Batur Ngawangkong #1: Peningkatan Kapasitas Forum KAWAL di Festival Pare Ketan 2023

Di sesi kedua di hari pertama penyelenggaraan Festival Pare Ketan diisi dengan refleksi dan peningkatan kapasitas anggota Forum KAWAL. Para peserta mendengarkan penjelasan dari fasilitator dan pemateri tentang topik-topik yang relevan dengan agenda perjuangan masyarakat adat kasepuhan dan wilayah ulayat Baduy. Sesi ini dipandu oleh Fauzan Adima dari RMI. Materi pertama penguatan kapasitas mengambil topik Inklusi Sosial yang difasilitasi oleh Tracy Pasaribu dari Kemitraan. Setelah itu dilanjutkan materi kedua dan ketiga namun berhubung fasilitator kedua materi lainnya baru sampai ke lokasi maka akan disampaikan di malam hari. Materi peningkatan kapasitas lainnya adalah Kebijakan Nasional tentang Masyarakat Hukum Adat (MHA) yang difasilitasi Wahidul Halim dari HuMa dan materi Tantangan dan Peluang atas Ruang bagi Masyarakat Hukum Adat oleh Sulaiman Ahmad dari JKPP (Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif). 

Gb 1. Pembukaan Sesi Penguatan Kapasitas Forum KAWAL. Foto: Erik Suhana

Dalam pemaparannya, Tracy mengajak peserta untuk membicarakan kenapa inklusi sosial penting untuk disuarakan dan digaungkan di kalangan masyarakat adat. Didalam inklusi sosial terdapat tiga prinsip utama yaitu (1) Akses terhadap layanan dan SDA; (2) Partisipasi Politik; dan (3) Manfaat dari inklusi sosial. Dengan demikian, inklusi sosial penting untuk diangkat ke permukaan karena selama ini ada beberapa kelompok masyarakat yang terpinggirkan dari proses-proses pengambilan keputusan dan keterlibatan dalam pembangunan. Salah satu kelompok-kelompok yang terpinggirkan itu adalah masyarakat adat bahkan secara umum ada tiga kelompok yang terpinggirkan diantaranya perempuan, anak-anak (termasuk anak muda), dan kaum disabilitas. Oleh karena itu, dengan adanya penerapan inklusi sosial akan memastikan semua orang mendapat kesempatan dan perlakuan yang sama. Dalam beberapa kasus, Tracy mencontohkan bahkan di setiap pertemuan kelompok adat jarang sekali yang melibatkan perempuan dan anak muda. Demikian halnya dengan pola pembangunan di Indonesia yang masih meminggirkan peran-peran perempuan dan anak muda.

Gb 2. Diskusi dan Tukar-Pendapat Anggota Kelompok. Foto: Erik Suhana

Dalam pemaparannya, Tracy juga menyinggung fenomena bonus demografi yang dialami Indonesia hingga tahun 2040. Itu artinya komposisi anak muda Indonesia sekitar 70% dari total populasi. Momentum ini tentu tidak boleh kita lewatkan begitu saja karena peran anak muda lah yang menentukan arah kemajuan Indonesia mendatang. Apa yang anak muda bicarakan saat ini dan apa yang mereka lakukan khususnya di Forum KAWAL ini adalah awal mula perubahan. Berbicara dengan gerakan perubahan di kalangan anak muda dan terkait dengan pengarusutamaan inklusi sosial adalah memastikan ketiga prinsip dalam inklusi sosial dapat terpenuhi. Berbicara tentang akses ialah berbicara tentang bagaimana masyarakat adat terutama kaum perempuan dan anak mudanya mendapatkan akses terhadap layanan dan sumderdaya alam yang setara. Di kesempatan ini Tracy mengingatkan pentingnya membawa kepekaan (awareness) kita terlebih bagi masyarakat adat yang wilayahnya berada di daerah terpencil. Permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat adat terutama kaum perempuan dan anak muda adalah menyangkut akses terhadap sumberdaya alam. Tracy mencontohkan apa yang terjadi di masyarakat adat Nagekeo di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pemerintah daerah di sana ternyata tidak sensitif dan tidak menghitung peran dan akses perempuan terhadap sumberdaya alam. Padahal perempuan memainkan peran yang sangat penting dalam merawat dan memelihara pengetahuan tradisional misalnya dalam pengklasifikasian jenis-jenis tanaman obat dan kegunaannya.

Gb 3. Peserta Mendiskusikan Materi. Foto: Erik Suhana

Prinsip kedua di inklusi sosial adalah partisipasi. Tracy menekankan kenapa dalam inklusi sosial penting untuk melibatkan partisipasi perempuan dan kaum difabel dari setiap agenda pembangunan yang dijalankan. Dengan menempatkan partisipasi, kita memperluas peran dan kesempatan yang setara bagi kaum perempuan dan difabel untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan dan perumusan kebijakan pembangunan. Prinsip iklusi sosial yang ketiga adalah Manfaat. Tracy mengajukan pertanyaan kepada para peserta, “Kalau sudah ada pembangunan apakah semua mendapat manfaat yang sama? Perempuan dan laki-laki. Apakah anak-anak muda diajak terlibat dan berpartisipasi? Maka untuk itulah kita membutuhkan inisiatif untuk bergerak dan memainkan peranannya dalam pengambilan keputusan. Disamping itu, tentunya kita berusaha meningkatkan partisipasi dengan cara mempertajam kepekaan kita. Dan yang lebih penting lagi adalah bahwa kita adalah gerakan akar rumput yang setidaknya sudah mengetahui apa-apa saja permasalahan di tingkatan tapak. Dalam hal ini, Tracy memberi contoh. Misalnya dalam membuat bak mandi. Walau ini terlihat sepele namun posisi amat penting dalam meningkatkan partisipasi dan kepekaan kita. Apakah pembuatan bak mandi tersebut sudah sensitif jender dan peka terhadap kebutuhan perempuan? Jangan-jangan dalam pembuatan bak mandi tidak mengindahkan kebutuhan kaum perempuan. Ada satu contoh menarik yang Tracy singgung di kasus pembuatan bak mandi ini. Desain bak mandi yang ukurannya lebih tinggi membuat ibu-ibu susah untuk mengambil air yang biasanya digunakan untuk mencuci dan membersihkan sayur-sayuran.

Dari hal yang sepele ini Tracy mengajak kita untuk peka dan sensitif terhadap kebutuhan kelompok-kelompok lain yang terabaikan dalam kebijakan dan implementasi pembangunan dan bagaimana pentingnya memperluas kesempatan yang setara bagi kaum perempuan, anak muda, kaum difabel dan orang-orang yang terpinggirkan lainnya untuk didengar dan dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan dan kebijakan pembangunan. Ilustrasi pembuatan bak mandi yang Tracy contohkan adalah gambaran dimana betapa minimnya peran perempuan dan kelompok rentan lainnya dalam proses pengambilan keputusan di ranah kebijakan publik. Dengan demikian, melalui pemahaman kita terhadap inklusi sosial ini maka kita berjuang di arah hulu semisal akses terhadap sekolah dan produksi pengetahuan. Penting untuk mengajak dan melibatkan partisipasi perempuan ke berbagai kegiatan forum yang nantinya akan mempengaruhi pengambilan keputusan dan dari sinilah dimulainya pengkaderan bagi perempuan untuk memainkan perannya di sektor partisipasi politik kewarganegaraan dan kebijakan pembangunan.

Di akhir pemaparannya, Tracy menyinggung sebuah kebiasan dari adat-istiadat kita yang menempatkan urusan perempuan hanya sekadar di wilayah dapur saja. Lalu Tracy menantang peserta dengan melontarkan sebuah pertanyaan tajam tentang masalah ini, “bagaimana mengubah paradigma seperti itu?.” Atas masalah ini, Tracy menunjukkan bahwa persoalan tradisi atau budaya yang tidak pernah ditulis. Padahal kalau digali lebih dalam lagi justru pengetahuan lama dari masyarakat adat malah banyak melibatkan peran perempuan dan penghormatan terhadap posisi perempuan sebagai pengambil keputusan dan sumber-sumber pengetahuan adat. Hal ini telah dibuktikan dari beberapa studi diantaranya penelitian yang dilakukan oleh PEREMPUAN AMAN, tekan Tracy. 

Gb 4. Wahidul Halim – HuMa, Menyampaikan Pemaparan Materinya tentang Advokasi Kebijakan Nasional MHA. Foto: Erik Suhana

Sesi peningkatan kapasitas berikutnya disampaikan oleh Wahidul Halim dari HuMa yang memaparkan materi Advokasi Kebijakan Nasional tentang Masyarakat Hukum Adat (MHA). Dalam penyampaiannya, Halim menjelaskan tentang kedudukan Masyarakat Hukum Adat (selanjutnya ditulis MHA) di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pengakuan eksistensi MHA sebenarnya sudah tertera di konstitusi kita misalnya di Pasal 18B UUD 1945 dan di Pasal 128 UU Pokok Agraria Tahun 1960. Adapun eksistensi MHA dapat dikenali selama MHA memiliki sejarah, tanah ulayat, hutan adat, masyarakatnya, pengetahuannya, kelembagaan adatnya dan eksistensinya diakui oleh masyarakat adat lainnya. Namun demikian, dalam catatan HuMa negara belum melindungi sepenuhnya eksistensi MHA. Misalnya apakah MHA dilibatkan dalam pembuatan UU? Dari indikator ini saja pemerintah belum mengakomodir tuntutan dan kebutuhan MHA.

Berdasarkan pengalaman HuMa ketika pengajuan tuntutan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi atas UU No. 5 tentang Kehutanan Tahun 1999 terhadap persoalan hutan adat. Dalam UU Kehutanan tahun 1999 negara tidak mengakui keberadaan hutan adat dan hutan yang dimiliki oleh MHA diklaim sebagai hutan negara. Oleh karena itu, HuMa bersama MHA dan elemen masyarakat sipil lainnya kemudian memperjuangkan pengadvokasian hutan adat dengan pengajuan tuntutan Judicial Review yang pada akhirnya tuntutan itu dikabulkan Mahkamah Konstitusi dengan menghapus nomenklatur Hutan Negara di hutan adat milik MHA. Dari keberhasilan tuntutan itu maka tugas selanjutnya bagi MHA adalah kemudian bagaimana cara mengadvokasi hak komunal atau hak ulayat agar bisa didaftarkan dan tercatat. Upaya yang dapat dilakukan adalah mengadvokasi Peraturan Menteri (Permen) Kearifan Lokal. Di upaya advokasi ini bagaimana MHA dapat memiliki pemaknaan terhadap hak ulayat mereka seperti mata air, pohon-pohon, tumbuhan, hutan, dan pengetahuan adat terhadap nilai ekologi di wilayah ulayat MHA.

Gb 5. Para Peserta Menyimak Pemaparan dari Pemateri. Foto: Erik Suhana

Disamping itu, dalam hal eksistensi MHA di bidang hak ulayat, HuMa pernah bekerjasama dengan PEREMPUAN AMAN untuk melakukan penelitian tentang hak kolektif perempuan adat di Sulawesi. Dalam hak ulayat adat terdapat hak kolektif perempuan yang proporsinya sangat signifikan terutama pengetahuan MHA terhadap sumber-sumber pangan, tanaman obat dan hutan. Dari kekayaan pengetahuan itulah perlu upaya untuk mengumpulkan dan mendokumentasikan pengetahuan masyarakat adat sebagai hak kolektif mereka—yang selanjutnya didaftarkan sebagai hak kolektif MHA ke Bupati. Sebagai bagian dari eksistensi MHA, hutan adat menempati posisi yang sangat penting bagi pengakuan eksistensi MHA. Namun demikian, menurut Halim tantangannya adalah ketika pasca penetapan hutan adat. Tantangan yang kerapkali ditemui di lapangan adalah pemerintah tidak tahu dimana letak wilayah ulayat MHA berada. Selain itu, tantangan terbesar yang dihadapi MHA adalah berupa tantangan pengakuan bersyarat dari negara. Dalam norma hukumnya seharusnya negara yang mengikuti MHA tetapi yang terjadi menunjukkan sebaliknya—MHA yang mengikuti logika peraturan negara tentang penetapan wilayah ulayat adat. Di sinilah tantangan yang dihadapi oleh MHA meski sudah mendapat pengakuan tetapi logika pengakuannya mengikuti ketentuan negara. Di bagian ini, Abdul Waris selaku perwakilan RMI menambahkan bahwa dalam prosesnya negara yang seharusnya mengembalikan hak pengakuan tersebut ke masyarakat adat bukan malah yang memberi hak pengakuan ke masyarakat adat karena eksistensi MHA sudah lebih dulu ada dan kita kembalikan lagi ke konstitusi negara kita bahwa kedaulatan rakyat (termasuk di dalamnya MHA) sebagai pemegang tertinggi kedaulatan negara dan syarat utama berdirinya sebuah negara.

Di bagian akhir pemaparannya, Halim meluruskan pemahaman tentang perbedaan antara masyarakat adat dan masyarakat hukum adat (MHA). Baginya kedua terminologi ini sebenarnya sama saja dan yang membedakannya adalah terminologi MHA dipakai di dalam UU. Sementara itu, salah satu peserta yang berasal dari Kasepuhan Pasir Eurih mengajukan satu pertanyaan apakah MHA kedudukannya diakui di konstitusi kita? Halim menjawab jika RUU Masyarakat Adat dan RUU MHA itu tergantung dengan siapa yang membacanya. Di konstitusi negara kita sudah jelas tercantum di Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3) UUD 1945, dan Pasal 3 UU Pokok Agraria tahun 1960. Masalahnya hingga saat ini belum disahkannya RUU Masyarakat Adat. Jika RUU tersebut disahkan maka akan mudah bagi kita untuk mengidentifikasikan subyek Masyarakat Hukum Adat. Lamanya proses ketuk palu pengesahan RUU Masyarakat Adat ini disinyalir karena adanya permainan di Prolegnas (Program Legislasi Nasional) di DPR RI. Salah satu Parpol besar yang menguasai kursi di DPR menolak disahkannya RUU ini karena akan menghambat masuknya investasi.

Sesi yang disampaikan oleh Wahidul Halim ini ditutup dengan memberikan masukan kepada peserta dari Kasepuhan Bongkok yang sedang memperjuangkan pengakuan hak hutan adat mereka. Diantara langkah-langkah yang harus dipersiapkan adalah dengan mempersiapkan data-data tentang sejarah, peta wilayah adat, kelembagaan adat, dan profil menyeluruh tentang Kasepuhan Bongkok; membuat legal opinion (pendapat hukum) yang akan dibantu rekan-rekan CSO seperti HuMa; berdiskusi soal kondisi Kasepuhan Bongkok; usaha melobi kepentingan kasepuhan dengan memuat berita acara dan surat resmi ke Pemkab Lebak; bergerak bersama kasepuhan lain dan rekan-rekan CSO; dan terakhir membaca konteks politik kedepan seperti Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Dengan adanya usaha persiapan ini diharapkan akan memudahkan bagi Kasepuhan Bongkok dalam memperoleh pengakuan hak hutan adat dan diakui sebagai subyek MHA secara legal dan politik.

Sesi terakhir penguatan kapasitas disampaikan oleh Sulaiman Ahmad dari JKPP. Sulaiman memberikan pemaparannya tentang Tantangan dan Peluang terhadap Akses Ruang. Bagi Sulaiman penting untuk masyarakat adat kasepuhan membuat pemetaan agar supaya mengetahui ruang hidupnya sendiri. Dalam pengamatan Sulaiman sendiri, permasalahan penataan ruang di Indonesia dapat dirinci sebagai berikut:

  1. Data yang tersedia masih banyak yang bersifat indikatif (misalnya ditetapkan berdasarkan wilayah kawasan hutan, desa, dll).
  2. Proses penataan ruang yang masih bersifat top-down. Penentuan penataan ruang berdasarkan ketetapan pemerintah dan bukan berasal dari masyarakat yang dilibatkan.
  3. Penentuan ruang masih menganut “azas kepentingan” yang lebih mengedepankan kepentingan pemerintah daripada kepentingan masyarakat.
  4. Keterlibatan masyarakat dalam penentuan penataan ruang masih sangat minim.
  5. Belum terintegrasinya data-data peta yang dibuat masyarakat adat (peta partisipatif).
  6. Kebijakan Satu Peta (One Map Policy). Namun data dan informasi pemetaan tidak dilakukan secara partisipatif baik dalam prosesnya maupun hasilnya.

Dari rincian permasalahan penataan ruang ini Sulaiman menunjukkan bahwa data yang membuat pemetaan yang dilakukan pemerintah seringkali tidak tepat dan celakanya dalam kasus-kasus yang terjadi di tingkatan tapak ternyata produk pemetaan yang dibuat negara ini, sesal Sulaiman, “mohon maaf malah jadi acuan kepala desa”, dan maka dari itu di sinilah letak persoalan dari penataan ruang di Indonesia khususnya yang terjadi di wilayah pedesaan—yang notabene banyak ditempati oleh komunitas masyarakat adat sehingga terjadi tumpang tindih lahan dan klaim negara terhadap wilayah ulayat adat masyarakat adat.

Gb 6. Sulaiman Ahmad – JKPP, Menyampaikan Materi tentang Ruang dan Pemetaan Partisipatif. Foto: Erik Suhana

Dari penyampaian materi tentang Tantangan dan Peluang Atas Ruang ini direspon oleh beberapa peserta diantaranya Kang Mursid yang berbagi pengalamannya. Kang Mursid menyatakan bahwa sebelumnya aparat Pemda Lebak tidak mengetahui di Cirompang sudah eksis sebuah kasepuhan yang keberadaannya bahkan jauh sebelum Republik Indonesia berdiri. Di kesempatan ini Kang Mursid juga menyinggung tentang bagaimana masyarakat Kasepuhan Cirompang berjuang untuk mendapatkan pengakuan sebagai Masyarakat Hukum Adat. Salah satu usaha yang dilakukan masyarakat adalah melakukan pemetaan partisipatif yang sudah dimulai di tahun 2009. Namun perjuangan tersebut butuh waktu 10 tahun lama sampai masyarakat mendapat Pengakuan Hutan Adat di tahun 2019. Kemudian Kang Mursid mengingatkan kepada kita semua bahwa betapa pentingnya pengetahuan tentang “ruang” dan kenapa itu penting? Hemat kang Mursid karena ada ruang-ruang yang memang sudah dipetakan namun dalam prosesnya ternyata dilakukan tidak partisipatif atau diketahui oleh masyarakat sejauhmana status ruang kita ini, tutup kang Mursid. Sementara untuk kasus Kasepuhan Bongkok, salah satu perwakilan Kasepuhan Bongkok menceritakan bahwa Kasepuhan Bongkok tidak tercatat dalam lampiran Perda No.8/2015 Kabupaten Lebak tentang Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan masyarakat adat kasepuhan dan jika demikian maka apa yang harus kami lakukan?, gugatnya.  

Gb 7. Pemandu Acara, Fauzan Adima, Menutup Rangkaian Materi Penguatan Kapasitas. Foto: Erik Suhana

Sesi peningkatan kapasitas ini ditutup oleh pemandu acara yang merangkum seluruh materi yang selama seharian penuh telah disampaikan oleh pemateri. Mulai dari materi inklusi sosial, advokasi Masyarakat Hukum Adat dan Peluang dan Tantangan tentang Ruang. Pemandu acara mengajak kepada peserta untuk merumuskan materi-materi yang sudah disampaikan. Materi-materi ini setidaknya dapat menjadi bekal bagi peserta untuk ditindaklanjuti di masing-masing kasepuhan. Disamping itu, pemandu juga meminta para peserta menuliskan kolom kekhawatiran yang dirasakan tentang kondisi masing-masing peserta dan menjadi bahan pembelajaran bersama. 

Ditulis Oleh : Renal Rinoza (Divisi Knownledge Management RMI)

Pembukaan Festival Pare Ketan 2023

Festival Pare Ketan diselenggarakan oleh Kisancang (Komunitas Pemuda Adat Cirompang) dan RMI—Indonesian Institute for Forest and Environment – Bogor, Gerakan Muda Cirompang dan Pemerintah Desa Cirompang. Festival ini juga didukung oleh Kemitraan, HuMa, Program Estungkara, dan Tenure Conference. Festival ini berlangsung selama tiga hari, Jumat 13 Oktober – 15 Oktober 2023 di Kp. Cirompang, Desa Cirompang, Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak-Banten.

Gb 1. Baris Olot Menghadiri Acara Pembukaan Festival Pare Ketan. Foto: Erik Suhana
Gb 1. Baris Olot Menghadiri Acara Pembukaan Festival Pare Ketan. Foto: Erik Suhana

Festival Pare Ketan mengusung tema “Patepung Sararea Ngobrolkeun Ketahanan Pangan” ini dimaknai sebagai ajang silaturahmi antar 3 kasepuhan di Cirompang dan kasepuhan-kasepuhan lain seperti Pasir Eurih, Cibarani, Jamrut, Cibedug, Bongkok, dan Cibeas . Selain itu, festival ini juga mengundang perwakilan dari  komunitas adat Baduy, organisasi masyarakat sipil, pemerintah kecamatan, perangkat Pemerintah Daerah dan Wakil Bupati Kabupaten Lebak. Terselenggarakannya festival ini merupakan inisiatif dari pemuda adat Cirompang untuk memperkenalkan dan melestarikan budaya kasepuhan melalui kegiatan yang menyasar pada upaya menjaga nilai-nilai adat dan pengetahuan adat kasepuhan agar tidak hilang tergerus jaman. Salah satu upaya yang dilakukan adalah mengangkat kearifan lokal berupa pengelolaan sumberdaya hutan dan sistem ketahanan pangan di kasepuhan.

Nama “Pare Ketan” dipilih sebagai simbol dari kekayaan hayati yang dijaga oleh masyarakat adat kasepuhan dan juga dapat dimaknai sebagai ajang silahturahmi yang mempertemukan semua orang untuk membahas kedaulatan pangan dan upaya mewujudkan semangat para generasi muda kasepuhan dalam mempertahankan dan menjaga nilai-nilai adat dan pengetahuan adat tentang ketahanan pangan. Disamping itu, kegiatan festival ini membahas tantangan lain bagi pemuda dan masyarakat adat kasepuhan yaitu di era modern ini adalah bagaimana memastikan bahwa seluruh masyarakat, termasuk perempuan, anak-anak, kelompok rentan, dan mereka yang seringkali terpinggirkan turut serta dan mendapatkan manfaat dari pelestarian dan pengelolaan sumberdaya alam yang efektif dan berkelanjutan. Oleh karena itu, Komunitas Pemuda Adat Cirompang (Kisancang) memandang perlu untuk menekankan pentingnya inklusi sosial sebagai salah satu pilar utama dalam kegiatan Festival Pare Ketan.

Gb 2. Prosesi Ritual Adat Untuk Kelancaran Festival Pare Ketan. Foto: Erik Suhana

Kegiatan pembukaan Festival Pare Ketan diawali dengan pembacaan doa dan ritual berupa pembakaran kemenyan dan sesajen rujak (yang terdiri dari segelas kopi pahit, air putih, air kembang, dan kudapan) dan nasi tumpeng dari olot kasepuhan agar pelaksanaan festival mendapat kelancaran hingga selesai. Kaum ibu-ibu dari perwakilan tiga kasepuhan menabuhkan alun ke lesung dengan hentakan yang berirama sebagai bagian dari prosesi adat untuk sebuah penyelenggaraan acara festival. Setelah itu agenda pembukaan diisi oleh sambutan-sambutan dari Ketua Kisancang, Kepala Desa Cirompang, Tokoh Masyarakat, perwakilan kelembagaan adat kasepuhan, dan RMI. Dalam rangkaian acara pembukaan ini diakhiri dengan pembacaan Al-Quran dan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya.

Adapun untuk rangkaian acara selama tiga hari diisi oleh penampilan kesenian tradisional, pameran produk-produk pangan lokal dan cinderamata, reriungan Forum KAWAL, refleksi perjalanan perjuangan hutan adat di Kasepuhan Cirompang, pemaparan dari Kemitraan tentang inklusi dan kesetaraan jender, pemaparan dari HuMa yang membahas advokasi kebijakan dan peluang bagi penguatan masyarakat adat, pemaparan dari JKPP yang mengingatkan pentingnya pengetahuan tentang penataan ruang dan pemetaan partisipatif bagi masyarakat adat kasepuhan, sarasehan bersama aparatur Pemerintah Kabupaten Lebak dan sambutan Wakil Bupati Kabupaten Lebak. Di hari terakhir, Festival ditutup dengan pengumuman lomba dan penyerahan trofi kepada pemenang lomba serta ramah-tamah panitia.

Gb 3. Tetabuhan Alun di Lesung. Foto; Erik Suhana

Kegiatan festival dipusatkan di kantor Kepala Desa Cirompang. Panitia membuat sebuah panggung bagi kegiatan utama festival di halaman dan ruangan yang dijadikan forum diskusi dan tukar pendapat permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat kasepuhan. Jalur disepanjang menuju panggung utama disuguhi saung (stand) masing-masing RT dan kader Posyandu untuk menjajakan hasil bumi dan oleh-oleh seperti cempedak, nangka, petai, jengkol, sayur-mayur, cabe, tomat, durian, kecapi, manggis, labu, pisang, ubi, singkong, opak, gula aren padat, gula aren cair, dan aneka panganan lokal masyarakat kasepuhan lainnya. Sementara itu, perwakilan dari Forum KAWAL juga menjajakan produk-produk dan cinderamata masyarakat adat kasepuhan dan baduy seperti kopi, gula semut, kopi, kaos, selendang tenun, dan iket.

Kegiatan pembukaan Festival Pare Ketan ditutup sebelum dimulainya waktu shalat jumat. Dan kemudian di siang harinya dilanjutkan dengan kegiatan peningkatan kapasitas yang dibungkus dalam Forum KAWAL yang difasilitasi oleh perwakilan CSO kepada generasi muda kasepuhan dan diikuti dengan kegiatan ngawangkong (diskusi dan berbagi pendapat dan pengalaman) Forum KAWAL antar generasi muda kasepuhan dan perwakilan masyarakat adat Baduy. Di sesi Forum Kawal ini berisi refleksi dan peningkatan kapasitas teman-teman muda kasepuhan, anak muda Baduy, dan mitra mereka dari CSO yang diwakili oleh RMI, Kemitraan, JKPP dan HuMa.

Ditulis Oleh : Renal Rinoza (Divisi Knownledge Management RMI)

SPORA Batch V: Menumbuhkan Keresahan dan Refleksi Generasi Muda dalam Menyelami Persoalan Sosial-Lingkungan

 

   Foto bersama peserta SPORA Batch V (Dokumentasi RMI diambil oleh Eki)

“SPORA batch V banyak memberikan makna baru dalam kamus hidup setiap peserta. Selain dilatih untuk berpikir kritis, SPORA juga melatih keseimbangan antara otak dan hati.” -Elif Ivana Hendastari (Peserta SPORA Batch V)

Generasi muda memiliki potensi besar untuk berkontribusi dalam melakukan perubahan sosial-lingkungan. Bukan hal baru jika julukan agen perubahan hingga pembaharu dengan semangat progresif melekat dalam diri generasi muda. Pengharapan terhadap mereka pun bahkan sempat disampaikan oleh presiden pertama RI, di mana ia berkata bahwa dunia dapat diguncang dengan berbekal 10 pemuda. 

Namun dalam melakukan suatu perubahan, menjadi satu hal penting bagi generasi muda untuk lebih memahami isu-isu sosial-lingkungan dengan menarik keterkaitan antara masyarakat dengan pengelolaan kekayaan alam. Bagaimana dari keterkaitan tersebut tanpa kita sadari memiliki dampak pada ketimpangan serta krisis sosial-ekologis yang terjadi di sekitar kita. 

Berawal dari kesadaran atas pentingnya memahami isu sosial-lingkungan bagi generasi muda, menjadi dorongan besar bagi RMI untuk mengadakan kursus singkat yang di dalamnya membicarakan seputar isu tersebut. Kegiatan yang menjadi model pembelajaran sejak tahun 2016 ini telah membawa 82 alumni (dari lima batch) yang diharapkan dapat menjadi penggerak sosial di lingkungan mereka masing-masing. 

Kursus SPORA, yang sebelumnya dikenal dengan sebutan Short Course sempat terhenti selama dua tahun akibat pandemi Covid-19, akhirnya kembali terlaksana pada tanggal 6-10 Agustus 2022. Sebanyak 22 peserta yang terdiri dari 14 orang perempuan dan 8 orang laki-laki berkegiatan bersama selama lima hari, saling bertukar pikiran dan pendapat, mempelajari isu-isu sosial dan lingkungan, serta keterhubungan antar berbagai isu beserta konteks yang melatarbelakanginya. 

Perjalanan Generasi Muda Merefleksikan Diri dan Sekitarnya

Foto diskusi kelompok peserta SPORA Batch V (Dokumentasi RMI diambil oleh Eki)

Materi SPORA yang dibawakan dikemas secara sistematis dengan metode-metode yang beragam dan menyenangkan berdasarkan pengalaman RMI dalam menyelenggarakan kegiatan bersama dengan masyarakat. Hal ini bertujuan agar penyampaian materi kepada seluruh peserta tersalurkan dengan optimal dan mudah dipahami sehingga menjadi satu pemahaman yang utuh. 

Pembelajaran yang didapat setiap harinya menjadi pengalaman unik bagi setiap peserta yang mengikuti kegiatan SPORA. Akan tetapi ada kesamaan tujuan dalam penyampaian setiap materi: menumbuhkan keresahan dan meningkatkan kemampuan berpikir kritis generasi muda dalam melihat persoalan sosial-lingkungan di sekitar. Tujuan tersebut terfasilitasi melalui sejumlah materi yang disampaikan, antara lain mindfulness dan Kepemimpinan inklusif, Kebijakan dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA), Gender dan Inklusi Sosial, Etika Lingkungan, Ekologi Politik, Kebijakan dalam PSDA, Kemiskinan Struktural, kemudian dilanjutkan dengan Observasi Sosial di sekitar lokasi kegiatan.

Untuk menunjukan kompleksitas persoalan sosial-lingkungan, materi yang disiapkan untuk kegiatan SPORA pun saling terkait dengan materi lain. Seperti halnya dengan materi Etika Lingkungan yang dibawakan oleh Mardha Tillah, di mana peserta diajak untuk menyelami pemahaman atas keterhubungan alam dengan makhluk hidup di dalamnya. Bagaimana manusia memahami, menghuni, sampai mengubah lingkungan di sekitarnya; bagaimana rasio dianggap lebih superior ketimbang perasaan; bagaimana tradisi serta dogma agama dapat mempengaruhi manusia dalam mengelola kekayaan alam yang tersebar di bumi; hingga pada akhirnya mendorong tumbuh dan makin menjamurnya praktik kapitalisme sampai saat ini. 

Foto Mia Siscawati, pemateri Gender dan PSDA di SPORA Batch V (Dokumentasi RMI diambil oleh Eki)

Materi Etika Lingkungan di atas pada dasarnya adalah pengantar bagi materi yang disampaikan setelahnya yaitu Gender dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA). Menjadi satu hal yang menarik saat seluruh peserta diajak untuk membuat pentas drama atau bermain peran (role play) oleh Mia Siscawati, sebagai penghubung dalam memahami materi yang akan disampaikan. Beragam persoalan sosial-lingkungan mulai dari persoalan gender di wilayah rural-urban ditampilkan seluruh peserta dengan cara yang amat kreatif. Tanpa disadari hal-hal yang telah ditampilkan peserta melalui role play tersebut mengajak mereka untuk lebih tersadar dan memahami persoalan gender sehari-hari yang mereka temui namun luput untuk direfleksikan lebih mendalam. Bagaimana peran gender sebetulnya terbagi menjadi beberapa peran seperti domestik atau reproduksi, produktif, dan peran sosial adalah salah satu pembelajaran penting yang diperoleh peserta selama sesi ini berlangsung. 

Pemateri lalu melanjutkan pemaparannya bahwa persoalan gender yang ada tidak akan terlepas dari relasi antar kelas dan bentuk-bentuk lain dari ketidakadilan gender. Paparan terkait dengan sistem tenurial menjadi pembelajaran menarik lain di dalam materi Gender dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA). Melalui penjelasan tentang sistem tenurial yang juga mencakup seluruh komponen dalam ruang hidup, dapat berdampak pula pada keterkaitan lain yang memungkinkan untuk menimbulkan konflik seperti konflik agraria. Hal ini menjadi isu yang seringkali berada di luar perhatian publik maupun pemberitaan media massa. Karena persoalan tersebut masih dianggap sebagai persoalan milik mereka yang ruang hidupnya terampas. Proses yang dilalui peserta dalam materi ini kemudian mengantarkan mereka pada satu pemahaman bahwa kerusakan lingkungan dan konflik agraria dapat melanggengkan praktik ketidakadilan gender.

Foto peserta SPORA Batch V bermain Mancing Mania (Dokumentasi RMI diambil oleh Eki)

Pembelajaran dan refleksi yang didapat selama kegiatan SPORA berlangsung tidak hanya berasal dari materi-materi yang disampaikan dalam metode ceramah saja. Adapun metode ajar yang disampaikan melalui diskusi, tugas individu, sesi team building, dan permainan-permainan. Pembelajaran menarik salah satunya terlihat dalam permainan “Mancing Mania” pada materi Konsep Keberlanjutan, Konflik, dan Resolusi yang mengajak peserta untuk memahami konsep berkelanjutan itu sendiri. Dalam realita pemanfaatan kekayaan alam; tak jarang masyarakat, perusahaan, atau bahkan pemerintah sendiri melakukan kegiatan pemanfaatan kekayaan alam dengan cara-cara ekstraktif tanpa mempertimbangkan kekayaan alam kian menipis seiring berjalannya waktu. 

Refleksi akan pentingnya merubah cara pandang terhadap pemanfaatan kekayaan alam menjadi pembelajaran penting setelah permainan ini usai dilakukan. Tidak sedikit peserta yang kesal karena secara gamblang menyaksikan ketamakan yang diperlihatkan selama permainan berlangsung. Hal tersebut merefleksikan pola-pola pemanfaatan kekayaan alam yang tidak memperhatikan aspek keberlanjutan. 

Pasca-SPORA Batch V

Seluruh peserta telah mengikuti lima hari kegiatan SPORA dengan sangat baik. Proses pembelajaran serta transfer pengetahuan dan pengalaman juga terjalin secara mandiri di antara peserta, tidak terpaku pada fasilitator atau pemateri saja. Di akhir kegiatan, setiap peserta juga menyampaikan cita-cita mereka di kemudian hari bagi lingkungan di sekitarnya. Penguatan komitmen, oleh karenanya, merupakan satu hal penting untuk memastikan keberlanjutan dari pengharapan yang ingin mereka wujudkan. Bagaimana gerakan sosial yang digawangi oleh generasi muda dapat menjadi pendekatan dalam merespon persoalan sosial-lingkungan yang tengah kita hadapi saat ini menjadi hal yang diproyeksikan terjadi pasca-SPORA berlangsung.

Foto peserta SPORA Batch V (Dokumentasi RMI diambil oleh Eki)

Kegiatan SPORA Batch V telah usai. Namun seluruh pengalaman dan pembelajaran yang telah didaparkan oleh peserta dan juga pemateri tidak serta merta terhenti setelah kegiatan. Pengetahuan dan informasi selama kegiatan SPORA diharapkan dapat menjadi bekal kaum muda dalam memahami dan merespon persoalan sosial-lingkungan yang terjadi disekitar. Oleh karena itu seluruh peserta yang telah menyelesaikan kegiatan SPORA diajak untuk bergabung dan aktif berkegiatan di dalam Relawan4life, yang merupakan ruang belajar generasi muda yang diinisiasi RMI sebagai tempat bagi orang muda untuk merawat inisiatif-inisiatif gerakan sosial-lingkungannya bersama

Sampai bertemu lagi di SPORA Batch selanjutnya!

 

Penulis: Dinah Ridadiyanah 

Editor: Supriadi

 

Silakan klik link berikut untuk melihat tanggapan peserta mengenai kegiatan Kursus Singkat ini :

Cerita Tias: Spora: Menyikapi Pesimisme dengan Positif – Relawan for Life (wordpress.com)

Cerita Elif: SPORA batch V : Letih, Tertatih, namun Melatih   – Relawan for Life (wordpress.com)

Cerita Anggi: Karena SPORA Tak Harus Tumbuh Saat Itu Juga – Relawan for Life (wordpress.com)

Rencana Aksi Ibu-ibu, Kelompok PKK dan Kader Posyandu Kasepuhan Cibarani dalam Perbaikan Gizi Keluarga

Tetet…tetet…tetettt Tetet…tetet…tetetttttt, sayuuuuurr, sayuuuuurrr”! Begitulah bunyi dan teriakan tukang sayur saling bersahut-sahutan di kampung.

Suara khas klakson motor yang disertai teriakan tukang sayur hampir setiap pagi mengisi nuansa perkampungan di Kasepuhan Cibarani, Kecamatan Cirinten di Kabupaten Lebak, Banten. Bermula dari suara klakson motor itu pula penyebutan masyarakat terhadap tukang sayur keliling dengan istilah tetetet.

Bagi tukang sayur, ada rute yang sudah biasa dilalui berikut titik-titik yang menjadi tempat mangkal mereka. Setelah tukang sayur berhenti dan memarkirkan motor, umumnya ibu-ibu datang berkerubung, membentuk formasi setengah lingkaran. Berdasarkan pengamatan, selain belanja bawang-bawangan, tomat dan cabe, sayur segar juga menjadi incaran. Jumlah dan variasi belanjaan tentu saja disesuaikan juga dengan kondisi keuangan masing-masing orang.

Menyaksikan peristiwa ini berulang terjadi pada ruang dan waktu yang berbeda, sama halnya berdiri di ruang ambiguitas. Pasalnya, akses pada lahan subur cukup terbuka dan apabila dimanfaatkan, lahan tersebut dapat digunakan untuk memproduksi sebagian bahan pangan yang biasanya mereka beli dari tetetet.

   

Berangkat dari kegelisahan ini pada tanggal 30 Juni 2021 pendamping kelompok dari RMI mencoba mengajak ibu-ibu masyarakat Kasepuhan Cibarani, Kelompok PKK serta Kader Posyandu untuk berdiskusi. Tujuannya adalah untuk menggali hal-hal yang bisa dilakukan bersama untuk menekan pengeluaran belanja resiko dapur (istilah lokal untuk sembako).

Bak gayung bersambut, dari masyarakat sendiri kemudian muncul gagasan mengenai perlunya mengelola kebun pekarangan secara kelompok. Selain untuk tujuan mengurangi pengeluaran belanja resiko dapur, kebun pekarangan juga akan difungsikan sebagai cadangan pangan dan pemenuhan gizi keluarga. Pemenuhan gizi keluarga ini penting mengingat adanya catatan dari Dinas Kesehatan Kabupaten Lebak merilis data mengenai angka gizi buruk (stunting) dimana Kecamatan Cirinten menempati urutan teratas dengan balita gizi buruk dengan angka 11,0 persen.

Dari penjelasan Kader Posyandu Kasepuhan Cibarani, sejauh ini kegiatan kader yang umum dilakukan adalah melalui pelaksanaan Bulan Penimbangan Balita (BPB). Masih adanya kekurangan-kekurangan pada kegiatan fasilitasi peningkatan kapasitas para kader terkait langkah-langkah kongkrit menuju perbaikan gizi keluarga dan balita. Umumnya kegiatan pendukung hanya berupa bantuan-bantuan bagi ibu dan anak  seperti pemberian kacang-kacangan, telor dan susu. Namun, karena sifatnya sementara dan tidak rutin setiap hari, maka perlu solusi lain guna mengatasi permasalah seperti ini.

Narasi berbeda disampaikan Kelompok PKK, kelompok ini menyatakan pernah berkebun sekali dengan memanfaatkan bantuan dari Dinas Ketahanan Pangan Kabupaten. Bantuan benih berupa bibit palawija diberikan berbarengan dengan bantuan-bantuan lainnya, seperti pelatihan budidaya jamur dan budidaya lele. Hasil dari berkebun menurut penjelasan ibu-ibu PKK cukup berlimpah, dari saking banyaknya dijual dengan harga murah. Sebagai contoh timun dijual Rp.500 /kg, sementara jika membeli di tetetet bisa mencapai harga 4-5 ribu/kg.

Kiranya tujuan berkebun bagi masyarakat Kasepuhan Cibarani perlu untuk lebih diperdalam, melebihi  motivasi ekonomi semata. Kebutuhan gizi keluarga perlu lebih diutamakan terlebih dahulu, misalnya dengan menanam tanaman-tanaman yang dapat dikonsumsi pada skala rumah tangga. Selanjutnya barulah bila ada kelebihan produksi, maka produk dapat dilempar ke pasar untuk memperoleh keuntungan ekonomi.

Untuk merumuskan hal ini, maka diperlukan langkah –langkah perencanaan bersama antara masyarakat dan pendamping kelompok. Hal-hal yang perlu disepakati adalah seperti tata kelola lahan, pengaturan jenis-jenis tanaman yang disesuaikan dengan kalender musim, dan lainnya. Diskusi awal yang dilakukan pada bulan Juni ini merupakan awalan yang baik untuk membenahi konsep kemandirian pangan di Kasepuhan Cibarani.

Penulis : Abdul Waris

Editor: Indra N.H

Jadi dan Menjadi Masyarakat Adat: Suara Anak Muda Adat

“Bagaimana kamu memandang identitasmu sebagai masyarakat adat di masa kini, disaat modernisasi, terutama teknologi informasi dan digitalisasi telah semakin mengubah cara kita berinteraksi dengan lingkungan kita, dan lebih jauh telah mempengaruhi cara kita memandang sesuatu, termasuk kontribusi pada stigma yang melekat pada masyarakat adat dan mereka yang bergantung pada sumber daya alam? ” “Menurutmu apakah Kamu masih menjadi bagian dari masyarakat adat saat Kamu menggunakan teknologi yang tidak digunakan orang tua dan leluhurmu di masa lalu?” “Menurutmu, apa yang membuatmu menjadi bagian dari masyarakat adat? Dan apakah artinya itu ? ”

Berangkat dari kehidupan sehari-hari pemuda/i adat, pertanyaan-pertanyaan semacam ini dirancang dengan cermat dalam program berjudul “Being and Becoming Indigenous”—atau “Jadi dan Menjadi Masyarakat Adat” untuk memberikan ruang bagi generasi muda dari empat komunitas adat mendiskusikan persepsi mereka sendiri tentang ke-adat-an mereka di tengah modernitas. Beberapa pertanyaan tersebut sebenarnya tercermin dari pertanyaan-pertanyaan yang sering dilontarkan oleh masyarakat non-adat kepada pemuda/i, mempertanyakan identitas mereka sebagai bagian dari masyarakat adat. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini yang kontradiktif dan jarang dibahas telah membingungkan para pemuda/i ini.Karena persimpangan antara kehidupan mereka yang berbasis tradisi/adat dengan modernitas jarang sekali dibahas, maka arah perubahan yang mungkin terjadi pun tidak terencana dengan baik.

Anak muda adat Mollo, Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur.
Sumber foto: Lakoat Kujawas

“Being and Becoming Indigenous”—atau “Jadi dan Menjadi Masyarakat Adat” merupakan program pemberdayaan generasi muda adat dengan memberikan ruang bagi mereka untuk memahami akar dan makna tradisinya, terutama tentang tata kelola sumber daya alam, di tengah kehidupan modern. Selain hal tersebut di atas, program ini juga bertujuan untuk memperkuat persepsi pemuda/i tentang adat yang berimplikasi pada partisipasi pemuda/i ini dalam mereproduksi praktik mata pencaharian berbasis komunal mereka kedepannya. Keempat komunitas Pemuda/i adat ini adalah Kasepuhan Pasir Eurih di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, Mollo di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur, keduanya berada di Indonesia, dan Agta-Dumagat-Remontado di Filipina akan berkesempatan untuk mendefinisikan identitasnya sebagai bagian dari komunitas adat meskipun hidup dan terhubung, termasuk secara digital, ke dunia modern. Para pemuda/i akan mendapat pengalaman di ruang belajar bersama ini guna memahami makna menjadi masyarakat adat selama delapan bulan ke depan.

Program ini dikelola oleh RMI-the Indonesian Institute for Forest and Environment bekerja sama dengan Asian Farmers Association for Rural Sustainable Development (AFA) dengan pelaksana lokal adalah Lakoat Kujawas di Indonesia, dan PAKISAMA di Filipina. “Being and Becoming Indigenous” adalah sebuah program yang didukung oleh program VOICE.

Semoga dalam prosesnya Anak muda-anak muda adat ini dapat mempersepsikan identitas mereka sebagai bagian dari budaya pemuda/i global sembari tetap berpegang pada akar tradisi mereka!

Being and Becoming Indigenous: Voice of Indigenous Youth

“How do you perceive your identity as being indigenous in present days, when modernization, especially information technology and digitalisation have further changed the way we interact with our surroundings, and have further influenced the way we see things, including to contribute to the stigma attached to indigenous communities and those depending on natural resources?” “Do you think you are still indigenous when you use technology that your parents and elders did not use in the past times?” “What do you think that makes you indigenous and what does it mean?”

Drawing from daily lives of indigenous youth, these kinds of questions are carefully designed in a project titled “Being and Becoming Indigenous” to provide space for youth from four indigenous communities to discuss their own perception on their indigeneity in the midst of modernity. Some of these questions are actually reflected from questions that are often being asked by the non-indigenous persons to the youth, questioning their identity as part of indigenous communities. These kinds of questions have left these youth confused as these kinds of seemed-to-be-contradictions are rarely discussed. As these crossroads between indigeneity and modernity of indigenous youth’s identity is rarely discussed, the directions of changes that are likely to happen are not well-planned.

Indigenous Youth of Mollo, in South Central Timor Regency, East Nusa Tenggara Province. Resource: Lakoat Kujawas

The “Being and Becoming Indigenous” is a project to empower indigenous youth by creating a space for them to understand their roots and the meaning of their traditions, especially on natural resources governance, in the midst of modern life. This project also aims to contribute to strengthening the youth’s perception on indigeneity that implies to these youth’s participation in reproducing their community’s communal-based livelihoods practices in the long run. Youth of four indigenous communities namely Kasepuhan Pasir Eurih in Lebak Regency, Banten Province, Mollo in South Central Timor Regency, East Nusa Tenggara Province, both located in Indonesia, and Agta-Dumagat-Remontado in the Philippines will experience the opportunity to define their identity as being part of indigenous communities whilst living and be connected, including digitally, to the modern world. Co-learning space will be enjoyed by these youth to understand the meaning of being and becoming indigenous in the next eight months.

This project is led by RMI-the Indonesian Institute for Forest and Environment in collaboration with Asian Farmers Association for Sustainable Rural Development (AFA). Acting as local implementers are Lakoat Kujawas in Indonesia, and PAKISAMA in the Philippines. “Being and Becoming Indigenous” is a project supported by VOICE programme.

Please the process of these indigenous youth in perceiving their identities as part of global youth culture whilst also rooting in to their traditions!