Siaran Pers Koalisi Masyarakat Sipil Kawal RUU Masyarakat Adat “Kontribusi Masyarakat Adat untuk Indonesia”

[Jakarta, 25 Februari 2020] Tidak terbantahkan lagi bahwa Masyarakat Adat aktor utama penjaga kelestarian lingkungan hidup, juga telah memberikan kontribusi ekonomi. “Riset yang dilakukan AMAN (2018) menunjukan bahwa nilai ekonomi pengelolaan sumber daya alam (SDA) di enam wilayah adat menghasilkan Rp 159,21 miliar per tahun, dan nilai jasa lingkungan mencapai Rp 170,77 miliar per tahun, dan ini dapat mendorong perekonomian di daerahnya,” ujar Muhammad Arman, Direktur Advokasi Kebijakan Hukum dan HAM PB AMAN, yang disampaikan dalam Diskusi Media “Kontribusi Masyarakat Adat untuk Indonesia” pada 25 Februari 2020.

Salah satu bentuk sumbangan nyata Masyarakat Adat di Bidang Ekonomi, melalui Koperasi Simpan Pinjam yang disebut Credit Union (CU). “CU justru berkembang setelah mengalami proses inkulturasi budaya dengan Masyarakat Adat Dayak di Kalimantan Barat pada tahun 80-an. CU kemudian tumbuh besar menjadi gerakan ekonomi rakyat, tak hanya untuk dan di wilayah Masyarakat Dayak di Kalimantan Barat tetapi meluas hampir sebagian besar pulau Kalimantan, Papua, NTT, dan Pulau Jawa. Tahun 2018, CU di Kalbar memiliki aset sebesar Rp 6,5 trilun, sementara di tahun yang sama, APBD Provinsi Kalimantan Barat hanya Rp 5,9 triliun”, ungkap Alexander Mering, Comm Program Peduli-Kemitraan.

“Namun sedikit penghargaan yang telah diberikan oleh pemerintah, bahkan oleh masyarakat umum. Masyarakat masih memandang Masyarakat Adat secara sepotong-sepotong, mengakui tari-tariannya, tetapi merendahkan kepercayaan dan pengetahuannya,” ujar Bona Beding dari Forum Masyarakat Adat Pesisir. “Kebudayaan bahari kita, lahir dari ketangguhan dan pengetahuan masyarakat adat,” tegasnya.

Pemerintah terlalu sering mengabaikan eksistensi MA, padahal konstitusi kita sudah jelas mengakui dan melindungi Masyarakat Adat yang diatur di dalam Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3) UUD 1945, dan Satuan Pemerintahan yang bersifat khusus atau bersifat istimewa diatur di dalam Pasal 18B ayat (1) UUD 1945. kriminalisasi terhadap masyarakat adat masih terus berlangsung. Data AMAN menyebutkan 125 masyarakat adat di 10 wilayah menjadi korban kriminalisasi di kawasan hutan. Mereka tersebar di Bengkulu, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Maluku Utara, dan Nusa Tenggara Timur.
“Tindak pidana yang kerap ditujukan pada masyarakat adalah: memasuki tanah PTPN tanpa izin, pengrusakan, penggunaan lahan perkebunan tanpa izin, penganiayaan, melakukan kekerasan terhadap orang atau barang, dan menguasai tanah tanpa izin. Selain itu, dalam beberapa kasus yang spesifik, masyarakat dituduh merintangi kemerdekaan orang untuk bergerak di jalan umum, pengancaman, melakukan perbuatan tidak menyenangkan, dan menghentikan aktivitas alat berat”, ujar Era Purnama Sari, Wakil Ketua Advokasi YLBHI.

Terhadap kondisi ini, maka Koalisi Masyarakat Sipil Kawal RUU Masyarakat Adat merekomendasikan UU Masyarakat Adat perlu segera hadir, agar ada pengaturan yang tegas dan perlindungan secara komprehensif bagi Masyarakat Adat. Arimbi Heroepoetri dari debtWATCH Indonesia menyatakan bahwa setidaknya UU Masyarakat Adat harus memuat delapan hal, yaitu: Pertama, merujuk kepada satu istilah, yaitu Masyarakat Adat. Kesatuan Masyarakat Hukum Adat, Masyarakat Hukum Adat, Masyarakat Adat maupun Masyarakat Tradisional dapat digunakan bergantian dengan merujuk kepada satu istilah, yaitu Masyarakat Adat. Kedua, Berbasis HAM serta Memasukan prinsip-prinsip HAM.

Ketiga, Memuat aturan tentang pemulihan hak. Jenis pemulihan hak yang wajib diatur dalam RUU adalah Grasi, Amnesti, Abolisi, Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi. Keempat, mengakui Hak atas identitas budaya. Kelima, Pengaturan penyelesaian konflik. Keenam pengakuan dan perlindungan atas kekayaan intelektual. Ketujuh, pengakuan tentang hak anak, pemuda dan perempuan adat, dan Kedelapan Perlu adanya pasal-pasal mengenai tindakan khusus sementara bagi Masyarakat Adat pada umumnya, seperti pendidikian bagi kelompok mainstream agar mengenali dan menghormati eksistensi masyarakat adat.

Koalisi Masyarakat Sipil Kawal RUU Masyarakat Adat telah mencermati bahwa substansi Omnibus Law (OL) RUU Cipta Kerja menempatkan masyarakat adat pada kondisi yang lebih buruk jika diundangkan. “RUU ini sekali lagi abai dan tidak berhasil mengenali keberadaan masyarakat adat sebagai subjek yang paling rentan terdampak investasi. Juga gagal melihat peran masyarakat adat dalam pembangunan perekonomian daerah dan penjagaan kelestarian lingkungan hidup. Semisal Pengadaan lahan untuk kegiatan usaha yang paling banyak diatur–dan mengancam masyarakat adat- dalam RUU Cipta Kerja. Pengadaan lahan ini akan diamanatkan melalui Bank Tanah yang masuk menjadi bagian RUU ini tanpa berdasar pada kajian khusus dalam Naskah Akademiknya. Salah satu wewenang Bank Tanah yang diatur dalam Pasal 171 adalah mengakuisisi asset berupa ‘hak, izin, atau konsesi atas tanah dan/atau kawasan’ yang ditelantarkan lebih dari dua tahun; Bank Tanah bisa mengakuisisi lahan apapun yang dinilai terlantar. Selain itu, Bank Tanah juga dapat memberikan Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai selama 90 tahun,” kata Wahyubinatara Fernandez, RMI.

“Karena itu, potensi konflik lahan karena perampasan tanah di wilayah-wilayah adat akan meningkat jika pembahasan RUU Cipta Kerja tidak menempatkan Masyarakat Adat sebagai subyek. Padahal, telah banyak terbukti bagaimana perekonomian mikro menjadi pondasi bagi stabilitas ekonomi nasional, salah satunya pada krisis ekonomi global tahun 2008,” imbuh Wahyubinatara.

Mengingat RUU Masyarakat Adat dan RUU Cipta Kerja masuk dalam Prolegnas Prioritas 2020, artinya akan dibahas dalam kurun waktu yang sama oleh DPR dan Pemerintah, maka Koalisi Masyarakat Sipil Kawal RUU Masyarakat Adat meminta DPR RI melakukan revisi total RUU Cipta Kerja dengan memperhatikan substansi RUU Masyarakat Adat. [ ]

Kontak Person:
1. Muhammad Arman, Direktur Advokasi Kebijakan Hukum dan HAM PB AMAN, HP. 0812 1879 1131
2. Luluk Uliyah, Senior Media Communication Officer Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0815 1986 8887

Koalisi Masyarakat Sipil Kawal RUU Masyarakat Adat adalah koalisi 26 organisasi yang peduli, bekerja dan melakukan kampanye untuk pengakuan dan perlindungan masyarakat adat, yang terdiri dari:

debtWATCH Indonesia (dWI), Jurnal Perempuan, Forum Masyarakat Adat Pesisir, Kalyanamitra,Kemitraan, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Lakpesdam NU, Pengurus Besar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (PB AMAN), PEREMPUAN AMAN, Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Rimbawan Muda Indonesia (RMI), Sawit Watch, Satu Nama, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), HuMA, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), MerDesa Institute, Lokataru. Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), Yayasan Perlindungan Insani Indonesia (YPII), The Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Yayasan Madani Berkelanjutan.

Mengatasi Malnutrisi Melalui Pangan Liar

Terubuk liar, Desa Cibarani.

Malnutrisi masih menghantui masyarakat Indonesia saat ini. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan 2018 menunjukkan bahwa 17,7% bayi usia di bawah 5 tahun (balita) masih mengalami masalah gizi. Angka tersebut terdiri atas balita yang mengalami gizi buruk sebesar 3,9% dan yang menderita gizi kurang sebesar 13,8% (Kementrian Kesehatan, 2018). Adapun balita yang mengalami stunting (tinggi badan di bawah standar menurut usia) sebesar 30,8% (Riskedas, hal. 11, 2018). Tidak hanya itu, angka anemia pada ibu hamil juga cukup tinggi, yaitu sebesar 48,9%. Masalah tersebut berhubungan dengan fakta yang menunjukkan 70-80% ibu hamil belum tercukupi konsumsi energi dan proteinnya (Studi Diet Total: Survei Konsumsi Makanan Individu Indonesia. hal. 9, 2014). Padahal seribu hari pertama (sejak janin dalam kandungan hingga berusia dua tahun) anak sedang dalam masa emas pertumbuhannya. Mengingat pentingnya pemenuhan gizi bagi tumbuh kembang bayi dan ibu yang mengandung ditengah-tengah tingginya angka malnutrisi ini memperlihatkan bahwa masih ada permasalahan dalam hal konsumsi pangan. 

Di sisi lain pangan termasuk salah satu bentuk hak asasi manusia paling dasar yang pemenuhannya dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945. Lebih lanjut, pembukaan UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan juga menyatakan bahwa negara berkewajiban mewujudkan ketersediaan, keterjangkauan, dan pemenuhan konsumsi pangan yang cukup, aman, bermutu, dan bergizi seimbang, baik pada tingkat nasional maupun daerah hingga perseorangan secara merata di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sepanjang waktu dengan memanfaatkan sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal.

Namun, pada pelaksanaannya Indonesia memiliki tantangan yang datang dari berbagai arah. Hironimus Pala dari Yayasan Tananua Flores, pada persentasinya (16/12/19) di Konfrensi Nasional Fian Indonesia, menyampaikan beberapa tantangan pemenuhan hak masyarakat akan pangan, seperti kebijakan yang kurang memberikan ruang bagi keberlanjutan sistem pangan lokal; tergusurnya nilai-nilai lokal akan pangan; belum dimanfaatkannya norma atau aturan komunitas yang hidup dengan kearifan lokal; dan hilangnya keanekaragaman varietas pangan lokal. Padahal, banyak masyarakat yang tinggal di sekitar dan di dalam hutan memanfaatkan pangan lokal dan tanaman pangan liar. Pernyataan tersebut didukung oleh FAO yang menyebutkan bahwa malnutrisi dapat diatasi dengan tanaman pangan liar (FAO Voluntary Guidelines for the Conservation and Sustainable Use of Crop Wild Relatives and Wild Food Plants, 2017).

 

Foto RMI: Terubuk

Tanaman pangan liar adalah tanaman yang tumbuh di alam bebas dan  masih mempunyai kemurnian dan dapat dikonsumsi sebagai makanan jika dipetik pada masa pertumbuhan yang sesuai dan dipersiapkan atau diolah dengan tepat. Tanaman pangan liar ini biasa tumbuh di pagar rumah, lapangan terbuka, pematang sawah, atau daerah yang dekat dengan air seperti selokan dan daerah sekitar sungai (Vesiano, L. 2017, FAO Voluntary Guidelines for the Conservation and Sustainable Use of Crop Wild Relatives and Wild Food Plants, 2017).

Tanaman pangan liar seperti terubuk atau bunga tebu, kluwek atau pucung, daun pohpohan, daun pakis dan daun ubi merupakan jenis tanaman yang bisa dikonsumsi oleh masyarakat. Daun kumis kucing, jahe, sereh, kunyit, dan kapulaga juga banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia sebagai bahan minuman herbal.

Ada keunikan tersendiri dalam cara mengolah tanaman-tanaman pangan liar tersebut. Terubuk, misalnya, yang biasa dimakan saat berumur sekitar lima bulan. Bagian yang dipanen adalah bagian malai yang masih muda, sedangkan yang dikonsumsi adalah bagian bunga yang terbungkus dengan pelepah daun atau dikenal dengan istilah kelobot. Terubuk biasa dimakan dalam bentuk mentah sebagai lalaban, dikukus atau ditumis. Selain itu, terubuk juga biasa dimasak menjadi sayur lodeh, sebagai campuran kare, dan juga sayur asem. Namun ada juga yang mengonsumsi dengan cara digoreng dengan menggunakan tepung atau dibuat perkedel. Terubuk sendiri kaya akan nutrisi dan zat-zat yang baik dan bermanfaat bagi tubuh. Kandungan mineralnya cukup tinggi terutama kalsium dan fosfor disamping vitamin C yang tak kalah tinggi. (Terubuk, Lezatnya si Bunga Tebu, 2009)

Foto: floranegeriku. Kluwek

Selain terubuk, ada juga kluwek atau pucung. Kluwek atau pucung memiliki nama latin Pangium edule dan umumnya berwarna cokelat gelap hingga kehitaman. Kluwek biasa digunakan untuk membuat kuah rawon atau sop konro yang sangat khas berwarna cokelat gelap atau kehitaman. Nutrisi yang terdapat dalam kluwek di antaranya zat besi, vitamin C, vitamin B1, fosfor, kalium dan kalsium. Namun hati-hati, kluwek juga mengandung asam sianida, sejenis racun yang dapat membahayakan kesehatan jika dikonsumsi secara langsung. Kandungan asam sianida tertinggi terdapat dalam daging biji kluwek. Itulah mengapa sebelum mengonsumsinya kluwek harus direndam terlebih dahulu untuk menghilangkan racunnya sebelum diolah ke dalam masakan. (Berkenalan dengan Kluwek (Pucung) yang Menyimpan Segudang Khasiat, 2019).

Lain halnya dengan daun pakis. Pakis adalah sayuran yang dipanen dari batang tumbuhan paku yang masih muda. Daun pakis biasanya paling mudah ditemui pada saat musim semi atau musim hujan. Umumnya tumbuh di ngarai, pinggir sungai, atau tebing yang lembab. Tidak semua jenis tumbuhan paku bisa dikonsumsi pakisnya. Ada juga yang beracun, jadi sebaiknya hati-hati dalam memanennya. Pakis yang aman dan biasa dikonsumsi di Indonesia berasal dari spesies Diplazium esculentum. Daun pakis memiliki kandungan antioksidan, juga merupakan sumber asam lemak omega-3 dan omega-6, serta tinggi zat besi. Seratnya juga bermanfaat untuk kesehatan tubuh. Walaupun begitu daun pakis juga mengandung asam sikimat yang bisa menyebabkan gangguan pencernaan. Karena itu sayur pakis harus selalu dimasak sebelum dikonsumsi. Sebelum memetik daun ini, sebaiknya pilih pakis yang masih hijau dan pastikan batang masih belum berdaun. Cara pengolahan daun pakis sebaiknya juga dicuci dan dipotong dengan cara yang benar, seperti buang pangkal batangnya, cuci dengan garam, segera olah, dan rebus di air mendidih. Daun pakis biasa diolah menjadi cah pakis atau tumis pakis (Cara Mengolah Sayur Pakis, dari Pemilihan hingga Proses Memasak, 2019). 

Gizi yang baik akan membuat pertumbuhan dan perkembangan kita menjadi optimal. Pada Hari Gizi Nasional yang diperingati setiap tanggal 25 Januari ini, mari kita melihat kembali potensi tanaman liar di sekitar kita sebagai bahan alternatif pangan, dan konsumsilah jenis makanan yang beragam untuk pemenuhan gizi yang seimbang.

Penulis: Siti Marfu’ah

Editor: Dinda Tungga Dewi

Referensi

Adelia Marista Safitri, d. Y.-D. (2019, Januari 25). Berkenalan dengan Kluwek (Pucung) yang Menyimpan Segudang Khasiat. Dipetik Januari 20, 2020, dari https://hellosehat.com/: https://hellosehat.com/hidup-sehat/tips-sehat/manfaat-kluwek-pucung-untuk-kesehatan/

Eka/Odi. (2009, Oktober 19). Terubuk, Lezatnya si Bunga Tebu. Dipetik 20 01, 2020, dari food.detik.com: https://food.detik.com/all-you-can-eat/d-1224250/terubuk-lezatnya-si-bunga-tebu

Food and Agricultural Organization of the United Nations. (2017). Voluntary Guidelines for the Conservation and Sustainable Use of Crop Wild Relatives and Wild Food Plants. Rome, Rome, Italy. Diambil kembali dari fao.org.

katadata.co.id. (2019, Januari 25). 17,7% Balita Indonesia Masih Mengalami Masalah Gizi. Retrieved Januari 20, 2020, from databoks.katadata.co.id: https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/01/25/177-balita-indonesia-masih-mengalami-masalah-gizi

Kementrian Kesehatan RI. (2018). Hasil Utama RISKESDAS 2018. Kementrian Kesehatan RI.

Setyorini, T. (2019, Januari 10). Cara Mengolah Sayur Pakis, dari Pemilihan hingga Proses Memasak. Retrieved Januari 20, 2020, from merdeka.com: https://www.merdeka.com/gaya/cara-mengolah-sayur-pakis-dari-pemilihan-hingga-proses-memasak-kln.html

Siswanto, d. (2014). Studi Diet Total: Survei Konsumsi Makanan Individu Indonesia 2014. Jakarta: Lembaga Penerbitan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementrian Kesehatan RI.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan.

Vesiano, L. (2017). Perancangan Buku Instruksional Tumbuhan Liar di Indonesia Sebagai Bahan Pangan. Jurnal Tugas Akhir.

Tahun Baru, Teguran Berulang

Bencana Longsor dan Banjir besar yang terjadi di Jabodetabek dan Banten, dan Jawa Barat menjadi peringatan untuk kita semua – abainya manusia terhadap lingkungan demi memuaskan keinginan atas egonya dalam menguasai dan mengesktrasi sumber daya alam, serta penguasaan besar-besaran atas lingkungan bisa berdampak begitu besar. Bencana ini tidak hanya mengorbankan banyak jiwa, tetapi juga menyebabkan debat panjang antara satu pihak ke pihak lainnya yang saling menyalahkan satu sama lain. 

 

Foto: RMI

Sampah yang menumpuk dan menyumbat banyak saluran aliran air menjadi tersangka utama dari hadirnya banjir kemarin di sekitaran Jabodetabek dan Banten, meskipun banyak aspek terabaikan yang lebih krusial untuk ditunjuk sebagai faktor lain yang mengakibatkan banjir, seperti; pengelolaan limbah yang tidak efektif, TPA yang masih menjadi primadona, AMDAL yang dipertanyakan keabsahannya, ketidakseimbangan rasio antara pembangunan infrastruktur dengan ruang terbuka, dan pengacuhan terhadap perubahan iklim yang meski lamban, tapi sedang terjadi dengan pasti.

Slogan membuang sampah pada tempatnya masih saja menjadi pedoman usum yang kemudian melanggengkan manusia untuk membuang sampah di tempat sampah yang kemudian hanya akan teronggok sunyi bagaikan bom waktu di Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Padahal, kalau mau sedikit mengorek seperti apa kondisi TPA di banyak tempat di Indonesia, kondisinya sungguh sangat memprihatinkan. 

Rasanya masih sangat lekat dalam ingatan mengenai bencana longsor di TPA Leuwigajah, Bandung pada 21 Februari 2005 saat 157 jiwa melayang dan dua kampung terpaksa dihapus dari peta karena lenyap ditelan sampah. Depok yang terendam banjir hampir seatap rumah di awal Januari tahun ini pun disebabkan oleh longsoran TPA Cipayung Depok yang digiring oleh hujan ke kali pesanggrahan hingga membuat   aliran kali pesanggrahan tersumbat dan menenggelamkan rumah warga. Jika mau diurutkan, masih banyak sekali bencana yang dibawa oleh TPA. 

Foto: Media Indonesia

Faktor lain soal pembangunan infrastruktur yang begitu masif beberapa tahun belakangan, hingga menimbulkan kepincangan keseimbangan dengan ruang terbuka di banyak area rasanya juga menarik untuk dicermati. 

Di artikel sebelumnya yang berjudul “Hak Ruang Hidup – yang Terampas, Terpinggirkan, dan Terabaikan” yang diangkat di laman RMI pada tanggal 11 Desember 2019, RMI sedikit membahas soal banjir dan bagaimana proyek infrastruktur dapat menghambat saluran pembuangan air hingga menyebabkan penurunan lahan di Jakarta sedalam 3-18 cm setiap tahunnya.

Bahwa infrastruktur berdampak besar untuk menunjang kehidupan dan penghidupan manusia dalam menjalankan kesehariannya, itu sebuah fakta yang tidak dapat dipungkiri, namun pembangunan infrastruktur yang dilangsungkan tanpa mempertimbangkan keberlanjutan ekologi maka tentunya akan menjadi senjata yang justru membungkam ruang hidup manusia akibat bencana yang ditimbulkan setelahnya. 

Belum lagi jika kita menyoal permasalahan di mana bumi kita telah dieksploitasi habis-habisan demi terpuaskannya nafsu hedonisme manusia. Longsor besar-besaran juga terjadi di 17 titik di Kabupaten Bogor Barat pada awal Januari ini, hingga menyebabkan sebanyak 1,527 jiwa terpaksa tinggal dan menyambung hidup di area pengungsian. Perusahaan tambang besar telah lama menggali perut bumi di area ini untuk mengambil logam-logam alam yang terkandung di dalamnya. Tidak hanya itu, penambang-penambang liar pun juga sudah sejak lama bergerilya di sini, bersikutan dengan penambang raksasa di sana. Bisa dibayangkan, betapa kopongnya perut bumi di area tersebut. Jadi setelah kerakusan kita dalam mengambil isi perut bumi, apakah masih pantas menganggap semua bencana ini azab semata?

Terlalu banyak akar mengular yang harus diurai untuk mengentaskan permasalahan bencana banjir ini, dan bukan dalam waktu sehari dua hari, seminggu dua minggu, bahkan setahun dua tahun. Tidak guna pula saling mencaci dan mencari salah siapa.

Bertepatan dengan hari Lingkungan Hidup Indonesia yang jatuh di setiap tanggal 10 Januari setiap tahunnya, mari kita semua mengulur tangan saja dahulu untuk mengangkat mereka yang sudah terlanjur terjerembab dalam bencana, kemudian bersama-sama kita hentikan aksi yang selalu menyakiti bumi kita ini, sehingga bersama-sama pula kita dapat mencapai harmoni yang seimbang antara manusia dan alam. 

Foto: RMI

Penulis: Dinda Tungga Dewi

Hak Ruang Hidup – Yang Terampas, Terpinggirkan, dan Terabaikan

Hubungan antara manusia dan lingkungan tidak bisa dihindarkan, namun perlu juga dipahami, bahwa derajat manusia tidaklah lebih tinggi dari lingkungan disekitarnya, yang kemudian, seolah-olah memperbolehkan manusia memperkosa lingkungan demi keberlangsungan kepuasan manusia yang kemudian justru merampas ruang hidup. Hukum di Indonesia melindungi, menghormati, dan memenuhi hak-hak manusia pada aspek lingkungan, pendidikan, pangan, kesehatan, dan keselamatan. Namun di sisi lain, pelanggaran hak-hak atas lingkungan masih terjadi hingga saat ini, menciptakan ancaman yang besar bagi peradaban manusia.

Undang-undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan No. 32 tahun 2009 menyatakan bahwa “lingkungan yang baik dan sehat adalah hak asasi setiap warga negara Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28H Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;” tetapi ironisnya, kerusakan lingkungan yang telah terjadi di Indonesia, meskipun mungkin tampak “alamiah”, sebenarnya adalah kerusakan sistematis, yang berarti bahwa kerusakan ini dapat dicegah. Ambil contoh tanah longsor; kurangnya pohon menyebabkan tanah menjadi lebih lemah karena air yang berlebihan disimpan di akar pohon, deforestasi adalah salah satu penyebab terus berkurangnya jumlah tutupan pohon. Contoh lain adalah banjir; proyek infrastruktur dapat menghambat saluran pembuangan air juga menyebabkan penurunan lahan (3-18 cm per tahun jika kita berbicara tentang Jakarta). Ini hanya beberapa contoh bencana “alam”. Bayangkan berapa banyak bencana alam lainnya yang tidak terekspos di media, yang sesungguhnya diciptakan oleh manusianya sendiri.

Ambil contoh perjuangan sembilan perempuan petani di Kendeng pada tahun 2016, di mana mereka menolak keras pembangunan PT Semen Indonesia di wilayah hidup mereka, terutama karena keprihatinan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh operasi pembangunan pabrik semen tersebut. Lokasi tersebut diketahui memiliki mata air dan merupakan lumbung pangan bagi masyarakat sekitar yang berladang, bertani, dan memiliki sumber penghidupan dari sumber daya alam di sana. Akibat dari penggalian pabrik semen tersebut membuat banyak daerah di sekitarnya kekeringan. Perampasan hak atas tanah ini sering terjadi atas nama pembangunan. Emil Salim, ahli Ekonom senior Indonesia dan mantan Politikus, menyatakan bahwa “politisi ditahan sebagai sandera oleh pemilik bisnis besar”. Pada diskusi yang berlangsung di Jakarta pada 3 Desember 2019, ia menceritakan sebuah fakta bahwa investor menggunakan politisi ini sebagai “tangan” mereka untuk merebut tanah dan sumber daya alam rakyat.

Perjuangan perempuan Kendeng mempertahankan kelestarian lingkungan di wilayahnya menunjukkan betapa bergantungnya manusia kepada lingkungan. Permasalahan lingkungan di Kendeng ini sebenarnya adalah permasalahan yang dapat dicegah karena bukan merupakan masalah lingkungan yang terjadi secara alamiah. Melindungi hak atas lingkungan dan ruang hidup berarti melindungi hak asasi manusia untuk hidup. Melanggar ha katas lingkungan dan ruang hidup berarti melanggar hak asasi manusia untuk hidup. Sangat penting untuk mendengar langsung dari mereka yang mengalami pelanggaran HAM ini, karena ketika perempuan diberi ruang untuk berpartisipasi, mereka akan dapat memutuskan hal-hal yang dapat mempengaruhi mereka dalam memastikan lingkungan yang layak untuk ditinggali; bukan hanya untuk diri mereka sendiri, tetapi untuk masyarakat lebih luas.

 

Penulis: Amanda So

Editor: Dinda Tunggadewi & Mardha Tillah

Nia Ramdhaniaty: Dedikasi tak lekang oleh waktu untuk masyarakat hutan dan perempuan non-elit

Alm. Nia Ramdhaniaty dianugerahi penghargaan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagai salah satu Tokoh Perhutanan Sosial (HutSos) 2019. Sejak tahun 2018, Kementerian  Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menganugerahkan penghargaan bagi para tokoh HutSos yang berasal dari berbagai wilayah di Indonesia dalam berbagai kategori. Tahun 2019 ini, Imam Hanafi mewakili almarhumah menerima penghargaan tersebut yang diserahkan langsung oleh Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki, dan Menteri LHK, Siti Nurbaya dalam gelaran Festival PESONA yang diselenggarakan oleh KLHK.

Nia, panggilan akrabnya, adalah sosok yang memiliki perhatian besar terhadap pengelolaan sumber daya alam yang berkeadilan gender dan nasib masyarakat marjinal, khususnya perempuan non-elit. Perhatian besar tersebut dijawantahkan lewat pengalamannya yang panjang berinteraksi dan memperjuangkan hak-hak masyarakat marjinal pedesaan sejak pertama kali bergabung dengan RMI pada 2002.

Sadar akan kondisi masyarakat marjinal yang tinggal di dan sekitar hutan serta jauh dari pemenuhan hak-haknya, Nia melakukan sejumlah upaya demi terciptanya pemenuhan hak-hak mereka. Bersama Koalisi Hutan Adat dan masyarakat Kasepuhan Karang, Nia berperan dalam upaya mendorong pengakuan Hutan Adat Kasepuhan Karang sejak 2013 hingga akhirnya mendapat pengakuan pada 30 Desember 2016. Saat itu, hampir semua pihak meragukan bahwa wilayah hutan konservasi di Pulau Jawa dapat memperoleh pengakuan hutan adat sehingga status kepemilikannya dikembalikan pada masyarakat adat.

Berbagai strategi dilakukan dalam kurun waktu 2013-2016, diantaranya melakukan riset tentang Masyarakat Adat dan Hutan Adat Kasepuhan Karang, pemetaan partisipatif, pengorganisasian masyarakat secara intensif termasuk penguatan kelompok perempuan melalui Sekolah Lapang Perempuan yang dilakukan secara berseri.

Bersamaan dengan hal tersebut, bersama tim di RMI, SABAKI dan jaringan organisasi sipil lainnya, Nia memimpin upaya pengesahan Perda Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat Kasepuhan No 8/2015 serta mendinamisasi proses tersebut dengan organisasi-organisasi mitra RMI dan Pemda Kabupaten Lebak.

Pengusulan pengakuan Hutan Adat Kasepuhan Karang pertama kali dilakukan pada bulan Oktober 2015 di Jakarta dan diterima langsung oleh Dirjen PSKL saat itu, yaitu Bapak Dr. Hadi Daryanto, sebelum Perda Kasepuhan lahir pada November 2015. Walaupun Hutan Adat Kasepuhan Karang sudah dikunjungi oleh Dirjen PSKL dan tim dari KLHK menindaklanjuti pengusulan tersebut, namun, pengakuan dalam bentuk SK tak kunjung didapat. Karenanya, sepanjang tahun, Nia terus memimpin proses advokasi dalam bentuk audiensi terus dilakukan kepada KLHK, bersama masyarakat adat Kasepuhan Karang. Pengusulan pengakuan hutan adat pun diulang pada bulan Oktober 2016, hingga akhirnya diakui pada Desember 2016.

Dalam rentang waktu 3 bulan tersebut, Nia terus terlibat dalam upaya advokasi, misalnya memandu konferensi pers terkait proses pengakuan hutan adat yang belum juga ada kejelasan untuk memfasilitasi 4 komunitas adat yang telah mengusulkan penetapan hutan adat mereka, yaitu Kasepuhan Karang, Marga Serampas, Ammatoa Kajang dan Wana Posangke pada 5 Desember 2016. Hasilnya, Hutan Adat Kasepuhan Karang menjadi salah satu hutan adat pertama yang diakui oleh Negara, dan menjadi representasi satu-satunya dari Hutan Adat yang berada di Pulau Jawa dengan fungsi konservasi.

Pasca pengakuan tersebut, Nia melanjutkan riset lebih spesifik untuk melihat dampak dari pengakuan hutan adat bagi komunitas adat Kasepuhan Karang, khususnya bagi pihak-pihak marjinal yaitu perempuan (non-elit) yang umumnya tidak memiliki lahan sendiri. Riset ini merupakan penelitian dalam proyek tesis Magisternya, yang dia selesaikan pada tahun 2018. Di samping itu, melalui riset yang dilakukan RMI bersama organisasi lain yang tergabung dalam Koalisi Hutan Adat yaitu HuMA, Yayasan Merah Putih, Qbar, Lembaga Bela Banoa Talino, Bantaya dan AMAN Sulawesi Selatan, Nia memimpin riset tersebut untuk mempelajari proses yang dilalui oleh 7 komunitas adat dalam tahap pra dan paska pengakuan hutan adat pada 2017-2018. Salah satu bagian riset ini juga melihat peran dan manfaat yang diterima oleh pihak-pihak marjinal dalam komunitas adat dalam perjuangan mendapatkan pengakuan atas hutan adatnya, yaitu perempuan dan generasi muda. Salah satu rekomendasi dari riset ini adalah penyediaan peta indikatif hutan adat yang disampaikan pada 27 Desember 2018.

Pada 21 September 2019, keluarga besar RMI kehilangan saudara, kakak, guru, sekaligus sahabat yang kami sayangi, Alm. Nia Ramdhaniaty. Namun, tidak sedikitpun hasil kerja keras dan dedikasinya kemudian bisa termakan oleh waktu, pun tanpa keberadaan fisiknya di sini. Nia Ramdhaniaty (Alm) terpilih menjadi salah satu Tokoh Penggerak Perhutanan Sosial Level Pendamping Tapak tahun 2019.

“Ini kali kedua dilakukan penilaian untuk toko-tokoh dan akan terus dilakukan, karena dengan ketokohan dengan role play, kita langsung menyaksikan, mengalami dan mengambil mencontoh dari apa itu praktek hutan sosial, yang bisa di dalami lebih jauh makna dan keterlibatan kesehariannya”, Hal tersebut diuangkapkan oleh Menteri LHK, Siti Nurbaya dalam arahannya usai memberikan piagam kepada para tokoh Hutan Sosial.

Pemilihan tokoh penggerak ini digagas oleh masyarakat, yang kemudian diperkuat melalui kegiatan verifikasi lapangan. Tim Juri menyepakati untuk Penerima Apresiasi Tokoh Hutan Sosial 2019 diberikan kepada 9 (sembilan) Tokoh Hutan Sosial, dan 4 (empat) Tokoh Penggerak (level kebijakan), 4 (empat) Tokoh Penggerak Level Pendamping Tapak dan 3 (tiga) Tokoh Penggerak Level Microfinance.

Penulis: Mardha Tillah dan Dinda Tungga Dewi

 

Tokoh Penggerak Perhutanan Sosial 2019: Nia Ramdhaniaty (alm.)

Alm. Nia Ramdhaniaty dianugerahi penghargaan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagai salah satu Tokoh Perhutanan Sosial (HutSos) 2019. Sejak tahun 2018, Kementerian  Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menganugerahkan penghargaan bagi para tokoh HutSos yang berasal dari berbagai wilayah di Indonesia dalam berbagai kategori. Tahun 2019 ini, Imam Hanafi mewakili almarhumah menerima penghargaan tersebut yang diserahkan langsung oleh Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki, dan Menteri LHK, Siti Nurbaya dalam gelaran Festival PESONA yang diselenggarakan oleh KLHK.

Nia, panggilan akrabnya, adalah sosok yang memiliki perhatian besar terhadap pengelolaan sumber daya alam yang berkeadilan gender dan nasib masyarakat marjinal, khususnya perempuan non-elit. Perhatian besar tersebut dijawantahkan lewat pengalamannya yang panjang berinteraksi dan memperjuangkan hak-hak masyarakat marjinal pedesaan sejak pertama kali bergabung dengan RMI pada 2002.

Sadar akan kondisi masyarakat marjinal yang tinggal di dan sekitar hutan serta jauh dari pemenuhan hak-haknya, Nia melakukan sejumlah upaya demi terciptanya pemenuhan hak-hak mereka. Bersama Koalisi Hutan Adat dan masyarakat Kasepuhan Karang, Nia berperan dalam upaya mendorong pengakuan Hutan Adat Kasepuhan Karang sejak 2013 hingga akhirnya mendapat pengakuan pada 30 Desember 2016. Saat itu, hampir semua pihak meragukan bahwa wilayah hutan konservasi di Pulau Jawa dapat memperoleh pengakuan hutan adat sehingga status kepemilikannya dikembalikan pada masyarakat adat.

Berbagai strategi dilakukan dalam kurun waktu 2013-2016, diantaranya melakukan riset tentang Masyarakat Adat dan Hutan Adat Kasepuhan Karang, pemetaan partisipatif, pengorganisasian masyarakat secara intensif termasuk penguatan kelompok perempuan melalui Sekolah Lapang Perempuan yang dilakukan secara berseri.

Bersamaan dengan hal tersebut, bersama tim di RMI, SABAKI dan jaringan organisasi sipil lainnya, Nia memimpin upaya pengesahan Perda Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat Kasepuhan No 8/2015 serta mendinamisasi proses tersebut dengan organisasi-organisasi mitra RMI dan Pemda Kabupaten Lebak.

Pengusulan pengakuan Hutan Adat Kasepuhan Karang pertama kali dilakukan pada bulan Oktober 2015 di Jakarta dan diterima langsung oleh Dirjen PSKL saat itu, yaitu Bapak Dr. Hadi Daryanto, sebelum Perda Kasepuhan lahir pada November 2015. Walaupun Hutan Adat Kasepuhan Karang sudah dikunjungi oleh Dirjen PSKL dan tim dari KLHK menindaklanjuti pengusulan tersebut, namun, pengakuan dalam bentuk SK tak kunjung didapat. Karenanya, sepanjang tahun, Nia terus memimpin proses advokasi dalam bentuk audiensi terus dilakukan kepada KLHK, bersama masyarakat adat Kasepuhan Karang. Pengusulan pengakuan hutan adat pun diulang pada bulan Oktober 2016, hingga akhirnya diakui pada Desember 2016.

Dalam rentang waktu 3 bulan tersebut, Nia terus terlibat dalam upaya advokasi, misalnya memandu konferensi pers terkait proses pengakuan hutan adat yang belum juga ada kejelasan untuk memfasilitasi 4 komunitas adat yang telah mengusulkan penetapan hutan adat mereka, yaitu Kasepuhan Karang, Marga Serampas, Ammatoa Kajang dan Wana Posangke pada 5 Desember 2016. Hasilnya, Hutan Adat Kasepuhan Karang menjadi salah satu hutan adat pertama yang diakui oleh Negara, dan menjadi representasi satu-satunya dari Hutan Adat yang berada di Pulau Jawa dengan fungsi konservasi.

Pasca pengakuan tersebut, Nia melanjutkan riset lebih spesifik untuk melihat dampak dari pengakuan hutan adat bagi komunitas adat Kasepuhan Karang, khususnya bagi pihak-pihak marjinal yaitu perempuan (non-elit) yang umumnya tidak memiliki lahan sendiri. Riset ini merupakan penelitian dalam proyek tesis Magisternya, yang dia selesaikan pada tahun 2018. Di samping itu, melalui riset yang dilakukan RMI bersama organisasi lain yang tergabung dalam Koalisi Hutan Adat yaitu HuMA, Yayasan Merah Putih, Qbar, Lembaga Bela Banoa Talino, Bantaya dan AMAN Sulawesi Selatan, Nia memimpin riset tersebut untuk mempelajari proses yang dilalui oleh 7 komunitas adat dalam tahap pra dan paska pengakuan hutan adat pada 2017-2018. Salah satu bagian riset ini juga melihat peran dan manfaat yang diterima oleh pihak-pihak marjinal dalam komunitas adat dalam perjuangan mendapatkan pengakuan atas hutan adatnya, yaitu perempuan dan generasi muda. Salah satu rekomendasi dari riset ini adalah penyediaan peta indikatif hutan adat yang disampaikan pada 27 Desember 2018.

Pada 21 September 2019, keluarga besar RMI kehilangan saudara, kakak, guru, sekaligus sahabat yang kami sayangi, Alm. Nia Ramdhaniaty. Namun, tidak sedikitpun hasil kerja keras dan dedikasinya kemudian bisa termakan oleh waktu, pun tanpa keberadaan fisiknya di sini. Nia Ramdhaniaty (Alm) terpilih menjadi salah satu Tokoh Penggerak Perhutanan Sosial Level Pendamping Tapak tahun 2019.

“Ini kali kedua dilakukan penilaian untuk toko-tokoh dan akan terus dilakukan, karena dengan ketokohan dengan role play, kita langsung menyaksikan, mengalami dan mengambil mencontoh dari apa itu praktek hutan sosial, yang bisa di dalami lebih jauh makna dan keterlibatan kesehariannya”, Hal tersebut diuangkapkan oleh Menteri LHK, Siti Nurbaya dalam arahannya usai memberikan piagam kepada para tokoh Hutan Sosial.

Pemilihan tokoh penggerak ini digagas oleh masyarakat, yang kemudian diperkuat melalui kegiatan verifikasi lapangan. Tim Juri menyepakati untuk Penerima Apresiasi Tokoh Hutan Sosial 2019 diberikan kepada 9 (sembilan) Tokoh Hutan Sosial, dan 4 (empat) Tokoh Penggerak (level kebijakan), 4 (empat) Tokoh Penggerak Level Pendamping Tapak dan 3 (tiga) Tokoh Penggerak Level Microfinance.