Memajukan Hak Anak atas Lingkungan yang Sehat

Sebuah gagasan dari Pelapor Khusus PBB membawa sebuah skema kerjasama antara RMI dan Terre Des Homme Jerman untuk menyelenggarakan pertemuan konsultasi yang melibatkan generasi muda dan anak-anak dari 11 Negara di kawasan Asia Timur dan Pasifik, sebagai upaya dalam Memajukan Hak Anak Atas Lingkungan yang Sehat. RMI sendiri sudah sejak 2004 memiliki fokus khusus untuk melihat keterkaitan antara isu (hak) anak dengan (kesehatan) lingkungan—dan terus berkembang hingga melihat bahwa isu-isu hilangnya akses masyarakat terhadap sumber-sumber agraria sebagai bagian yang membawa dampak pada tumbuh kembang generasi muda. RMI dan Terre des Hommes Germany sendiri telah bermitra sejak tahun 2004 tersebut.

Konsultasi ini adalah momen di mana generasi muda bisa menyuarakan aspirasinya mangenai apa yang mereka butuhkan agar data tumbuh di lingkungan yang sehat, yang menjadi faktor penting dalam tumbuh-kembang generasi muda, baik fisik maupun psikologis. Konsultasi tidak dilakukan terhadap orang-orang dewasa, melainkan kepada generasi muda. Event konsultasi ini bertujuan untuk menangkap aspirasi, pendapat, pandangan anak-anak muda usia 8-24 tahun tentang situasi lingkungan yang mereka hadapi.

Para generasi muda menyampaikan aspirasi mereka mengenai hak anak atas lingkungan yang sehat.

Di sini, para generasi muda duduk bersama para ahli yang merupakan penggiat isu hak Anak, akademisi, penggiat lingkungan, dan paralegal dari Inggris, Australia, Malaysia, Jepang, Philippine dan tentunya Indonesia. Upaya konsultasi ini merupakan bagian dari konsultasi dunia untuk mendapatkan informasi dari seluruh region, hingga akhirnya nanti dapat disampaikan dalam Sidang Umum PBB pada tahun 2021 di New York, Amerika Serikat. Upaya ini dilakukan untuk mendorong PBB mengeluarkan rekomendasi yang mengikat negara-negara anggotanya untuk melindungi anak-anak dan memenuhi hak mereka untuk dapat tumbuh kembang dalam kondisi lingkungan yang sehat.

Para anggota Relawan 4 Life RMI, Nafisa dan Niza berperan aktif di dalam forum ini. Nafisa berbagi tentang betapa ia sangat tersentuh dengan keanekaragaman peserta dari berbagai negara, “Rangkaian acaranya seru dan semua orang yang terlibat baik dan ramah, tetapi di sisi lain saya juga merasa sedih ketika lebih mengetahui/berdiskusi mengenai permasalahan yg sedang dialami oleh anak muda terkait kerusakan lingkungan”, ujarnya dengan sungguh-sungguh. Nafisa juga menyampaikan harapannya setelah mengikuti kegiatan ini, bahwa di masa mendatang, anak muda akan lebih paham terhadap isu lingkungan, dan komunitas nasional maupun internasional akan dapat melakukan aksi nyata yang dapat memberikan dampak besar terhadap hak anak atas lingkungan yang sehat.

Sementara itu, seorang pemudi dari masyarakat adat Karen di Thailand menyatakan situasi komunitasnya yang memprihatinkan akibat aktivitas pertambangan yang telah berdampak secara kesehatan kepada anak-anak, misalnya kelainan lahir hingga gagal janin. “Orang dewasa selalu berkata bahwa generasi muda adalah masa depan, tapi mereka tidak membiarkan kita tumbuh dalam lingkungan yang sehat,” ujarnya.

Peserta dari Relawan 4 Life yang tergabung juga dengan jaringan anak muda SMN sedang berdiskusi mengenai lingkungan yang sehat.

Pertemuan konsultasi ini diadakan di Sentul, Bogor pada 22-23 Oktober 2019, di mana satu hari sebelumnya, pada 21 Oktober 2019, semua peserta yang didominasi oleh anak-anak dan remaja berkumpul untuk mendapatkan briefing dan pemantapan untuk mengikuti acara konsultasi tersebut.

Panelis Diskusi Publik: Hak Anak Atas Lingkungan yang Sehat , (dari kiri ke kanan) Nadyati Fajrin-Relawan 4 Life; Nur Hidayati-WALHI; Mardha Tillah- RMI; Lies Rosdianty-Kementrian PPPA; dan Susy Herawati- KLHK.

Pada 24 Oktober 2019, hasil rekomendasi dan temuan di konsultasi tersebut dikemukakan di depan pemerintah Indonesia dalam sebuah diskusi panel bertajuk Mempromosikan Hak Anak Atas Lingkungan Sehat. Acara diskusi ini bertempat dan diselenggarakan bersama Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan dihadiri pula oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang duduk juga di kursi panelis bersama KLHK, WALHI, dan RMI. RMI dan Terre Des Hommes juga menggandeng UNICEF untuk turut berperan aktif sebagai moderator dalam acara diskusi panel tersebut.

Dalam presentasinya, Mardha Tillah selaku Direktur Eksekutif RMI mengangkat isu hak anak dari hal paling sederhana yang menjadi bagian penting dalam kehidupan anak-anak yaitu bermain. Tilla, panggilannya, menyatakan bahwa anak berhak untuk dapat bermain di tempat yang aman dari zat-zat kimia yang membahayakan mereka, juga marabahaya yang mengancam mereka secara jiwa. Dia merujuk pada kasus-kasus kematian anak saat bermain di lokasi dekat bekas lubang tambang yang tidak direhabilitasi dengan baik di Kalimantan, misalnya. Namun lebih dari itu, Tilla menggarisbawahi tentang situasi-situasi masyarakat, termasuk masyarakat adat, yang kehilangan tanah atau kehilangan akses akan tanah karena adanya pembangunan skala besar, “yang jelas membuat anak-anak tidak dapat bermain dengan aman, atau bahkan untuk dapat bermain di wilayah-wilayah yang sebelumnya merupakan wilayah milik komunitas mereka”.

Sari Ramadhanti, salah satu anggota R4L yang hadir dalam diskusi panel tersebut juga mengemukakan pentingnya forum semacam ini, karena ini bisa menjadi media untuk menyuarakan aspirasi mereka sebagai generasi muda dalam memperjuangkan haknya atas lingkungan yang sehat. Dhanti berharap acara ini bisa dilanjutkan di level nasional, karena tidak bisa dipungkiri bahwa lingkungan yang tidak sehat merupakan faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan seorang anak. Dhanti berharap harus ada kebijakan yang tegas dari pemerintah untuk menjaga lingkungan yang sehat, dan bisa melibatkan pihak akademisi dan mahasiswi/a untuk berperan aktif dalam menyelenggarakan acara semacam ini.

Sementara koordinator Relawan 4 Life RMI, Nadyati Farzin yang juga duduk di kursi panelis sebagai perwakilan generasi muda yang mengikuti acara tersebut menutup dengan memberi pesan kepada kita semua “if many little people in many little places, do many little efforts, then we can change the world for our future.” Sebuah pesan sederhana bermakna kuat yang menegaskan bahwa sebuah perubahan besar bisa terwujud dari sebuah langkah kecil.

Penulis: Dinda Tungga Dewi

Editor: Mardha Tillah

Future Leader In The Making: Serunya Menyelami Isu-Isu Lingkungan Dan Sosial Terkini Di Short Course Batch 3

Peserta dan Panitia Short Course : Relawan Lingkungan Untuk Perubahan Sosial Batch 3

Pentingnya generasi muda sebagai calon pemimpin masa depan untuk memahami dan menyelami isu social dan lingkungan, serta bagaimana gerakan kerelawanan dalam mendukung kedua hal tersebut dirasa perlu bagi RMI untuk mencetak calon pemimpin sensitive gender yang bisa menciptakan perubahan yang berkeadilan sosial. Karena itu, sejak 2016 RMI rutin mengadakan kegiatan Short Course atau Kursus Singkat seputar isu social dan lingkungan.

Hingga saat ini, Short Course RMI sudah menelurkan 40 alumni dari dua tahun angkatan. Pada tahun ini, Short Course RMI kembali diadakan pada 27-29 September 2019, di Bogor, dengan tema besar “Gerakan Kerelawanan Lingkungan untuk Perubahan Sosial.” Short course kali ini diikuti oleh mahasiswa dari berbagai universitas, mulai dari Universitas IPB, Universitas Pakuan, Universitas Indonesia, dan tidak menutup juga untuk mereka yang tidak duduk di bangku pendidikan tinggi formal. Selama 3 hari berkegiatan bersama; 20 peserta short course ini mempelajari isu-isu lingkungan sosial dan lingkungan, serta keterhubungan antar berbagai isu dan konteks yang melatarbelakanginya, serta bagaimana peran integral pemudi/a untuk mengatasi berbagai permasalahan yang ada saat ini.

Apa yang Kita Pelajari?

Materi short course ini disusun secara sistematis sehingga memudahkan peserta untuk menemukan benang merah yang mengikat tiap materi yang disampaikan sehingga menjadi satu pemahaman utuh. Pada hari pertama—setelah diawali dengan sesi perkenalan dengan metode Appreciative Inquiry—secara berkelompok, peserta diajak mengidentifikasi “Isu-isu Lingkungan Populer” melalui potongan-potongan gambar dari surat kabar yang telah disediakan lalu mempresentasikan pemikirannya.

Setelah memahami bahwa satu permasalahan lingkungan ternyata tidak benar-benar berdiri sendiri, peserta lalu mendapatkan materi yang tidak kalah menarik yaitu “Pengenalan Konsep Jender.” Materi sesi ini banyak diisi dengan tugas dan diskusi kelompok, misalnya merinci gambaran laki-laki dan perempuan ideal. Dalam rangka menguatkan pemahaman bahwa konsep jender sangat erat kaitannya dengan konstruksi sosial dan perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan di dalam masyarakat, short course hari pertama ditutup dengan memaknai sebuah klip pendek menggugah tentang peran jender di tengah masyarakat, yang dipublikasikan oleh United Nation berjudul Impossible Dream.

Hari kedua short course, peserta diajak menguji bias-bias implisit yang tertanam dalam benak masing-masing. “Apa yang terlintas dalam pikiran kalian ketika mendengar kata: perempuan, laki-laki, gay, lesbi, anak-anak, Orang Papua, pemerintah, LSM, keturunan Cina?” merupakan pertanyaan utama di sesi awal ini. Setelah merinci dan mereview tiap stereotif yang peserta miliki, pemateri rupanya menghubungkannya dengan materi “Kepemimpinan.” Dipaparkan bahwa untuk menjadi seorang pemimpin, diperlukan kualitas diri (nilai, sikap dan keterampilan) calon pemimpin yang sensitif terhadap berbagai bias-biasa yang ada di masyarakat karena itu memengaruhi keputusan yang akan diambil. Secara berturut-turut materi yang kemudian disampaikan membahas “Ekologi Politis”, “Kemiskinan Struktural dan Kebijakan Pembangunan”, dan “Gerakan Kerelawanan untuk Perubahan Sosial.”

Narasumber, Mardha Tillah, sedang menyampaikan materi tentang stereotype dan bias implisit.

Peserta diajak untuk mengurai benang-benang semerawut yang melingkupi kompleksnya pengelolaan sumber daya alam (PSDA) di Indonesia. Masalah PSDA saat ini tidak dapat dipisahkan dari konteks kesejarahannya (masa kolonial) yang kerap menjadi akar timbulnya konflik antara masyarakat dengan negara. Kebijakan PSDA yang diskriminatif terhadap masyarakat marjinal memicu lahirnya sistem yang melanggengkan semangat kolonialisme terhadap warga negara. Di titik ini peserta lalu menyadari bahwa masyarakat miskin, sebagai salah satu masalah yang ditimbulkan dari kompleksnya PSDA di Indonesia, bukan semata-mata hadir karena anggapan bahwa mereka malas atau bodoh; namun karena adanya sistem/tata pemerintahan yang memangkas kesempatan masyarakat marjinal untuk berkembang. Pembangunan manusia (human development) adalah salah satu area pembangunan yang dapat didorong untuk perlahan-lahan mengikis permasalahan tersebut. Dalam hal ini pemuda pun dapat ikut ambil bagian dengan cara menginisiasi atau tergabung dalam kegiatan kerelawanan.

Sedangkan pada hari ketiga kegiatan short course Angkatan 3, dijelaskan materi “Etika Lingkungan.” Di sini pemateri menyebutkan bahwa pada hakikatnya setiap mahkluk hidup, tidak hanya manusia, memiliki hak untuk hidup dan kondisinya perlu dipertimbangkan ketika mengambil suatu keputusan. Berbagai paradigma yang dipresentasikan menyadarkan peserta bahwa selama ini kita menganut paradigma anthropocentrism—manusia adalah pusat kehidupan, logika manusia adalah hal yang paling utama.

Peserta Short Course Batch 3 sedang mengidentifikasi “Isu-isu Lingkungan Populer” melalui potongan-potongan gambar dari surat kabar yang telah disediakan lalu mempresentasikan pemikirannya.

Metode Penyampaian yang Inovatif

Materi-materi yang disampaikan selama short course dapat terserap optimal oleh peserta karena adanya metode penyampaian materi yang sangat inovatif. Diskusi kelompok, permainan, tugas individu, dan sesi team building merupakan beberapa metode yang kerap peserta dapatkan selama 3 hari berkegiatan bersama. Kombinasi metode penyampaian materi antara ceramah/presentasi pemateri dengan aktivitas individu maupun kelompok menjadi salah satu kekuatan sekaligus keunikan short course dibandingkan kegiatan lain yang serupa. Partisipasi aktif peserta juga terfasilitasi melalui sesi tanya jawab maupun presentasi kelompok.

Pemapar dan fasilitator benar-benar memahami cara mengemas materi yang terkesan berat dengan metode penyampaian yang sederhana, salah satunya permainan “Minta dong!” dalam materi “Kemiskinan dan Kebijakan Struktural.” Awalnya peserta mengira bahwa salah satu materi yang akan disampaikan di hari kedua ini akan membahas teori-teori kemiskinan juga hukum/kebijakan yang relevan dengannya. Namun pemateri meminta komitmen seluruh peserta untuk bermain “Minta dong!” dari awal sampai akhir. Jadi tidak ada peserta yang diperbolehkan berhenti di tengah-tengah permainan ini. Setiap peserta masing-masing mendapat 2 biji jagung, 2 biji kacang hijau, 2 biji kopi, dan 2 biji kacang kedelai. Setiap satu biji kopi bernilai 20 poin, jagung 10 poin, kacang kedelai 5 poin, dan kacang hijau 2 poin. Peserta diminta untuk melakukan barter biji-bijian tersebut dengan peserta lainnya dengan menyebutkan kata “Minta dong!”. Setiap berakhirnya ronde barter, poin dari tiap-tiap biji dihitung dan dijumlahkan. Hingga ronde barter kelima atau ronde terakhir, apabila jumlah poin biji-bijian peserta kurang dari 80 maka peserta tersebut mendapat hukuman makan malam dengan nasi putih dan garam saja.

Peserta sedang memainkan permainan ‘Minta Dong!’. Metode ini digunakan untuk menyampaikan materi Kemiskinan Struktural dan Kebijakan Pembangunan.

Permainan ini diluar dugaan peserta karena berhasil mendekatkan konteks kemiskinan kepada peserta. Dalam masyarakat ada orang-orang yang dianggap ‘kalah’ dan kesempatannya untuk berkembang lebih minim dibanding mereka yang memiliki sumber daya kapital lebih banyak. Orang-orang yang dianggap ‘kalah’ tersebut dicap sebagai orang miskin dengan berbagai kriteria/standar nasional maupun internasional yang telah ditetapkan. Tidak pernah diperhatikan kondisi masyarakat yang memang terbiasa hidup subsisten. Menilik kembali kondisi masyarakat banyak diantara mereka yang cukup hidup dengan bercocok tanam dan mampu memenuhi kebutuhannya sehari-hari dengan mengelola SDA. Intervensi pihak luar melalui program dan kebijakan yang ditujukan untuk ‘menolong’ orang-orang ini pun kadang tidak dilandasi dengan kajian dan perencanaan yang tepat. Dalam permainan “Minta dong!” misalnya ditunjukkan bahwa bantuan pemerintah kadang tidak tepat saran karena diberikan kepada orang-orang yang lebih mampu.

Refleksi dari permainana ini antara lain perubahan sistem, cara pandang melihat orang-orang yang dicap miskin, serta penyesuaian kriteria ‘orang miskin’ memang perlu dilakukan. Tapi hal terbut bukan satu-satunya cara. Melihat kerentanan program atau kebijakan yang disusun oleh pemerintah lebih berorientasi pada output, maka kontribusi Civil Society Organization menjadi vital karena mereka memiliki potensi dalam merancang program pemberdayaan masyarakat yang lebih berkelanjutan dan berorientasi pada perubahan perilaku (behavioural change) masyarakat.

Akhirnya, rangkaian kegiatan short course ditutup dengan penyampaian testimoni dari peserta kegiatan. Ini juga merupakan salah satu bagian yang paling mengesankan karena tiap peserta berkesempatan mengutarakan rencana mereka ke depan setelah mengikuti kegiatan short course. Ada peserta yang ingin menjelaskan materi yang didapatkan selama short course kepada teman-temannya, mengembangkan projek organisasi kampusnya berdasarkan materi dan metode pelatihan yang didapat, maupun akan secara mandiri mendalami kembali materi-materi yang telah diperoleh. Melihat antusiasme peserta setelah mengikuti short course, diharapkan kebermanfaatan kegiatan ini dapat meluas dan lebih banyak pemuda yang tergerak untuk melakukan perubahan di lingkungannya dengan cara mereka masing-masing.

Penulis: Supriadi

Editor: Dinda Tungga Dewi

Silakan klik link berikut untuk melihat tanggapan peserta mengenai kegiatan Kursus Singkat ini.

Cerita Emmerald Falah:

Cerita Nafisa Nur Alifah:

Cerita Alfina Khairunisa:

Cerita Nadyati Fajrin:

Tonton video di bawah ini:

Mengadvokasi Kearifan Lokal Masyarakat Adat Sebagai Upaya Membangun Ketahanan Iklim

Pada Kamis, 4 September 2019, RMI berpartisipasi dalam Asia-Pacific Climate Week (APCW) yang diselenggrakan pada 2-6 September 2019 di Bangkok. Melalui presentasi yang berjudul “Indonesia’s Customary Forests: Indigenous People’s Fundamental Role to Build Climate Resilient and a Long Struggle over Cultural Identity”, RMI menyampaikan bahwa traditional ecological knowledge (pengetahuan ekologis tradisional) atau kearifan lokal masyarakat adat sebenarnya menjadi kunci bagi perlindungan lahan, hutan, sungai, serta sumber daya alam lainnya. Masyarakat adat berkontribusi dalam pelestarian hutan dan lahan-lahan yang paling dilindungi serta menahan lepasnya emisi karbon ke atmosfer. Penetapan hutan adat selain menyumbang capaian target NDC (Nationally Determined Contribution) nasional juga berarti memberikan akses bagi masyarakat adat di Indonesia untuk secara legal mengelola hutannya secara berkelanjutan dan mengakui keberadaan masyarakat adat tersebut beserta seluruh identitas kulturalnya yang lekat dengan alam.

Dalam kesempatan ini disampaikan juga bahwa penetapan hutan adat bukanlah satu-satunya tujuan akhir, sebab masyarakat adat harus mampu mengelola hutan adatnya secara berkelanjutan. Berdasarkan hasil riset pra dan paska penetapan hutan adat yang dilakukan oleh RMI atas dukungan FAO, diketahui bahwa kelompok perempuan dan pemuda adat masih minim keterlibatannya dalam pengelolaan hutan adat tersebut. Selain kurangnya kesempatan dan minimnya ruang partisipasi yang diberikan, kapasitas perempuan dan generasi muda adat untuk mengelola hutan adatnya ini pun masih terbatas. Atas dasar itulah RMI memfasilitasi berbagai pelatihan yang partisipatif dan inklusif–melibatkan perempuan dan pemuda–bagi masyarakat adat supaya meningkat kapasitasnya dalam hal manajemen komunitas maupun hutan adatnya. Secara spesifik RMI juga membuka peluang bagi pemuda untuk membangun konektivitas dengan sesama pemuda adat maupun pemuda desa dan kota. Jejaring antarpemuda ini dapat terbentuk salah satunya karena adanya kerja sama RMI dengan OROL (Our River Our Live)–kampanye biodiversitas sungai dan kesehatan lingkungan se-Asia Tenggara.

Selain diskusi panel serta dialog tematik; APCW juga menyelenggarakan kegiatan Knowledge Corner, Action Hub, dan Side Event yang memberikan kesempatan bagi para stakeholder untuk menyampaikan aksi/inisiatif iklim yang dilakukan di negaranya masing-masing. Secara umum keseluruhan kegiatan APCW ini membahas transisi energi, transisi industri, solusi berbasis alam, aksi lokal dan perkotaan, serta resiliensi dan adaptasi sebagai sektor-sektor utama penerapan inovasi berbasis iklim.

APCW dapat menjadi wadah untuk mengembangkan aksi iklim multi-stakeholder yang sesuai dengan semangat Dialog Talanoa pada tahun 2018 lalu. Dialog tersebut menggagas kerja sama dan diskusi yang bersifat partisipatif, inklusif, dan transparan. Oleh karena itu APCW menyediakan ruang bagi para stakeholder (perwakilan pemerintah, sektor privat/swasta, organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan institusi internasional) untuk berkumpul dan bersama-sama merumuskan rekomendasi demi pencapaian target netralitas iklim di tahun 2050.

Acara ini diorganisir oleh UN ESCAP (United Nations Economic and Social Commission for Asia Pacific) bersama organisasi internasional lainnya seperti UNCC (United Nations Climate Change), IGES (Institute for Global Environmental Strategies).

 

Penulis: Supriadi

Editor : Mardha Tillah dan Dinda Tungga Dewi

Pengumuman Seleksi – Peserta Short Course Relawan Lingkungan untuk Perubahan Sosial (Batch 3)

Terima kasih atas antusias para pendaftar Short Course Relawan Lingkungan untuk Perubahan Sosial Batch ke-3. Setelah melalui proses seleksi, telah terpilih 13 anak muda yang memenuhi kualifikasi untuk mengikuti kegiatan ini:

  1. Ahmad Syufri
  2. Indriani Widyawati
  3. Yuli lindiawati
  4. Nurrahmat Saputra
  5. Sindy Indah Oktaviani
  6. Alfina Khairunnisa
  7. Nadia Alam Qosbi
  8. Eli Martika Sari
  9. Nadyati Fazrin
  10. Alfiatus Zulfa
  11. Diah Rosita Dewi
  12. Arif Hermanto
  13. Nafisah Nur Alifah

Selamat untuk peserta yang terpilih!

Terkait teknis pelaksanaan short course ini, perlu disampaikan kembali beberapa hal berikut ini:

  • Peserta terpilih diharapkan membayarkan commitment fee sebesar Rp. 150.000,- selambat-lambatnya hari Rabu, 25 September 2019 pukul 23.59 WIB. Pembayaran dapat dilakukan dengan transfer ke Rekening Bank Syariah Mandiri dengan Nomor 7103375139 atas nama Siti Marfuah. Harap melakukan konfirmasi ke nomor 0818 0711 7488 (WA) setelah melakukan pembayaran. Commitment fee ini akan dikembalikan pada saat penyelenggaraan short course.
  • Beasiswa yang diberikan hanya meliputi transport lokal antara kantor RMI dan lokasi short course serta akomodasi dan berbagai keperluan selama pelaksanaan short course. Transportasi dari domisili masing-masing menuju dan dari kantor RMI tidak ditanggung.
  • Peserta diharapkan tiba di Bogor pada Kamis, 26 September 2019 karena kegiatan akan dimulai pada pagi hari Jumat, 27 September 2019. RMI menyediakan tempat menginap seadanya di kantor RMI bagi yang telah berada di Bogor sejak tanggal 27 September 2019 (harap membawa peralatan tidur seperti sleeping bag dan anti nyamuk).

 

Green Camp: Media Memperkuat Generasi Muda Pengusung Perubahan Sosial dan Lingkungan

Ada yang berbeda dengan suasana di Kampung Ciwaluh, Kecamatan Cigombong, Jawa Barat siang itu, Jumat 19 Juli 2019. Riuh rendah tertawa renyah dari puluhan remaja dari berbagai kota dan desa dari 10 kabupaten/kota secara mengalir mengisi kesyahduan kampung yang terletak di wilayah paling Selatan Kabupaten Bogor, dimana salah satu hulu Sungai Cisadane berada. Sambil berkenalan satu sama lain, mereka membicarakan hal-hal yang mereka lihat selama berjalan kaki menuju lokasi acara. Sawah, ladang, pepohonan, bergantian dengan sungai, setelah sebelumnya juga terlihat pemandangan tambang pasir di beberapa titik, serta wilayah yang sedang dibangun menjadi salah satu wilayah hiburan terbesar di Asia Tenggara.

Memasuki wilayah Kampung Ciwaluh, satu per satu remaja berusia 16-25 tahun itu berjalan di pematang sawah dan memenuhi lapangan rumput yang dihiasi tanaman liar khas hutan. Satu demi satu tiba di lokasi lapangan ini hingga berjumlah 67 orang membentuk formasi melingkar. Mereka antusias mengikuti acara Green Camp yang diadakan oleh Relawan 4 Life dan RMI.

Selama tiga hari, anak-anak muda ini berkumpul, berbagi pengalaman dan belajar dari masyarakat Kampung Ciwaluh dan Cipeucang dan narasumber dari berbagai institusi, termasuk dari Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) dan dari tetua kampung. Mengusung tema “Reduce, Reuse, Refuse”, Green Camp kali ini mengajak peserta untuk memahami situasi agraria dan lingkungan dari wilayah hulu, untuk mulai memahami governansi ruang yang ada di Indonesia, sambil juga belajar pengetahuan dan ketrampilan yang lebih praktis terkait isu sampah yang menjadi momok baik di wilayah perkotaan maupun perdesaan. Mereka juga mengembangkan keterampilan mengolah sampah melalui metode pembuatan ecobrick dan cara mengubah sampah menjadi media tanam.

Selain itu, anak-anak muda ini diajak untuk lebih tajam mengenal dan belajar menganalisa situasi lingkungan dan sosial melalui metode keliling kampung dan berbincang dengan masyarakat setempat guna mendapat informasi melalui metode observasi yang mendalam. Mereka membentuk kepercayaan dirinya untuk berbicara di depan umum untuk mempertanggungjawabkan temuan mereka, serta memperkaya khasanahnya soal kehidupan masyarakat hutan dan menyentuhkan diri dengan isu seputar kehidupan masyarakat hutan yang sehari-sehari bersinggungan dengan ekosistem hutan.

Tema “Reduce, Reuse, Refuse” dipilih, selain karena sampah merupakan isu universal yang dihadapi hampir seluruh wilayah di Indonesia, juga karena adanya kebutuhan masyarakat Kampung Ciwaluh dan Cipeucang yang sedang mengembangkan ekowisata berbasis masyarakat yang dikelola pemuda setempat, dimana pengelolaan sampah menjadi salah satu komponen di dalamnya. Program ekowisata saat ini menjadi salah satu pintu masuk masyarakat Ciwaluh-Cipeucang untuk mendapatkan akses legal dalam skema Kemitraan Konservasi ke wilayah-wilayah wisata dan garapan mereka yang kini berada di bawah kelola TNGGP.

Green Camp ini adalah Green Camp ke-6 yang digelar oleh RMI sejak 2011. Namun, sejak 2015, kegiatan ini telah dikelola oleh platform relawan dan fasilitator lingkungan muda bernama Relawan for Life (R4L) sebagai upaya pemberdayaan generasi muda dalam isu lingkungan dan agraria. Fasilitator kegiatan ini adalah anak-anak muda yang pernah menjadi peserta Green Camp pada tahun-tahun sebelumnya. Upaya regenerasi fasilitator terus dilakukan melalui kegiatan Green Camp ini.

Sejak pelaksanaannya pertama kali, Green Camp diadakan untuk menyediakan ruang bagi generasi muda perkotaan dan perdesaan, termasuk bagi anak muda dari komunitas adat untuk saling belajar, mendulang pengetahuan dari situasi ekosistem dan agraria di wilayah dimana Green Camp diadakan. Terbilang, 5 lokasi telah menjadi tempat dimana Green Camp ini diadakan, yaitu di wilayah hutan produksi di Kabupaten Bogor dan di wilayah kampung yang berada di lanskap yang juga memiliki fungsi konservasi yaitu Taman Nasional Gede Pangrango (di Ciwaluh, Kabupaten Bogor, Jawa Barat), Taman Nasional Halimun Salak (di wilayah adat Kasepuhan Karang, Desa Jagaraksa, Kabupaten Lebak, Banten) serta Taman Nasional Bukit Dua Belas (di wilayah adat Orang Rimba, Kabupaten Merangin, Jambi).

RMI menyadari bahwa generasi muda memiliki kemampuan untuk mengalirkan energinya dalam mengembangkan pengetahuan hingga dapat diubah menjadi aksi nyata untuk mengusung perubahan. Sayangnya, seringkali mereka tidak tersentuh oleh berbagai gerakan dan informasi yang memampukan mereka untuk dapat menjadi bagian dari warga negara, melalui pengetahuan yang mengekspos mereka pada situasi nyata di masyarakat, yang juga terkait dengan pengelolaan lingkungan dan sumber daya alamnya. Ketiadaan medium belajar ini terlihat lebih nyata di wilayah perdesaan. 

Terkait hal tersebut, Green Camp diadakan untuk mengasah kepedulian dan sensitivitas anak-anak muda ini terkait isu lingkungan dan sosial yang menjadi komponen penting dalam kehidupan bernegara. Pertemuan antara anak-anak muda perdesaan dan perkotaan ini juga diadakan untuk membangun solidaritas di antara mereka. Selanjutnya, pengetahuan, ketrampilan dan solidaritas yang terbangun diarahkan untuk menjadikan mereka sebagai generasi yang memiliki kepedulian lingkungan dan sosial.

Green Camp telah menjadi sebuah ruang yang berhasil dibawakan dengan cara yang dekat dengan alam, menyatu dengan situasi nyata yang dihadapi masyarakat, untuk mentransfer ilmu dan melatih ketrampilan. Tanpa meja, kursi, dan tanpa kekakuan orang dewasa yang biasanya sudah mahfum dengan birokrasi rumit dan rutinitas menjemukan. Tercatat lebih dari 400 orang telah mengikuti Green Camp. Beberapa orang yang pernah mengikuti Green Camp pada tahun-tahun sebelumnya menyatakan pembelajaran dalam event ini sangat mengena dan membekas.

Fithar, salah satu peserta Green Camp 2019 dari komunitas Groupertri yang sudah dua kali bergabung mengatakan bahwa ia mendapatkan banyak hal, lebih dari pengetahuan dan keterampilan sejak ikut Green Camp pertama kali di tahun 2017, karena itu ia menantikan Green Camp berikutnya dan merasa senang bisa ikut kembali. “Dari Green Camp saya jadi tahu banyak isu soal sosial dan lingkungan, dan menambah banyak teman baru juga”, ujarnya dengan sorot mata yang bersemangat dan penuh energi.

Fadlu, salah satu peserta Green Camp dari komunitas Teens Go Green yang kini sedang berkuliah di salah satu universitas di Depok menyampaikan antusiasmenya untuk mengikuti kegiatan ini pertama kalinya. Yang awalnya ia terdorong untuk mengetahui lebih dalam tentang hubungan antara kehidupan kota dan kehidupan desa, ternyata di Green Camp ini

Fadlu justru mendapatkan lebih jauh dari yang ia bayangkan. “Di Green Camp ini saya jadi lebih tahu tentang dampak sampah terhadap lingkungan, dan jadi tau mengenai alternative pengolahan sampah yang berkelanjutan. Selain itu, saya ingin sekali mengenal situasi masyarakat di pedesaan Jawa Barat, dan membandingkan dengan situasi saya yang besar di wilayah pedesaan di Pagar Alam, Sumatera Selatan”.
 

Green camp kali ini diikuti oleh komunitas pemuda dari berbagai kalangan pemudi dan pemuda yang selama ini aktif berjejaring dengan RMI, mulai dari Jaringan River Watch Group, Jaringan Suara Muda Nusantara, Teens Go Green, Dispora, pemuda dari Desa Cibarani, Desa Wates Jaya, Kabupaten Lebak, Desa Sindanglaya, Kebupaten Bogor, dan masyarakat umum dari DKI Jakarta, Depok, dan Bekasi.

 

Penulis: Dinda Tungga Dewi

Editor : Mardha Tillah
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

DINAMIKA PEMENUHAN HAK ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN BADUY DAN PREFERENSI DICANTUMKANNYA ‘SUNDA WIWITAN’ DALAM KOLOM AGAMA KTP ELEKTORNIK (KTP-EL)

Klik gambar di atas untuk mengakses versi lengkap dari laporan.