Pangan Liar Sebagai Alternatif Sumber Makanan

Kuchai, tanaman pangan yang tumbuh subur di Kasepuhan Cibedug

Kuchai, tanaman pangan yang tumbuh subur di Kasepuhan Cibedug

Indonesia merupakan Negara Mega Biodiversitas dengan keanekaragaman hayati nomor dua tertinggi di dunia setelah Brazil. Tercatat sebanyak 15,3%  keanekaragaman hayati berada di Indonesia[1]. Hal tersebut membuat Indonesia memiliki sumber pangan, sumber obat-obatan, dan sumber ekologi yang lebih beragam dibandingkan dengan negara lain. Dalam buku Keanekaragaman Hayati, Amien S. Leksono mengatakan bahwa masyarakat Indonesia telah menggunakan 4.000 jenis tumbuhan dan hewan sebagai makanan, obat-obatan, atau produk lainnya[2]. Beberapa sumber pangan saat ini sudah sulit ditemukan karena jarang dimakan.

Untuk mengetahui keanekaragaman hayati sebagai sumber pangan dan untuk menambah wawasan anak muda, Relawan 4 Life, sebuah gerakan anak muda dampingan RMI,  mengadakan diskusi melalui Instagram Live. Diskusi diadakan bertepatan dengan Hari Keanekaragaman Hayati Sedunia, 22 Mei 2020. Diskusi dipandu oleh Nadira Siti Nurfajrina, salah satu tim inti dari Relawan 4 Life, dan menghadirkan seorang narasumber, ahli pangan liar dan  Founder Mantasa, Hayu Dyah.  Awalnya, Hayu tertarik dengan pangan liar, karena Indonesia merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman hayati, namun masih banyak rakyatnya yang kelaparan. Maka ia mendirikan Mantasa, fokus pada pangan dari alam, agar masyarakat dapat mengkonsumsi keanekaragaman hayati yang jumlahnya banyak tersebut. Hutan, lahan basah, lahan gambut, termasuk juga mikroorganisme di dalam tanah, membuat tumbuhan liar bergizi, dan dapat dikonsumsi. Banyak masyarakat belum mengetahui, tumbuhan liar apa saja yang aman dikonsumsi dan memiliki kandungan yang baik untuk tubuh

Narasumber juga memberikan tips untuk memilih tanaman liar yang tidak beracun. Tanaman bisa dikatakan beracun jika warna dari buahnya itu cerah dan sangat kontras. Cara membedakan tanaman beracun, bisa juga dengan cara mencicipi tanaman tersebut. Jika terasa pahit, gatal, dan tidak enak, maka biasanya tanaman itu beracun.

Dijelaskan juga, hal dasar yang mempengaruhi menurunnya keanekaragaman hayati, karena adanya revolusi hijau. Revolusi hijau membuat petani menggunakan bibit dari pemerintah. Hal tersebut menyebabkan bibit lokal banyak yang punah karena tidak lagi dikonsumsi.

Kepunahan massal bisa terjadi kurang dari 30 tahun, bila kebijakan pemerintah mendukungnya. Ia pernah mewawancarai beberapa ibu di Flores tahun 1970-an. Pada masa itu ada program pemerintah tentang Rumah Sehat. Pemerintah menganggap  rumah adat mereka tidak sehat. Rumah adat mereka berbentuk kotak, di tengahnya ada penyimpanan abu leluhur. Abu itu digunakan  untuk mengawetkan benih, dan bahan pangan yang bersumber dari keanekaragaman hayati. Cara pengawetan benih secara tradisional ini sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Tradisi itu telah hilang ketika diberlakukannya program Rumah Sehat. Tidak hanya menghilangkan keanekaragaman hayati, tetapi juga menghilangkan budaya dan identitas mereka.

Diskusi selama satu setengah jam berjalan cukup hangat dengan banyaknya tanggapan dari para peserta. Salah satu peserta menanggapi penjelasan  warna tanaman liar yang lebih gelap, tidak seperti mie instan yang warnanya sangat banyak tergantung rasanya. Keinginan menulis buku sebagai pengetahuan bagi kaum muda,  masih mengalami kendala, narasumber menjawab pertanyaan seorang peserta. 

Pada akhir diskusi, narasumber berpesan agar kita memperhatikan bahan pangan seperti memperhatikan isi piring saat makan. Perhatikan berapa macam jenis pangan yang kita konsumsi dalam seminggu, dan mulai terhubung dengan alam dan tanah. Hal seperti itulah yang memberikan gizi pada tubuh kita. Ia mengingatkan agar tidak takut mencoba menu baru yang berasal  dari alam. mengajak kita untuk mengkonsumsi bahan pangan sesuai musim.

Diskusi ini dapat dilihat di Instagram @relawan4life

[1] http://news.unpad.ac.id/?p=36173#:~:text=Sebanyak%205.131.100%20keanekaragaman%20hayati,3%25%20nya%20terdapat%20di%20Indonesia. Diakses pada 11 Juni 2020

[2] Leksono, A. S. (hal 115). 2010. Keanekaragaman Hayati. Malang: Universitas Brawijaya Press.

 

 

Penulis: Siti Marfu’ah

Editor: Shinta Miranda

Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug Dalam Menjaga Lingkungan

Masyarakat adat suku Sunda, atau lebih dikenal sebagai masyarakat adat Kasepuhan memiliki kearifan lokal dalam menjaga hutannya. Mereka masih menggantungkan sebagian besar penghidupannya pada hutan dan mengembangkan kebiasaan-kebiasaan untuk hidup harmonis dengan lingkungan sekitarnya. Hutan dan masyarakat adat Kasepuhan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. 

Kasepuhan Cibedug merupakan salah satu Kasepuhan yang terletak di Desa Citorek Barat, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Kasepuhan Cibedug terletak di wilayah ekosistem Gunung Halimun. Perjalanan menuju Kasepuhan Cibedug umumnya dilakukan menggunakan motor selama 30 menit, setelah jalan beraspal habis di Kampung Cibengkung, Citorek (3,5 jam dari Kota Bogor dengan kendaraan bermotor). Lokasi cukup terisolir dengan perjalanan naik turun bukit. Kabut seringkali turun saat udara mendingin di pagi atau menjelang sore hari.

Kasepuhan Cibedug merupakan salah satu kelompok Kasepuhan yang masih teguh dalam memelihara hubungan yang harmonis dengan alam, di masa dimana banyak kelompok masyarakat adat lainnya mengalami perubahan-perubahan drastis. Peran kelembagaan adat yang kuat, isolasi geografis serta modal sosial budaya merupakan salah satu dari faktor-faktor yang mendukung kekuatan itu. 

Dalam hal filosofi budaya, terdapat beberapa pepatah yang dipercayai oleh masyarakat adat Kasepuhan Cibedug (dan juga kasepuhan-kasepuhan lainnya), yang berhubungan dengan kearifan lokal dalam menata atau mengatur wilayahnya. 

‘Gunung teu meunang dilebur, leuweung teu meunang diruksak’, (gunung tidak boleh dihancurkan dan hutan tidak boleh dirusak. Pepatah ini menyiratkan sistem pengelolaan sumber daya alam sesuai dengan kearifan lokal, yang mengandung arti bahwa manusia merupakan bagian dari sistem alam. Di mana jika sumber daya alam rusak, maka kehidupan manusia juga terganggu. Pepatah lainnya adalah  ‘penyangga kahirupan supaya hurip’, (penyangga kehidupan supaya hidup). Di mana masyarakat adat Kasepuhan Cibedug percaya bahwa hutan dan air adalah penyangga kehidupan yang harus dijaga.

Dalam pengaturan wilayah hutan (leuweung), masyarakat adat Kasepuhan Cibedug membagi hutan menjadi beberapa bagian yaitu leuweung kolot, leuweung titipan, leuweung cadangan, dan leuweung garapan.

Masyarakat adat Kasepuhan Cibedug menerangkan bahwa leuweung kolot adalah kawasan hutan yang tidak boleh diganggu, karena di kawasan tersebut terdapat sumber mata air. Leuweung titipan adalah leuweung kolot yang didalamnya terdapat lokasi yang dianggap suci, ditandai misalnya dengan adanya bangunan-bangunan bersejarah (misalnya pada lokasi situs Cibedug yang berupa punden berundak, serta pada lokasi di mana ditemukan tugu-tugu penanda batas). Leuweung cadangan berupa lahan yang dicadangkan oleh masyarakat untuk masa depan, sedangkan leuweung garapan merupakan kawasan yang di dalamnya terdapat, sawah, kebun, serta perkampungan (lembur).

Masyarakat adat Kasepuhan Cibedug meyakini terdapat suatu kekuatan supranatural yang ikut menjaga leuweung mereka, oleh karena itu mereka percaya jika mereka merusak leuweung maka mereka dapat tertima kemalangan/bencana, atau sering diistilahkan sebagai kebendon. Penggundulan hutan di wilayah adat (wewengkon) misalnya, dipercaya akan menyebabkan alam marah dan menyebabkan hujan tidak akan turun. Kabendon bisa juga turun dalam bentuk lain seperti gagalnya panen karena serangan hama, kebakaran, sampai kecelakaan. Hal ini bisa menimpa orang perseorangan, atau dalam bentuk yang lebih besar (komunitas).

Masyarakat adat Kasepuhan Cibedug memandang hutan dan sekelilingnya sebagai pemberi kehidupan dan  perlu dijaga. Hubungan manfaat yang terjadi perlu berlaku timbal balik di mana masyarakat tidak hanya mengambil manfaat dari hutan, tetapi juga menjaganya melalui pemanfaatan lahan pertanian secara bijak. Dalam bersawah dan berhuma contohnya, penanaman padi (pare gede/padi besar) dilakukan hanya satu kali dalam setahun guna memberikan waktu bagi tanah untuk beristirahat. Selama masa istirahat tersebut, jerami dimasukkan kembali ke dalam tanah (malik jarami) tanpa dibakar guna mengembalikan kesuburan tanah. Tanah (Ibu Bumi) dihormati di dalam budaya kasepuhan, seperti yang dapat dilihat pada ritual nibakeun, yang dilaksanakan sebelum tebar benih di sawah, masyarakat meminta izin dulu kepada Nu Bogana (Tuhan) untuk melakukan tebar benih di sawah .  

Keberadaan dan peran masyarakat adat Kasepuhan Cibedug dalam menjaga alam bukan hanya menjaga lingkungan, tetapi juga menjaga budaya mereka. Seperti melaksanakan ritual Nibakeun, yaitu kumpulan adat untuk meminta izin mulai tebar benih di sawah. 

Perluasan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) pada tahun 2003 membuat hampir seluruh wewengkon Kasepuhan Cibedug masuk ke dalam wilayah inti taman nasional. Pihak taman nasional melakukan pelarangan-pelarangan terhadap aktivitas masyarakat adat Kasepuhan Cibedug yang mereka anggap merusak hutan. Kegiatan bertani di lahan kering (ngahuma) misalnya dilarang. Dari pelarangan ini, pada riset yang dilakukan oleh RMI pada tahun 2020, sekitar 10 varietas padi (pare gede) huma menghilang (tidak ditemukan ditanam oleh masyarakat).

Pada tahun 2019, masyarakat adat Kasepuhan Cibedug menuntut wewengkon yang diklaim oleh negara dikembalikan kepada kelompok masyarakat adat, melalui skema Hutan Adat.

Di Hari Lingkungan Hidup Sedunia, yang diperingati setiap tanggal 5 Juni tiap tahunnya, kita perlu melihat kembali, bahwa kontribusi masyarakat adat Kasepuhan Cibedug sangat besar dalam menjaga lingkungan hidup. Oleh sebab itu, sepatutnya negara mengembalikan hak kelola hutan kepada yang berhak, yaitu masyarakat adat Kasepuhan Cibedug, sehingga dapat dipastikan bahwa hutan dikelola secara adil, lestari, berkesinambungan, untuk kesejahteraan masyarakat adat Kasepuhan Cibedug.  

 

Referensi:

Andri Santosa, L. N. (2007). Nyanghulu Ka Hukum, Nyanghunjar Ka Nagara – Sebuah Upaya Masyarakat Cibedug Memperoleh Pengakuan. Bogor: RMI-The Indonesian Institute for Forest and Environment.

Riset RMI-The Indonesian Institute for Forest and Environment. Profiling Indigenous Food Systems And Their Contribution To Debates On Sustainibility And Climate Resilience. Unpublished

 

Kasepuhan Cibedug Indigenous People in Protecting the Environment

The Sundanese indigenous people, or better known as the Kasepuhan indigenous people, have local wisdom in protecting their forests. They still depend a large part of their livelihood on the forest and develop habits to live in harmony with their surroundings. Forests and the Kasepuhan customary community are two things that cannot be separated. 

Kasepuhan Cibedug is one of the Kasepuhan located in West Citorek Village, Cibeber District, Lebak Regency, Banten Province. Kasepuhan Cibedug is located in the Halimun Mountain ecosystem. The trip to Kasepuhan Cibedug is generally done by motorbike for 30 minutes, after the paved road runs out in Cibengkung Village, Citorek (3.5 hours from Bogor City by motorized vehicle). The location is quite isolated because to reach there we need to travel up and down hills. Fog often falls when the air cools down in the morning or early evening.

Kasepuhan Cibedug is one of the Kasepuhan groups that is still persistent in maintaining a harmonious relationship with nature, while many other indigenous groups have experienced drastic changes. The role of strong customary institutions, geographical isolation and socio-cultural capital is some factors that support this strength. 

In terms of cultural philosophy, there are several proverbs that are believed by the Kasepuhan Cibedug indigenous people (as well as other Kasepuhan), which relate to local wisdom in managing or regulating their territory. 

“Gunung teu meunang melebur, leuweung teu meunang diruksak”, (mountains must not be destroyed and forests must not be destroyed. This proverb implies a natural resource management system in accordance with local wisdom, which implies that humans are part of the natural system. If natural resources are damaged, human life will also be disturbed. Another saying is ‘penyangga kahirupan supaya hurip’, (life support to live), meaning that Kasepuhan Cibedug indigenous people believe that forests and water are life support that must be preserved.

In regulating forest areas (leuweung), the Kasepuhan Cibedug indigenous people divides the forest into several parts, namely leuweung kolot, leuweung titipan, leuweung cadangan, and leuweung garapan.

The Kasepuhan Cibedug indigenous people explained that leuweung kolot is a forest area that should not be disturbed, because there are springs in the area. Leuweung titipan is a leuweung kolot in which inside it there are locations that are considered sacred, marked for example by the presence of historical buildings (for example at the location of the Cibedug site in the form of punden berundak, as well as at locations where boundary markers are found). Leuweung cadangan is a form of land reserved by the community for the future, while leuweung arable is an area where there are fields, gardens, and lembur (villages).

The Kasepuhan Cibedug indigenous people believe that there is a supernatural power that helps guard their leuweung, therefore they believe that if they destroy the leuweung they can receive misfortune / disaster, or often termed kebendon. Deforestation in customary areas (wewengkon), for example, is believed to cause nature to be angry and prevent rain from falling. Kabendon can also come down in other forms such as crop failure due to pest attack, fires, and accidents. This can happen to individuals, or in a larger form (community).

The Kasepuhan Cibedug Indigenous People view the forest and its surroundings as a life-giving and need to be protected. The relationship between the community and nature needs to be reciprocal so the community does not only benefit from the forest, but also maintains it through the wise use of agricultural land. In rice fields for example, rice cultivation (pare gede or large rice) is carried out only once a year to give the land time to rest. During this period of rest, the hay is put back into the soil (malik jarami) without being burned to restore soil fertility. The land (Mother Earth) is respected in the kasepuhan culture, as can be seen in the nibakeun ritual which was carried out before sowing the seeds in the fields, the community asked Nu Bogana (God) for permission to spread the seeds in the fields.  

The existence and role of the Kasepuhan Cibedug Indigenous People in protecting nature is not only protecting the environment, but also protecting their culture. Like carrying out the nibakeun ritual, which is a custom for the group to ask permission to start sowing seeds in the fields. 

The expansion of the Mount Halimun Salak National Park (TNGHS) in 2003 made almost all of the wewengkon in Kasepuhan Cibedug fall into the core area of ​​the national park. The national park has prohibited the activities of the Kasepuhan Cibedug Indigenous People because the national park think that they are destroying the forest. For example, farming activities on dry land (ngahuma) are prohibited. From this ban, in research conducted by RMI in 2020, around 10 rice varieties (pare gede) have disappeared (not found to be planted by the community).

In 2019, the Kasepuhan Cibedug Indigenous People demanded that the wewengkon claimed by the country to be returned to indigenous groups, through the Customary Forest scheme.

On World Environment Day, which is celebrated every 5 June each year, we need to take a step back and see that the contribution of the Kasepuhan Cibedug Indigenous People is very large in protecting the environment. Therefore, the country should return the forest management rights to those entitled, the Kasepuhan Cibedug Indigenous People, so that it can be ensured that the forest is managed fairly and sustainably, for the welfare of the Kasepuhan Cibedug Indigenous People.  

Author: Siti Marfu’ah

Translator: Alfina Khairunnisa

Memanfaatkan Strategi Buzzer Dalam Kampanye Isu Lingkungan Dan Sosial

#sawitbaik, merupakan kampanye yang diluncurkan  oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) di tengah kian meluasnya kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Sumatra dan Kalimantan yang terjadi pada saat itu[1]. Masih jelas di ingatan, kampanye tersebut menjadi trending  di media sosial, seperti twitter pada tahun 2019.

Melihat kejadian tersebut, tidak bisa dipungkiri bahwa Kemenkominfo melibatkan para buzzer/influencer melalui laman sawitbaik.id dan akun Twitter @SawitBaikID untuk menciptakan dukungan publik atas produksi sawit di Indonesia. Selain itu, tidak hanya “sawit baik”, ada juga kampanye #dukungomnibuslaw yang sampai saat ini masih ramai di media sosial (Twitter).

Untuk mencari tahu mengenai buzzer/influencer yang sering terlibat dalam pembentukan opini publik di era kampanye digital saat ini, Relawan 4 Life yang difasilitasi oleh RMI mengadakan Diskusi Daring (Disaring) 3.0 dengan tema “Strategi Kampanye Digital Melalui Penggunaan Buzzer/Influencer”.

Sebagai kegiatan yang mendukung gerakan #dirumahaja, diskusi ini dilakukan secara online melalui aplikasi Zoom, pada Jumat, 08 Mei 2020. Disaring diikuti oleh 18 orang, yang terdiri dari 9 orang perempuan, dan 9 orang laki-laki. Acara ini dimoderasi oleh Indra N. Hatasura dari RMI dan diikuti oleh peserta yang berasal dari latar belakang aktivis  mahasiswa, pekerja profesional dan aktivis sosial-lingkungan.

Diskusi ini menghadiri seorang narasumber (yang namanya tidak ingin disebutkan),sebut saja Ani. Ani memiliki pengalaman bekerja di sebuah agensi buzzer selama lebih dari dua tahun. 

Diskusi dibuka dengan pengertian buzzer dan influencer. Ani menyampaikan bahwa kedua kata ini memiliki beberapa kesamaan diantaranya memberikan informasi. Buzzer sendiri berasal dari kata “buzz” yang artinya mendengung. Jadi buzzer artinya adalah mendengungkan berita supaya ramai diperbincangkan banyak orang secara sistematis. Sedangkan influencer adalah orang yang mempengaruhi pandangan orang lain terhadap suatu permasalahan, biasanya dilakukan orang yang mempunyai banyak follower pada akun media sosialnya.

Menurut narasumber, buzzer sudah ada sejak sekitar tahun 2008. Istilah buzzer semakin populer di tahun 2012 ketika adanya pemilihan gubernur di Jakarta. Buzzer ini dibuat untuk kepentingan partai politik, organisasi masyarakat dan orang perorangan. Dalam perkembangannya buzzer umumnya berkaitan dengan politik, yang kemudian dikaitkan dengan isu-isu sosial dan lingkungan, kemudian dikampanyekan , seperti #SawitBaik.

Setelah dilakukan pembukaan, diskusi mengalir dengan lebih interaktif yaitu peserta dapat bertanya langsung kepada narasumber dan kemudian dijawab. Para peserta terlihat sangat antusias karena kolom chat ramai dengan pertanyaan peserta dan peserta yang ingin bertanya melalui microphone. Beberapa pertanyaan yang diajukan oleh peserta adalah seperti:

Apakah buzzer merupakan individual atau kelompok? Narasumber menjawab bahwa buzzer ini ada yang merupakan individual maupun kelompok. Mereka yang berkelompok biasanya tergabung dalam sebuah agensi. Agensi ini hanya bekerja jika ada proyek atau pekerjaan yang diberikan dari pihak-pihak tertentu. Pegawai dari agensi ini pun tidak tetap. Ada juga buzzer independen, tetapi buzzer independen sangatlah beresiko karena biasanya tidak memiliki pendukung canggih akan hal-hal yang dilakukannya (misalnya keamanan, karena para buzzer ini juga menggunakan VPN premium agar tidak terdeteksi alamat IP address nya saat bekerja).

Apakah buzzer memiliki tujuan jangka panjang seperti sebagai media alternatif atau hanya dalam jangka pendek? buzzer tidak memiliki target jangka panjang melainkan hanya bertujuan untuk mengangkat isu pada waktu tertentu sehingga banyak orang yang aware terhadap suatu isu dan diharapkan isu tersebut bisa sampai kepada pihak yang ditujukan yang menyebabkan terjadinya suatu tindakan.

Apakah buzzer memiliki cara lain untuk menaikan suatu isu? Selain membuat status, buzzer juga biasanya melakukan “giveaway”. Giveaway adalah pembagian hadiah secara cuma-cuma dengan syarat harus memposting dengan menyertakan hashtag tentang isu tersebut. Tak sedikit orang yang mengikuti giveaway ini sehingga hashtag akan semakin populer. Cara lain adalah dengan membuat meme.

Narasumber juga menjawab pertanyaan-pertanyaan lain seperti berapa banyak umumnya tim buzzer, pertentangan moral saat mengerjakan pekerjaan, software/mesin/robot yang juga berperan untuk mempertinggi traffic, akun-akun palsu yang digunakan untuk memposting, perang psikologi yang dilakukan buzzer dengan korban, jenis-jenis proyek yang dikerjakan, perang antar tim buzzer, sampai perlawanan penyedia media sosial  (Twiter dalam menghambat para buzzer) dan cara mengakalinya.

Perlu diketahui juga bahwa buzzer tidak hanya bertujuan untuk menaikkan isu yang menguntungkan bagi pihak tertentu, tetapi ada juga buzzer yang independen dalam menaikkan isu (sering juga disamakan dengan influencer). Diskusi ditutup dengan ide-ide dari peserta tentang rencana kampanye digital dengan memanfaatkan cara kerja buzzer. Di akhir diskusi para peserta yang terdiri dari organisasi-organisasi gerakan sosial juga banyak yang merasa perlu juga untuk menggunakan cara kerja buzzer dalam mengkampanyekan isu-isu yang ada, tetapi dengan cara yang berbeda.


[1] Chadijah, R. (2019, 09, 17). Pemerintah Didesak Hentikan Kampanye “Sawit Baik”

https://www.benarnews.org/indonesian/berita/kampanye-sawit-baik-09172019154315.html

Penulis: Siti Marfu’ah

Editor: Indra N. Hatasura

Tulisan ini juga bisa dibaca di link berikut:

Disaring 3.0: Memanfaatkan Strategi Buzzer Dalam Kampanye Isu Lingkungan Dan Sosial

Hari Bumi: Saatnya Mengingat Kearifan Lokal dalam Menjaga Keseimbangan Alam

Peringatan Hari Bumi Sedunia terkait erat dengan perubahan iklim yang terjadi. Perubahan iklim menjadi salah satu isu terpenting dalam kehidupan manusia saat ini. Sejak terjadinya revolusi industri sekitar abad ke-18, telah terjadi peningkatan produksi dan berkurangnya luas tutupan hutan di seluruh dunia. Menurut harian The Guardian (www.guardian.com) pada 12 September 2019, setiap tahunnya dunia kehilangan hutan 26 juta hektar atau seluas wilayah Inggris, dengan sebagian besarnya adalah wilayah hutan hujan tropis termasuk di wilayah Indonesia. Di Indonesia sendiri Forest Watch Indonesia (FWI) menyebutkan pada kurun waktu 2013-2017 seluas 1,47 juta hektar hutan hilang per tahunnya. Kerusakan ini terhitung sangat cepat, masif dan berdampak terhadap masyarakat, hidupan liar dan iklim.

Menurut Laporan KOMNAS HAM “Konflik Agraria Masyarakat Hukum Adat Atas Wilayahnya di Kawasan Hutan” (Cahyono, dkk (ed) 2016: ix), lebih dari 70 juta atau 20% dari total penduduk Indonesia adalah masyarakat adat, dan setengah darinya bergantung terhadap hutan di sekitar mereka. Pengrusakan hutan menyebabkan perikehidupan masyarakat adat terancam.

Perusakan hutan bertentangan dengan masyarakat adat yang dalam praktik-praktik kehidupannya masih memperhatikan keseimbangan alam dan kelestarian lingkungan, misalnya Masyarakat Adat Kasepuhan, dan Masyarakat Adat Baduy di Provinsi Jawa Barat dan Banten.

Adat di Kasepuhan dan Baduy masih sangat ketat mengatur sendi-sendi kehidupan masyarakatnya, misalnya dalam pengaturan pengelolaan sumber daya alam. Adat masyarakat Kasepuhan dan Baduy yang sarat akan perspektif penjagaan keseimbangan alam tersebut kemudian menghadirkan kearifan-kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam, seperti siloka-siloka (petuah-petuah)  di bawah ini:

Bakti ka Indung anu Ngandung, ka Bapa’ anu Ngaguya- Seperti dikutip dari Santosa, dkk (2007) Bumi adalah Ibu dan Langit adalah Bapak. Masyarakat Adat Kasepuhan percaya bahwa bumi adalah simbol “ibu” dan langit adalah simbol “bapak.” Tak elok jika Ibu “melahirkan” lebih dari satu kali dalam setahun, jika dipaksakan maka bumi akan rusak.  Oleh sebab itu untuk menjaga kelestarian ibu bumi Masyarakat Adat Kasepuhan mematuhi filosofi ini dengan hanya menanam padi satu kali dalam setahun. Dilihat dari sisi ekologis penanaman dan pemanenan padi satu kali setahun secara serentak memutus siklus hama dan memberikan waktu bagi tanah untuk memulihkan kesuburannya.

Gunung kayuan, lamping awian, lebak sawahan, legok balongan, jeung datar imahan. Seperti dikutip dari Santosa, dkk (2007) bahwa Masyarakat Adat Kasepuhan percaya bahwa daerah pegunungan harus ditanami oleh pohon berjenis kayu-kayuan. Daerah yang memiliki kemiringan cukup tinggi harus ditanami dengan bambu (mewakili tanaman multifungsi dan menjadikan daerah tersebut sebagai zona penyangga bagi daerah yang lebih rendah). Daerah yang rendah dengan ketersediaan air yang cukup cocok sebagai areal persawahan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat. Daerah yang cekung dan memiliki akses sumber air berlimpah hendaknya dijadikan kolam untuk menampung air atau sumber mata pencaharian di bidang perikanan. Terakhir, daerah yang datar sebaiknya dijadikan areal perkampungan tempat tinggal masyarakat.

Gunung teu menang dilebur, lebak teu menang diruksak – seperti dikutip dari Santosa, dkk (2007), yang artinya gunung tidak boleh dilebur, hutan tidak boleh dirusak. Gunung dan hutan tidak hanya dimaknai sebagai bagian dari bentang alam, namun Masyarakat Adat Kasepuhan memahami adanya fungsi-fungsi ekologis dari gunung dan hutan yang harus dipertahankan untuk menjaga keseimbangan ekosistem bumi secara keseluruhan. 

Gunung aya maungan, lebak aya badakan, lembur aya kokolotan, leuwi aya buayaan- seperti diceritakan oleh masyarakat adat Baduy bahwa di gunung ada macan, di tempat yang lebih rendah ada badak, di kampung ada orang tua, di sungai ada buaya. Masyarakat adat Baduy percaya bahwa setiap tempat ada yg menjaganya, maka tidak boleh gegabah (tidak hati-hati) untuk merusak dan mengganggu alam.

Hareup teuing bisi tijongklok, tukang teuing bisi tijengkang, siger  tengah. Dahar tamba lapar, nginum tamba hanaang – seperti dikutip dari tulisan Kusnaka (1992), yang artinya adalah terlalu depan bisa tersungkur, terlalu belakang bisa tertelentang, lebih baik di tengah-tengah. Makan sekedar menghilangkan rasa lapar, minum sekedar menghilangkan rasa haus.  Masyarakat Kasepuhan sebagai bagian dari masyarakat sunda percaya bahwa segala hal yang berlebihan itu kurang baik, lebih baik dikontrol agar tidak berlebihan, wajar, dan seimbang. Filosofi ini juga mengingatkan masyarakat agar tidak melakukan eksploitasi berlebihan terhadap alam.  

Masih banyak lagi petuah-petuah yang mengatur pengelolaan sumber daya alam di masyarakat adat Baduy dan Kasepuhan. Berbagai prinsip tersebut telah mencegah pemanfaatan sumber daya alam secara eksploitatif dan membantu mengurangi dampak dan memperlambat perubahan iklim, minimal di wilayah-wilayah kelola masyarakat adat.

Sayangnya, bahkan sebelum ada produk perundang-undangan yang dapat mengakui, melindungi, dan memberdayakan masyarakat adat di Indonesia, ancaman legislasi lain sudah menghantui. Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Masyarakat adat adalah kelompok yang paling rentan dan terancam perampasan tanah yang akan dilegalkan melalui RUU Cipta Kerja. Tidak hanya itu, RUU Cipta Kerja juga meniadakan perangkat-perangkat penjamin lingkungan dalam proses perizinan dan investasi, Amdal misalnya. Akibatnya, pemanfaat sumber daya alam secara eksploitatif akan semakin memburuk dan yang menjadi korbannya adalah masyarakat adat yang masih sangat dekat dan bergantung penghidupannya pada sumber daya alamnya. 

 

Penulis: Siti Marfu’ah

Editor: Indra N. Hatasura dan Wahyubinatara Fernandez

 

Referensi

Adimihardja, Kusnaka.(1992).Kasepuhan yang tumbuh di atas yang luruh : Pengelolaan lingkungan secara tradisional di kawasan Gunung Halimun. Jawa Barat. Bandung : Tarsito.

Andri Santosa, A. A, dkk. (2007). Nyanghulu Ka Hukum, Nyanghunjar Ka Nagara: Sebuah Upaya Masyarakat Adat Cibedug Memperoleh Pengakuan. Bogor: RMI-The Indonesian Institute For Forest And Environment.

Cahyono, Eko, dkk (ed). 2016.Inkuiri Nasional Komnas HAM, Hak Masyarakat Hukum Adat atas Wilayahnya di Kawasan Hutan,  Konflik Agraria Masyarakat Hukum Adat Atas Wilayahnya di Kawasan Hutan, Sumatra-Jawa-Kalimantan-Sulawesi-Maluku-Bali-Nusa Tenggara-Papua. Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

Harvey, Fiona. 2019. World Losing Area of Forest the Size of UK Each Year Report Finds. https://www.theguardian.com/environment/2019/sep/12/deforestation-world-losing-area-forest-size-of-uk-each-year-report-finds diakses pada 22 April 2020

Tim FWI. 2019. Angka Deforestasi sebagai “Alarm” Memburuknya Hutan Indonesia. http://fwi.or.id/wp-content/uploads/2019/10/FS_Deforestasi_FWI_small.pdf diakses pada 22 April 2020

Diskusi Daring Generasi Muda: Disaring 1.0 – Penyakit Manusia dan Hewan Liar, Berhubungankah?

Istilah Covid 19 (Corona Virus Disease 19)  begitu populer sejak akhir 2019 dan awal tahun 2020. Istilah ini adalah sebutan bagi penyakit yang disebabkan oleh virus dan sudah melumpuhkan segi-segi kehidupan manusia. Virus ini melumpuhkan sektor ekonomi, sosial dan berdampak terhadap lingkungan. Awalnya Covid 19 terdeteksi di kota Wuhan, Cina dan diduga berasal dari konsumsi hewan liar (kelelawar) oleh manusia. Walaupun belum ada bukti-bukti yang kuat, namun penyebaran penyakit dari hewan liar ke manusia memang sering terjadi. Untuk melihat hubungan itu Relawan 4 Life melakukan Diskusi Daring (Disaring) dengan tema “Penyakit Manusia dan Hewan Liar, Berhubungankah?”.

Disaring merupakan kegiatan yang diinisiasi oleh anak muda yang aktif di Relawan 4 Life, seperti Siti Marfu’ah, Meilinda Amin, Sari Ramadhanti, Ali Alijihad, dan Alfina Khairunnisa. Kegiatan ini dibuat untuk berbagi pengetahuan di kalangan anak muda yang sedang melakukan physical distancing di tengah pandemi yang terjadi saat ini.

Sebagai kegiatan yang mendukung gerakan #dirumahaja, diskusi ini dilakukan secara online melalui aplikasi Zoom, pada Sabtu, 11 April 2020. Disaring diikuti oleh 34 orang, yang terdiri dari 19 orang perempuan, dan 15 orang laki-laki. Peserta berasal dari latar belakang aktivis  mahasiswa, pemerhati pendidikan, pekerja profesional dan aktivis sosial-lingkungan.

Narasumber utama pada acara ini  adalah drh. Pebi Purwo Suseno dan didukung oleh beberapa orang narasumber tambahan. Narasumber utama saat ini aktif sebagai Focal Point Nasional Unit Komunikasi Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE), Contact Point Grup Komunikasi ASEAN untuk Perternakan, dan anggota ad hoc kelompok OIE terkait rabies. Sebagai narasumber tambahan adalah drh. Andri Jatikusumah, drh. Elly Sawitri Siregar,  drh. Ahmad Gozali dari FAO – Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases (ECTAD) yang mengikuti diskusi dan menambahkan informasi-informasi penting lainnya.

Materi Apa Saja yang Disampaikan?

Pada awal sesi, narasumber memperlihatkan sebuah infografis perbandingan terkait pandemi-pandemi yang pernah terjadi dalam sejarah dunia. Infografis tersebut menunjukkan bahwa telah banyak terjadi penularan virus-virus yang mematikan sejak dahulu hingga saat ini, seperti SARS, MERS, hingga Black Death yang sangat mematikan dengan korban lebih dari 200 juta orang (menurut catatan wikipedia, Black Death membunuh 2 dari 3 orang di Eropa pada abad 14).

Narasumber juga menjeaskan tentang Penyakit Infeksi Baru/Berulang (PIB). Terdapat beberapa kategori dalam pengelompokkan PIB, yakni:

  1.   Penyakit infeksi yang sudah dikenal tapi menyebar ke area baru atau populasi baru.
  2.   Infeksi baru yang sebelumnya tidak ada kemudian menginfeksi populasi.
  3.   Penyakit infeksi lama yang memiliki insidensi yang sangat rendah/tidak ada namun muncul kembali.
  4.   Penyakit infeksi yang biasa ditemukan di suatu spesies tertentu namun ditemukan pada spesies baru.

Narasumber menerangkan pada awalnya PIB hanya menular di dalam satu lingkaran, seperti hanya menular antar manusia, atau antar hewan domestik, maupun antar hewan liar. Namun beberapa faktor seperti teknologi dan industri, gangguan manusia, kontak antara hewan-hewan liar, manipulasi ekologi menyebabkan PIB menyebar menjadi antara manusia dengan hewan domestik, maupun sebaliknya, hewan domestik dengan hewan liar dan sebaliknya, serta manusia dengan hewan liar maupun sebaliknya. Penyebaran-penyebaran tersebut menjadi semakin masif karena didukung dengan adanya kemudahan dalam melakukan perjalanan dan pertumbuhan populasi dunia yang sangat pesat.

Paparan selanjutnya adalah mengenai zoonosis. Zoonosis adalah penyakit atau infeksi yang dapat menular secara alami dari hewan ke manusia atau sebaliknya. Hingga saat ini diketahui bahwa 60% dari penyakit atau infeksi yang diderita manusia bersifat zoonosis.

Hal-hal yang perlu diketahui tentang zoonosis sendiri adalah variabel-variabel atau faktor-faktor pemicu munculnya zoonosis dari satwa liar, seperti faktor densitas populasi manusia dan densitas spesies hewan. Menurut narasumber, proporsi virus pada satwa liar yang dapat ditularkan ke manusia, tertinggi ditemukan pada hewan mamalia bersayap (chiroptera), primata, dan hewan pengerat (rodentia).

Diskusi berlanjut cukup seru karena sangat banyak pertanyaan dari peserta, yang sebagian besar merupakan anak muda, yang ingin tahu lebih dalam mengenai hubungan antara penyakit manusia dengan hewan liar, serta kerusakan lingkungan yang terjadi. Karena waktu yang terbatas, tidak semua peserta dapat menyampaikan pertanyaannya. Beberapa pertanyaan yang diajukan oleh peserta adalah seperti:

  • Implementasi one health di Indonesia: siapa yang mengimplementasikan, bagaimana, dan sejak kapan diimplementasikan? Narasumber menjawan dengan menjelaskan implementasi one health di Indonesia yang berjalan dengan cukup baik sejak dahulu, dan koordinasi antar sektor yang sudah terjadi. 
  • Kenapa hewan chiroptera, primata dan rodentia itu harus diwaspadai dibandingkan hewan lainnya dalam penyebaran penyakit zoonosis? Narasumber menjawab dengan menginformasikan kesamaan/kedekatan jenis virus yang ada pada hewan-hewan tersebut dengan virus yang menyerang manusia, sehingga kemungkinan penyebaran penyakit zoonosis terjadi cukup tinggi. 
  • Bagaimana cara melakukan pencegahan di masyarakat yang tinggal di hutan, yang kebiasaan hidupnya berburu hewan liar? Narasumber menjawab bahwa apabila terpaksa atau sudah menjadi bagian dari budaya, maka pencegahan zoonosis seperti memasak makanan sampai masak dapat mengurangi kemungkinan timbulnya penyakit zoonosis.

Diskusi ini diakhiri dengan pemaparan narasumber mengenai cara pencegahan zoonosis, seperti mempererat pengawasan terhadap hewan-hewan yang memiliki resiko tinggi dalam menularkan virus kepada manusia ataupun sebaliknya, melakukan pengawasan dan meminimalisasi resiko terhadap orang-orang yang memiliki kontak langsung dengan hewan-hewan liar, serta meningkatkan keamanan dan pengawasan terhadap hewan-hewan liar.

Untuk info lebih lengkap mengenai Disaring “Penyakit Manusia dan Hewan Liar, Berhubungankah?”, bisa baca materi dan notulensi  di link: https://drive.google.com/open?id=1kdL8ZQDZpf7wvZ2jI0h1W_LiQ8nuO-EB

Tulisan ini juga bisa dibaca di link: https://relawan4life.wordpress.com/2020/04/15/disaring-1-0-penyakit-manusia-dan-hewan-liar-berhubungankah/

Penulis: Siti Marfu’ah