We have a dark history related to the practices of mining companies that destroy our nature and ecosystem, which greatly supports people’s agriculture, in addition to the fact that the areas being mined are cultural sites that have strong links to the clan system and the beliefs of Mollo Indigenous Peoples. But not many Mollo’s younger generation today know about women who fight for the environment who, decades ago, managed to drive the miners out of Mollo’s land. These women sacrifice many things in their lives: their families, their jobs and even their own safety. They fought in the cultural way, weaving between stone cutting machines.
Mama Lodia, Mama Deci and Mama Anaci attended the Being and Becoming Indigenous program, sharing enthusiasm and inspiring stories to the young generation about the struggle to preserve nature and their identity as women and indigenous peoples. Yes, nature is the identity of the Mollo people.
We are aware of the problem that young people are still rarely involved in many public programs and policies in the village. Young people are only seen as a group that has great energy so that they do enough to do heavy things when there is community service or collective activity. Meanwhile, in the realm of discussion and strategic policy-making, the ideas and thoughts of young people are rarely accommodated. Through this Being and Becoming Indigenous program, we provide an alternative space for young people in Mollo to prepare themselves, train and develop their potential related to facilitation, management, organizing and public speaking skills. Who would have thought, after participating in various activities and training, these young people are no longer ashamed to speak and are able express their opinions in the joint forums!
Gelak tawa yang terselip diantara kegiatan diskusi hari itu terlihat mendominasi ruangan di Hotel Sahira, Bogor pada 9 Maret 2020.
Rasa ingin tau dan semangat terlihat di wajah para peserta Pelatihan Kewirausahaan untuk Masyarakat dan Pendamping yang difasilitasi RMI ini sejak tanggal 9 Maret sampai 11 Maret 2020.
Dijumpai sebelum acara pelatihan dimulai, salah seorang ibu dari Kasepuhan Cibedug yang menolak namanya dipublikasikan bercerita betapa perasaannya saat itu campur aduk, antara semangat tapi juga kuatir dengan beban domestik yang saat ini ia titipkan ke tetangganya di rumah.
Lain lagi dengan Agus Maedi salah satu pemuda dari Kasepuhan Cirompang, mengatakan sangat antusias mengikuti pelatihan ini karena sudah sejak lama ingin tau lebih banyak mengenai ilmu kewirausahaan dalam rangka mengembangkan potensi Sumber Daya alam di desa tempat ia tinggal.
Sejak 9 sampai 11 Maret 2020 kemarin, RMI yang disupport oleh The Samdhana Institute melalui program DGMI-Indonesia mengadakan Pelatihan Kewirausahaan untuk Masyarakat & Organisasi Pendamping sebagai upaya pengembangan perekonomian nasional berbasis kemanusiaan yang adil & beradab, berprinsip demokrasi, bertujuan keadilan sosial bagi rakyat.
Sebanyak 8 perempuan dan 15 laki-laki yang berasal dari Kasepuhan Pasir Eurih, Cibarani, Cirompang, Karang dan Cibedug Kabupaten Lebak Banten serta dari Kampung Ciwaluh Desa Cigombong dan Kampung Cipeucang Desa Pasir Buncir Kabupaten Bogor Jawa Barat, berpartisipasi aktif pada pelatihan ini dalam rangka berproses menumbuhkan inovasi usaha berbasis SDA lokal, juga meningkatkan kemampuan dasar keuangan & manajemen usaha. Kegiatan ini harapkan bisa menjadi ruang peningkatan kapasitas masyarakat dan organisasi pendampingnya dalam penguatan perekonomian komunitas.
Hari I
Di hari pertama, Catur Endah Prasetyani dari BUPSHA, Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memberikan paparan kepada peserta mengenai “Dukungan Program dan Kebijakan Pengembangan Usaha Perhutanan Sosial dan Hutan Adat”.
Ibu Catur menjelaskan tentang skema Perhutanan Sosial kepada masyarakat. Beliau juga memaparkan, menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.83/Menlhk/Setjen/Kum.1/10/2016 Tentang Perhutanan Sosial, masyarakat yang berdomisili di wilayah Taman Nasional bisa mengambil bagian dalam program Kemitraan konservasi jika ingin memanfaatkan sumber daya alamnya, di mana masyarakat dapat mengelola hasil SDAnya dengan tujuan utama untuk meningkatkan kesejahteraan, namun tetap menjaga keseimbangan lingkungan.
Ibu Catur juga menjelaskan bahwa sinergitas stakeholder baik pemerintah maupun non-pemerintah menjadi sangat penting, karena dalam pelaksanaan dan pemanfaatan ijin PS (Perhutanan Sosial) itu kuncinya adalah ber-jejaring atau networking. Sistem klustering berbasis komoditas yang dikelola secara berkelompok melalui KUPS-KUPS yang telah dibentuk di tiap daerah/kampung/desa akan memberikan kemudahan dalam berjejaring dengan pasar dan berhubungan dengan konsumen. Oleh karenanya berkelompok dalam pengelolaan usaha menjadi hal krusial dan harus dibentuk bagi para pengelola usaha Perhutanan Sosial.
Pada sesi selanjutnya, difasilitasi oleh Lukmi Ati dari RMI peserta dibagi kelompok berdasarkan desa masing-masing diminta untuk menentukan tiga komoditas unggulan yang ada dilokasi masing-masing. Selanjutnya dari tiga komoditas unggulan tersebut dipilih satu komoditas utama yang akan menjadi bahan dalam penyusunan rencana bisnis dalam pelatihan dua hari ke depan. Hasil identifikasi kelompok masing-masing Desa/Kasepuhan adalah sebagai berikut:
Komoditi unggulan Kasepuhan Cibedug adalah Opak singkong, Kasepuhan Karang kopi robusta,, Kasepuhan Pasir Eurih memilih gula kojor aren, Kasepuhan Cirompang gula kojor aren, Kasepuhan Cibarani gula semut aren, Ciwaluh memilih pengembangan ekowisata, dan Cipeucang pengembangan usaha penganan ranggining.
Hari II
Pelatihan hari II difasilitasi oleh Lukmi Ati dari RMI. Pada hari II akan dilanjutkan empat sesi, yaitu sesi motivasi, sesi inspirasi, sesi inovasi dan sesi manajemen.
Sesi I adalah sesi motivasi di isi oleh The Local Enabler (TLE) dengan topik “Membangun Usaha Sosial Berkelanjutan”. TLE sendiri adalah sebuah ekosistem inklusif yang dirancanng sebagai model pengembangankewirausahaanpemula berbasis kewirausahaan sosial. TLE dirancang sebagai poros kolaborasi para pemangku kepentingan Penta Helix yaitu melibatkan Akademisi, Pemerintahan, Komunitas, Bisnis dan Media. (https://thelocalenablers.id/#about-us)
Di sesi ini, peserta diperkenalkan dengan pengalaman TLE sejak 2014 dalam mendampingi desa-desa di Papua, Jawa barat dan Kalimantan yang berhasil mengembangkan produk lokal mereka hingga memiliki nilai tambah dan mampu meningkatkan perekonomian di desa mereka . Selain itu TLE juga berbagi pengalaman bagaimana seorang yang tadinya biasa saja dan memiliki latar belakang kehidupan yang kelam mampu menjadi seorang wirausahawan yang berhasil dan banyak mendapatkan penghargaan. Tidak ada sestau yang tidak mungkin apabila kita bersungguh-sungguh, dan selama kita belum bisa merubah mindset kita dengan baik percuma saja kita memiliki impian dan rencana usuaha yang bagus. Kuncinya adalah merubah manusianya terlebih dahulu yaitu mindset dan cara berfikirnya, selanjutnya yang lain akan mengikuti.
Sesi selanjutnya adalah sesi inspirasi oleh Martin Asda Krishna dari Timurasa yang menyampaikan tentang potensi produk-produk lokal di pasar nasional maupun internasional. Martin menyampaikan bagaimana produk-produk lokal seperti gula semut dan kopi saat ini sebetulnya masih berpeluang untuk dikembangkan dan masuk ke pasar nasional maupun internasional. Kuncinya adalah bagaimana produk tersebut bisa memenuhi standart yang telah ditetapkan. Jika di Indonesia harus ada persyaratan PIRT dan label halalnya jika ingin masuk ke pasar misalnya swalayan dan pasar sejenisnya. Hal lain yang disampaikan oleh Martin adalah mengenail pendekatan usaha masyarakat berbasis pengelolaan Sumber Daya Alam yang selama ini diterapkan Timurasa dengan masyarakat dampingannya; kolabarasi pengetahuan generasi tua dan generasi muda, tanpa melanggar nilai-nilai budaya yang dianut di wilayah tertentu.
Selepas makan siang dilanjutkan sesi inovasi yang disampaikan oleh Bapak Widya Wicaksana dari Unit Kerja Pengembangan Ekonomi RAPS yang menyampaikan materi tentang ” Pemasaran dan Segmentasi Pasar”. Sesi ini menjelaskan teori tentang konsep pasar dan segmentasi pasar, dan memberikan contoh bagaimana menentukan segmentasi pasar dari beberapa komoditas produk Perhutanan Sosial. Peserta diajak bagaimana memahami konsep pemasaran dengan menempatkan diri sebagai pembeli, sehingga apa yang diingini pembeli bsa dipenuhui oleh masyarakat sebagai produsen.
Sesi lanjutan adalah sesi manajemen yang disampaiakn oleh Bapak Indri Indrawan dari Dosen Teknologi Pangan dari Universitas Trilogi. Kepiawaian Bapak Indri dalam menyampaikan materi mampu membuat peserta hilang rasa kantuk. Materi manajamen yang mungkin sesuatu yang rumit dengan pembawaan yang ceria, santai namun serius mampu membuat peserta antusias untuk mengikuti sesi ini.
Pada sesi ini peserta diajak untuk mulai menghitung biaya investasi, biaya produksi, menghitung harga pokok dan harga jual, sampai memperkirakan jumlah pendapatan. Pada awal sesi Pak Indri sudah menjelaskan betapa pentingnya kita menghitung harga pokok produksi dalam memulai usaha, karena pengalaman selama ini masyarakat asal saja dalam menentukan harga jual sehingga kelihatannya untung padahal setelah dihitung rugi. Jadi sesi ini memang sengaja mengajak peserta untuk menghitung sendiri jenis biaya-biaya pada produk yang telah ditetapkan oleh masing-masing kelompok sesuai dengan panduan yang dijabarkan. Selain itu peserta juga diajak menghitung analisis titik impas (BEP), jangka waktu pengembalian modal (PBB), nilai investasi serta nilai keuntungan.
Sesi manajemen II dilanjutkan oleh Martin dari Timurasa yang membahas tentang sistem produksi dan distribusi hasil. Pada sesi ini intinya adalah mengajak masyarakat bagaimana bisa berproduksi secara komunal atau berkelompok. Hal ini akan memudahkan pembeli untuk berkoordinasi serta memudahkan untuk memenuhi standart baik dari segi kualitas maupun kontinyuitas. Berkelompok atau bekerja secara komunal sangat penting dalam membangun system produksi terutama di masyarakat. Selain memudahkan bagi pembeli juga memudahkan anggota kelompok untuk mendapatkan pasar dan informasi.
Sebagai sesi akhir di hari II, adalah bekerja kelompok. Lukmi sebagai fasilitator memandu sistem kerja kelompok ini. Tiap kelompok diminta menyusun rencana bisnis dengan panduan pertanyaan-pertanyaan yang telah ditetapkan, mulai dari penentuan produk, spesifikasi produk, keunggulan produk, pangsa pasar dan segmentasi pasar, penentuan biaya investasi, biaya produksi, HPP dan BEP. Pada sesi kerja kelompok ini untuk melihat apakah peserta mampu dan faham tentang materi pelatihan yang telah di ikutinya. Hasil kerja kelompok Ini akan di presentasikan di hari III esok harinya.
Di hari ke III Pelatihan, berbekal ilmu yang didapat di dua hari sebelumnya, peserta mempresentasikan rencana usaha masing-masing kelompok sesuai arahan fasilitator.
Kelompok pertama dari kelompok Ciwaluh yang mempresentasikan usaha ekowisata yang saat ini sudah dijalankan oleh kelompok pemudanya, selanjutnya Kelompok Kasepuhan Pasir Eurih yang mengangkat produk dari sumber daya alam hutannya berupa gula aren kojor. Kelompok ketiga dari Kasepuhan Karang menyajikan rencana usaha kopi robusta hasil dari Hutan Adat mereka, diikuti oleh kelompok dari Kasepuhan Cibarani yang mempresentasikan gula aren semut sebagai produk unggulannya. Kelompok selanjutnya adalah Kasepuhan Cirompang yang menyajikan rencana usaha Gula Aren kojor, dan ditutup olej kelompok dari Cipeucang yang menyajikan rencana usaha penganan dari tepung beras Ranggining.
Lukmi Ati selaku fasilitator selama pelatihan ini mengatakan bahwa dari presentasi yang disampaikan oleh setiap kelompok menunjukkan bahwa semua peserta mampu mengikuti pelatihan dengan baik, dan hampir semua materi bisa diikuti dan dicerna dengan baik. Jika ada kesalahan-kesalahan kecil itu bisa diperbaiki sambil jalan dengan bantuan pendamping yang akan mendampingi di lapangan. Yang terpenting adalah bagaimana agar hasil dari pelatihan ini tidak berhenti sampai disini saja dan bisa di implementasikan di kampung masing-masing dan berbagi ilmu ini kepada anggota kelompok di lokasi masing-masing.
Di akhir pelatihan, Patti Rahayu selaku Grant Coordinator DGM-Indonesia dari The Samdhana Institute sebagai Lembaga yang mendukung kegiatan ini menyampaikan harapannya bahwa melalui pelatihan ini, masyarakat akan jadi lebih mandiri dalam mengelola sumber daya alam di kawasan hutannya.
Direkam setelah mengikuti kegiatan, di cuitan ini adalah testimoni Ibu Jumana dan Bapak Samanan dari Kasepuhan Cibarani, dan Teh Erna juga Ibu Juju dari Kasepuhan Cibedug.
Jika mendengar istilah ‘Masyarakat Adat’, masyarakat umum akan merujuk kepada sekelompok orang yang tinggal di perkampungan mengenakan baju adat, dan kerajinan tangan “etnik” yang menjadi cindera mata saat berkunjung ke daerahnya. Seromantis dan sesederhana itukah?
Terkait dengan definisinya dalam pandangan semantik, normatif, dan politis, ada perdebatan panjang tentang apa dan siapa itu Masyarakat Adat.
Namun secara konseptual, sulit dipungkiri bahwa Masyarakat Adat dikenal oleh khalayak umum (terutama mereka yang lahir, besar, dan tinggal di wilayah urban) sebagai kelompok masyarakat yang terbelakang, terkungkung, dan minim akses layanan publik, namun sekaligus sebagai simbol pariwisata, hidup bahagia sentosa tanpa konflik yang berarti.
Bukan pula fakta yang asing bahwa masyarakat kebanyakan tidak menganggap keberadaan masyarakat adat memberikan dampak signifikan terhadap keberlangsungan keanekaragaman hayati ibu bumi. Tidak ada yang betul-betul menyadari peran dari Masyarakat Adat sehingga mereka sering kali terpinggirkan dalam berbagai rencana pembangunan bernuansa neo-liberalisme yang dilakoni pemerintah saat ini.
Padahal pada kenyataannya, praktik pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) oleh Masyarakat Adat, selain berkontribusi terhadap kelestarian lingkungan hidup, juga dapat memberikan kontribusi ekonomi. Riset yang dilakukan AMAN (2018) menunjukan bahwa nilai ekonomi pengelolaan sumber daya alam (SDA) di enam wilayah adat menghasilkan Rp 159,21 miliar per tahun, dan nilai jasa lingkungan mencapai Rp 170,77 miliar per tahun, dan hal ini berpotensi mendorong perekonomian di daerahnya.
Bahkan Konvensi ILO No.169 tahun 1986 sudah mengakui bahwa:
Mereka (Masyarakat Adat) bertekad untuk memelihara, mengembangkan, dan mewariskan daerah leluhur dan identitas etnik mereka kepada generasi selanjutnya; sebagai dasar bagi kelangsungan keberadaan mereka sebagai suatu sukubangsa, sesuai dengan pola budaya, lembaga sosial dan sistem hukum mereka.
Meskipun keberadaaan Masyarakat Adat Sudah diakui oleh negara melalui berbagai perangkat hukum, namun pengabaian hak terhadap Masyarakat Adat masih kerap terjadi, yang kemudian menyebabkan timbulnya kekerasan dan pengucilan di dalam banyak ruang hidup.
Policy Brief RUU Masyarakat Aday berikut disusun oleh Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, yang menganalisa bahwa setidaknya ada enam hak Masyarakat Adat yang terus-menerus terlanggar, di mana hak-hak tersebut satu sama lain tidaklah dapat terpisahkan (indivisibility) dan melekat (inheren). Dokumen ini juga merekomendasikan mengenai hal-hal yang harus diakomodasi dalam Undang-undang Masyarakat Adat yang masuk ke dalam Program Legislasi Nasional 2020, demi penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak Masyarakat Adat.
Gelak tawa yang terselip diantara kegiatan diskusi hari itu terlihat mendominasi ruangan di Hotel Sahira, Bogor pada 9 Maret 2020.
Rasa ingin tau dan semangat terlihat di wajah para peserta Pelatihan Kewirausahaan untuk Masyarakat dan Pendamping yang difasilitasi RMI ini sejak tanggal 9 Maret sampai 11 Maret 2020.
Dijumpai sebelum acara pelatihan dimulai, salah seorang ibu dari Kasepuhan Cibedug yang menolak namanya dipublikasikan bercerita betapa perasaannya saat itu campur aduk, antara semangat tapi juga kuatir dengan beban domestik yang saat ini ia titipkan ke tetangganya di rumah.
Lain lagi dengan Agus Maedi salah satu pemuda dari Kasepuhan Cirompang, mengatakan sangat antusias mengikuti pelatihan ini karena sudah sejak lama ingin tau lebih banyak mengenai ilmu kewirausahaan dalam rangka mengembangkan potensi Sumber Daya alam di desa tempat ia tinggal.
Sejak 9 sampai 11 Maret 2020 kemarin, RMI yang disupport oleh The Samdhana Institute melalui program DGMI-Indonesia mengadakan Pelatihan Kewirausahaan untuk Masyarakat & Organisasi Pendamping sebagai upaya pengembangan perekonomian nasional berbasis kemanusiaan yang adil & beradab, berprinsip demokrasi, bertujuan keadilan sosial bagi rakyat.
Sebanyak 8 perempuan dan 15 laki-laki yang berasal dari Kasepuhan Pasir Eurih, Cibarani, Cirompang, Karang dan Cibedug Kabupaten Lebak Banten serta dari Kampung Ciwaluh Desa Cigombong dan Kampung Cipeucang Desa Pasir Buncir Kabupaten Bogor Jawa Barat, berpartisipasi aktif pada pelatihan ini dalam rangka berproses menumbuhkan inovasi usaha berbasis SDA lokal, juga meningkatkan kemampuan dasar keuangan & manajemen usaha. Kegiatan ini harapkan bisa menjadi ruang peningkatan kapasitas masyarakat dan organisasi pendampingnya dalam penguatan perekonomian komunitas.
Hari I
Di hari pertama, Catur Endah Prasetyani dari BUPSHA, Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memberikan paparan kepada peserta mengenai “Dukungan Program dan Kebijakan Pengembangan Usaha Perhutanan Sosial dan Hutan Adat”.
Ibu Catur menjelaskan tentang skema Perhutanan Sosial kepada masyarakat. Beliau juga memaparkan, menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.83/Menlhk/Setjen/Kum.1/10/2016 Tentang Perhutanan Sosial, masyarakat yang berdomisili di wilayah Taman Nasional bisa mengambil bagian dalam program Kemitraan konservasi jika ingin memanfaatkan sumber daya alamnya, di mana masyarakat dapat mengelola hasil SDAnya dengan tujuan utama untuk meningkatkan kesejahteraan, namun tetap menjaga keseimbangan lingkungan.
Ibu Catur juga menjelaskan bahwa sinergitas stakeholder baik pemerintah maupun non-pemerintah menjadi sangat penting, karena dalam pelaksanaan dan pemanfaatan ijin PS (Perhutanan Sosial) itu kuncinya adalah ber-jejaring atau networking. Sistem klustering berbasis komoditas yang dikelola secara berkelompok melalui KUPS-KUPS yang telah dibentuk di tiap daerah/kampung/desa akan memberikan kemudahan dalam berjejaring dengan pasar dan berhubungan dengan konsumen. Oleh karenanya berkelompok dalam pengelolaan usaha menjadi hal krusial dan harus dibentuk bagi para pengelola usaha Perhutanan Sosial.
Pada sesi selanjutnya, difasilitasi oleh Lukmi Ati dari RMI peserta dibagi kelompok berdasarkan desa masing-masing diminta untuk menentukan tiga komoditas unggulan yang ada dilokasi masing-masing. Selanjutnya dari tiga komoditas unggulan tersebut dipilih satu komoditas utama yang akan menjadi bahan dalam penyusunan rencana bisnis dalam pelatihan dua hari ke depan. Hasil identifikasi kelompok masing-masing Desa/Kasepuhan adalah sebagai berikut:
Komoditi unggulan Kasepuhan Cibedug adalah Opak singkong, Kasepuhan Karang kopi robusta,, Kasepuhan Pasir Eurih memilih gula kojor aren, Kasepuhan Cirompang gula kojor aren, Kasepuhan Cibarani gula semut aren, Ciwaluh memilih pengembangan ekowisata, dan Cipeucang pengembangan usaha penganan ranggining.
Hari II
Pelatihan hari II difasilitasi oleh Lukmi Ati dari RMI. Pada hari II akan dilanjutkan empat sesi, yaitu sesi motivasi, sesi inspirasi, sesi inovasi dan sesi manajemen.
Sesi I adalah sesi motivasi di isi oleh The Local Enabler (TLE) dengan topik “Membangun Usaha Sosial Berkelanjutan”. TLE sendiri adalah sebuah ekosistem inklusif yang dirancanng sebagai model pengembangankewirausahaanpemula berbasis kewirausahaan sosial. TLE dirancang sebagai poros kolaborasi para pemangku kepentingan Penta Helix yaitu melibatkan Akademisi, Pemerintahan, Komunitas, Bisnis dan Media. (https://thelocalenablers.id/#about-us)
Di sesi ini, peserta diperkenalkan dengan pengalaman TLE sejak 2014 dalam mendampingi desa-desa di Papua, Jawa barat dan Kalimantan yang berhasil mengembangkan produk lokal mereka hingga memiliki nilai tambah dan mampu meningkatkan perekonomian di desa mereka . Selain itu TLE juga berbagi pengalaman bagaimana seorang yang tadinya biasa saja dan memiliki latar belakang kehidupan yang kelam mampu menjadi seorang wirausahawan yang berhasil dan banyak mendapatkan penghargaan. Tidak ada sestau yang tidak mungkin apabila kita bersungguh-sungguh, dan selama kita belum bisa merubah mindset kita dengan baik percuma saja kita memiliki impian dan rencana usuaha yang bagus. Kuncinya adalah merubah manusianya terlebih dahulu yaitu mindset dan cara berfikirnya, selanjutnya yang lain akan mengikuti.
Sesi selanjutnya adalah sesi inspirasi oleh Martin Asda Krishna dari Timurasa yang menyampaikan tentang potensi produk-produk lokal di pasar nasional maupun internasional. Martin menyampaikan bagaimana produk-produk lokal seperti gula semut dan kopi saat ini sebetulnya masih berpeluang untuk dikembangkan dan masuk ke pasar nasional maupun internasional. Kuncinya adalah bagaimana produk tersebut bisa memenuhi standart yang telah ditetapkan. Jika di Indonesia harus ada persyaratan PIRT dan label halalnya jika ingin masuk ke pasar misalnya swalayan dan pasar sejenisnya. Hal lain yang disampaikan oleh Martin adalah mengenail pendekatan usaha masyarakat berbasis pengelolaan Sumber Daya Alam yang selama ini diterapkan Timurasa dengan masyarakat dampingannya; kolabarasi pengetahuan generasi tua dan generasi muda, tanpa melanggar nilai-nilai budaya yang dianut di wilayah tertentu.
Selepas makan siang dilanjutkan sesi inovasi yang disampaikan oleh Bapak Widya Wicaksana dari Unit Kerja Pengembangan Ekonomi RAPS yang menyampaikan materi tentang ” Pemasaran dan Segmentasi Pasar”. Sesi ini menjelaskan teori tentang konsep pasar dan segmentasi pasar, dan memberikan contoh bagaimana menentukan segmentasi pasar dari beberapa komoditas produk Perhutanan Sosial. Peserta diajak bagaimana memahami konsep pemasaran dengan menempatkan diri sebagai pembeli, sehingga apa yang diingini pembeli bsa dipenuhui oleh masyarakat sebagai produsen.
Sesi lanjutan adalah sesi manajemen yang disampaiakn oleh Bapak Indri Indrawan dari Dosen Teknologi Pangan dari Universitas Trilogi. Kepiawaian Bapak Indri dalam menyampaikan materi mampu membuat peserta hilang rasa kantuk. Materi manajamen yang mungkin sesuatu yang rumit dengan pembawaan yang ceria, santai namun serius mampu membuat peserta antusias untuk mengikuti sesi ini.
Pada sesi ini peserta diajak untuk mulai menghitung biaya investasi, biaya produksi, menghitung harga pokok dan harga jual, sampai memperkirakan jumlah pendapatan. Pada awal sesi Pak Indri sudah menjelaskan betapa pentingnya kita menghitung harga pokok produksi dalam memulai usaha, karena pengalaman selama ini masyarakat asal saja dalam menentukan harga jual sehingga kelihatannya untung padahal setelah dihitung rugi. Jadi sesi ini memang sengaja mengajak peserta untuk menghitung sendiri jenis biaya-biaya pada produk yang telah ditetapkan oleh masing-masing kelompok sesuai dengan panduan yang dijabarkan. Selain itu peserta juga diajak menghitung analisis titik impas (BEP), jangka waktu pengembalian modal (PBB), nilai investasi serta nilai keuntungan.
Sesi manajemen II dilanjutkan oleh Martin dari Timurasa yang membahas tentang sistem produksi dan distribusi hasil. Pada sesi ini intinya adalah mengajak masyarakat bagaimana bisa berproduksi secara komunal atau berkelompok. Hal ini akan memudahkan pembeli untuk berkoordinasi serta memudahkan untuk memenuhi standart baik dari segi kualitas maupun kontinyuitas. Berkelompok atau bekerja secara komunal sangat penting dalam membangun system produksi terutama di masyarakat. Selain memudahkan bagi pembeli juga memudahkan anggota kelompok untuk mendapatkan pasar dan informasi.
Sebagai sesi akhir di hari II, adalah bekerja kelompok. Lukmi sebagai fasilitator memandu sistem kerja kelompok ini. Tiap kelompok diminta menyusun rencana bisnis dengan panduan pertanyaan-pertanyaan yang telah ditetapkan, mulai dari penentuan produk, spesifikasi produk, keunggulan produk, pangsa pasar dan segmentasi pasar, penentuan biaya investasi, biaya produksi, HPP dan BEP. Pada sesi kerja kelompok ini untuk melihat apakah peserta mampu dan faham tentang materi pelatihan yang telah di ikutinya. Hasil kerja kelompok Ini akan di presentasikan di hari III esok harinya.
Di hari ke III Pelatihan, berbekal ilmu yang didapat di dua hari sebelumnya, peserta mempresentasikan rencana usaha masing-masing kelompok sesuai arahan fasilitator.
Kelompok pertama dari kelompok Ciwaluh yang mempresentasikan usaha ekowisata yang saat ini sudah dijalankan oleh kelompok pemudanya, selanjutnya Kelompok Kasepuhan Pasir Eurih yang mengangkat produk dari sumber daya alam hutannya berupa gula aren kojor. Kelompok ketiga dari Kasepuhan Karang menyajikan rencana usaha kopi robusta hasil dari Hutan Adat mereka, diikuti oleh kelompok dari Kasepuhan Cibarani yang mempresentasikan gula aren semut sebagai produk unggulannya. Kelompok selanjutnya adalah Kasepuhan Cirompang yang menyajikan rencana usaha Gula Aren kojor, dan ditutup olej kelompok dari Cipeucang yang menyajikan rencana usaha penganan dari tepung beras Ranggining.
Lukmi Ati selaku fasilitator selama pelatihan ini mengatakan bahwa dari presentasi yang disampaikan oleh setiap kelompok menunjukkan bahwa semua peserta mampu mengikuti pelatihan dengan baik, dan hampir semua materi bisa diikuti dan dicerna dengan baik. Jika ada kesalahan-kesalahan kecil itu bisa diperbaiki sambil jalan dengan bantuan pendamping yang akan mendampingi di lapangan. Yang terpenting adalah bagaimana agar hasil dari pelatihan ini tidak berhenti sampai disini saja dan bisa di implementasikan di kampung masing-masing dan berbagi ilmu ini kepada anggota kelompok di lokasi masing-masing.
Di akhir pelatihan, Patti Rahayu selaku Grant Coordinator DGM-Indonesia dari The Samdhana Institute sebagai Lembaga yang mendukung kegiatan ini menyampaikan harapannya bahwa melalui pelatihan ini, masyarakat akan jadi lebih mandiri dalam mengelola sumber daya alam di kawasan hutannya.
Direkam setelah mengikuti kegiatan, di bawah ini adalah testimoni Ibu Jumana dan Bapak Samanan dari Kasepuhan Cibarani, dan Teh Erna juga Ibu Juju dari Kasepuhan Cibedug.
Pengalaman krisis ekonomi global tahun 2008 telah menunjukkan bagaimana ekonomi masyarakatlah yang menjadi benteng terakhir stabilitas ekonomi nasional. Saat krisis ekonomi terjadi pada tahun tersebut, justru sektor pertanian masih menjadi salah satu sektor yang diandalkan untuk penciptaan lapangan pekerjaan. “Tindakan yang perlu dilakukan adalah pemanfaatan perekonomian domestik dan mengambil pelajaran dari krisis 1998, di mana sabuk pengaman perekonomian domestik adalah sektor UMKM, pertanian, dan sektor informal” menjadi salah satu arahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika itu dalam mengatasi krisis ekonomi global 2008, merujuk juga kejadian krisis ekonomi 19981. Terkait dengan pertumbuhan ekonomi pun, Menteri Keuangan Sri Mulyani mencatat kekhususan perekonomian Sulawesi dari tahun ke tahun yang pertumbuhannya relatif paling tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi pulau-pulau lain. Kenyataan bahwa ekonomi berbasis masyarakat, yaitu pertanian, mendominasi perekonomian Sulawesi telah membuat Sulawesi mengalami peningkatkan ekonomi hingga 8,5% disaat Jawa mengalami peningkatan 5,7%, Sumatera 4,5% bahkan Papua -1,6% pada 20162. Dia menyatakan bahwa ekonomi berbasis komoditas telah membuat pulau-pulau lain seperti Kalimantan, Sumatera dan Papua mengalami pertumbuhan ekonomi yang rendah. “Sumatera relatif terpengaruh CPO dan mereka ada consumer based untuk netralisir itu. Sulawesi masih cukup tinggi karena sektor Pertanian,” papar Sri Mulyani3.
Sejalan dengan hal tersebut, berbagai kalangan akademisi, pengamat dan aktivis lingkungan dan keadilan sosial mengangkat keberhasilan dan nilai yang dimiliki oleh praktik ekonomi berbasis masyarakat di tengah ancaman yang menguat dengan adanya Rancangan Undang-Undang Omnibus Cipta Kerja (sebelumnya bernama Cipta Kerja/CiLaKa).
RUU ini merupakan realisasi dari ekspansi globalisasi ekonomi yang telah merasuki paradigma pembangunan ekonomi nasional, paling tidak sejak 1970-an. Seperti telah banyak diketahui, RUU ini lebih banyak berbicara mengenai kemudahan berinvestasi ketimbang perlindungan tenaga kerja serta perlindungan terhadap lingkungan yang justru diperlukan sebagai syarat pertumbuhan yang berkelanjutan. Padahal, pembangunan berkelanjutan, yang dikenal dengan Sustainable Development Goals, sudah lama diratifikasi oleh Indonesia dengan 17 tujuan yang jelas tidak hanya berpusat pada pertumbuhan ekonomi skala besar, namun juga memperhatikan aspek sosial, misalnya dalam bentuk kesetaraan dan mengurangi ketimpangan, dan aspek lingkungan, termasuk terkait kelestarian kehidupan di darat dan perairan.
Logika ekonomi nasional yang nampak dalam peraturan perundang-undangan dan implementasinya selalu mengutamakan penyerapan tenaga kerja melalui investasi (asing) skala besar dalam rangka kesejahteraan rakyat. Hal ini sangat nyata terekam dalam pidato Visi Indonesia yang disampaikan Presiden Jokowi di Sentul pada pertengahan 2019 silam, yang juga beberapa kali ditegaskannya dalam berbagai kesempatan termasuk dalam pidato pelantikannya: “Jangan ada yang alergi terhadap investasi. Dengan cara inilah lapangan pekerjaan akan terbuka sebesar-besarnya”.
Padahal, perlu hati-hati juga memaknai ‘lapangan pekerjaan’ yang dibutuhkan masyarakat. Sebagian masyarakat memahaminya sebagai ‘bekerja pada orang lain’, namun para petani, nelayan dan masyarakat adat belum tentu memiliki pemahaman yang sama karena memang mereka tidak bekerja pada orang lain, terutama mereka yang memiliki tanah sebagai modal kerja.
Lebih jauh lagi, penguasaan modal produksi masyarakat justru semakin terancam: tanah dan sumber daya alam. Pengadaan lahan untuk kegiatan usaha adalah salah satu hal yang paling banyak diatur dalam Omnibus Cipta Kerja, sementara lahan adalah modal utama masyarakat untuk menjalankan pertanian, sektor yang disebut Menteri Keuangan Sri Mulyani telah membuat ekonomi Sulawesi tumbuh tertinggi dibandingkan pulau lain.
Untuk itu, pada hari Senin (09/03/20), RMI bersama Koalisi CSO untuk Keadilan Tenurial (Koalisi Tenure) mengadakan diskusi terpumpun (focus group discussion/FGD) untuk terus memperkuat diskursus ekonomi tandingan berbasis pengelolaan SDA lokal secara komunal oleh masyarakat yang dapat menjadi rujukan nasional.
Pemantik pertama dalam FGD ini disampaikan oleh Harry Seldadyo, dengan judul ‘Ekonomi Lokal: Menyiasati Ekonomi Global’. Dalam materinya, Harry menjelaskan bahwa ekonomi lokal tidak sesederhana yang dapat diartikan sebagai ruang ekonomi dalam masyarakat. Namun dalam diskusi ini Harry merepresentasikan ‘lokal’ dengan masyarakat adat, wilayah adat dan SDA. Maka asumsi umumnya, aktivitas konsumsi dan produksi yang terjadi hanya akan menutup diri dari tantangan eksternal. Padahal, ekonomi lokal dan investasi memiliki relasi yang tidak hitam putih, dan tidak satu arah. Waktu menyebut lokal, masyarakat adat di wilayah adat, ada kombinasi yang bersifat tradisional, formal, norma lokal, hukum adat yang berlaku; dengan mengatakan lokal bertemu investasi ada peraturan budaya, oleh sebab itu tidak bisa sederhana menyampaikannya, apalagi ada rasa psikologis masyarakat di dalamnya.
Menurut Harry, kurang tepat rasanya bila mengangkat tagline investasi dalam pembahasan kali ini. Karena, omnibus law memiliki 11 kluster, di mana salah satunya ada Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dan masyarakat bisa masuk di dalamnya.
Harry menyarankan untuk mempertemukan masyarakat adat dengan investasi, dengan cara melibatkan investasi-investasi tersebut dalam sistem pembangunan berkelanjutan. Sehingga, investasi mulai memperhatikan lingkungan dan tidak ada diskursus ekonomi tandingan, dan memilih jalan tengah.
Pemantik berikutnya adalah Sonny Mumbunan, yang menyampaikan materi ‘Ekonomi Omnibus Dalam Dua Imajinasi Sapu Jagat’ lewat telekonferensi. Sonny mengatakan imajinasi pertama adalah ekonomi yang dibayangkan dengan satu cara, dengan resiko terpenting dalam lanskap global menurut World Economic Forum (WEF) , di mana mata pencaharian masyarakat kecil adalah kemungkinan risiko yang paling besar dari adanya investasi. Kemudian dilanjutkan dengan climate change, bencana alam, dan krisis air. Lalu ditambah dengan eksploitasi hutan, jika pendapatan bertambah. Sonny juga mengatakan perlunya melihat keterlibatan masyarakat lokal dalam revolusi industri 4.0. Dia mengingatkan untuk tidak beromantisme dalam membangun ekonomi lokal.
Imajinasi kedua menurut Sonny adalah, risiko lingkungan bukan hanya sekedar ada Amdal atau tidak, karena sebenarnya Amdal masih diatur oleh Omnibus Cipta Kerja, tetapi ada elemen yang dilucuti, seperti ekonomi demokrasi. Di akhir pemaparannya, Sonny melemparkan sebuah pertanyaan refleksi pada peserta FGD: jika kepala dinas, presiden, dan anggota DPR bisa membayangkan Omnibus Cipta Kerja yang sama, apakah masyarakat sipil bisa punya ‘omnibus tandaingan’ yang juga konkrit?
Pemantik ketiga dengan topik ‘Ekonomi Nusantara Sebagai Wacana Tanding Economic Growth’ disampaikan oleh Boy Even Sembiring. Dalam materinya, ia menjelaskan bahwa saat ini pemerintah menggunakan paradigma economi growth, yang adalah akar masalah dari berbagai krisis. Menurutnya, ada tiga aspek utama untuk mendukung economi growth yaitu, oligarki, politik, dan, ekonomi itu sendiri. Pemerintah membiarkan kompetisi yang tidak sehat, untuk mencapai growth yang “lebih cepat, lebih besar, lebih tinggi.” Boy mengingatkan, bahwa pemerintah menggeneralisir orang kaya dan orang miskin, dijadikan satu dalam statistik (Pendapatan Per Kapita) untuk memperlihatkan kesejahteraan yang semu, karena nilai reratanya ditanggung oleh segelintir orang kaya saja yang jumlahnya sangat kecil dibanding populasi Indonesia. Kritik atas teori ini adalah, bagaimana economic growth tidak memperhatikan kerusakan lingkungan dan sosial, hanya melayani produksi dan konsumsi saja.
Sebagai wacana tandingannya adalah teori degrowth, yaitu mengenai ekonomi sosial-ekologis. Teori ini tidak menggeneralisasikan kesejahteraan secara ekonomi saja, tetapi juga keberlanjutan sosial-ekologis. Salah satu yang mencoba melihat operasionalitas teori ini adalah riset Ekonomi Nusantara WALHI.
Pemantik terakhir adalah Bona Beding dengan materi ‘Ekonomi Lokal & Pembangunan Ekonomi Nasional: Perjumpaan di Simpang Jalan’. Pada sesi ini, Bona membagikan cerita tentang kehidupan masyarakat adat di ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil yang mengalami globalisasi, tetapi masih bisa bertahan dengan kearifan lokalnya. Bona menyampaikan bahwa negara mengklaim Indonesia adalah bangsa yang berbudaya, tetapi negara tidak sadar bahwa dasar kebudayaan itu berasal dari masyarakat adat, yang kemudian melahirkan adat istiadat, lalu adat istiadat melahirkan budaya sebelum ada kebudayaan di ujungnya. Pemerintah dianggap tidak pernah berpikir bahwa potensi itu ada, dan tidak berusaha melihat dari dalam untuk mengukur kesejahteraan tanpa harus membawa standar-standar dari luar. Seperti valuasi ekonomi misalnya. Bona mengatakan bahwa alat ukur yang digunakan di daerahnya bukan ekonomi transaksi tetapi sistem lokal.
Setelah sesi pemantik selesai, dilanjutkan sesi diskusi. Pramasty Ayu Kusdinar (Dinar) sebagai moderator mengingatkan, “Flashback ke Sonny, juga pada konsep ekonomi kerakyatan oleh Bung Hatta yang harus adaptif, pesan untuk kita adalah agar tidak terjebak romantisme.”
Wahyubinatara, Manager Advokasi RMI mengatakan bahwa pertumbuhan hanya diukur oleh angka, sedangkan kita sudah tidak bisa keluar dari sistem kapitalis. Sulit keluar sepenuhnya dari sistem tersebut. Menurutnya ada hal lain yang tidak bisa diukur dengan uang secara positif, hal-hal tersebut bersifat negatif, seperti kerusakan lingkungan, kerugian sosial, dan degradasi budaya. Apakah sudah ada organisasi masyarakat sipil yang melihat ke aspek-aspek ini? Jika belum, Wahyu berharap ada yang akan memperkaya narasi tandingan ini dengan perspektif tersebut, karena tepat di situlah ikatan masyarakat di perkampungan-perdesaan dengan sumber-sumber agrarianya akan terlihat.
Diskusi berlanjut cukup seru karena sangat beragamnya ide, pengetahuan, dan pengalaman masing-masing organisasi peserta yang dikontribusikan. Keberagaman ini tidak diantisipasi dalam kerangka acuan, sehingga tujuan substantif diskusi menjadi sulit tercapai dengan ketersediaan waktu yang ada. Walau begitu, semua peserta bersepakat mengenai kepentingan tema besar diskusi ini dalam advokasi hak-hak tenurial masyarakat kecil sehingga beberapa hal strategis dapat disepakati. Satu kesepakatan awal yang muncul di tengah diskusi adalah menjadikan FGD ini sebagai ruang brainstorming sebelum berlanjut ke perumusan yang lebih konkrit mengingat keluasan tema dan keragaman peserta. Karenanya, di akhir diskusi Dinar mengingatkan kepada RMI selaku penggagas diskusi awal ini untuk melanjutkan seri-seri diskusi berikutnya.
Sudah waktunya paradigma pengembangan perekonomian nasional dikembalikan pada pondasi pendirian bangsa ini yaitu berbasis kemanusiaan yang adil dan beradab, berprinsip demokrasi, dan bertujuan keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya. Basis-basis produksi rakyat harus terlebih dahulu dibangun dan diperkuat sebelum menyambut investasi yang sering kali merebut ruang kelola masyarakat, berujung konflik, dan pada gilirannya justru menghambat investasi dan pembangunan ekonomi itu sendiri.