Kampung Katong dan Semangat Dekolonisasi Tiga Komunitas Di Nusa Tenggara Timur

Seiring dengan menguatnya tantangan sosial dan lingkungan yang muncul beberapa dekade terakhir di Indonesia, makin menguat pula pertumbuhan gerakan sosial berbasis masyarakat yang hadir untuk merespons tantangan-tantangan tersebut. Dengan mengedepankan semangat dekolonisasi, baik disadari maupun tidak, gerakan-gerakan ini utamanya hadir dengan tujuan mereposisi pengetahuan lokal sebagai pusat dari identitas generasi muda dan komunitasnya—sebagai reaksi atas konteks dan permasalahan yang dihadapi di wilayahnya masing-masing.

Gerakan sosial itu sendiri umumnya aktif bergerak dalam skala kecil (level komunitas) yang diantaranya bertujuan untuk mereproduksi pengetahuan kritis dan kontekstual, berbasis sukarela dan dipimpin oleh anak muda setempat, serta memanfaatkan media kreatif untuk menarik partisipasi lebih luas dari anggota masyarakat di sekitarnya. Namun agenda untuk memperluas dampak gerakan sosial tersebut, dalam praktiknya, seringkali terbentur oleh keterbatasan sumber daya dan kemampuan manajerial yang mereka miliki.

Inisiatif Kampung Katong

Penguatan gerakan secara sosial-organisasional oleh karenanya menjadi penting mengingat tren global yang memobilisasi sumber daya langsung ke dalam komunitas berpotensi mengancam keguyuban di dalam komunitas itu sendiri. Merefleksikan hal tersebut di atas, di samping pengalaman melakukan kerja kolaborasi bersama komunitas adat dalam inisiatif Being and Becoming Indigenous di tahun 2020-2021 lalu; RMI bersama dengan Lakoat Kujawas, SimpaSio Institute, dan Kolektif Videoge bekerja sama dalam satu konsorsium untuk mengimplementasikan inisiatif Kampung Katong.

Nama Kampung Katong,  secara harfiah berarti Kampung Kami, berasal dari dialek Nusa Tenggara Timur yaitu “kami pung manekat, papada, kampong tangayang berarti semangat kerja bersama untuk membangun kampung. Dengan dekolonisasi sebagai semangat utama, inisiatif ini berupaya mendukung gagasan berbasis komunitas yang berfokus pada orang muda guna memperkuat identitas dan mengelola potensi lokal mereka secara kolektif. Kampung Katong dalam pelaksanaannya juga berusaha memperkokoh kapasitas kepemimpinan orang muda yang akan berimplikasi positif pada kegiatan-kegiatan lokal yang bersifat komunal, dengan mengedepankan partisipasi bermakna dari para pemegang hak (rightsholder) yaitu Masyarakat Adat Mollo; Suku Bugis, Bima, dan Bajo; serta etnis Melayu-Larantuka sehingga mereka dapat mendapatkan dukungan dari berbagai pihak.

RMI berkolaborasi dengan tiga komunitas lokal di Nusa Tenggara Timur yaitu Kolektif Videoge di Labuan Bajo, Lakoat.Kujawas di Mollo, dan Simpasio Institute di Larantuka; inisiatif ini diproyeksikan sebagai studi kasus bagaimana revitalisasi tradisi, perlindungan ekologi, serta pengelolaan sumber daya yang menopang penghidupan berkelanjutan sejatinya dapat berjalan beriringan.  Selain itu hadirnya ruang belajar bersama dan solidaritas antarkomunitas difasilitasi melalui rangkaian kegiatan seperti residensi lintas pembelajaran serta pengarsipan dan pendokumentasian tradisi lokal.

Kick-off Meeting untuk saling mengenal dan meningkatkan kapasitas kolaborator

Pada 19-24 November 2021, inisiatif Kampung Katong mengadakan pertemuan pertama kalinya secara luring di Bogor, Jawa Barat. Ini adalah kegiatan paling pertama yang menandakan dimulainya inisiatif Kampung Katong, sekaligus peluang untuk mensosialisasikan informasi dan menetapkan kesepakatan bersama yang berlaku selama berlangsungnya inisiatif. Pertemuan awal ini juga menjadi sarana untuk mendiskusikan strategi-strategi yang berkontribusi terhadap pencapaian tujuan inisiatif seperti mendorong partisipasi bermakna perempuan dan anak muda dalam inisiatif lokal dan memetakan potensi lokal.

Perwakilan Kolektif Videoge sedang mepresentasikan hasil analisis SWOT komunitas mereka.

Dengan dua perwakilan dari masing-masing komunitas, pertemuan ini dimulai dengan pekenalan dan saling berbagi pengalaman kerja-kerja di komunitas Kolektif Videoge aktif melakukan kegiatan komunitas di Labuan Bajo dengan telusur (riset) yang dilakukan oleh komunitas, kemudian dilanjutkan dengan rekam (proses produksi) melalui pencatatan dan penciptaan karya, kemudian penyaluran karya. Empat program utamanya adalah Sapa Tetangga Hari Ini, kegiatan berkala untuk mencermati apa yang terjadi di lingkungan sekitar; Buka Layar, penyaluran karya yang dibuat oleh pemuda untuk membaca respon masyarakat dengan film; Pesiar: Satu Hari Untuk Pulau yaitu kegiatan pelesir untuk merespon pemahaman masyarakat sekitar terkait dengan pengetahuan lokal; dan yang terakhir adalah Maigezine wadah untuk menyalurkan karya-karya yang dibuat oleh komunitas.

Kemudian Simpasio Institute yang merupakan lembaga arsip yang embrionya sudah ada sejak tahun 1986 dan telah menjadi lembaga untuk umum pada tahun 2016. Lembaga ini memiliki tujuan untuk mengarsipkan pengetahuan lokal Melayu-Larantuka di wilayah Flores Timur. Beberapa kegiatan Simpasio diantaranya program perpustakaan (taman baca) berupa lapak baca dengan mekanisme plesiran dari kampung ke kampung; dongeng lokal menggunakan dua bahasa; pesta anak untuk merayakan hari anak nasional, untuk memperkenalkan permainan-permainan tradisional; lingkar belajar, mengenai sejarah Larantuka; Muko Sorghum Kitchen, yang menjadi sumber pemasukan bagi komunitas; dan jejak musik di Larantuka sebagai upaya kaum muda untuk mempelajari genre musik Keroncong Melayu Larantuka.

Perwakilan Simpasio Institute sedang mepresentasikan hasil analisis SWOT komunitas mereka.

Sedangkan untuk Lakoat.Kujawas, dijelaskan bahwa nama komunitasnya merupakan nama yang identik dengan anak-anak, karena kebanyakan anak-anak yang sering memanjat pohon Lakoat dan Kujawas. Program utama Lakoat.Kujawas diantaranya adalah Skol Tamolok yaitu sekolah budaya yang dilakukan secara online dan juga offline untuk membahas keterkaitan Masyarakat Adat  dengan alam; Mnahat Fe’u atau kelas menulis kreatif yang dibuat untuk membimbing anak tingkat SMP/sederajat dan SMA/sederajat untuk menggali dongen-dongen yang biasa diceritakan, kemudian cerita tersebut dibukukan; serta kelas menenun yang dibuat untuk anak muda yang memiliki ketertarikan belajar menenun kepada orang tua Mollo secara langsung.

Perwakilan Lakoat.Kujawas sedang mepresentasikan hasil analisis SWOT komunitas mereka.

Enam hari pelaksanaan kegiatan kick off meeting ini pada dasarnya diarahkan sebagai satu proses dua arah. Tidak hanya berupaya mengenalkan organisasi anggota konsorsium dengan inisiatif Kampung Katong beserta persoalan teknis-administrasinya, Kick off meeting ini juga menjadi media RMI dan tiga anggota konsorsium lainnya untuk saling memetakan kondisi saat ini dan asesmen kebutuhan peningkatan kapasitas ke depan. Berkaca dari proses diskusi dan asesmen awal ketika merancang inisiatif Kampung Katong, perencanaan strategis program dan manajemen keuangan merupakan dua hal yang menurut anggota konsorsium paling mereka butuhkan. Oleh karena itu, masing-masing dua sesi perencanaan strategis program dan manajemen keuangan yang menyeimbangkan antara pengetahuan konseptual dan praktik juga dilaksanakan pada saat kick off meeting berlangsung. Bersama dengan diskusi terkait kampanye sosial media, sesi-sesi yang diberikan diharapkan dapat meningkatkan keterampilan komunitas selain juga tentunya berkontribusi pada peningkatan efektivitas dan transparansi pelaksanaan inisiatif Kampung Katong.

Inisiatif Kampung Katong merupakan serangkaian program jangka panjang yang diimplementasikan sejak November 2021 hingga Desember 2023 dengan dukungan dari Voice Global. Fokus mendorong pengembangan inisiatif lokal dan praktik-praktik baik dekolonisasi di akar rumput; serangkaian kegiatan seperti reproduksi pengetahuan lokal, pengarsipan dan pendokumentasian, residensi saling-belajar, serta pelatihan kepemimpinan akan diorganisasi oleh RMI bersama Lakoat Kujawas, SimpaSio, dan Videoge dengan menyasar anak muda dan perempuan di komunitasnya masing-masing.

Penulis: Siti Marfu’ah

Editor: Supriadi

Kesejahteraan Lahir Batin: Sistem Pangan dan Dampaknya Bagi Kita

Pangan liar Masyarakat Adat Kasepuhan

Pangan merupakan segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan dan minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan dan minuman (UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan).

Kehidupan manusia tak akan pernah bisa lepas dari pangan, yang merupakan kebutuhan dasar manusia yang bersifat primer. Berdasarkan wawancara dengan Said Abdullah (Ayip), Koordinator Nasional KRKP (Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan), perkembangan sistem pangan dipengaruhi dan dibentuk dari perkembangan sistem kapitalisme dunia, dan hal ini bersifat resiprokal. Hal tersebut lah yang kemudian memunculkan adanya penguasaan pangan dunia yang dikategorikan dalam tiga periode. Periode awal atau disebut dengan periode kolonialisme terjadi sebelum tahun 1930. Pada periode ini, dengan membawa politik Gold, Glory, Gospel, negara-negara Eropa menjelajah dunia untuk mencari bahan pangan ke bumi bagian selatan. Bahan pangan yang didapat dikuasai dan dikelola penuh oleh negara, bertujuan untuk menghidupkan industri pengelolaan pangan yang mereka miliki. Cara ini dilakukan dengan memperluas industri produksi pangan di negara koloninya, dengan menjadikannya sebagai lumbung pangan. Peristiwa ini kemudian berkembang menjadi industrialisasi pertanian dan bertahan hingga sebelum perang dunia kedua meletus.

Setelah perang dunia pecah, dimulailah periode kedua dengan penguasaan pangan berpindah dari Eropa ke Amerika. Dalam periode ini, Amerika memiliki peran besar untuk membentuk industrialisasi pangan dunia dengan memanfaatkan negara-negara bekas jajahan bangsa Eropa. Salah satu yang dihasilkan dalam periode ini adalah dimulainya penyeragaman jenis pangan dengan membawa jargon “Ketahanan Pangan”. Negara bersama dengan perusahaan mulai menyeragamkan benih, cara pengolahan, dan alat yang digunakan untuk mengolah pangan. Industrialisasi pangan dunia ini kemudian berdampak pada petani yang tidak bisa mandiri untuk mengembangkan varietas yang dimilikinya dengan alasan produknya tidak akan laku di pasaran karena berbeda dengan varietas yang umum dipasarkan. Di konteks Indonesia, beras dijadikan komoditi utama sebagai bahan pangan pokok, mengantikan beberapa bahan pangan seperti jagung, sorgum, sagu, dan beberapa lainnya. Penyeragaman ini, perlahan tapi pasti, berpotensi menimbulkan degradasi sumber daya genetik dalam konteks benih. Dari yang awalnya terdapat berbagai macam benih untuk satu jenis bahan pangan, pada akhirnya hanya akan menyisakan beberapa macam benih saja.

Dari periode kedua ini, industrialisasi pangan semakin berkembang dan mendorong berbagai korporasi untuk secara penuh memonopoli sistem pangan. Era ini dikategorikan sebagai periode ketiga yang berlangsung mulai dari tahun 1980 hingga sekarang. Berbagai macam produk pangan, mulai dari benih, peralatan, hingga produk olahan, yang dikelola oleh korporasi atau perusahaan sudah merambah ke berbagai belahan dunia. Fenomena ini semakin menjadikan masyarakat “menikmati” keseragaman pangan yang dilakukan oleh perusahaan. Contoh nyata yang bisa dilihat adalah maraknya produk olahan gandum, mulai dari produk roti, biskuit, maupun olahan-olahan di restoran cepat saji, yang sudah merambah berbagai lapisan masyarakat di Indonesia. Fenomena ini perlahan bisa menjadi ancaman bagi ketahanan dan kedaulatan pangan lokal Indonesia. Beberapa varietas benih pangan lokal pun terancam punah karena tidak lagi ditanam akibat penyeragaman ini. Belum lagi serbuan produk pangan impor lainnya, dan beberapa produk dengan rekayasa genetika yang dinilai lebih menarik dan lebih unggul daripada produk pangan lokal. Padahal, jika dilihat lebih dalam, produk pangan lokal Indonesia jauh sangat beragam macamnya dan bisa saling menggantikan apabila pangan yang biasa kita olah/makan sedang terbatas ketersediaannya. Selain berdampak pada benih, penyeragaman ini juga berpotensi menghilangkan pengetahuan dan teknologi terkait jenis dan sistem pangan lokal. Hal ini diakibatkan karena monopoli perusahaan dalam menentukan produk pangan yang dikonsumsi masyarakat.

 

Pangan liar Masyarakat Adat Kasepuhan

Berangkat dari fenomena-fenomena di atas, istilah kedaulatan pangan muncul untuk mendorong sistem pangan agar bisa mandiri, dengan memanfaatkan keanekaragaman hayati yang dimiliki masing-masing daerah agar tidak bergantung pada monopoli sistem pangan yang dilakukan korporasi. Kedaulatan pangan berfokus pada hak dan menjadikan petani sebagai subjek yang memiliki kuasa untuk menentukan produk pangan apa yang akan ia kembangkan. Tujuan dari kedaulatan pangan bukan untuk meningkatkan produksi pangan, akan tetapi untuk meningkatkan kualitas dan derajat hidup masyarakat, terutama petani dan masyarakat pedesaan. Dalam konteks Indonesia sendiri, menurut Ayip, kedaulatan pangan belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Indonesia masih menganut paradigma ketahanan pangan. Produsen pangan masih mengikuti pasar untuk menentukan apa yang akan mereka produksi dan masih mengejar tingkat produksi pangan. Untuk menyukseskan kedaulatan pangan di Indonesia, dibutuhkan sinergi dari banyak pihak dan harus dikerjakan secara paralel. Dari sisi pemerintah, karena kedaulatan pangan sudah tercantum di Undang-undang, kebijakan dan program terkait pangan yang dikeluarkan harus sesuai dengan filsofi dasar dari kedaulatan pangan. Pendekatan lain yang dapat dilakukan adalah mendorong anak-anak muda, rural maupun urban, untuk turut mengawal kebijakan terkait kedaulatan pangan ini. Selain itu, dapat pula dengan membangun model dalam skala kecil, yaitu edukasi dan penguatan literasi terkait pangan di tingkat masyarakat konsumen, baik di desa maupun di kota. Upaya kedaulatan pangan ini dapat pula dimasukkan dalam program pembangunan desa untuk penguatan program pangan desa. Pun tingkat keluarga dapat berpartisipasi untuk menyukseskan kedaulatan pangan negara dengan mulai berani untuk menentukan apa yang akan mereka konsumsi dan tidak terbawa arus penyeragaman pangan.

Pembahasan mengenai sistem pangan ini merupakan bagian dari serial podcast Kesejahteraan Lahir Batin – Sistem Pangan Hari Ini dan Dampaknya Bagi Kita. Melihat pembangunan saat ini yang  hanya fokus pada ekonomi, dengan lebih memilih impor dan menciptakan pasar bebas yang tanpa disadari merugikan produsen pangan, seperti petani, nelayan, dan lainnya. Urusan pangan bukan hanya urusan dari mulut hingga perut. Akan tetapi, urusan pangan terkait pula dengan kehidupan anak-cucu untuk kesejahteraan lahir batin bangsa dan negara di masa depan.

Dengarkan informasi lengkapnya di sini.

Penulis: Ajeng Lestari Midi

Editor: Siti Marfu’ah

Ngobrol Bareng #AnakMudauntukTanah Air: Menoleh Inisiatif dan Aspirasi Anak Muda Indonesia

Sejak dahulu, dan sampai sekarang — Anak Muda terbukti secara nyata telah menunjukkan kontribusinya dengan mempelopori berbagai gerakan perubahan. 

 

Sejak dahulu, Anak Muda terbukti telah secara nyata menunjukkan kontribusinya dengan mempelopori berbagai gerakan perubahan. Banyak momen-momen bersejarah yang dibangun oleh semangat anak muda seperti Sumpah Pemuda, Reformasi, bahkan banyak momentum di masa depan yang akan sangat bergantung pada keberadaan anak muda saat ini, seperti Pilpres 2024 dan Visi Indonesia 2045, tepat pada 100 tahun Kemerdekaan Indonesia. 

Atas dasar tersebut RMI dan Econusa menyadari bahwa perlu adanya titik temu bagi komunitas dan organisasi untuk membahas persoalan Anak Muda, menyediakan platform bagi mereka untuk menyampaikan aspirasi dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, dan lebih jauh lagi yaitu menghubungkan Anak Muda dengan ruang hidup dan tanah airnya. Pada 3 Agustus 2021, RMI dan Econusa menginisiasi Diskusi Konsolidasi Anak Muda untuk Tanah Air, yang dihadiri 59 peserta dari 22 komunitas anak muda dan 15 lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang memiliki fokus pada isu lingkungan, agraria, anak muda, pemberdayaan ekonomi dan kewirausahaan sosial serta aktif berkegiatan di wilayah Indonesia Barat, Indonesia Tengah, Indonesia Timur maupun level nasional.

Kegiatan ini dibuka dengan perkenalan antarkomunitas dan LSM, yang difasilitasi oleh Wahyu (RMI). Para peserta diminta mengakses link Menti.com untuk selanjutnya mereka dipersilakan menuliskan nama organisasi dan nama makhluk hidup yang menyimbolkan organisasinya masing-masing.

Selanjutnya  pada sesi Diskusi #AnakMudauntukTanahAir terdapat dua pertanyaan kunci untuk dibahas lebih lanjut dalam dua kelompok besar (Komunitas Anak Muda dan LSM) yaitu: (1) Apa aksi anak muda yang sedang dilakukan dan (2) Apa refleksi (tantangan, aspirasi, pengalaman, dll) untuk gerakan anak muda sekarang dan masa mendatang.

Aksi dan Inisiatif yang sudah dan tengah dilakukan

 

Dari pertanyaan kunci pertama yaitu “Apa aksi anak muda yang sedang dilakukan?”, kelompok LSM menyampaikan bahwa pendampingan Anak Muda telah dilakukan di seluruh Indonesia dengan berbagai kegiatan dan isu, seperti peningkatan kapasitas individu dan kelompok anak muda melalui pendidikan hukum rakyat untuk penguatan kampung, membangun kesadaran Anak Muda di kampus terkait isu-isu agraria dan pangan di pedesaan, juga menstimulasi pertukaran informasi pedesaan-perkotaan (rural-urban). Ada pula kegiatan berupa konsolidasi Anak Muda khususnya Serikat Tani. 

 

Di kelompok Komunitas Anak Muda yang diikuti oleh 34 orang terlihat bahwa kegiatan anak muda yang ada di rural maupun urban juga tidak kalah beragam. Mulai dari kampanye di ranah pendidikan, krisis iklim dan lingkungan hidup, sampah plastik di wilayah pesisir, kegiatan bertani dan berkebun kelompok Anak Muda, sampai membahas persoalan regenerasi anak muda di pedesaan. Aksi dan inisiatif yang dilakukan menekankan kreativitas, gaya kekinian, kolaboratif, mengikuti trend, dan optimalisasi penggunaan teknologi dan media sosial sangat mencirikan inisiatif khas ala anak muda jaman now. Kegiatan Anak Muda tersebut dilakukan dengan berbagai pendekatan berbeda-beda, mulai dari kegiatan berbasis riset, kampanye daring, gerakan turun ke jalan, pendidikan di luar kelas, hingga menginisiasi lokakarya. 

 

Terlihat pula andil besar anak muda dalam penguatan kampung melalui berbagai fokus kegiatan yang dipilih, diantaranya: peningkatan kapasitas individu maupun kelompok, literasi dan pendidikan, pengarsipan kearifan lokal dan kekayaan pangan komunitas. Sementara pada kegiatan berorientasi advokasi, utamanya terkait dengan isu perubahan iklim, sampah, dan hak hak masyarakat adat juga lokal. Meski belum sebanyak kegiatan lain, ada pula program Anak Muda yang menyasar pada perubahan kebijakan seperti menggalang dukungan atau petisi dan long march.

 

Refleksi Gerakan Anak Muda Indonesia di Masa Kini dan Masa Mendatang

 

Dalam diskusi terfokus bersama kawan-kawan LSM, teridentifikasi bahwa tantangan gerakan anak muda adalah: (1) Adanya perbedaan/disparitas sosial dan geografis maupun teknologi antara anak muda di kampung dan urban; (2) Sulitnya menarik minat dan mengemas suatu isu untuk Anak Muda; (3) Anak muda dalam berkegiatan juga harus fokus pada pemenuhan kehidupan (livelihood) mereka, ada juga yang harus sekolah di luar kampung sehingga mereka tidak dapat sepenuhnya fokus berkegiatan untuk membangun kampungnya dan menyebabkan kekosongan kampung; (4) Dengan adanya sumber daya di masing-masing organisasi/ komunitas, dirasa sulit untuk membuka ruang kolaborasi. Adapun menjawab tantangan-tantangan tersebut, beberapa hal yang sudah dan sedang direncanakan adalah internalisasi nilai-nilai perjuangan kaum muda: menginternalisasi semangat perjuangan Anak Muda ke dalam kehidupan sehari-hari, merancang kegiatan pemberdayaan generasi muda di kampung untuk menyediakan sumber penghasilan bagi mereka sekaligus menahan laju urbanisasi, dan mencari format kelompok belajar dengan latar belakang dan tingkat pengetahuan yang berbeda-beda, 

 

Sementara itu, di kelompok Komunitas Anak Muda, setidaknya ada lima tantangan yang berhasil ditangkap dari fasilitasi diskusi di kelompok komunitas anak muda terkait refleksi (tantangan, aspirasi, pengalaman dll) mereka untuk gerakan anak muda. (1) Tantangan atas akses, dana dan materi; (2) Peralatan dan pengetahuan terbatas; (3) Mengarusutamakan isu-isu yang berat dan sulit dipahami harus diinternalisasikan dalam kehidupan sehari-hari; (4) Meningkatkan kerelawanan anak muda, karena tak sedikit anak muda yang  mengharapkan imbalan, seperti uang, saat melakukan kegiatan; (5) Tidak dianggap dan ditindaklanjutinya aspirasi anak muda oleh korporasi atau pemerintah; dan (6) Kurangnya kesadaran masyarakat atas isu-isu yang ada di sekitarnya. 

 

Di satu sisi kurangnya ruang anak muda untuk berpartisipasi di masyarakat menjadi tantangan sekaligus peluang bagi mereka untuk menciptakan ruang ekspresinya masing-masing dengan membentuk komunitas anak muda–tidak hanya sebagai ruang kreasi dan pengembangan diri, namun ruang bagi anak muda berkontribusi bagi lingkungannya.  

 

Kolaborasi dan Tindak Lanjut

 

Sesi berikutnya dilanjutkan dengan pemaparan kerangka inisiatif #AnakMudauntukTanahAir yang menegaskan bahwasanya RMI dan EcoNusa hanya berperan sebagai inisiator awal, sehingga desain dan konsep inisiatif ini kedepannya bisa diolah secara bersama-sama.  

 

Setelah menyampaikan alur inisiatif yang dibayangkan mulai dari Konsultasi Anak Muda, pelaksanaan kegiatan Youth Summit dan kegiatan-kegiatan pasca-Youth Summit sampai ke putaran berikutnya dan terus berulang menuju Indonesia Emas (2045). RMI dan EcoNusa kembali mengajak semua peserta untuk berkolaborasi dan bersama-sama membayangkan kerangka #AnakMudauntukTanahAir sebagai inisiatif yang berkesinambungan.

 

Diskusi pun berlanjut dengan tanggapan dan ide-ide menarik yang dilontarkan para peserta: 

“Jika momennya adalah sumpah pemuda, menurutku perlu mendefinisikan ulang ‘bagaimana menjadi Anak Muda Indonesia dalam perspektif mereka sendiri akan ruang hidup’. Ini dijadikan satu definisi/piagam/plakat. Setelah itu hasil-hasilnya ada pertemuan tidak hanya dengan pemerintah dan media, namun juga industri—karena bagaimanapun yang membuat kotor dan implementor adalah industri.” (Sulis/WWF Indonesia)

 

Salah satu peserta dari kelompok Anak Muda juga turut menyampaikan pendapatnya terkait potensi keberlanjutan dari inisiatif ini:

“Anak muda saat ini, dengan berbagai privilege yang dimilikinya, harusnya bisa mengoptimalkan hal tersebut. Trend pergerakan Anak muda saat ini bermacam-macam… ada juga yang sporadis dan spontan, namun dengan idealisme yang dimiliki Anak muda silahkan berikan kebebasan kepada kami untuk berekspresi (setidaknya aspirasi kami ditampung saja dulu). Jangan pernah ragukan Anak muda, namun kami juga masih memerlukan dukungan dari NGO dan tetapkan ‘koridor-koridor’ apa saja yang tidak boleh dilewati oleh kami sebagai Anak Muda.” Novita/XR (Extinction Rebellion Indonesia)

 

Setelah menyampaikan kemungkinan tindak lanjut, tim inisiator membagikan formulir online berisi pertanyaan-pertanyaan masukan bagi kerangka dan konsep kegiatan inisiatif #AnakMudauntukTanahAir serta potensi kolaborasi dan rencana pertemuan berikutnya. Acara ditutup dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya.  

 

15 LSM yang hadir dalam diskusi kali ini adalah LSM dengan fokus kerja di area terestrial, pesisir, maupun keduanya yaitu Perkumpulan HuMa, Walhi, Perkumpulan Qbar, AKAR Foundation, Terasmitra, Sulawesi Community Foundation (SCF), WWF Indonesia, Sajogyo Institute, Sokola Institute, Yayasan Merah Putih Sulawesi Tengah, Perhimpunan Filantropi Indonesia, Konsorsium Pembaruan Agraria, Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), EcoNusa, dan RMI.

 

Adapun 22 Komunitas Anak Muda, yang berkegiatan di area pesisir dan terestrial juga berasal dari komunitas masyarakat adat dan non-adat yang aktif bergerak di wilayah rural dan urban, antara lain: Alumni School of Eco Diplomacy (SED), Relawan4Life, Earth Hour Jayapura, Golongan Hutan, Lawe Indonesia, Green Politician, Twelve’s Organic, Project Semesta, Teens Go Green (TGG), Global Youth Biodiversity Network (GYBN) Indonesia, Climate Rangers, Kompilasi Ujung Kulon, Extinction Rebellion, Narasea Indonesia, Lakoat.Kujawas, SimpaSio Institute, Kelompok Makekal Bersatu (KMB), Pemuda Kasepuhan Cibeas, Pemuda Tani Merdeka, Lumbung Ilmu Kasepuhan Cirompang, Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN), dan Kompak Pasir Eurih.

 

Penulis: Alfina dan Novia

Editor: Siti Marfu’ah

Rencana Aksi Ibu-ibu, Kelompok PKK dan Kader Posyandu Kasepuhan Cibarani dalam Perbaikan Gizi Keluarga

Tetet…tetet…tetettt Tetet…tetet…tetetttttt, sayuuuuurr, sayuuuuurrr”! Begitulah bunyi dan teriakan tukang sayur saling bersahut-sahutan di kampung.

Suara khas klakson motor yang disertai teriakan tukang sayur hampir setiap pagi mengisi nuansa perkampungan di Kasepuhan Cibarani, Kecamatan Cirinten di Kabupaten Lebak, Banten. Bermula dari suara klakson motor itu pula penyebutan masyarakat terhadap tukang sayur keliling dengan istilah tetetet.

Bagi tukang sayur, ada rute yang sudah biasa dilalui berikut titik-titik yang menjadi tempat mangkal mereka. Setelah tukang sayur berhenti dan memarkirkan motor, umumnya ibu-ibu datang berkerubung, membentuk formasi setengah lingkaran. Berdasarkan pengamatan, selain belanja bawang-bawangan, tomat dan cabe, sayur segar juga menjadi incaran. Jumlah dan variasi belanjaan tentu saja disesuaikan juga dengan kondisi keuangan masing-masing orang.

Menyaksikan peristiwa ini berulang terjadi pada ruang dan waktu yang berbeda, sama halnya berdiri di ruang ambiguitas. Pasalnya, akses pada lahan subur cukup terbuka dan apabila dimanfaatkan, lahan tersebut dapat digunakan untuk memproduksi sebagian bahan pangan yang biasanya mereka beli dari tetetet.

   

Berangkat dari kegelisahan ini pada tanggal 30 Juni 2021 pendamping kelompok dari RMI mencoba mengajak ibu-ibu masyarakat Kasepuhan Cibarani, Kelompok PKK serta Kader Posyandu untuk berdiskusi. Tujuannya adalah untuk menggali hal-hal yang bisa dilakukan bersama untuk menekan pengeluaran belanja resiko dapur (istilah lokal untuk sembako).

Bak gayung bersambut, dari masyarakat sendiri kemudian muncul gagasan mengenai perlunya mengelola kebun pekarangan secara kelompok. Selain untuk tujuan mengurangi pengeluaran belanja resiko dapur, kebun pekarangan juga akan difungsikan sebagai cadangan pangan dan pemenuhan gizi keluarga. Pemenuhan gizi keluarga ini penting mengingat adanya catatan dari Dinas Kesehatan Kabupaten Lebak merilis data mengenai angka gizi buruk (stunting) dimana Kecamatan Cirinten menempati urutan teratas dengan balita gizi buruk dengan angka 11,0 persen.

Dari penjelasan Kader Posyandu Kasepuhan Cibarani, sejauh ini kegiatan kader yang umum dilakukan adalah melalui pelaksanaan Bulan Penimbangan Balita (BPB). Masih adanya kekurangan-kekurangan pada kegiatan fasilitasi peningkatan kapasitas para kader terkait langkah-langkah kongkrit menuju perbaikan gizi keluarga dan balita. Umumnya kegiatan pendukung hanya berupa bantuan-bantuan bagi ibu dan anak  seperti pemberian kacang-kacangan, telor dan susu. Namun, karena sifatnya sementara dan tidak rutin setiap hari, maka perlu solusi lain guna mengatasi permasalah seperti ini.

Narasi berbeda disampaikan Kelompok PKK, kelompok ini menyatakan pernah berkebun sekali dengan memanfaatkan bantuan dari Dinas Ketahanan Pangan Kabupaten. Bantuan benih berupa bibit palawija diberikan berbarengan dengan bantuan-bantuan lainnya, seperti pelatihan budidaya jamur dan budidaya lele. Hasil dari berkebun menurut penjelasan ibu-ibu PKK cukup berlimpah, dari saking banyaknya dijual dengan harga murah. Sebagai contoh timun dijual Rp.500 /kg, sementara jika membeli di tetetet bisa mencapai harga 4-5 ribu/kg.

Kiranya tujuan berkebun bagi masyarakat Kasepuhan Cibarani perlu untuk lebih diperdalam, melebihi  motivasi ekonomi semata. Kebutuhan gizi keluarga perlu lebih diutamakan terlebih dahulu, misalnya dengan menanam tanaman-tanaman yang dapat dikonsumsi pada skala rumah tangga. Selanjutnya barulah bila ada kelebihan produksi, maka produk dapat dilempar ke pasar untuk memperoleh keuntungan ekonomi.

Untuk merumuskan hal ini, maka diperlukan langkah –langkah perencanaan bersama antara masyarakat dan pendamping kelompok. Hal-hal yang perlu disepakati adalah seperti tata kelola lahan, pengaturan jenis-jenis tanaman yang disesuaikan dengan kalender musim, dan lainnya. Diskusi awal yang dilakukan pada bulan Juni ini merupakan awalan yang baik untuk membenahi konsep kemandirian pangan di Kasepuhan Cibarani.

Penulis : Abdul Waris

Editor: Indra N.H

Pertemuan Regional “Jadi dan Menjadi Masyarakat Adat”

Pada tanggal 8-13 Maret 2021, RMI dan Lakoat.Kujawas dari Indonesia, beserta AFA (Asian Farmers Association for Sustainable Rural Development) dan PAKISAMA (Pambasang Kilusan ng mga Samahang Magsasaka) dari Filipina melakukan Pertemuan Regional secara online yang menjadi bagian dari inisiatif “Jadi dan Menjadi Masyarakat Adat” (Being and Becoming Indigenous atau BBI). Lebih dari 45 orang peserta, terdiri atas puluhan pemuda adat dari tiga komunitas dan pendampingnya, serta 15 orang panitia terlibat dalam pertemuan ini. Selain itu banyak juga masyarakat umum yang terlibat dalam kegiatan ini karena beberapa sesi dibuka untuk publik.

Pelaksanaan kegiatan Pertemuan Regional ini cukup unik dan menantang karena format acaranya yang mengkombinasikan metode pertukaran budaya serta peningkatan kapasitas secara online dan offline, berbeda dari kegiatan pada umumnya dilakukan secara tatap muka. Dalam penyusunan alur kegiatan, misalnya, panitia mempertimbangkan kesesuaian waktu dan metode-metode yang dapat mengoptimalkan proses pembelajaran dan mendukung kenyamanan peserta yang kebanyakan merupakan kelompok pemuda dan remaja. Selain itu, menyiasati kemungkinan hilangnya sinyal dan jaringan internet yang dapat menghambat jalannya acara, pemuda adat dari tiap komunitas sudah terlebih dahulu merekam beberapa sesi penting seperti Tur Virtual dan Pertunjukan Budaya masing-masing komunitas adat. Model Pertemuan Regional yang dilakukan dalam waktu cukup panjang (6 hari) dengan metode kegiatan online dan offline ini sendiri memang baru pertama kali dilakukan oleh komunitas dan organisasi pendampingnya.

Pertemuan 6 hari ini terbagi atas beberapa sesi besar, yaitu perkenalan peserta dan komunitas, peningkatan kapasitas yang dilakukan sesuai kebutuhan lokal (umumnya dilakukan secara offline) dan yang dilakukan untuk menjawab kebutuhan 3 komunitas (umumnya dilakukan online dengan mengundang narasumber). Sesi perkenalan komunitas dilakukan dengan menggelar sesi Pertukaran Budaya dan Tur Virtual yang memperlihatkan keunikan budaya dan lanskap komunitas adat masing-masing secara bergiliran. Materi Tur Virtual sebelumnya telah direkam oleh pemuda adat dan diunggah ke YouTube supaya dapat ditonton satu sama lain sebagai bentuk antisipasi jika terjadi gangguan sinyal dan koneksi internet selama acara.

Anak muda adat sedang memainkan kesenian lisung.

Selama Pertemuan Regional berlangsung, tercatat sedikitnya terjadi 3 kali sesi pertukaran budaya yang variatif–baik dalam tarian, nyanyian, maupun pembacaan puisi–dari setiap komunitas dan 3 kali Tur Virtual yang menunjukkan kekayaan ruang hidup mereka serta tantangan modernisasi dan pembangunan yang mereka hadapi kini.

Selain itu, pada Pertemuan Regional ini, terdapat beberapa sesi yang diisi dengan kegiatan peningkatan kapasitas bagi para pemuda adat pada tingkatan komunitas yang bentuk dan materi kegiatannya disesuaikan dengan konteks lokal. Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan di Masyarakat Adat Pasir Eurih, Banten, Indonesia, misalnya, terdiri dari pelatihan pemanduan program ekowisata, pembelajaran mengenai kesejarahan kasepuhan, dan pelatihan pengambilan gambar dan video.

Sedangkan pelatihan kepemimpinan dan pengenalan struktur organisasi diikuti oleh Masyarakat Adat Dumagat-Remontado di Tanay, Filipina. Setiap harinya peserta dari 3 komunitas adat kemudian diajak untuk merefleksikan kegiatan yang sudah mereka lalui di hari sebelumnya dan menceritakan hal menarik yang mereka pelajari satu sama lain.

Selain yang dilakukan secara terpisah, juga terdapat beberapa kegiatan yang dilakukan secara serempak melalui pemberian materi peningkatan kapasitas secara online, di antaranya adalah kegiatan berjudul “Effectively Utilizing Today’s Technological Advancement to Strengthen and Preserve Indigenous Traditions” yang dibawakan oleh Karlina Octaviany pada hari kedua, dan “Reconnect Youth and the Concept of Indigeneity” yang dibawakan oleh Mia Siscawati pada hari keempat. Topik pertama diangkat berdasarkan adanya persamaan kebutuhan bahwa masing-masing komunitas perlu mempertimbangkan dan mampu memanfaatkan perkembangan teknologi untuk mendokumentasikan, mengkampanyekan adat mereka dan menggalang dukungan publik terhadap kondisi-kondisi yang dihadapi komunitas adat saat ini. Di sisi lain kegiatan peningkatan kapasitas kedua dihadirkan untuk memperkuat pemahaman dan kesadaran pemuda adat mengenai konsep keadatan (indigeneity) dan apa maknanya menjadi bagian dari adat (indigenous) serta mendiskusikan kenapa penting bagi pemuda adat untuk menjaga identitas keadatan mereka. Secara garis besar, dekolonisasi sendiri menjadi semangat utama yang mendasari kedua sesi tersebut serta inisiatif BBI secara keseluruhan.

Pemuda adat dari ketiga komunitas menyebutkan bahwa kegiatan Pertemuan Regional ini merupakan satu pengalaman yang menarik bagi mereka. Indi Seran (16), pemuda adat dari Mollo, Nusa Tenggara Timur, Indonesia, menyebutkan bahwa dirinya terkesan dengan pemutaran video musik grup idol asal Korea Selatan Bangtan Sonyeondan (BTS) yang menunjukkan bagaimana orang muda dapat menyuarakan budaya lokal, isu sosial, dan politik lewat seni. Lebih dari itu, Indi juga terdorong untuk terus bangga dengan identitas adatnya sebagai orang Mollo dan ikut bersuara untuk kehidupan sosial melalui seni budaya.

Salah satu anak muda adat sedang mempresentasikan

Opa Sopariah (19), peserta asal Kasepuhan Pasir Eurih, juga berkata bahwa dengan mengikuti kegiatan ini ia jadi makin mengenal budaya sendiri serta budaya komunitas adat lain. Saat memperkenalkan gula aren, misalnya, para pemuda adat jadi terdorong menggali informasi lebih dalam mengenai gula aren dan ternyata kelompok pemuda adat Dumagat-Remontado mengaku bahwa di lokasi mereka pemakaian tanaman aren untuk gula tidak terlalu populer. Nira kelapa menjadi pilihan utama mereka untuk diolah menjadi gula. Sedangkan untuk Mollo, ucapan penuh kekaguman dilontarkan para peserta dari 2 komunitas adat lainnya atas kain tenun Mollo yang berwarna-warni serta merepresentasikan hubungan manusia dengan alam juga filosofi hidup pada pola dan warnanya.

Dalam proses pengambilan gambar dan video yang dibutuhkan untuk sesi Tur Virtual dan Pertukaran Budaya juga terjadi hal-hal yang menarik. Peserta dari Kasepuhan Pasir Eurih menyatakan bahwa selama berkegiatan mereka belajar lebih jauh budaya-budaya mereka sendiri. “Malu, kalau ditanya orang lain masa nanti tidak tahu?”, kata Euis Sukmawati (21).
Sedangkan peserta lainnya, berkata bahwa ia baru saja belajar memukul lesung (numbuk lisung) setelah diperagakan oleh ibu-ibu. “Selama ini saya belum pernah ikutan. Cuma megang doang, tapi kalau ikutan memainkan belum pernah”. Katanya sambil tersipu. Ia mengaku bahwa dengan adanya kegiatan ini ia jadi makin akrab dengan kelompok ibu-ibu sekaligus belajar lebih dalam hal-hal terkait budaya mereka sendiri.

Kegiatan ini berakhir pada hari keenam atau 13 Maret 2021. Para peserta memutuskan untuk menindaklanjuti kegiatan yang sudah disusun bersama-sama, serta untuk tetap berkomunikasi dan merencanakan kegiatan-kegiatan virtual yang dapat diorganisir secara bersama-sama. Walaupun tergambar keletihan dari air muka peserta, namun semangat untuk bekerja bersama untuk memajukan komunitas adatnya masing-masing juga sangat kuat.

Jadi dan Menjadi Masyarakat Adat (Being and Becoming Indigenous) merupakan inisiatif yang digagas dengan tujuan untuk memperkuat persepsi dan pemahaman pemuda adat akan posisi dan identitas adatnya di tengah perkembangan pembangunan dan modernisasi. Inisiatif ini diimplementasikan oleh RMI bekerja sama dengan AFA yang berbasis di Filipina, di tiga komunitas adat yaitu Kasepuhan Pasir Eurih (Banten, Indonesia), Mollo (Nusa Tenggara Timur, Indonesia), dan Dumagat-Remontado (Tanay, Filipina). Di tingkat tapak, RMI dan AFA juga bekerja sama dengan Lakoat.Kujawas dan PAKISAMA sebagai organisasi mitra.

Penulis: Indra Nusantoro Hatasura

Editor: Supriadi

Pertemuan Majelis Permusyawaratan Masyarakat Kasepuhan Di Banten Untuk Merumuskan Peran Pemuda Adat

Keterlibatan generasi muda dan perempuan adat dalam Majelis Permusyawaratan Masyarakat Kasepuhan (MPMK) merupakan hal yang harus diapresiasi dan dikawal. Pasalnya, selama ini pemuda adat jarang dilibatkan dalam kegiatan adat, pengelolaan hutan, dan proses pengambilan keputusan lainnya. Mengingat pentingnya peran generasi muda sebagai generasi berikutnya yang melestarikan adat budaya Kasepuhan, sudah sepatutnya mereka dilibatkan. Terlebih lagi banyaknya ancaman yang hadir kemudian menyebabkan hilangnya wawasan adat budaya kasepuhan pada generasi muda.

MPMK sendiri adalah wadah komunikasi yang dibentuk oleh Masyarakat Kasepuhan dan terdiri dari unsur kokolot (tetua), unsur perempuan adat, unsur pemuda adat, dan unsur lainnya, seperti yang diamanatkan pada Bab 1 Ketentuan Umum Peraturan Daerah (Perda) Lebak No.8 Tahun 2015 tentang Pengakuan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Masyarakat Adat Kasepuhan. MPMK dibentuk pada 20 Desember 2020 melalui musyawarah adat di Kasepuhan Guradog, Kecamatan Curugbitung, Kabupaten Lebak. Pembentukan MPMK dinilai mendesak, mengingat saat ini sudah lima kasepuhan yang dikembalikan Hutan Adatnya.

Pada Selasa, 19 Januari 2021, bertempat di kantor DPRD Kabupaten Lebak, Banten, pengurus MPMK mensosialisasikan hasil musyawarah adat tersebut. Pertemuan sosialisasi MPMK melibatkan beberapa pihak, seperti unsur perempuan dan pemuda kasepuhan, Satuan Adat Banten Kidul (SABAKI). Dari organisasi masyarakat sipil hadir RMI, JKPP, dan HuMA yang telah lama bekerja sama dengan masyarakat Kasepuhan, untuk mendorong pemenuhan hak-hak mereka sebagai bagian dari masyarakat adat. 

Junaedi Ibnu Jarta, atau yang akrab disapa Jun, selaku Ketua Umum menyampaikan bahwa MPMK merupakan organisasi yang memiliki visi “Menjadi Organisasi Terdepan yang PEDULI dan TURUT BERTANGGUNG JAWAB dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup dan kelangsungan Masyarakat Adat Kasepuhan dengan tiga jenis keanggotaan, pertama Anggota biasa yaitu merupakan masyarakat keturunan masyarakat adat Kasepuhan. Kedua anggota luar biasa, adalah organisasi yang masyarakat adat kasepuhan dari masing-masing kasepuhan. Terakhir anggota luar biasa, yaitu masyarakat non adat yang memiliki perhatian dan kepedulian terhadap masyarakat adat kasepuhan.

Dalam kesempatan itu Jun juga menyampaikan bahwa MPMK memiliki sembilan ketua, yaitu Ketua Umum; Ketua Hukum dan HAM; Ketua Bidang Sosial dan Ekonomi; Ketua Bidang Penelitian, Pendidikan; Ketua Bidang Keagamaan dan Kebudayaan; Ketua Bidang Pemuda dan Infrastruktur Masyarakat Kasepuhan ; Ketua Bidang Kesehatan, Pemberdayaan Perempuan Adat dan Perlindungan Anak; Ketua Bidang Lingkungan Hidup, Kehutanan dan Pertanian; dan Ketua Bidang Organisasi, kaderisasi, dan Keanggotaan. Selain itu, dalam kepengurusan MPMK juga terdapat Direktur Eksekutif yang membawahi administrasi dan keuangan. MPMK juga memiliki  Pelindung, Pembina dan Penasehat yang berada di struktur organisasinya.

Jun menyatakan bahwa pemuda perlu terlibat dalam kepengurusan MPMK, sehingga kemudian dipilih pemuda untuk berposisi  di bagian keuangan dan di bidang pemuda MPMK. Dengan keterlibatan tersebut, Jun berharap ke depannya partisipasi pemuda akan semakin meningkat.

Adapun menurut pengamatan RMI, selama ini generasi muda adat Kasepuhan adalah kelompok yang suaranya kurang didengarkan. Padahal pemuda dan perempuan adat kasepuhan dinilai memberikan beragam perspektif baru yang mengisi ruang-ruang kosong dalam perjuangan masyarakat adat kasepuhan.

Dalam riungan SABAKI “Regenerasi: Adat dan Pengembangan Sumber Daya Alam di Mata Generasi Muda”, pada tahun 2019 di Kasepuhan Citorek, para pemuda yang mengikuti pelatihan  menyatakan bahwa mereka belum banyak dilibatkan di organisasi tersebut. Namun demikian, keinginan mereka untuk berpartisipasi di organisasi dan kegiatan budaya sebenarnya sangat besar. Kendalanya adalah seringnya perasaan segan kepada orang-orang yang dituakan (baris kolot atau juru basa, misalnya) muncul, dan menahan mereka untuk berpartisipasi secara aktif.

Sebagai salah satu organisasi yang mengadvokasi pengakuan masyarakat adat Kasepuhan sejak 2003, RMI menilai Keterlibatan generasi muda dalam kepengurusan MPMK merupakan tahap dari jalan panjang yang harus ditempuh untuk mencapai kesejahteraan. Terlebih lagi setelah penyerahan Surat Keputusan Hutan Adat Kasepuhan Cibarani, Hutan Adat Kasepuhan Cirompang, Hutan Adat Kasepuhan Citorek, dan Hutan Adat Kasepuhan Pasir Eurih, pada 7 Januari 2021.

Selain memastikan keterlibatan generasi muda dalam pengurus MPMK, RMI bersama JKPP dan HuMA juga menyampaikan bahwa MPMK idealnya menjadi forum strategis dan independen yang menelurkan rekomendasi, gagasan untuk mendistribusikan kesejahteraan masyarakat kasepuhan dan pengamanan adat dan budaya kasepuhan agar tidak tergerus globalisasi, serta mengawasi kebijakan daerah atau organisasi lainnya yang terkait dengan masyarakat kasepuhan.

 

Penulis: Siti Marfu’ah

Editor: Indra N. Hatasura