Pengorganisasian Masyarakat: Strategi Pemberdayaan dalam Industri Rotan Berkelanjutan

Seorang diplomat Korea Selatan dan pernah menjadi Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, Ban Ki-Moon, pernah mengatakan bahwa Pembangunan berkelanjutan dimulai dan berakhir dengan pemberdayaan masyarakat untuk keluar dari kemiskinan.” Merujuk pada kutipan tersebut, sudah sepatutnya pemberdayaan masyarakat, khususnya perempuan, menjadi pusat dalam pembangunan yang berkelanjutan, baik masyarakat di desa maupun di kota, yang memiliki hak bersuara, bergerak, dan mengambil keputusan. Dengan pemberdayaan, masyarakat di komunitas akan meningkatkan kemandirian dan ketahanannya dalam menghadapi krisis, serta akan memperkuat partisipasi dalam pengambilan keputusan. Sehingga, ketika masyarakat berdaya, mereka akan keluar dari ketimpangan sosial dan kualitas hidup meningkat. Lebih jauh lagi, bisa juga berdampak positif pada generasi berikutnya. 

Hal inilah yang menjadi kerja utama dalam inisiatif Pemberdayaan Komunitas Melalui Rantai Pasok Rotan Terpadu atau Integrated Rattan Supply Chain (IRSC). Pemberdayaan komunitas identik dengan pengorganisasian. Pengorganisasian merupakan langkah awal dalam pemberdayaan, karena membentuk struktur dan sistem yang memungkinkan masyarakat bekerja sama secara efektif. Melalui pengorganisasian, masyarakat dapat mengidentifikasi kebutuhan, menetapkan tujuan, dan merancang strategi untuk mengatasi tantangan bersama. Tanpa pengorganisasian, pemberdayaan menjadi sulit dilakukan karena masyarakat tidak memiliki wadah untuk bertindak secara kolektif. 

Untuk mewujudkan komunitas yang berdaya, khususnya berdaya dalam budaya rotan lokal. RMI bersama Tropical Forest and Land Conservation (TFLC), melaksanakan pelatihan pengorganisasian masyarakat. 

Pelatihan Pengorganisasian Masyarakat 

Pelatihan ini dilaksanakan di Palangkaraya, dengan melibatkan staf Community Organizer (CO) TFLC, yang bertanggung jawab atas pengorganisasian masyarakat yang akan bergabung sebagai kelompok pengrajin rotan nantinya. 

Difasilitasi oleh Abdi Rahmat dan Imam Hanafi, pelatihan yang dilakukan selama tiga hari ini, dimulai dengan perkenalan fasilitator, peserta dan lembaga. Setelah itu Abdi mempersilahkan Risma Umar, sebagai narasumber materi GESI, untuk menyampaikan materinya. Risma membuka materi dengan meminta peserta untuk membedakan mana yang gender dan mana yang seks pada diri Perempuan dan laki-laki. Kemudian, pemateri menyampaikan bahwa dimensi gender dan konsep interseksionalitas dalam inisiatif ini harus sangat diperhatikan. “Tujuan proyek ini harus menjamin kelayakan hidup (relasi sosial), perlindungan GESI yang mencakup inklusivitas, sensitivitas dan responsive”—kata Risma. Sebelum dilanjutkan ke materi pengorganisasian masyarakat, peserta diminta untuk berefleksi lebih dulu oleh Abdi. Menurut beberapa peserta, kepekaan seorang CO terhadap seorang penganyam itu menjadi hal yang penting, karena harus melihat inklusi sosial dari banyak aspek dan menilai indikator GESI untuk menentukan arah yang dituju. Sesi dilanjutkan oleh Imam dengan materi Pengorganisasian Masyarakat. Imam membuka sesi dengan sebuah kutipan dari Lao Tzu (Laozi), seorang filsuf Tiongkok kuno yang dikenal sebagai pendiri Taoisme, “Datanglah kepada rakyat, hiduplah bersama mereka, belajarlah dari mereka, cintailah mereka, mulailah dari apa yang mereka tahu; bangunlah dari apa yang mereka punya; tetapi pendamping yang baik adalah, ketika pekerjaan selesai dan tugas dirampungkan, rakyat berkata, “Kami sendirilah yang mengerjakannya”.”Ketika seorang CO datang ke sebuah komunitas, mereka harus belajar dari masyarakat yang ada di komunitas tersebut, mulai dari suatu yang masyarakat tahu bukan membawa suatu hal yang baru, hingga masyarakat mandiri dan bisa mengorganisir diri mereka sendiri. Setelah itu Imam banyak menyampaikan tentang prinsip-prinsip Pengorganisasian Masyarakat dan Aktor Penggerak Masyarakat. Hari pertama diakhiri dengan cerita pengalaman masing-masing. 

Hari kedua dimulai dengan review materi di hari pertama yang dipandu oleh Abdi. Setelah review, Abdi menekankan bahwa “Tugas CO (dalam inisiatif ini) adalah mendorong kelompok perempuan untuk menemukan saluran mereka agar bisa tampil dan membagikan pengetahuan mereka di ruang publik. Hal- hal dan pengetahuan pengorganisasian ini harus dimiliki oleh seorang CO untuk melakukan pendampingan tersebut kepada kelompok / komunitas tersebut”. Kemudian dilanjutkan dengan materi berikutnya yaitu Participatory Rural Appraisal (PRA), dipandu oleh Imam, ia mengajak peserta bermain dengan menebak kartu remi. Imam memberikan instruksi dari susunan 56 kartu Remi, yang terdiri dari empat simbol, tiga raja, dan dua warna. Kemudian Imam mengambil 1 kartu dari susunan 56 kartu tersebut, dan menyimpannya dari seluruh peserta. Lalu ia meminta tiga orang peserta menjadi relawan untuk memilih antara simbol dan warna kartu. Dan tiga orang relawan dipandu sedemikian rupa agar merujuk hasil ke sebuah kartu yang sebelumnya sudah dipilih oleh Imam. Dari permainan itu Imam menyampaikan bahwa seorang CO sebenarnya tidak pernah “netral” hanya “penggiringan opini” biasanya yang dikemas dalam bentuk strategi penyampaian, seperti permainan tersebut, Imam lebih banyak menggiring opini peserta agar tahu kartu yang telah dipilih olehnya.  Setelah itu Imam menyampaikan bagaimana cara melibatkan masyarakat, apa saja prinsipnya, lalu bagaimana kegiatan pengorganisasian diinternalisasikan dengan proyek yang sedang berjalan, bagaimana teknik dan metode PRA, hingga peserta diminta untuk latihan melakukan PRA dengan teknik dan metode yang sudah disampaikan. Setelah materi PRA, materi berikutnya adalah Psikologi Pendidikan dan Teknik Fasilitasi. Indra sebagai narasumber materi ini lebih banyak menyampaikan tentang tips and trick fasilitasi, faktor-faktor yang mempengaruhi hasil fasilitasi, gaya belajar, dan variasi metode fasilitasi. Sesi dilanjutkan dengan materi Pemetaan Aktor yang disampaikan oleh Abdi. Abdi sudah menyediakan template untuk peserta agar memetakan aktor dalam inisiatif IRSC ini. Setelah itu, ia membagi peserta dibagi menjadi dua kelompok dan setiap kelompok mengidentifikasi siapa saja aktor yang terlibat dalam inisiatif IRSC dan seberapa besar pengaruh mereka yang ditandai dengan skor 1-4. Setelah diskusi, kelompok presentasi, dan fasilitator memberikan tanggapan. 

Dilanjutkan di hari ketiga, yang dimulai dengan materi manajemen konflik. Abdi yang memandu topik ini meminta peserta untuk mengidentifikasi sumber konflik, lalu menjelaskan tentang eskalasi konflik, bagaimana perilaku ketika menghadapi konflik. Sesi dilanjutkan dengan materi advokasi dan komunikasi. Di mana Abdi lebih banyak menjelaskan tentang tujuan, sasaran, strategi dan hasil dari advokasi dan komunikasi. Sesi kemudian dilanjutkan dengan diskusi kelompok strategi advokasi dari inisiatif IRSC. Dengan pemaparan materi tersebut, menandakan bahwa pelatihan Pengorganisasian Masyarakat sudah selesai. 

Pentingnya Pengorganisasian Masyarakat untuk Memperkuat Komunitas dalam Industri Rotan Terpadu

Pengorganisasian (dan peningkatan kapasitas) dalam inisiatif ini akan melibatkan para pengrajin rotan rumahan, hingga mereka dapat berpartisipasi secara bermakna dalam industri rotan lokal, dan mampu memperoleh manfaat ekonomi dan sosial, serta terorganisasi sehingga memiliki posisi tawar yang kuat. 

Menurut pelatihan di atas, indikator pengorganisasin tersebut kuat adalah Ekonomi yaitu modal, produksi dan berkurangnya ketergantungan bahan baku; Sosial yaitu perilaku hidup masyarakat, tingkat pendidikan, konflik berkurang dan akses layanan dasar meningkat; dan Budaya yaitu pelestarian nilai-nilai dan adaptasi budaya. 

Pelatihan ini adalah kegiatan awal yang dilakukan sebelum staf CO TFLC turun lapangan. RMI berharap dengan adanya pelatihan ini akan memperkaya pengetahuan staf CO, sehingga masyarakat berdaya dan memperkuat identitas, kepemimpinan, dan solidaritas perempuan rural untuk perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan kekayaan alam dan budaya, sesuai misi RMI. 

Penulis : Siti Marfu’ah

Sumber:

https://rmibogor.id/2024/12/13/memperkuat-komunitas-melalui-industri-rotan-strategi-inklusif-untuk-keberlanjutan-dan-keadilan-sosial/

MEMPERKUAT KOMUNITAS MELALUI INDUSTRI ROTAN: STRATEGI INKLUSIF UNTUK KEBERLANJUTAN DAN KEADILAN SOSIAL

60% persen wilayah Kabupaten Katingan merupakan kawasan hutan, yang merupakan ekosistem yang sangat ideal bagi pertumbuhan berbagai jenis rotan.  Kabupaten ini sudah lama dikenal sebagai salah satu penghasil rotan terbesar di Indonesia. Ladang rotan di Katingan mencakup area seluas lebih dari 325.000 hektar dan mampu menghasilkan 600-800 ton rotan basah per bulan, atau 7.000 – 9.000 ton rotan per bulan. Bahkan, 10 dari 13 kecamatan di Kabupaten Katingan merupakan penghasil rotan kualitas unggul.

Menurut laporan Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah, rotan merupakan hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang paling potensial dari 17 jenis yang tercatat di Kabupaten Katingan, dengan pendapatan rata-rata Rp 27.500.000,- per tahun dari 16 desa yang menjadi lokasi penelitian dengan pendapatan tertinggi mencapai Rp 71.320.000,- per tahun di desa dengan akses pasar terbaik. Laporan yang sama menyebutkan bahwa 49% rotan yang digunakan oleh masyarakat diperoleh dari rotan yang tumbuh secara alami di hutan, sedangkan sisanya berasal dari hasil budidaya masyarakat baik di dalam maupun di luar hutan. 

Dalam model bisnis rotan mentah yang saat ini mendominasi di Katingan, masyarakat terlibat dalam rantai pasok dengan jejak karbon yang tinggi, terutama dalam hal pengangkutan bahan dan produk di berbagai tahap produksi. Potensi masalah lain dari model bisnis ini adalah eksploitasi rotan itu sendiri dalam jangka panjang. Karena produksi di tingkat masyarakat hanya sampai pada tahap pengambilan bahan mentah atau ekstraksi, maka rasa kepemilikan terhadap rotan sebagai sumber daya bersama menjadi rendah karena permintaan rotan berasal dari tempat lain; rotan terlepas dari kehidupan sehari-hari masyarakat. 

Di sisi lain, budaya rotan memiliki aspek gender yang kuat. Di Katingan, secara tradisional, laki-laki lebih banyak berperan di ladang atau di hutan sebagai petani dan pengumpul rotan, sedangkan perempuan lebih banyak terlibat dalam proses pembersihan, karena dianggap lebih teliti dalam pengolahannya. Keduanya terlibat dalam penyiapan bahan rotan (perendaman dan pengasapan). 

Pada tahap menganyam rotan menjadi produk di tingkat masyarakat, keterlibatan perempuan lebih banyak, terutama yang sudah tua. Para penenun biasanya menghabiskan waktu dari pagi hingga sore dalam waktu 2-3 hari untuk menghasilkan satu produk tergantung pada ukuran dan kerumitannya. Produk kemudian dijual langsung di lingkungan sekitar atau melalui pameran lokal yang diadakan oleh pemerintah. Karena pasar untuk produk anyaman rotan tidak dapat diakses secara teratur, menganyam tidak menguntungkan seperti mengumpulkan dan mengolah rotan mentah, sehingga perdagangan rotan mentah dan tradisi menenun di Katingan berkurang meskipun melimpahnya rotan dan larangan ekspornya.

Dalam situasi ini, diasumsikan bahwa proses pengambilan keputusan didominasi oleh petani dan produsen laki-laki; dengan demikian, peran perempuan semakin berkurang, dan arena mereka semakin menyempit dalam budaya rotan lokal. Dalam konteks yang lebih luas, alih fungsi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit tengah marak terjadi di Kabupaten Katingan. Fenomena ini diikuti dengan pengalihan mata pencaharian masyarakat ke sektor kelapa sawit. Selain kelapa sawit, pertambangan emas juga menjadi industri nonformal dan ilegal lainnya yang marak di Katingan.

Inisiatif Pemberdayaan Komunitas melalui Integrated Rattan Supply Chain (IRSC) 

Merefleksikan hal tersebut, RMI yang memiliki pengalaman kerja di isu gender dalam pengelolaan kekayaan dan pemberdayaan komunitas– bekerjasama dengan PT. Harmoni Usaha Indonesia (HUI), yang telah menjadi pelopor dalam industri anyaman dan telah bekerja sama dengan lebih dari 7.500 penganyam rumahan di Jawa Tengah, dalam pemberdayaan komunitas melalui Integrasi Rantai Pasok Rotan. 

Pemberdayaan komunitas ini akan menjangkau masyarakat Katingan di empat kecamatan yaitu Kecamatan Pulau Malan, Tasik Payawan, Tewang Sangalang Garing, dan Katingan Hilir, dengan hasil yang diharapkan akan ada 500 pengrajin rumahan, di mana 80% nya adalah Perempuan, akan terorganisir dan berbadan hukum, sehingga memiliki perlindungan sosial-lingkungan, memiliki kapasitas dalam produksi yang responsif dan berkelanjutan, serta secara aktif berproduksi untuk dan memperoleh manfaat dari IRSC.

Pada skema bisnis HUI, pengrajin rotan rumahan akan diintegrasikan sebagai mata rantai ketiga dari rantai pasokan rotan, di mana tahap satunya ada di petani rotan, dalam hal ini adalah Perkumpulan Petani Rotan Katingan (P2RK), tahap dua adalah proses pengolahan bahan baku, yang dilakukan di Hampangen, dan tahap ketiga adalah pengrajin rotan, bagian ini yang akan dikerjakan dalam inisiatif IRSC, dan yang terakhir adalah tahap empat, yaitu finishing dan ekspor. 

Dengan demikian, tahap tiga ini membutuhkan konsentrasi modal sosial yang tinggi, sehingga diperlukan perlindungan. Inisiatif ini akan berkontribusi pada pembangunan organisasi dan integrasi perlindungan yang menyasar pengrajin tenun rumahan yang terintegrasi dan mengedepankan nilai-nilai keadilan dan keberlanjutan bagi masyarakat dan kekayaan alam. Lebih jauh lagi, RMI sebagai organisasi yang memiliki misi “Memperkuat identitas, kepemimpinan, dan solidaritas perempuan rural untuk perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan kekayaan alam dan budaya”, berharap inisiatif ini akan meningkatkan posisi tawar masyarakat di tengah industri rotan di Katingan. 

Untuk memperkuat kerja-kerja di lapangan, RMI juga bekerjasama dengan Tropical Land and Forest Conservation (TFLC), organisasi lokal yang selama ini bekerja di Kalimantan Tengah, sebagai penanggung jawab atas semua aspek teknis dan terkait lapangan dari inisiatif ini. 

Kick-off Meeting

Pada September 2024, inisiatif Pemberdayaan Komunitas melalui IRSC mengadakan pertemuan pertama kalinya secara luring di Katingan dan Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Ini adalah kegiatan paling pertama yang menandakan dimulainya inisiatif Pemberdayaan Komunitas melalui IRSC, sekaligus peluang untuk mensosialisasikan informasi dan menetapkan kesepakatan bersama yang berlaku selama berlangsungnya inisiatif. Pertemuan awal ini juga menjadi sarana untuk melihat tahap satu dan tahap dua dalam industri rotan terpadu yang sudah berjalan di Katingan dan Hampangen,  mendiskusikan strategi-strategi yang berkontribusi terhadap pencapaian tujuan inisiatif seperti mendorong partisipasi bermakna perempuan dan anak muda dalam inisiatif lokal dan memetakan potensi resiko apa saja yang akan dihadapi selama inisiatif ini berjalan. 

Inisiatif Pemberdayaan Komunitas melalui IRSC merupakan rangkaian kerja jangka panjang, yang berdasarkan Kick-off Meeting, akan diimplementasikan sejak Agustus 2024 – April 2026 dengan dukungan dari United Nations Environmental Programme (UNEP) melalui skema Tropical Landscapes Grant Fund (TLGF). Fokus pemberdayaan komunitas dengan metode live-in; penguatan identitas komunitas, khususnya Perempuan; serangkaian pelatihan kepemimpinan dan pelatihan kesehatan pada pekerja perempuan; dan sertifikasi Forest Stewardship Council – Chain of Custody (FSC-CoC), yaitu sertifikasi yang memastikan bahwa bahan atau produk berbasis hutan berasal dari sumber yang bertanggung jawab secara lingkungan, sosial, dan ekonomi, akan diorganisasi oleh RMI bersama HUI dan TFLC. 

Penulis: Siti Marfu’ah

Sumber:

Sumardjani L. 2011. Studi Rotan di Katingan Kalimantan Tengah. Yayasan Rotan Indonesia.

Berdasarkan informasi dari Indonesiarich dan TribunNews

Jemi, R., & Patimaleh, I. B. Report on the Study of Forest Management in the Katingan Landscape in the Managed Area of Unit XVII Production Forest Management Unit, Central Kalimantan Province. KPHP Katingan Hulu, 2020

Menguatkan Inisiatif: Langkah Lanjutan Mendorong Pendidikan Kritis Kontekstual pada Generasi Muda

RMI-the Indonesian Institute for Forest and Environment sejak awal berkomitmen untuk melakukan pembelajaran dengan mengedepankan prinsip pendidikan kritis, kontekstual, dan secara partisipatif. Melalui Program “Promoting Children’s Right to a Healthy Environment Through Children and Youth from the Philippines and Indonesia – Children and Youth Action for Environmental Children’s Rights (CYA-ECR)” atau “Mempromosikan Hak Anak atas Lingkungan yang Sehat Melalui Anak dan Remaja dari Filipina dan Indonesia serta Aksi Pemuda untuk Hak Anak Atas Lingkungan,” RMI melaksanakan kegiatan Environmental Children’s Rights (ECR) Training Program (ETP) atau Pelatihan Fasilitator Pendidikan Lingkungan. 

Fasilitator Pendidikan Lingkungan terdiri dari tiga rangkaian seri yang dilaksanakan secara bertahap:

Dokumentasi ETP Seri 1

Seri Pertama: Dilaksanakan pada tanggal 22–25 Juni 2024 di The Garden-BIM Hotel, Rangkasbitung. Pelatihan ini fokus pada pembekalan mengenai pendidikan kontekstual dan dasar-dasar fasilitasi. Sebagai tindak lanjut, peserta diminta untuk melaksanakan mini project sebagai implementasi dari pelatihan tersebut, sekaligus sebagai kesempatan bagi mereka untuk mencoba menjadi fasilitator di komunitas masing-masing.

Dokumentasi ETP Seri 2

Seri Kedua: Dua bulan kemudian, seri kedua dilaksanakan pada tanggal 22–25 Agustus 2024 di Kasepuhan Pasir Eurih. Pelatihan kedua mengadopsi pendekatan People First Impact Method (PFIM), mendorong peserta untuk dapat menggali informasi melalui wawancara mendalam dengan topik yang telah ditentukan. Selain itu, dikenalkan pula isu-isu mengenai perubahan iklim, kemiskinan struktural, gender, dan politik ekologi yang dikaitkan dengan kondisi masing-masing komunitas.

Dokumentasi ETP Seri 3

Seri Ketiga: Seri terakhir dilaksanakan pada tanggal 25–27 Oktober 2024 di Kasepuhan Pasir Eurih, diikuti oleh 15 peserta, terdiri dari tiga perempuan dan 12 laki-laki, yang berasal dari Kasepuhan Cirompang, Kasepuhan Bongkok, Kasepuhan Pasir Eurih, Kasepuhan Jamrut, serta masyarakat lokal di sekitar Kasepuhan. Pelatihan ini berlangsung selama tiga hari dengan isu-isu yang saling berhubungan dengan pelatihan sebelumnya, seperti pembangunan berkelanjutan, gerakan sosial, keanekaragaman hayati, dan keadilan iklim.

Pada hari pertama, peserta diajak untuk mengenal diri mereka melalui tes MBTI, diharapkan dapat mengetahui arah pengembangan sesuai dengan kepribadian masing-masing. Selain itu, peserta juga diberikan kesempatan untuk saling berbagi pengetahuan berdasarkan keahlian atau ketertarikan masing-masing. Sesi pertama dilakukan oleh Hanifah Nur Hidayah dengan topik “Otoritas dan Kekerasan,” yang menjelaskan bahwa seseorang dapat melakukan tindakan yang bertentangan dengan moralnya ketika menerima perintah dari orang yang lebih berwenang.  Selanjutnya, Siti Sopariah menjelaskan tentang “Keseimbangan Ekosistem,” membahas interaksi biotik dan abiotik yang dapat menyebabkan ketidakseimbangan ketika salah satu komponen hilang. Pendekatan ini memantik diskusi terbuka antara peserta karena sifatnya yang peer-to-peer.

Hari pertama diakhiri dengan pengenalan media pembelajaran melalui permainan quartet yang berisikan informasi mengenai Kasepuhan, seperti perangkat adat, hewan langka di kawasan Halimun, hingga objek Kasepuhan. Melalui permainan ini, peserta dapat membaca dan mengetahui informasi yang tertera di kartu. Hal ini diharapkan dapat menjadi pemicu untuk menciptakan alat serupa sebagai media pembelajaran bagi anak-anak dan kaum muda dengan cara yang lebih menyenangkan dan kontekstual.

Pada hari kedua, isu yang diangkat berkaitan dengan keanekaragaman hayati melalui praktik biomonitoring untuk menguji kualitas air sungai. Peserta dibagi menjadi empat kelompok dan melakukan biomonitoring di titik-titik sungai sekitar. Peserta diminta mengidentifikasi makhluk makroinvertebrata yang terdapat dalam ekosistem sungai sebagai indikator kualitas air. Sekalipun hasil yang didapat perlu dikaji lebih dalam untuk menghasilkan data yang valid, peserta tetap dapat mengenali dan mengidentifikasi secara sederhana kondisi lingkungan yang ada di sekitar mereka.

Menyusul isu yang sama, peserta terlibat dalam permainan “Mancing Mania,” yang mencerminkan tantangan pengelolaan kekayaan alam yang terbatas. Dalam permainan ini, peserta berperan sebagai perusahaan penangkap ikan yang berusaha untuk menangkap ikan sebanyak-banyaknya untuk mendapatkan skor paling tinggi. “Hanya satu orang yang sadar, sedangkan yang lainnya tidak,” ucap Yadin, salah satu peserta dari Kasepuhan Cirompang, ketika seluruh sumber daya ikan habis karena kurangnya tindakan pengelolaan yang bijak dari peserta. Hal ini dilanjutkan dengan pemaparan materi mengenai pembangunan berkelanjutan yang menegaskan tentang pentingnya pertimbangan lingkungan-sosial-ekonomi dalam pembangunan.

Di hari kedua, Dida Nuraida dan Arsani juga berbagi pengetahuan dengan topik yang berbeda. Dida Nuraida mengambil topik “Gizi Seimbang dari Pangan Lokal Menuju Gaya Hidup Sehat,” mengedukasi peserta tentang pengertian dan pentingnya gizi seimbang bagi tubuh serta mengaitkannya dengan kandungan gizi dalam pangan lokal yang sering kali diabaikan. Sementara itu, Arsani menjelaskan mengenai pengertian, tingkatan, dan manfaat keanekaragaman hayati, serta mengajak peserta mengidentifikasi keanekaragaman hayati di Kasepuhan masing-masing dari perspektif kesehatan, budaya, perikanan, dan pertanian. Diskusi dua arah pun terjadi, membahas kondisi lingkungan masing-masing dan keterkaitannya.

Hari ketiga dibuka dengan talkshow tentang keadilan iklim yang disampaikan oleh Fadilla Mutiarawati dari Sokola Institute dan Indra N. H. dari RMI. Talkshow dikemas secara interaktif dengan membahas tentang dampak krisis iklim dan mitigasi yang dapat dilakukan, terutama bagi peserta yang tinggal di kawasan pegunungan. “Rugi, biasanya bekal padi cukup untuk periode tertentu, tetapi jika masa tanam mundur, masyarakat harus membeli beras untuk mencukupi kebutuhan,” cerita Yadin mengenai dampak krisis iklim yang dialami masyarakat Kasepuhan. Fadilla dan Indra juga menjelaskan dampak serupa yang dialami masyarakat lain.

Talkshow ini diharapkan dapat mendorong peserta untuk mulai bergerak dan mengambil tindakan, seperti yang disampaikan Fadilla dalam pernyataannya, “Kita sudah berefleksi tentang banyak hal, harus dipikirkan lebih dalam dan segera mengambil tindakan. Anak-anak muda harus mengambil peran besar untuk mitigasi krisis iklim.” Melalui sesi ini, krisis iklim dijelaskan secara kontekstual sehingga menegaskan dampak nyata yang akan dihadapi oleh masyarakat, khususnya Masyarakat Adat.

Selanjutnya, isu tentang gerakan sosial diperkenalkan melalui permainan “Hands of Power.” Terdapat satu peserta yang mendapatkan perintah untuk mengikuti arah tangan dari fasilitator ke mana pun dan dalam kondisi apapun tanpa bisa berhenti. Sementara itu, peserta lain diminta agar dapat menghentikannya. Permainan ini menunjukkan pentingnya kekuatan kolektif dalam mengatasi suatu permasalahan, karena tanpa adanya keinginan melawan bersama maka kemungkinan besar gerakan sosial tidak akan terjadi.

Sebagai penutup dari rangkaian pelatihan, permainan “Jaring Laba-Laba” digunakan dengan cara peserta mengidentifikasi cerita yang telah disediakan. Cerita tersebut dibuat berdasarkan fenomena sosial yang terjadi sehingga peserta dapat menjelaskan hubungan sebab-akibat dari berbagai permasalahan sosial yang muncul, seperti isu iklim, kemiskinan struktural, pembangunan berkelanjutan, pendidikan, dan akar masalah lainnya. “Karena permasalahan ini kompleks, maka perlu dipecahkan satu per satu,” ungkap Manil, salah satu peserta, saat menanggapi permainan tersebut. Fasilitator menegaskan bahwa terdapat benang merah antar-isu yang ada, dan solusi yang ditawarkan harus mempertimbangkan berbagai sudut pandang.

Dalam prosesnya, peserta mengimplementasikan keterampilan yang didapat dari pelatihan ini melalui berbagai macam kegiatan. Seperti kegiatan mini project yang dilakukan di komunitas masing-masing, seperti pendokumentasian pengetahuan lokal di Kasepuhan Cirompang, pengenalan tanaman obat di Kasepuhan Pasir Eurih, serta pengenalan krisis iklim di SMAN 1 Sobang. Selain itu, beberapa peserta juga terlibat dalam kegiatan Forum KAWAL, Jelajah Kasepuhan, Semiloka yang diselenggarakan oleh KMA Kemendikbud, serta aktivitas lain yang menjadikan mereka sebagai penggerak pendidikan kontekstual.

Setelah mengikuti serial pelatihan ini, peserta akan melakukan aktivitas dalam rangka Global Action Month, seperti identifikasi tanaman obat dan kesenian di SD sekitar Kasepuhan, termasuk SDN 2 Sindanglaya, SDN 2 Wangunjaya, SDN 1 Sukaresmi, SDN 1 Cirompang, dan SDN 4 Hariang.

“Semua hal berkesan, tetapi yang paling berkesan adalah metodenya. Ternyata penyampaian materi tidak harus lewat presentasi, tetapi bisa melalui permainan, seperti permainan pohon-tupai, nasi garam, mancing-mancing, dan hands of power. Pada seri kedua, kami juga mendapatkan pengetahuan baru dari tempat tinggal sendiri saat wawancara,” ungkap Nina Nuraina ketika berbagai kesan setelah mengikuti pelatihan sepanjang tiga seri.

Melalui berbagai pengalaman yang telah dijalani, berbagai macam metode dan pendekatan yang telah dilakukan, salah satunya melalui pendidikan kontekstual. Maka diharapkan peserta dapat memahami pembelajaran secara lebih relevan dan bermakna, tidak hanya fokus pada pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga mendorong mereka untuk melihat keterkaitan antara pembelajaran dengan kondisi di komunitas mereka. Para peserta kini didorong untuk mengambil peran aktif dan memunculkan inisiatif yang baru di komunitas masing-masing. Mereka diharapkan mampu mengidentifikasi permasalahan yang ada di komunitas dan memberikan solusi yang relevan. Dengan keterampilan ini, para peserta dapat menganalisis tantangan yang dihadapi, baik dalam konteks lingkungan, sosial, maupun ekonomi. RMI berharap melalui pelatihan ini, akan muncul inisiatif-inisiatif baru yang muncul dari kebutuhan komunitas itu sendiri.

Penulis: Hanifah Nur Hidayah

Forum Perempuan Seri Kedua: Keadilan dan Hak-Hak Perempuan Dalam Pembangunan di Kampung

Banyak Perempuan Indonesia di pedesaan yang masih belum sepenuhnya mengetahui dan memahami hak-hak mereka sebagai perempuan. Hal ini dikarenakan, kurangnya akses pendidikan dan informasi, budaya dan nilai tradisional yang cenderung membatasi Perempuan, minimnya peran pemerintah, keterbatasan ekonomi, dan ketidaksetaraan dalam hukum dan kebijakan.

Alhasil, banyak Perempuan Indonesia di pedesaan rentan terhadap kekerasan dan diskriminasi, mengalami ketidak setaraan ekonomi, tidak berpartisipasi dalam pengambilan Keputusan, hak-hak tidak dipenuhi, sulit keluar dari lingkar kemiskinan, hingga terjadi penurunan kualitas hidup keluarga.

Oleh karena itu, RMI yang bekerjasama dengan Kemitraan Partnership dalam program Estungkara, berupaya untuk melakukan peningkatan kesadaran terhadap hak-hak perempuan di Kasepuhan, melalui pertemuan ke-dua Forum Perempuan di Kasepuhan Pasir Eurih, Desa Sindanglaya dan di Kasepuhan Cirompang, Desa Cirompang, Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak.

Forum Perempuan Kasepuhan

Jika pertemuan Forum Perempuan Kasepuhan yang pertama, yang dilakukan pada bulan Juni lalu, lebih banyak menggali aspirasi perempuan tentang pembangunan desa, pada pertemuan ke-dua Forum Perempuan Kasepuhan, yang dilakukan pada sekitar akhir Agustus dan awal September 2024, para perempuan diajak untuk memahami tentang keadilan gender.

Dalam sesi kali ini RMI memaparkan materi mengenai Gender dengan maksud agar para perempuan di Desa Sindanglaya dan Desa Cirompang bisa memahami terlebih dahulu makna tentang Gender dan juga beberapa hal terkait hak- hak dasar Perempuan, terutama dalam Pembangunan desa.

Selama ini kondisi masyarakat di Komunitas Adat Kasepuhan masih sangat minim informasi terkait isu tentang keadilan gender dan mereka biasanya mengaggap isu ini cenderung tabu untuk dibahas secara luas, padahal sebenarnya isu tentang keadilan gender ini merupakan informasi dasar yang bisa menjadi modal utama kaum perempuan untuk bisa ikut berparpartisipasi aktif dalam proses pembangunan masyarakat dan desa. Keadilan gender cenderung dianggap tabu karena banyak factor, diantaranya adalah karena budaya patriarki yang selama ini mengakar kuat di Kasepuhan, minimnya sumber informasi yang bisa diakses dan juga rasa keingintahuan dari masyarakat sendiri yang belum memiliki kesadaran dan kemauan untuk memahami isu- isu semacam ini karena dianggap tidak terlalu berpengaruh dalam keseharian mereka. Selain informasi dan pemahaman yang sama terkait keadilan gender, forum dilanjutkan dengan membahas materi tentang Ketidakadilan Gender. Dalam forum ini peserta yang hadir juga diajak untuk sharing pengalaman atau bercerita tentang kondisi yang pernah dialami oleh masing- masing peserta.

Di forum ini para peserta mendapatkan pengalaman baru membahas mengenai topik gender dan juga memahami hal- hal apa saja terkait ketidakadilan gender yang sebenarnya terjadi sekitar lingkungan mereka. Dengan saling bertukar informasi seperti ini diharapkan kedepannya para perempuan lebih peduli dan peka dengan kondisi kesejahteraan kaum perempuan di lingkungannya.

Partisipasi Perempuan di Pembangunan Desa

Setelah materi-materi di sampaikan, para perempuan juga diajak untuk memahami tentang hak perempuan dalam pembangunan desa. Para perempuan yang hadir meyampaikan bahwa selama ini belum terlalu memahami hak- hak mereka dalam pembangunan desa mereka sendiri, karena tidak pernah merasa dilibatkan dalam kegiatan pertemuan musyawarah pengambilan keputusan ataupun penyusunan anggaran desa.

Kemudian para Perempuan diajak juga untuk memahami beberapa tahapan dalam proses musyawarah pembangunan desa. Tujuannya agar mereka juga memahami bahwa dalam penentuan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes), pemerintah desa juga memiliki tahapan- tahapan yang cukup sistematis dalam pengambilan keputusan bukan bisa secara otomatis memutuskan usulan mana yang akan dianggarkan dalam RPJMDes.

RMI berharap dengan adanya pembelajaran bersama kali ini perempuan menjadi lebih teredukasi dengan hak- hak mereka untuk nantinya berperan aktif terlibat dalam pembangunan desa.

Penulis: Siti Marfu’ah dan Ummi Nadrah

Melanjutkan Aksi: Memperdalam Peran Generasi Muda dalam Fasilitasi Pendidikan Kritis dan Kontekstual

Pelatihan Fasilitator Pendidikan Lingkungan “Environmental Child’s Rights Training Program” menjadi salah satu bentuk kegiatan yang dilakukan untuk dapat mendorong kaum muda berpikir kritis tentang kondisi lingkungan mereka dan peran yang dapat mereka ambil dalam komunitas. Pelatihan ini dilakukan dalam dua seri kegiatan dengan peserta yang berasal dari kaum muda adat Kasepuhan dan kaum muda lokal di sekitar kasepuhan. Sebelumnya, pelatihan pertama telah berlangsung pada tanggal 22–25 Juni 2024 di The Garden-BIM Hotel, Rangkasbitung dan Pelatihan kedua berlangsung pada tanggal 22–25 Agustus 2024 di Kasepuhan Pasir Eurih. Berikut rangkaian dua seri kegiatan Pelatihan Fasilitator Pendidikan Lingkungan yang sudah diselenggarakan:

Seri Pertama: Pelatihan pertama telah berlangsung pada tanggal 22–25 Juni 2024 di The Garden-BIM Hotel, Rangkasbitung, dengan fokus pada pembekalan mengenai pendidikan kontekstual dan dasar-dasar fasilitasi. Sebagai tindak lanjut, peserta melaksanakan proyek mini sebagai implementasi dari pelatihan, dan juga sebagai ajang bagi para peserta untuk mencoba menjadi fasilitator di komunitas masing-masing. Misalnya, Mela dan Fikri menerapkan pelatihan ini kepada siswa kelas, sementara Siti Sopariah memainkan permainan “Tupai Pohon” dan “Angka Setan” di komunitas KOMPAK (Komunitas Pemuda Adat Kasepuhan Pasir Eurih). Dalam permainan “Tupai Pohon dan Angka Setan”. Untuk permainan tupai pohon berjalan lancar, tetapi untuk permainan angka setan agak kesulitan, karena banyak para peserta yang kebingungan,” cerita Siti Sopariah ketika mencoba menjadi fasilitator dalam kegiatan komunitasnya. “Harus lebih sabar dalam memfasilitasi,” dilanjutkan Mela ketika ditanya kesulitan dalam memfasilitasi siswa kelas 1 SD. Sementara itu, Arsani memimpin permainan dalam kegiatan Paskibra, dan Hanifah menguji media pembelajaran baru dengan mahasiswa. Pada sesi ini menunjukkan bahwa RMI telah mendorong partisipasi bermakna melalui proyek dan aktivitas yang dilakukan.

Seri Kedua: Pelatihan kedua berlangsung pada tanggal 22–25 Agustus 2024 di Kasepuhan Pasir Eurih. Terdapat 20 peserta yang mengikuti pelatihan, yang terdiri dari enam perempuan dan 14 orang laki-laki, yang berasal dari Kasepuhan Cirompang, Kasepuhan Bongkok, Kasepuhan Pasir Eurih, Kasepuhan Cibarani, Kasepuhan Jamrut, dan masyarakat lokal di sekitar Kasepuhan. 13 peserta diantaranya merupakan peserta yang telah mengikuti pelatihan dari seri pertama. 

Pelatihan kedua berfokus terhadap berbagai macam isu yang relevan dengan kondisi yang ada di kampung, beberapa di antaranya berkaitan dengan perubahan iklim, gender dan seksualitas, ketidakadilan gender, ekologi politik, serta kemiskinan struktural. Melalui pengenalan terhadap berbagai isu ini, diharapkan para peserta dapat melihat keterhubungan masalah yang ada dalam lingkungan mereka. Pada seri kali ini, alumni pelatihan seri pertama juga diberikan kesempatan untuk dapat memfasilitasi sesi ice breaking atau energizer, salah satunya dilakukan oleh Arsani yang memandu permainan “Pindah Rumah”. 

Pada hari pertama, dilakukan pengenalan lebih dekat antar-peserta melalui kartu “Kenalan Yuk!” yang dapat menjadi inspirasi bagi peserta untuk membuat alat pembelajaran serupa dengan pertanyaan yang lebih kontekstual. Kegiatan selanjutnya, para peserta melakukan tes kecerdasan majemuk untuk mengetahui kecerdasan yang dimiliki oleh peserta berdasarkan kategori linguistik, logika-matematika, spasial, kinestetik, musikal, interpersonal, intrapersonal, dan naturalis. Pengenalan kecerdasan ini diharapkan dapat membuat peserta mengenali potensi diri dan timnya. Setelah itu, para peserta mengidentifikasi permasalahan yang ada di kampungnya menggunakan metode matriks ranking, dengan menilai seberapa besar isu-isu tersebut berdampak pada lingkungan mereka. Beberapa masalah yang teridentifikasi antara lain sampah, perburuan satwa liar, peracunan ikan di sungai, dan pembukaan lahan. Sesi ini menjadi pemantik bagi peserta untuk melihat apakah setiap isu terjadi secara berkaitan atau tidak.

Pada hari kedua, peserta menerapkan metode People-First Impact Method (P-FIM) dengan wawancara tokoh masyarakat untuk mengumpulkan informasi berdasarkan tema yang telah ditentukan. Hasil wawancara ditampilkan dalam bentuk seni pertunjukan seperti drama, tablo, monolog, dan puisi yang menggambarkan berbagai isu yaitu hutan, kebudayaan, pendidikan, serta ekonomi dan kesejahteraan sosial.

Salah satu peserta, Cecep Sanusi, mengungkapkan perasaannya setelah melakukan wawancara ke tokoh masyarakat. Dari metode ini kita dapat “menggali informasi dari berbagai sisi, sehingga banyak yang didapatkan, dan informasi yang dikumpulkan lebih komprehensif,” ujarnya. Berbeda dengan Cecep, Jamal yang berasal dari Kasepuhan Jamrut membandingkan kondisi yang ada di Kasepuhan Pasir Eurih dengan kampungnya, “Hasil wawancara berbeda dengan kondisi di Jamrut, terutama terkait pendidikan. Di Jamrut, sekolah [Madrasah] Aliyah tidak punya gedung sekolah, baru tahun 2024 dibuat gedung permanen.”  Hal ini menunjukan bahwa metode yang digunakan mendorong peserta untuk mengidentifikasi dan meningkatkan sensitivitas peserta terhadap isu yang ada di lingkungan atau komunitasnya.

Setelah mendapatkan gambaran tentang kondisi di lingkungan, hari ketiga difokuskan pada penyampaian isu-isu yang relevan melalui diskusi. Pertama, isu hutan dan perubahan iklim. Diskusi dimulai dengan mini drama yang menggambarkan dampak perubahan iklim di kampung, diikuti penjelasan tentang proses dan dampaknya pada kehidupan, terutama bagi Masyarakat Adat. Diskusi ini membantu peserta, khususnya kaum muda, memahami peran mereka dalam mengatasi perubahan iklim dengan perspektif berdasarkan pengetahuan lokal.

Isu kedua berkaitan dengan pengetahuan dasar tentang gender dan seks. Hal ini menjadi krusial karena berdampak pada adanya pembagian peran yang tidak seimbang dan terbatasnya kesempatan bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam berbagai aspek kehidupan, baik di ranah domestik maupun publik. Pada sesi ini para peserta diminta untuk menyebutkan sosok pasangan ideal sekaligus menuliskan deskripsi sosok ideal pada kertas yang telah disediakan. Melalui aktivitas ini, para peserta diajak untuk menyadari dan membedakan antara konsep seks sebagai kategori biologis dan gender sebagai konstruksi sosial yang erat dengan peran-peran tertentu.

Diskusi ini menjadi relevan ketika membahas peran-peran yang melekat pada perempuan dan laki-laki di masyarakat Kasepuhan. Peserta diajak berpikir kritis untuk menghubungkan seks dan gender dengan isu ketidakadilan gender yang marak terjadi di lingkungannya. Bentuk-bentuk ketidakadilan tersebut meliputi beban ganda, kekerasan berbasis gender, subordinasi, marjinalisasi, stereotipe, dan diskriminasi. Dalam diskusi ini salah satu peserta mengungkapkan pendapatnya, “Sangat relevan di sekitar kita, pekerjaan lebih banyak ada di perempuan. Beberapa hal yang terjadi: pekerjaan domestik dilakukan oleh perempuan, sedangkan laki-laki berleha-leha padahal mengetahui pekerjaan perempuan yang belum selesai,” cerita Manil ketika mengidentifikasi kondisi yang terjadi di lingkungannya.

Hari terakhir, isu yang diangkat berkaitan dengan kemiskinan struktural dan ekologi politik. Materi ekologi politik disampaikan oleh Wahyubinatara Fernandez (Direktur RMI) dengan dipandu oleh Dinah dari RMI dan Irsyadudin dari perwakilan anak muda kasepuhan. Sesi berlangsung secara hybrid yang disajikan dalam bentuk talkshow. Peserta diajak untuk melihat kebijakan-kebijakan terkait hak atas tanah dari waktu ke waktu. Ini menegaskan bahwa krisis ekologi yang terjadi dipengaruhi oleh kepentingan politik, tidak hanya terjadi di tingkat negara, namun dapat juga terjadi di kampung. 

Selanjutnya, isu yang diangkat berkaitan dengan kemiskinan struktural. Peserta diajak bermain permainan yang mencerminkan kondisi saat ini, yakni adanya jurang yang sangat besar antara orang kaya dan orang miskin. Peserta didorong untuk memahami bahwa kemiskinan tidak hanya berkaitan dengan faktor individu atau kultural, akan tetapi terjadi karena sistem yang berlaku. Oleh karena itu, diperlukan gerakan sosial untuk menciptakan keadilan, terutama bagi golongan miskin. 

Tentang Pelatihan Fasilitator Pendidikan Lingkungan “Environmental Child’s Rights Training Program”

RMI-the Indonesian Institute for Forest and Environment sebagai organisasi masyarakat sipil yang berfokus pada isu Hak Asasi Manusia dan lingkungan, khususnya dalam memperkuat model pengelolaan kekayaan alam berbasis masyarakat, berkomitmen untuk melakukan pembelajaran bersama masyarakat dengan menggunakan prinsip pendidikan kritis, kontekstual, dan secara partisipatif. Melalui penyampaian berbagai isu dalam pelatihan fasilitator pendidikan lingkungan, peserta diharapkan dapat melihat adanya keterhubungan antar-isu yang terjadi di lingkungan atau komunitasnya masing-masing, bahwa setiap isu tersebut memiliki benang merah yang menunjukkan adanya sebab akibat. 

Inisiatif yang dilakukan oleh RMI dalam mengembangkan pendidikan kontekstual ini juga didukung oleh program “Promoting Children’s Right to a Healthy Environment Through Children and Youth from the Philippines and Indonesia-Children and Youth Action for Environmental Children’s Rights (CYA-ECR)” atau “Mempromosikan Hak Anak atas Lingkungan yang Sehat Melalui Anak dan Remaja dari Filipina dan Indonesia dan Aksi Pemuda untuk Hak Anak Atas Lingkungan”. Pemahaman terhadap isu ini dituangkan dalam Rancangan Tindak Lanjut (RTL) sebagai bentuk implementasi Pelatihan Fasilitator Pendidikan Lingkungan yang diselenggarakan dalam 2 Seri kegiatan. Beberapa di antaranya ada yang melanjutkan project sebelumnya dan ada yang mendorong project baru. Dengan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mereka dalam memahami beragam isu, peserta dapat mendorong gerakan sosial yang kontekstual.

Penulis: Hanifah Nur Hidayah, Siti Marfu’ah, Ajeng Lestari Midi Setyoputri

Editor: Renal Rinoza

Beraksi Bersama: Generasi Muda Mengambil Peran Fasilitasi Pendidikan Kritis dan Kontekstual.

Pengelolaan kekayaan alam berbasis masyarakat sangat erat kaitannya dengan pendidikan kontekstual dalam banyak hal. Keduanya menekankan pentingnya keterlibatan aktif, relevansi dengan kehidupan nyata, dan penggunaan pengetahuan lokal. Dalam konteks pendidikan kontekstual, pengelolaan kekayaan alam berbasis masyarakat dapat menjadi topik yang relevan untuk diajarkan, karena mencakup isu-isu lingkungan, ekonomi, dan sosial yang penting bagi masyarakat. Selain itu, pendidikan kontekstual dapat membantu masyarakat memahami dan mengimplementasikan praktik-praktik pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan. Dengan mengintegrasikan pengelolaan kekayaan alam berbasis masyarakat ke dalam pendidikan kontekstual, peserta tidak hanya mendapatkan pengetahuan teoritis, tetapi juga keterampilan praktis yang dapat mereka gunakan untuk berkontribusi pada pengelolaan kekayaan alam di komunitas mereka.

RMI-the Indonesian Institute for Forest and Environment sebagai organisasi masyarakat sipil yang berfokus pada isu Hak Asasi Manusia dan lingkungan, khususnya dalam memperkuat model pengelolaan kekayaan alam berbasis masyarakat seringkali melakukan pembelajaran bersama masyarakat dengan menggunakan prinsip pendidikan kritis, kontekstual dan secara partisipatif. Namun, tidak banyak model pendidikan kontekstual di Indonesia dan untuk mengakselerasi model-model tersebut. Oleh karena itu, sejak tahun 2023 RMI menginisiasi pengembangan program untuk orang muda bersama dua NGO lainnya. Tema yang diangkat adalah “Promoting Children’s Right to a Healthy Environment Through Children and Youth from the Philippines and Indonesia-Children and Youth Action for Environmental Children’s Rights (CYA-ECR)” atau “Mempromosikan Hak Anak atas Lingkungan yang Sehat Melalui Anak dan Remaja dari Filipina dan Indonesia dan Aksi Pemuda untuk Hak Anak Atas Lingkungan”. Program ini dijalankan oleh RMI bersama Nexus3 Foundation di Indonesia, dan GITIB, Inc. di Filipina. Tujuan dari program ini adalah memperkuat peran anak muda untuk aktif berpartisipasi dalam mengembangkan program-program pendidikan kontekstual di komunitas masing-masing. 

Berangkat dari program tersebut, RMI mengadakan Pelatihan Fasilitator Pendidikan Lingkungan “Environmental Child’s Rights Training Program” pada tanggal 22–25 Juni 2024 di The Garden-BIM Hotel, Rangkasbitung. Pelatihan ini bertujuan untuk: 1) meningkatkan pengetahuan dan keterampilan anak muda sebagai fasilitator pendidikan lingkungan; 2) meningkatkan kepekaan anak muda terhadap isu pendidikan kritis-kontekstual di wilayah adat Kasepuhan dan sekitarnya; dan 3) meningkatkan intensitas gerakan sosial melalui partisipasi pemuda di wilayah adat Kasepuhan dan sekitarnya. Terdapat 18 peserta yang mengikuti pelatihan, yang terdiri dari enam orang perempuan dan 12 orang laki-laki, yang berasal dari Kasepuhan Cirompang, Kasepuhan Bongkok, Kasepuhan Pasir Eurih, Kasepuhan Cibarani, dan masyarakat lokal sekitar kasepuhan. 

Peserta didorong untuk berpikir kritis tentang kondisi lingkungan mereka dan peran yang dapat mereka ambil dalam komunitas. Pelatihan ini merupakan salah satu upaya RMI dalam mendorong kaum muda untuk mengembangkan program pendidikan kontekstual sesuai dengan kondisi komunitas masing-masing. Pendidikan yang dimaksud tidak hanya terbatas pada pendidikan formal, tetapi juga mencakup pendidikan informal dan non-formal yang dapat mencapai tujuan pendidikan yang diinginkan.

Pelatihan berlangsung selama empat hari dengan berbagai kegiatan, termasuk pengenalan isu, pembekalan, hingga identifikasi masalah pada komunitas. Pada hari pertama, peserta diminta mengenal diri sendiri melalui metode “Boks Gue Banget”. Mereka mencari informasi pribadi atau komunitas mereka melalui surat kabar yang sudah disediakan dan menempelkan informasi tersebut pada boks yang sudah dibagikan sebelumnya. Peserta kemudian diminta menceritakan hal-hal yang membuat mereka bangga. Teknik Appreciative Inquiry ini digunakan agar peserta lebih mudah menerima informasi ketika mereka diapresiasi. Sesi pengantar pelatihan juga diadakan pada hari yang sama. Pada sesi ini, peserta diberikan tiga pernyataan berbeda untuk diargumentasikan. Isu yang diangkat berkaitan dengan sistem pendidikan, lingkungan, dan kebudayaan, yang berhasil memantik diskusi kritis di antara peserta.

Hari kedua dimulai dengan kunjungan ke Museum Multatuli untuk meningkatkan rasa ingin tahu dan kepekaan peserta melalui peninggalan Multatuli dan sejarah Indonesia. Kegiatan dilanjutkan dengan penulisan permasalahan pendidikan di Indonesia. Beberapa masalah yang diidentifikasi antara lain pendidikan yang tidak kontekstual, perubahan kurikulum, pendidikan yang belum inklusif, fasilitas yang tidak merata, dan tenaga pendidik yang tidak kompeten. Hal ini sejalan dengan sistem pendidikan Indonesia yang bertujuan menciptakan pekerja daripada mendorong inovasi. Sentralisasi pendidikan dan homogenisasi model menyebabkan kesenjangan antar pelajar di berbagai wilayah, yang mendorong pemuda di kampung mencari kerja di kota dibandingkan mengembangkan potensi di tempat tinggal mereka. Peserta juga dibekali materi mengenai psikologi dan pembelajaran serta dasar-dasar fasilitasi sebagai landasan awal untuk menjadi fasilitator.

Pada hari kedua dan ketiga, peserta melakukan simulasi fasilitasi secara berkelompok. Setiap kelompok diberikan metode fasilitasi yang berbeda dan mengimplementasikannya kepada peserta lain. Hal ini dilakukan agar peserta dapat mencatat hal-hal yang perlu diperbaiki dalam cara memfasilitasi sebelum menerapkannya kepada masyarakat. Hari ketiga juga diisi dengan People First Impact Method (P-FIM), sebuah simulasi bagi peserta untuk berhadapan langsung dengan masyarakat. Hal ini menjadi refleksi bagi peserta untuk memahami masyarakat, terutama ketika dihadapkan dengan kondisi yang tidak terduga. Peserta diajarkan bahwa fasilitator harus mendapatkan kepercayaan masyarakat dengan menjadi percaya diri, dibekali kemampuan dan pengetahuan, peka, berempati, dan mampu mengelola forum. Sesi berikutnya, peserta diminta berkumpul dengan komunitasnya untuk memetakan isu pendidikan kontekstual dan aktor atau organisasi yang dapat dilibatkan.

Pada hari terakhir, peserta dikenalkan dengan empat prinsip hak anak dan Konvensi Hak Anak. Setiap kelompok mengidentifikasi pelanggaran terhadap empat prinsip hak anak yang terjadi di komunitas mereka. Diskusi ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman peserta mengenai permasalahan anak di lingkungan mereka, bagaimana seharusnya anak dapat didengarkan, dipertimbangkan, dan bahkan dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Hasil Konvensi Hak Anak juga mendukung peserta dalam memahami kaidah dalam perlindungan anak.

Selain pembekalan, terdapat sesi pemberian masukan terhadap strategic goals, focal theme, dan regional specific issue tdh-G yang berkaitan dengan: 1) pendidikan dan pemberdayaan; 2) membangun masyarakat yang demokratis; 3) suara pemuda tentang lingkungan; 4) keadilan gender dan; 5) anti-kekerasan. Peserta menyampaikan pemahaman dan kondisi yang terjadi di komunitas mengenai setiap isu yang dipaparkan. Salah satu bentuk pelanggaran yang terjadi di wilayah kasepuhan berupa adanya pembatasan pendidikan terhadap anak oleh orang tuanya. Hasil dari konsultasi tersebut nantinya disampaikan pada kegiatan National Children and Youth Partner Meeting (NCYPM) yang diselenggarakan di Semarang pada tanggal 04–08 Juli 2024.

Pelatihan ini merupakan rangkaian pertama dari tiga kegiatan yang akan dilaksanakan. Melalui pelatihan ini, RMI mencoba memunculkan kesadaran kritis bagi peserta untuk menciptakan pendidikan dan lingkungan yang mereka harapkan. Metode yang digunakan selama pelatihan menggunakan pendekatan pendekatan kritis, kontekstual, dan mendorong partisipatif bermakna pada peserta. Sehingga, outcome dari pelatihan ini diharapkan dapat ditindaklanjuti dengan komitmen peserta untuk melakukan gerakan sosial di komunitas masing-masing. Dengan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mereka dalam pendidikan lingkungan dan hak anak, peserta dapat berkontribusi secara signifikan dalam menciptakan masyarakat yang lebih sadar lingkungan dan peduli terhadap hak-hak anak.

Penulis: Hanifah Nur Hidayah dan Siti Marfu’ah