yang bisa dilakukan bersama untuk menekan pengeluaran belanja resiko dapur (istilah lokal untuk sembako).

Bak gayung bersambut, dari masyarakat sendiri kemudian muncul gagasan mengenai perlunya mengelola kebun pekarangan secara kelompok. Selain untuk tujuan mengurangi pengeluaran belanja resiko dapur, kebun pekarangan juga akan difungsikan sebagai cadangan pangan dan pemenuhan gizi keluarga. Pemenuhan gizi keluarga ini penting mengingat adanya catatan dari Dinas Kesehatan Kabupaten Lebak merilis data mengenai angka gizi buruk (stunting) dimana Kecamatan Cirinten menempati urutan teratas dengan balita gizi buruk dengan angka 11,0 persen.

Dari penjelasan Kader Posyandu Kasepuhan Cibarani, sejauh ini kegiatan kader yang umum dilakukan adalah melalui pelaksanaan Bulan Penimbangan Balita (BPB). Masih adanya kekurangan-kekurangan pada kegiatan fasilitasi peningkatan kapasitas para kader terkait langkah-langkah kongkrit menuju perbaikan gizi keluarga dan balita. Umumnya kegiatan pendukung hanya berupa bantuan-bantuan bagi ibu dan anak  seperti pemberian kacang-kacangan, telor dan susu. Namun, karena sifatnya sementara dan tidak rutin setiap hari, maka perlu solusi lain guna mengatasi permasalah seperti ini.

Narasi berbeda disampaikan Kelompok PKK, kelompok ini menyatakan pernah berkebun sekali dengan memanfaatkan bantuan dari Dinas Ketahanan Pangan Kabupaten. Bantuan benih berupa bibit palawija diberikan berbarengan dengan bantuan-bantuan lainnya, seperti pelatihan budidaya jamur dan budidaya lele. Hasil dari berkebun menurut penjelasan ibu-ibu PKK cukup berlimpah, dari saking banyaknya dijual dengan harga murah. Sebagai contoh timun dijual Rp.500 /kg, sementara jika membeli di tetetet bisa mencapai harga 4-5 ribu/kg.

Kiranya tujuan berkebun bagi masyarakat Kasepuhan Cibarani perlu untuk lebih diperdalam, melebihi  motivasi ekonomi semata. Kebutuhan gizi keluarga perlu lebih diutamakan terlebih dahulu, misalnya dengan menanam tanaman-tanaman yang dapat dikonsumsi pada skala rumah tangga. Selanjutnya barulah bila ada kelebihan produksi, maka produk dapat dilempar ke pasar untuk memperoleh keuntungan ekonomi.

Untuk merumuskan hal ini, maka diperlukan langkah –langkah perencanaan bersama antara masyarakat dan pendamping kelompok. Hal-hal yang perlu disepakati adalah seperti tata kelola lahan, pengaturan jenis-jenis tanaman yang disesuaikan dengan kalender musim, dan lainnya. Diskusi awal yang dilakukan pada bulan Juni ini merupakan awalan yang baik untuk membenahi konsep kemandirian pangan di Kasepuhan Cibarani.

Penulis : Abdul Waris

Editor: Indra N.H

Seren Taun; Kemeriahan dan Upaya untuk Kembali ke Asal

Lebak- Jalanan Kasepuhan Pasir Eurih di Desa Sindanglaya yang terletak di Kecamatan Sobang tampak lebih berwarna hari itu.  Aneka lapak pedagang yang berwarna-warni di gerai di sekitar jalan sekitar Imah Gede (kediaman Ketua Adat). Hari itu adalah awal perayaan Seren Taun, hari istimewa yang ditunggu-tunggu masyarakat adat Kasepuhan Pasir Eurih. 

Seren Taun sendiri merupakan ungkapan rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa  atas hasil pertanian serta rahmat lain yang menyertainya.Seren Taun juga diperingati untuk mengingat perjuangan para leluhur Kasepuhan yang telah lebih dulu kembali ke Sang Khalik. Berkirim doa atau ziarah kubur menjadi pembuka setiap rangkaian acara Seren Taun yang selanjutnya diikuti dengan rangkaian acara demi acara ritual lainnya. Pada tahun 2021, Seren Taun diadakan pada tanggal 25  sampai 27 Juni 2021 , selama 3 hari dengan rangkaian acara dari pagi sampai malam.

Acara adat Seren Taun merupakan puncak ritual adat yang mengacu pada Rukun Tujuh. Rukun Tujuh, atau disebut juga Rukun Tani merupakan tahapan pertanian yang dilaksanakan secara tertib mulai dari; asup leuweung, ngaseuk (nibakeun), ngubaran, mapag pare beukah, beberes, ngadiukeun dan seren taun. Rukun Tani sarat dengan ritual-ritual adat yang berhubungan dengan tatanen, khususnya dalam menanam padi ladang atau yang bisa disebut padi huma.

Kemeriahan selalu menyertai Seren Taun. Dari 1-2 hari sebelumnya para pedagang sudah mulai berdatangan menggunakan kendaran roda dua dan roda empat. Mereka saling berlomba mencari lokasi strategis untuk menggelar lapak. Barang-barang yang dijual bermacam-macam: mulai dari jajanan pasar, mainan anak-anak, sampai pakaian dengan macam-macam model yang menarik perhatian masyarakat Kasepuhan.

Sebagian warga memiliki kebiasaan menabung yang khusus diperuntukan pada perayaan Seren Taun, “Jangan sampai anak-anak menangis karena ingin membeli jajan. Ungkapan ini menggambarkan betapa masyarakat ingin bergembira saat perayaan Seren Taun berlangsung. Perayaan Seren Taun oleh masyarakat Kasepuhan dianggap sebagai ritual tertinggi sekaligus ruang hiburan pasca setahun penuh gawe (kerja).

Panitia juga mempersiapkan panggung-panggung kesenian tradisional sepekan sebelum hari H. Kesenian angklung, gendang pencak, poplod serta jaipong kombinasi dangdut (pongdut) tak pernah absen dalam menghibur masyarakat  setiap acara Seren Taun. Rombongan-rombongan kesenian biasanya datang dari desa-desa tetangga, dengan mendapatkan undangan atau secara sukarela.

Pada malam puncak perayaan, area Kasepuhan Pasir Eurih menjadi riuh. Gerimis yang membasahi tanah tidak menghalangi masyarakat untuk mendekat ke area perayaan. Dari panggung-panggung kesenian, mengalun indah suara angklung, dan terdengar juga bunyi rampak gendang. Di lain waktu terdengar suara cengkok khas sinden sunda yang memekikan telinga para pendengarnya. Malam itu terdapat sembilan panggung pertunjukan yang sama-sama menarik untuk dinikmati. 

Pentas Seni Gendang Pencak di Perayaan Seren Taun

Dari antara semuanya, pentas pongdut rupanya yang paling banyak menyedot perhatian masyarakat dengan tari jaipong yang diselingi joget dangdut para biduan.

Di luar panggung hiburan, panitia penyelenggara tetap semangat menyelenggarakan momen sakral dengan tetap mematuhi protokol kesehatan sebagaimana anjuran pemerintah. Ritual tetap dilakukan seperti biasanya, hanya sudah disepakati oleh pihak penyelenggara bahwa untuk hiburan ada pengurangan. Yang baru dan menarik juga dalam acara Seren Taun kali ini adalah adanya penambahan acara “Kelas Kasepuhan”. Acara ini diikuti oleh anak-anak muda laki-laki dan perempuan. Pada kelas ini dikupas tentang kesejarahan, aturan, kearifan lokal dan juga hal-hal yang berkaitan dengan adat.

Menarik melihat di zaman yang serba digital ini, anak-anak muda tetap giat belajar tentang adat. Mereka ini merupakan generasi yang akan meneruskan budaya masyarakat Kasepuhan.  Pengetahuan yang biasanya diturunkan secara lisan saat ini juga sudah mulai didokumentasikan tertulis, agar pengetahuan tersebut tidak berubah atau hilang dan anak-anak muda inilah pelakunya.

Kelas Sejarah Kasepuhan Pasir Eurih

Namun demikian, keriuhan perayaan kali ini masih dirasakan kurang dibanding tahun-tahun sebelumnya, sebelum wabah Covid-19 melanda. Penyelenggara sengaja memberlakukan pembatasan tamu. Hadir dalam pertemuan ini adalah perwakilan Pemerintah Daerah Kabupaten Lebak. 

Acara Seren Taun biasanya lebih meriah dibanding hari raya Lebaran itu sendiri, karena adanya ”kewajiban” bahwa keturunan incu-putu Kasepuhan Pasir Eurih yang tersebar di beberapa wilayah ‘perlu kembali’ ke asalnya. Istilah lokalnya dikenal dengan balik taun, suatu simbol untuk menunjukkan rasa bakti dari mana seseorang berasal. Jalinan silaturahmi berlangsung dengan rasa kekeluargaan khas kasepuhan. Pelajaran pentingnya adalah sebagai pengingat bagi masyarakat Kasepuhan Untuk kembali ke asal.

Penulis : Abdul Waris dan Slamet Widodo

Editor: Indra Hatasura

‘Negara Hadir’, Respon atas Perusakan Gunung Liman di Hutan Adat Kasepuhan Cibarani

Foto 1: Papan informasi pelarangan kegiatan perusakan hutan dan/atau penambangan di dalam kawasan hutan/Hutan Adat Kasepuhan Cibarani (Foto: RMI/Abdul Waris)

Pada hari Kamis, 27 Mei 2021 ada pemandangan yang berbeda di Masyarakat Adat Kasepuhan Cibarani, Desa Cibarani, Kecamatan Cirinten, Lebak-Banten. Pagi itu kampung yang biasanya sepi cukup ramai dipenuhi orang-orang yang akan melaksanakan proses pemulihan ekosistem di Gunung Liman. Kegiatan ini adalah respon dari viralnya aktivitas tambang ilegal di media sosial, di lokasi yang termasuk wilayah adat  Masyarakat Adat Kasepuhan Cibarani yang telah berstatus Hutan Adat sejak Desember 2019 silam.

Pada video yang sempat viral di media sosial pada pertengahan bulan Mei 2021 tersebut tampak Masyarakat Adat Baduy menangis dan memohon penghentian perusakan lingkungan oleh tambang ilegal di Gunung Liman kepada Pemerintah Daerah dan Pusat. Wilayah Gunung Liman sendiri telah disepakati sebagai wilayah yang harus dijaga kelestariannya secara adat, terutama oleh Masyarakat Baduy dan Kasepuhan Cibarani.

Mewakili Negara -demikian masyarakat biasa menyebut pemerintah secara umum, hadir Ditjen Penegakan Hukum Kementerian LHK yang bertindak sebagai penyelenggara kegiatan yang berkolaborasi dengan para pihak termasuk penegak hukum di Kabupaten Lebak-Banten. Kasepuhan Cibarani sendiri bertindak sebagai tuan rumah kegiatan ini.

Foto 2. Kegiatan pemulihan ekosistem Gunung Halimun (Foto: RMI/Abdul Waris)

Seusai pertemuan pagi di lapangan Cibarani, para peserta bersama-sama berangkat ke lokasi tambang ilegal di Gunung Liman. Titik pertama yang didatangi berada di mata air Cibaso, lokasi di mana video masyarakat Baduy yang viral diambil. Para peserta dengan sigap, sesuai dengan pembagian tugas, menutup bekas galian menggunakan alat seadanya, cangkul, linggis, bahkan kayu yang sudah diruncingkan ujungnya. Kurang lebih sepuluh lubang galian ditimbun kembali, tiga diantaranya telah cukup dalam digali.

Setelah rata dengan tanah, bekas galian ditanami dengan bibit pohon buah seperti durian, manggis, jengkol, dan pete. Selain sebagai penahan erosi, pilihan pohon buah menjadi simbol tanaman yang memberi manfaat lebih kepada makhluk hidup. Papan informasi berisi larangan melakukan aktivitas yang dapat merusak ekosistem Gunung Liman di Hutan Adat Kasepuhan Cibarani pun tak lupa ditancapkan. Di lokasi kedua di Gunung Tasuk -masih dalam area Gunung Liman, kurang lebih lima lubang mendapat perlakuan sama.

Foto 3: Ditanaminya lubang bekas galian dengan bibit pohon buah (Foto: RMI/Abdul Waris)

Sayangnya, Masyarakat Baduy tidak hadir dalam kegiatan yang merespon kecemasan mereka. Seharusnya seluruh komunitas penjaga Gunung Liman dapat dilibatkan. Jauh sebelum kejadian luar biasa ini, Masyarakat Kasepuhan Cibarani bersama dengan Masyarakat Baduy dan beberapa komunitas Masyarakat Adat lain di sekitar Gunung Liman telah menyepakati komitmen bersama untuk penjagaan Gunung Liman dalam kegiatan “Ngariung Ngaraksa Gunung Liman” pada bulan Februari 2020 silam. Kegiatan ini merespon bencana banjir dan longsor yang menimpa Kabupaten Lebak di awal tahun 2020. Komunitas Masyarakat yang terlibat adalah mereka yang sama-sama menganggap Gunung Liman sebagai titipan dari leluhur mereka untuk tidak diganggu kelestariannya. Dengan kata lain, riwayat leluhur mengamanahkan untuk “menjaga dan meraksa alam, alam caina, alam duniana, alam rasana”. 

Landasannya berpegang teguh pada siloka berikut “Lamun geus aya ketuk tujuh kali ti Gunung Bongkok, Gunung Liman jeung sirah Ciujung, eta urang tanda-tanda kiamat”. Tafsir kiamat oleh komunitas dibaca berupa bencana banjir, kebakaran, penyakit serta musibah lainnya. 

Komitmen kolektif yang muncul dari inisiatif lokal ini harus terus diperkuat, salah satunya melalui pelibatan para pihak dalam berbagai kegiatan pemerintah, seperti pada pemulihan Gunung Liman ini. Dengan begitu, usaha pelestarian alam yang sejatinya telah ada dalam praktik adat setempat -seperti ronda leuweung atau patroli hutan- dapat dilakukan secara kolektif melalui pendekatan lanskap, bukan sekedar di level komunitas yang tersegregasi batas-batas wilayah adat. 

Aksi kolektif ini menjadi penting karena praktik perusakan lingkungan sebenarnya sangat banyak terjadi di wilayah Banten, baik itu pembalakan dan penambangan, maupun perburuan dan kegiatan eksploitatif lainnya. Umumnya, para pelaku perusakan lingkungan menjalankan aktivitasnya di luar teritorial atau wilayah adatnya. Di samping dampak negatifnya, gejala ini menunjukkan masih adanya kesadaran akan pentingnya kelestarian lingkungan (sehingga tidak mau merusak lingkungannya sendiri). Di sisi lain, pemerintah sebagai otoritas di Kawasan Hutan -yang mendominasi lanskap Kabupaten Lebak-Banten, tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk benar-benar menjaga kelestarian hutan. Karenanya pengakuan wilayah adat secara masif dengan pendekatan lanskap, dan lebih penting lagi: pelibatan masyarakat, adalah strategi yang patut dipertimbangkan. Jika di dalam dan sekitar satu lanskap -seperti contohnya Gunung Liman, wilayah-wilayah adatnya telah diakui, masyarakatnya dapat secara kolektif memperkuat penjagaan pelestarian lanskap tersebut. Bagaimanapun juga, kehidupan dan penghidupan mereka sangat bergantung pada kekayaan alam yang terkandung didalamnya.

 

Penulis: Abdul Waris

Editor: Indra N Hatasura, Wahyubinatara Fernandez

Foto: Abdul Waris