Learning to Manage the Environment from Indigenous Peoples

Indigenous people have their own local wisdom in protecting the environment and managing their natural resources. BRWA (2009) states that forests located in indigenous peoples’ territories are of good quality. Seeing this, the local wisdom should be an example for wider community, especially young people in protecting the environment.

On July 25, 2020, Relawan4Life, a youth movement assisted by RMI, conducted an online discussion called Disaring through Zoom, entitled “Learning to Manage the Environment from Indigenous Peoples “. The purpose of this online discussion was to invite other young people to get to know the local wisdom possessed by indigenous peoples.

This discussion was led by Febrianti Valeria, a student of Political Science at the Christian University of Indonesia (UKI), who is also a member of Relawan4Life. This time, it presented two speakers who were indigenous people, Abah Maman Syahroni from the Kasepuhan Pasir Eurih Indigenous Community, Banten and Pengendum Tampung from the Indigenous People of Orang Rimba, Jambi. The online discussion was attended by 24 people, consisting of 12 men and 12 women and discussed on how indigenous peoples live in harmony with nature.

Kasepuhan Pasir Eurih

Abah Maman said that there are various kinds of local wisdom that are owned by the Kasepuhan Pasir Eurih Indigenous People, and the main local wisdom is the rukun tujuh, because the life of the Kasepuhan Pasir Eurih Indigenous People centered around farming. Rukun Tujuh is a process of traditional rituals of planting local varieties of rice (pare gede) carried out by the Kasepuhan Pasir Eurih Indigenous People, such as asup leuweung (the traditional ritual process of clearing agricultural land collectively); nibakeun (customary ritual process of asking permission and praying to start sowing seeds); ngubaran (traditional ritual process of treating rice plants from pests), mapag pare beukah (the process of traditional rituals asking for good agricultural products); beberes/mipit (traditional ritual process of requesting permission to harvest rice); ngadiukeun (traditional ritual process of bringing rice into the traditional rice barn/leuit); and Serentaun (traditional ceremonies asking for fertility and prosperity for the next harvest).

When planting rice, the Kasepuhan Pasir Eurih Indigenous People do it together, and the rukun tujuh will be the guidance to oversee every agricultural process carried out by the community. This was done so that the community did not overtake each other when planting rice, which resulted in a continuous pest cycle (pests reproduce throughout the year due to continuous availability of food).

Another local wisdom is ronda leuweung (guarding the forest). According to Abah Maman, one of the duties of the ronda leuweung is to ensure that the forest is kept intact and that there is no illegal logging. Abah Maman said the person in charge of the ronda leuweung is usually chosen by the customary head.

Abah Maman emphasized that what the Kasepuhan Pasir Eurih Indigenous People were doing was to maintain food security and strengthening community groups, so that people would preserve the values ​​of the karuhun (ancestors).

Legally, the Kasepuhan Pasir Eurih customary community has been recognized by the local government with the Lebak District Regulation No. 08 of 2015 concerning Recognition, Protection and Empowerment of Kasepuhan Indigenous Communities.

Abah Maman said that the Kasepuhan Pasir Eurih Indigenous People are not a group of indigenous peoples who are completely closed to the outside world. An example is that in Pasir Eurih, formal education is well received by the community. 

Orang Rimba

Pengendum said that the Orang Rimba are a group of indigenous people who live in the forests of Bukit Dua Belas Jambi. The daily life of Orang Rimba is to hunt and gather forest products. Even so, the Indigenous People of Orang Rimba take forest products responsibly, if they want to eat today, they only take the forest products for today, because the Indigenous People of Orang Rimba are worried that if their natural resources are taken excessively, their food will run out.

Pengendum said that the Indigenous People of Orang Rimba have a traditional conservation system which is still upheld today. For example, there are locations that are considered sacred, such as tanaperana’on (a location for childbirth) which is specially protected, so that the trees around the location are not cut down. The location for giving birth to each child will also keep changing.

Apart from the location for giving birth, there is also a location for a funeral. When someone dies, the Indigenous People of Orang Rimba will build a house to store their corpses, and the house is surrounded by trees, where these trees cannot be cut down. This aims to protect the bodies of those who died.

Pengendum also explained that the Orang Rimba Indigenous People are also required to guard two trees for each giving birth to one child. This leaves many trees that are not cut down, and are protected. Because the more children are born, the more trees are maintained.

Apart from the forest, the indigenous people of the Orang Rimba also preserve the river, such as not defecating near the river, or bathing with soap. The Speaker said that apart from damaging the river, the indigenous people of the Orang Rimba believed that the river is a path traversed by gods. If the river is damaged, the gods will be angry.

The speaker also explained that long before the pandemic, the Indigenous People of Orang Rimba were already familiar with physical distancing. The Indigenous People of Orang Rimba call it besesandingon, that is, when someone is sick, that person must isolate himself from family and other communities. This is to prevent transmission of the illness.

So much local wisdom of indigenous people that contributes to the environment. Quoting a comment from one of the participants from Disaring, “indigenous peoples are the answer to our various problems, we should also learn from them”.

Please click the following link, to view Disaring 6.0 – Learning to Manage the Environment from Indigenous Peoples. https://youtu.be/PbbTH5OZ9rM

Author: Siti Marfu’ah

Translated by : Alfina

Belajar Mengelola Lingkungan Dari Masyarakat Adat

Masyarakat adat memiliki kearifan lokal tersendiri dalam menjaga lingkungan dan mengelola sumber daya alamnya. BRWA (2009) menyatakan bahwa hutan yang berada di wilayah masyarakat adat memiliki kualitas yang baik. Melihat hal tersebut, kearifan lokal ini patut dicontoh oleh masyarakat luas, khususnya anak muda dalam menjaga kelestarian lingkungan.

Pada 25 Juli 2020, Relawan for Life, gerakan anak muda dampingan RMI, melakukan diskusi daring (Disaring) melalui aplikasi zoom, yang berjudul “Belajar Mengelola Lingkungan dari Masyarakat Adat”. Disaring kali ini bertujuan untuk mengajak anak muda lain agar lebih mengenal kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat adat.

Kegiatan ini dimoderatori oleh Febrianti Valeria, mahasiswa Ilmu Politik Universitas Kristen Indonesia, yang juga merupakan tim penggerak Relawan for Life. Disaring kali ini menghadirkan  dua orang narasumber yang merupakan masyarakat adat, yaitu Abah Maman Syahroni dari masyarakat adat Kasepuhan Pasir Eurih, Banten dan Pengendum Tampung dari masyarakat adat Orang Rimba, Jambi.  Kegiatan yang diikuti oleh 24 orang, terdiri dari 12 orang laki-laki dan 12 orang perempuan ini membahas tentang bagaimana masyarakat adat hidup harmonis dengan alam?

 

Kasepuhan Pasir Eurih

Abah Maman mengatakan bahwa ada berbagai macam kearifan lokal yang dimiliki masyarakat adat Kasepuhan Pasir Eurih, dan yang utama adalah rukun tujuh (7 rukun tani), karena kehidupan sehari-hari masyarakat adat Kasepuhan Pasir Eurih adalah bertani . Rukun tujuh adalah proses ritual adat penanaman padi varietas lokal (pare gede) yang dilakukan oleh masyarakat adat Kasepuhan Pasir Eurih, seperti asup leuweung (proses ritual adat membuka lahan pertanian secara bersama-sama); nibakeun (proses ritual adat meminta izin dan berdo’a untuk memulai menebar benih); ngubaran (proses ritual adat mengobati tanaman padi dari hama), mapag pare beukah (proses ritual adat memohon agar hasil pertanian bagus); beberes/,mipit (proses ritual adat meminta izin untuk memanen padi); ngadiukeun (proses ritual adat memasukan padi ke dalam lumbung padi/leuit); dan Serentaun (upacara adat meminta agar kesuburan dan kemakmuran untuk panen berikutnya).

Ketika menanam padi, masyarakat adat Kasepuhan Pasir Eurih melakukannya secara bersama-sama, dan rukun tujuh yang akan mengawal dari setiap proses pertanian yang dilakukan masyarakat. Hal tersebut dilakukan bertujuan agar masyarakat tidak saling mendahului ketika menanam padi,yang mengakibatkan tidak terputusnya siklus hama (hama berkembang biak sepanjang tahun karena ketersediaan makan secara terus menerus).

Kearifan lokal lainnya adalah ronda leuweung (jaga hutan). Menurut Abah Maman, salah satu tugas ronda leuweung adalah memastikan kondisi hutan agar tetap utuh, dan tidak ada penebangan liar. Abah Maman mengatakan orang yang bertugas untuk ronda leuweung biasanya dipilih oleh kepala adat.

Abah Maman menekankan, bahwa apa yang dilakukan oleh masyarakat adat Kasepuhan Pasir Eurih tidak terlepas dari ketahanan pangan dan penguatan kelompok masyarakat, agar masyarakat tetap menjaga nilai-nilai dari karuhun (leluhur).

Secara hukum masyarakat adat Kasepuhan Pasir Eurih sudah diakui oleh pemerintah daerah dengan adanya Peraturan Daerah Kabupaten Lebak No. 08 tahun 2015 tentang Pengakuan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Masyarakat Adat kasepuhan.

Abah Maman menceritakan bahwa masyarakat adat Kasepuhan Pasir Eurih bukan kelompok masyarakat adat yang tertutup sama sekali terhadap dunia luar. Contohnya adalah bahwa di Pasir Eurih, pendidikan formal diterima dengan baik oleh masyarakat. 

 Orang Rimba

Pengendum menceritakan bahwa masyarakat adat Orang Rimba adalah kelompok masyarakat adat yang tinggal di hutan Bukit Dua Belas Jambi. Kehidupan masyarakat adat Orang Rimba sehari-hari adalah berburu dan meramu hasil hutan. Meskipun begitu, masyarakat adat Orang Rimba mengambil hasil hutan secukupnya, jika untuk makan hari ini, maka orang rimba hanya mengambil hasil hutan untuk hari ini saja, karena masyarakat adat Orang Rimba khawatir jika sumber daya alam mereka diambil berlebihan makan akan habis.

Pengendum mengatakan bahwa masyarakat adat Orang Rimba memiliki sistem konservasi tradisional yang saat ini masih dipegang teguh. Seperti adanya lokasi-lokasi yang dianggap sakral, misalnya tanaperana’on (lokasi untuk melahirkan) yang dilindungi secara khusus, agar pohon-pohon yang di sekitar lokasi tidak ditebang, dan lokasi untuk melahirkan setiap anak akan berubah-ubah.

Selain lokasi untuk melahirkan, ada juga lokasi untuk pemakaman. Ketika ada yang meninggal, masyarakat adat Orang Rimba akan membangun satu rumah untuk menyimpan mayatnya, dan rumah tersebut dikelilingi pohon, di mana pohon-pohon tersebut tidak boleh ditebang. Hal ini bertujuan untuk, agar mayat orang yang meninggal terlindungi.

Pengendum juga menjelaskan bahwa masyarakat adat Orang Rimba juga diwajibkan untuk menjaga dua pohon, setiap melahirkan satu orang anak. Hal ini membuat banyak pohon yang tidak ditebang, dan dilindungi. Karena semakin banyak anak yang dilahirkan, maka semakin banyak pohon yang terjaga.

Selain hutan, masyarakat adat Orang Rimba juga menjaga sungai, seperti tidak boleh buang air dekat sungai, atau mandi dengan sabun. Narasumber mengatakan,  selain hal tersebut bisa merusak sungai, masyarakat adat Orang Rimba percaya bahwa sungai merupakan jalan yang dilalui oleh dewa. Jika sungai rusak, maka dewa akan marah.

Narasumber juga menjelaskan, bahwa jauh sebelum adanya pandemi, masyarakat adat Orang Rimba sudah mengenal physical distancing. Masyarakat adat Orang Rimba menyebutnya besesandingon, yaitu ketika ada yang orang sakit, maka orang tersebut harus mengisolasi diri dari keluarga dan masyarakat lainnya. Hal ini untuk mencegah tertularnya penyakit yang diderita.

Begitu banyak kearifan lokal masyarakat adat yang berkontribusi pada lingkungan. Mengutip komentar dari salah satu peserta Disaring, “masyarakat adat adalah jawaban dari berbagai permasalahan kita, kita harusnya juga belajar dari mereka”.

Silakan klik link berikut, untuk melihat Disaring 6.0 – Belajar Mengelola Lingkungan dari Masyarakat Adat.