Refleksi Destinasi Super Prioritas di Labuan Bajo dari Pelatihan Kepemimpinan 3 Kampung Katong

Melihat fenomena pembangunan pariwisata melalui kacamata penduduk lokal memerlukan kesadaran kritis-kontekstual karena seringkali kemewahan yang ditawarkan oleh pembangunan sangat membuai dan meninabobokan. Dampak pembangunan pariwisata merupakan hasil dari proses sistemik yang serba saling memengaruhi secara timbal balik.  Hal inilah yang disoroti Konsorsium Kampung Katong melalui “Pelatihan Kepemimpinan 3” yang mengangkat tema kepemimpinan di level sistemik dalam konteks perebutan ruang hidup dan pengelolaan sumber daya alam.

Pelatihan Kepemimpinan 3 Kampung Katong mengajak orang muda dari tiga komunitas–Simpasio Institute, Lakoat.Kujawas dan Kolektif Videoge–untuk menganalisis, merefleksi dan menyikapi pembangunan pariwisata di Labuan Bajo menggunakan perspektif etika lingkungan, ekologi politik, pembangunan inklusif dan pembangunan berkelanjutan.

Pola interaksi manusia-alam yang eksploitatif telah memicu berbagai krisis sosial dan lingkungan. Interaksi ini lahir dari pandangan bahwa manusia adalah entitas yang terpisah dengan alam. Bukan sebagai satu kesatuan utuh yang berinteraksi timbal-balik. Peserta pelatihan mempelajari hal ini dalam sesi etika lingkungan. Antroposentrisme–pandangan yang menempatkan manusia sebagai pusat dari alam semesta–begitu kuat mengakar, sehingga hubungan antara manusia dengan alamnya pun dilandaskan pada ukuran-ukuran yang menguntungkan manusia semata. Dengan kata lain,  “sebesar apa manfaat alam bagi manusia?”

Pemahaman pegiat komunitas yang hadir dalam pelatihan selanjutnya diperkuat ketika materi ekologi politik disampaikan. Sesi ini dibawakan oleh Marta ‘Ica’ Muslin, seorang pegiat lingkungan yang berbasis di Labuan Bajo. Warga Labuan Bajo menyaksikan bagaimana kampung halamannya disulap menjadi kota dalam sekejap. Acara Komodo Sail 2013 dan ditetapkannya Labuan Bajo sebagai destinasi pariwisata super premium melalui Perpres No. 32 Tahun 2018 adalah di antara dua hal yang berdampak signifikan terhadap berubahnya rupa Labuan Bajo. Ica menjelaskan bahwa pembangunan pariwisata di Labuan Bajo memiliki sisi baik dan sisi buruk sekaligus seperti dua sisi mata uang.

Foto bersama Martha Muslin, Narasumber Politik Ekologi dalam Pelatihan Kepemimpinan III
Foto bersama Martha Muslin, Narasumber Politik Ekologi dalam Pelatihan Kepemimpinan III

Ia banyak bercerita mengenai pengalaman advokasi dan kolaborasi dengan pemerintah setempat. Ia mengatakan bahwa dengan masuknya pariwisata telah memicu membaiknya layanan publik khususnya rumah sakit dan sekolah tinggi pariwisata di Labuan Bajo. Meskipun begitu, pariwisata membawa dampak lain. Salah satunya adalah permasalahan air. Nyatanya, akses terhadap air bersih terbatas. Hal ini ditengarai oleh pesatnya kemajuan pariwisata yang mengeksploitasi air tanah besar-besaran untuk hotel, alih fungsi lahan, dan lain sebagainya.

“Untuk masalah air, (pengaruh) pariwisata terhadap air (yaitu) satu orang tamu bintang 5 itu setara 100x pemakaian air orang biasa… (di sisi lain) ada juga kasus di rumah tangga karena malamnya suami tunggu air dan paginya harus mengantar tamu (wisatawan) sehingga ada konflik. Ada 12 kasus suami istri yang sampai bercerai. Sekarang distribusi air sudah lebih bagus, tapi orang sudah harus berpikir untuk untuk mendaur ulang air dengan izin hotel bintang 5… Permasalahan air di seluruh manusia memang (menjadi) masalah tapi disini lebih masalah lagi karena pariwisata.”

Selain itu, kasus penyempitan wilayah tangkap adalah contoh persoalan bermuatan ekologi politik yang harus dihadapi warga Labuan Bajo sehari-hari. Sebagaimana disampaikan oleh Ica sebagai berikut:

“Dalam konteks Labuan Bajo, zona pariwisata meluas, zona bahari mengecil. Tapi tidak ada yang memberikan program langsung dan signifikan untuk nelayan. Sehingga nelayan kadang membawa pisau, jaga-jaga jika bersitegang dengan orang yang diving. Itulah asalnya konflik. Karena perebutan ruang.”

Realitas laju pembangunan di Labuan Bajo yang meminggirkan masyarakat lokal memantik diskusi lebih lanjut tentang topik pembangunan inklusif. Melalui permainan Maju Satu Langkah[1], muncul kesadaran bahwa setiap orang memiliki kondisi terberi (given) lalu sejauh mana setiap individu menyikapi dan mau bekerja keras untuk memperbaiki hidupnya meskipun kebijakan negara tetap memainkan peran. Seperti yang dikatakan Marto dari Kolektif Videoge:

“Kita semua punya modal tergantung cara pandang kita. Ada modal sosial dan modal ekonomi. Kalau tidak bisa mengolahnya, saya tidak akan maju. Tergantung modal apa yang mau dimainkan.”

Sedangkan dari sisi keberlanjutan pengelolaan sumber daya alam, isu ini disampaikan melalui permainan tangkap ikan.[2] Indra, fasilitator, merefleksikan bahwa:

“Perasaan senang yang muncul ketika bermain tadi ada saat kita berbisnis. Senang mendapatkan ikan banyak membuat kita ketagihan. Sebetulnya menurut saya, semuanya kalah (karena ikan tinggal sedikit). Perusahaan bisa mendapat ikan dengan tidak terbatas, lalu baru sadar ketika SDA (ikan) sudah menipis. Karena ada aturan yang menyebutkan bahwa ikan akan ditambah 10 persen dari total populasi, peserta yang berperan sebagai perusahaan tidak awas dengan peringatan itu. Ini ngomongin keberlanjutan. Tadi itu adalah eksploitasi dan perasaan yang menyenangkan itu timbul dari profit. Bisa saja untung perusahaan kecil tapi berkesinambungan. Perusahaan akan cenderung melanggar aturan karena visinya profit dan itu karakteristik mereka. Investasi berpengaruh pada beberapa hal: SDA mulai kritis dan tidak sensitif bahwa praktik yang mereka lakukan merugikan orang lain. Seringkali pembangunan dijalankan tanpa konsep yang bagus. Kadang kita juga tidak mau berhenti sebentar untuk melihat ulang. Sulit berhenti walaupun sudah tahu caranya salah.”

Merangkum isu pembangunan pariwisata di Labuan Bajo dapat diilustrasikan  dengan baik oleh Aden dari Videoge:

“Kami merasa sadar/tidak sadar terpapar sangat kuat (oleh pembangunan). Ilustrasi kami itu (seperti) kami sedang belajar mengendarai motor. Sudah bonceng orang. Kita mesti gas, tapi kita mesti menurunkan lagi gas untuk memperhatikan sekeliling kita. Karena kecepatan tinggi, kita tidak sempat memperhatikan kiri-kanan kita. Apakah kita harus merelakan dua atau tiga generasi di Labuan menjadi tidak kritis, rapuh. Itu juga yang menjadi refleksi. Mau menyelamatkan orang, tapi kita sendiri tidak selamat.”

Aden & Saddam, crew Videoge, sedang cerita tentang Kolektif Videoge

Pernyataan Aden, Videoge, menggambarkan kegelisahannya sebagai warga Labuan Bajo yang harus beradaptasi dengan arus pembangunan sambil berefleksi akan perubahan-perubahan yang terjadi di sekelilingnya yang terjadi begitu cepat. Ia harus menghadapi pembangunan pariwisata di Labuan Bajo yang didorong oleh negara (state driven) sepanjang rezim pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo yang dibuktikan dengan serangkaian peraturan perundang-undangan seperti  Peraturan Pemerintah (PP) No. 50 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010-2025 dan Perpres nomor 32 Tahun 2018 tentang Badan Otorita Pengelolaan Kawasan Pariwisata Labuan Bajo Flores, membuat Labuan Bajo masuk ke dalam daftar 10 destinasi wisata prioritas sejak 2015 untuk kemudian tetap masuk ke dalam 5 lokasi DSP hasil pengerucutan di tahun 2019.

Dorongan pemerintah untuk pembangunan daerah pariwisata di Labuan Bajo beriringan dengan momen ditetapkannya Pulau Komodo sebagai tujuh keajaiban dunia di tahun 2012 dan Komodo Sail di tahun 2013 yang menjadi dua peristiwa penting yang ikut bersumbangsih untuk mengakselerasikan pembangunan pariwisata di Labuan Bajo sebagai lambang destinasi pariwisata di Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Dapat dilihat bahwa pembangunan pariwisata di Labuan Bajo berbasiskan transformasi ruang dan pemgambilalihan ruang. Inisiasi pemerintah untuk membuat “Bali baru” dengan label destinasi super prioritas (DSP) Indonesia dapat dikatakan berhasil. Tidak heran jika kita berada di pusat keramaian yaitu di Jalan Soekarno Hatta, Labuan Bajo, kita merasa seperti sedang berada di kawasan Pantai Kuta, Bali. dengan trotoar lebar bagi pejalan kaki dan tempat-tempat makan bervariasi di kiri dan kanan jalan. Transformasi ruang terlihat sangat jelas dalam waktu 11 tahun sejak Pulau Komodo menjadi salah satu dari tujuh keajaiban dunia.

Transformasi ruang tentunya tidak murah. Dilansir dari ekonomi.bisnis.com, Menteri PUPR Basuki Hadimuljono mengatakan bahwa pada tahun ini, pemerintah telah mengalokasikan anggaran pembangunan infrastruktur untuk pengembangan KSPN Labuan Bajo sebesar Rp1,30 triliun atau lebih besar dari 2019 sebesar Rp83,20 miliar. (Gunawan, 2020) Dengan begitu, pembangunan akan bertumpu pada konsentrasi modal pemerintah yang melibatkan pemilik modal swasta untuk melegitimasi transformasi dan pengambilalihan ruang. Adapun pembangunan ini ditopang oleh konektivitas komunikasi dan transportasi sehingga aktor baru, pengusaha-pengusaha, dapat bermigrasi dan mempercepat pembangunan. Tak mengherankan jika dalam waktu sebelas tahun sejak 2012, pembangunan di sini melesat jauh meninggalkan daerah-daerah di sekitarnya.

Sejatinya label DSP sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) yang disematkan pada Labuan Bajo membuatnya dilabeli menjadi daerah beridentitas tunggal yaitu kawasan pariwisata. Hal ini menggerus identitas lain seperti masyarakat pesisir dan nelayan. Terjadi juga perubahan mata pencaharian yang terkonsentrasi pada sektor pariwisata. Sektor pariwisata tersebut menawarkan bentuk usaha baru yakni usaha jasa wisata, penginapan, oleh-oleh dan food and beverages. Sayangnya usaha yang berkembang ini membutuhkan modal besar yang seringkali tidak dimiliki warga lokal. Alhasil, warga lokal yang diuntungkan hanya mereka yang menyewakan atau menjual tanah dan bangunannya. Mengeksklusi individu yang tidak memiliki modal.

Ditambah lagi perubahan sosial muncul di beberapa isu lain sebagai konsekuensi dari pembangunan yang tidak inklusif. Hal ini juga tergambarkan melalui tulisan Kiwang dan Arif, yang termuat dalam Jurnal Studi Sosial berjudul Perubahan Sosial Ekonomi Masyarakat Labuan Bajo Akibat Pembangunan Pariwisata sebagai berikut:

Secara sosial kehidupan masyarakat juga berubah seperti nelayan yang tidak lagi bebas untuk melaut dan menangkap ikan di semua zona laut dikarenakan pemberlakukan larangan penangkapan ikan pada zona tertentu, pergeseran kepemilikan dimana banyak lahan-lahan milik penduduk beralih kepemilikan kepada para investor, tergerusnya budaya lokal, dan timbul kejahatan. Anak-anak muda mulai nongkrong dan mabuk-mabukan, mereka mulai mengikuti gaya hidup wisatawan, mulai dari menggunakan bahasa asing sampai berpakaian dan berperilaku seperti wisatawan asing. Muncul juga balapan liar, pencurian termasuk narkoba.

(Kiwang & Arif, 2020)

Meskipun begitu, pembangunan ini juga memberikan kemajuan khususnya pada aspek pelayanan publik. Dengan masifnya pembangunan di sini; rumah sakit didirikan, transportasi lebih nyaman, jalan raya dan sekolah tinggi jurusan pariwisata didirikan. Tetapi, tidak semuanya mampu merasakan dampak positif dari pembangunan. Lalu bagaimana nasib mereka yang tersisih?

Daftar Pustaka

Kiwang, A. S., & Arif, F. M. (2020, November 18). Perubahan Sosial Ekonomi Masyarakat Labuan Bajo Akibat Pembangunan Pariwisata. Jurnal Studi Sosial, 87-97.

Gunawan, A. (2020, September 11). Anggaran Pengembangan KSPN Labuan Bajo Tahun Ini Rp1,3 Triliun. Retrieved from Ekonomi.bisnis.com: https://ekonomi.bisnis.com/read/20200911/45/1290435/anggaran-pengembangan-kspn-labuan-bajo-tahun-ini-rp13-triliun


[1] Setiap peserta diberi peran tertentu kemudian maju atau diam ketika disebutkan narasi pembangunan. Misalnya fasilitator memberikan narasi “Program bantuan UMKM” maka peserta maju satu langkah jika merasa cocok, bermanfaat dan sejalan dengan narasi pembangunan yang disampaikan.

[2] Permainan tangkap ikan adalah permainan memancing menggunakan tali, penjepit kertas dan ikan yang terbuat dari kertas. Peserta dibagi menjadi beberapa kelompok dan mengumpulkan tangkapan dalam beberapa babak. Aturannya, populasi ikan akan bertambah 10% setiap babak. Permainan berhenti setelah beberapa babak dengan hasil akhir ikan lestari, sedikit atau habis. 

Penulis: Rifky P.K.

Editor: Supriadi

Pertemuan Kampung: Ngaji SK Penetapan Hutan Adat Wewengkon Kasepuhan Cibedug

Dokumentasi oleh: Asti (WGII) 

Udara terasa sangat dingin di luar ruangan, suhu udara mencapai 19

°°

C yang terasa seperti 15

°°C. Untuk menggambarkan betapa dinginnya, warga kampung saja mengaku tidak berani mandi sore. Sebuah gurauan yang ditopang kebenaran. Belakangan ini cuaca khususnya di Lebak-Banten memang curah hujan sedang tinggi-tingginya. Hampir pasti setiap sore hari diguyur hujan, beruntungnya pada sabtu malam (04/03/2023) cuaca sedang bersahabat, sehingga dapat melaksanakan acara Syukuran dan Sosialisasi Penetapan SK Hutan Adat Kasepuhan Cibedug. Bertempat di luar ruangan, persisnya di alun-alun rumah kasepuhan. Peserta yang hadir kurang lebih 150 orang anggota masyarakat Kasepuhan Cibedug dengan antusias yang tinggi dalam mengikuti setiap rangkainya. Selain dari Kampung Cibedug, kegiatan ini dihadiri juga oleh perwakilan masyarakat dari kampung Lebak Kalahang, Cihara, Cinakem dan Cibledug. 

Sepekan sebelumnya, rabu (22/02/2023) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melaksanakan penyerahan Surat Keputusan Perhutanan Sosial dan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) secara factual dan virtual. Kegiatan faktualnya di laksanakan di Kalimantan Timur yang dihadiri oleh Presiden Republik Indonesia. Sementara kegiatan secara virtual dilaksanakan di beberapa Provinsi termasuk Provinsi Banten. Kegiatan Penyerahan SK ini secara resmi telah dilakukan di Pendopo Gubernur Banten, KP3B Curug, Kota Serang. Dari Kasepuhan Cibedug hadir 10 perwakilan, 8 orang laki-laki dan 2 orang perempuan. Pada waktu yang sama, selain Kasepuhan Cibedug yang menerima penyerahan SK, ada Kasepuhan Cisungsang dan Kasepuhan Cisitu yang juga menerima SK Hutan Adat.  Penyerahan SK ini menjadi titik awal bagi masyarakat Kasepuhan Cibedug untuk mengelola wilayah adat mereka sendiri sesuai dengan aturan-aturan adat yang berlaku di komunitas. 

Rangkaian kegiatan syukuran dan sosialisasi diawali dengan acara pembukaan, lalu pembacaan isi SK Hutan Adat dan Penyerahan Salinan SK Hutan Adat kepada perwakilan tiap-tiap kampung. Substansi dari pertemuan ini dagingnya adalah wejangan-wejangan yang disampaikan sesepuh adat. Olot Asbaji selaku Tetua Kasepuhan menyampaikan amanat untuk seluruh warga masyarakat Wewengkon Kasepuhan Cibedug. Setelah diterimanya SK tanah adat ini menjadi tanggung jawab bersama dalam hal keamanan, ketertiban dan pemanfaatannya. Dalam istilah Sunda yang paling seringkali disampaikan adalah ungkapan berikut “Ulah pacarok kokod, paluhur-luhur tangtung, pagirang-girang tampian” yang berarti teratur dalam melakukan pemanfaatan, tidak saling merugikan satu sama lain sesama incu putu kasepuhan begitu juga dengan orang lain. 

Amanat berikutnya disampaikan Aki Nurja selaku Tetua Adat Wewengkon Kasepuhan Cibedug yang berpesan bahwa Hutan Adat ini merupakan amanah yang perlu dijaga, harapannya lebih aman dari pada ketika dikelola TNGHS. Harus sesuai dengan ketentuan aturan-aturan adat yang berlaku, seperti jika hendak menebang pohon di garapannya wajib izin dulu ke tetangga garapan lainnya. Hal ini merupakan upaya agar tidak terjadi selisih paham yang berujung konflik.  

Pak Sarmin selaku Tokoh Masyarakat juga menguatkan bahwa Hutan Adat yang telah diterima oleh masyarakat Wewengkon Kasepuhan Cibedug sudah seharusnya dapat dimanfaatkan dengan baik untuk mencukupi kehidupan masyarakat adat. Pesannya leuweung yg sudah dibuka, sudah saatnya dimanfaatkan dengan baik. Jenis tanamannya perlu diberagamkan, kayu yang sudah ada tidak masalah, dan perlu ditambah dengan jenis-jenis pohon buah. Karena jika menanam pohon buah, masyarakat dapat memanfaatkan buahnya untuk konsumsi dan komoditi yang dapat menyasar pada meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Amanat tak kalah pentingnya, jangan mengganggu kayu alam yang telah berusia ratusan tahun, karena itu merupakan sumber kesuburan air sebagai penopang keberlanjutan kehidupan orang banyak, bukan saja masyarakat Wewengkon Cibedug. 

Simpulannya beliau menekankan bahwa SK Hutan Adat merupakan hasil perjuangan bersama selama 22 tahun lamanya. Sejak tahun 2000 masyarakat telah berjuang, sudah sepatutnya juga masyarakat secara kolektif tetap kompak dalam melestarikan Hutan Adat yang telah diterima ini.  

Dari 2.173 hektar luasan yang diusulkan oleh masyarakat, Kementerian LHK melalui SK Hutan Adat menetapkan seluas 1.268 hektar dengan fungsi konservasi dan produksi. Mengacu pada Tujuan SK Hutan Adat ditetapkan oleh pemerintah agar menjamin ruang hidup masyarakat, melestarikan ekosistem, menjamin kearifan lokal (cara atau tradisi yang dilakukan turun temurun), dan menjamin kesejahteraan masyarakat yang ada di Wewengkon Cibedug. Penyerahan SK ini menjadi sejarah baru yang menandai bahwa masyarakat memiliki tanggung jawab bersama dalam pengelolaan wilayahnya dengan mandiri dan berdaualat untuk tujuan kesejahteraan lahir batin bagi incu-putu Wewengkon Kasepuhan Cibedug.  

Dokumentasi oleh: Asti (WGII) 

Usai pembacaan SK Hutan Adat, kegiatan ditutup dengan acara simbolik Penyerahan Salinan SK Hutan Adat kepada perwakilan masing-masing kampung; Kasepuhan Cibedug, Lebak Kalahang, Cinakem, Ciara, dan Cibeledug. Pertemuan kampung ini diakhiri dengan do’a dan makan bersama sebagai wujud syukur masyarakat kepada Yang Maha Kuasa atas diserahkannya SK Huatan Adat kepada masyarakat Wewengkon Kasepuhan Cibedug. 

*** 

Penulis : Murti Aria 

Editor : Abdul Waris 

Forum KAWAL Sampaikan Rekomendasi ke Pemerintah Kabupaten Lebak Untuk Mewujudkan Kebijakan Inklusif 

 

Wacana perubahan status Desa menjadi Desa adat kian mengemuka di Kabupaten Lebak. Isu ini telah menjadi agenda Pemerintah Daerah Kabupaten Lebak melalui sejumlah tahapan yang telah dilakukan beberapa bulan terakhir. Desa adat merupakan salah satu instrumen penting dalam kerangka penguatan dan pengakuan Masyarakat Adat di Kabupaten Lebak ditengah mandeknya RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat di DPR RI. Pada tahun 2022 lalu, Pemerintah Provinsi Banten telah mengeluarkan Peraturan Daerah Provinsi Nomor 2 Tahun 2022 tentang Susunan Kelembagaan, Pengisian Jabatan, dan Masa Jabatan Kepala Desa Adat, Perda ini sekaligus menegaskan bahwa jalan menuju Desa Adat di Kabupaten Lebak kian terbuka lebar. Wacana Desa adat sendiri telah lama bergulir sebagaimana disampaikan Jaro Saija-Kepala Desa Kanekes pada acara Dialog Publik Desa Adat bahwa dirinya telah menyampaikan usulan perubahan status Desa menjadi Desa adat sejak 2018 lalu, namun prosesnya hingga saat ini belum juga selesai. Pada kesempatan tersebut pihaknya meminta kepada jajaran pemerintah Daerah Kabupaten Lebak yang disampaikan langsung di hadapan DPRD Kab. Lebak untuk segera dipercepat penetapannya. 

Wacana Desa adat di Kabupaten Lebak telah menjadi perbincangan publik di masyarakat adat kasepuhan juga baduy, terlebih setelah adanya perda provinsi Nomor 2 Tahun 2022 tentang Susunan Kelembagaan, Pengisian Jabatan, dan Masa Jabatan Kepala Desa Adat yang mengisyaratkan akan adanya perubahan signifikan pada nomenkaltur penyelenggaraan pemerintah desa yang mengajukan. Hingga saat ini berdasarkan informasi dari MPMK (Majelis Permusyawarahan Masayarakat Kasepuhan) telah ada 11 (Sebelas) Desa yang mengajukan dan telah dilakukan verifikasi langsung oleh tim Verifikasi penataan desa yang dibentuk oleh Bupati Lebak. Isu perubahan status desa menjadi desa adat diwarnai dengan sejumlah asumsi yang beragam yang selama ini berkembang di masyarakat adat. Berdasarkan temuan RMI-The Indonesian Institute for Forest and Environment dalam proses pendampingan di beberapa kasepuhan juga baduy, asumsi tersebut mulai dari persoalan demokrasi hingga partisipasi masyarakat dalam pembangunan lokal. 

Berdasarkan situasi tersebut RMI-The Indonesian Institute for Forest and Environment bekerjasama dengan Kemitraan Pathnership membuka ruang untuk mempertemukan berbagai elemen masyarakat dengan pemangku kebijakan melalui acara Dialog Publik yang bertajuk Peluang dan tantangan Desa Adat sebagai Penguatan Pengakuan Masyarakat Adat di Kabupaten Lebak yang dilaksanakan selama 1 (satu) hari pada tanggal 14 Maret 2023 bertempat di Ruang Paripurna DPRD Kab. Lebak. Pada kegiatan tersebut RMI mengundang 18 Desa dan perwakilan Lembaga adat pengusul perubahan status Desa menjadi desa adat, beberapa Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Kabupaten Lebak yang terdiri dari; Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa, Dinas Pendidikan, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Badan Kesbangpol dan Majelis Permusyawarahan Masyarakat Kasepuhan (MPMK).  

Pada dialog publik ini turut hadir narasumber dari Direktorat Pengembangan Sosial Budaya dan Lingkungan Desa dan Perdesaan-Kemendes dan MPMK sebagai inisiator wacana Desa adat di Kabupaten Lebak. Acara ini bertujuan untuk mendiskusikan substansi Desa adat di KabupatenLebak beserta peluang dan tantangan yang dihadapinya.  

Dialog Desa adat menjadi peluang penting dalam rangka mewujudkan partisipasi masyarakat dalam mengawal kebijakan pemerintah. Momen ini dimanfaatkan oleh kelompok pemuda dan perempuan adat yang tergabung dalam forum KAWAL untuk berbicara secara langsung menyampaikan sejumlah poin masukan pada raperda Desa adat yang prosesnya kini sedang berjalan. Proses penyampaian tersebut dilakukan oleh 3 (tiga) orang perwakilan pemuda dan perempuan diantaranya Sdr. Iqbal-Kasepuhan Pasir Eurih, Sdr. Sarmani-Kasepuhan Cirompang dan Teh Imas-Kasepuhan Cibarani. Tiga orang ini merupakan perwakilan forum KAWAL yang diberikan amanat untuk menyampaikan rekomendasi berupa sejumlah masukan dalam rangka mendorong kebijakan yang inklusif pada Raperda Desa Adat di Kabupaten Lebak. Setelah dibacakan, selanjutnya rekomendasi tadi diserahkan secara resmi kepada DPRD Kabupaten Lebak yang diwakili oleh Wakil Ketua II Bpk. Junaidi Ibnu Jarta. Adapun isi poin-poin rekomendasi adalah sebagai berikut: 

  1. Musyawarah kampung menjadi syarat mutlak dalam proses pengusulan Desa Adat yang selanjutnya dibawa ke dalam forum musyawarah desa;  
  1. Adanya kajian komprehensif bagi desa-desa yang mengajukan perubahan status Desa Adat yang dilakukan secara partisipatif;  
  1. Memastikan terbukanya ruang demokrasi dan partisipasi secara bermakna (meaningfull participation) bagi pemuda dan perempuan di dalam proses-proses pembangunan dan pengambilan keputusan di tingkat desa;  
  1. Penguatan dan Perlindungan Lembaga Adat sesuai harkat dan martabatnya sebagai masyarakat adat berdasarkan hak asal-usul dan asas rekognisi, merdeka dan berdaulat atas tata kelola yang inklusif. 

Sebelumnya, Forum Kawal sendiri pada tanggal 23-26 Februari 2023 berlokasi di Kasepuhan Cibarani melakukan konsolidasi melalui pertemuan dalam rangka merespon wacana desa adat di Kabupaten Lebakyang kini isunya semakin menguat. Dalam pertemuan tersebut dialukan berbagai diskusi dan pendalaman bagaimana peluang dan tantangan desa adat bagi kehidupan dan masa depan masyarakat adat di Lebak baik Kasepuhan dan juga Baduy. proses ini telah menghasilkan beberapa kesepakatan berupa poin-poin rekomendasi sebagai masukan dalam Raperda Desa adat di Kabupaten Lebak. Forum Kawal sendiri merupakan wadah kelompok pemuda dan perempuan yang terbentuk pada mediotahun 2022. Forum ini terdiri dari 8 Kasepuhan dan baduy sebagai bentuk solidaritas generasi masyarakat adat untuk saling belajar dan berupaya dalam memperkuat pengakuan masyarakat adat di Kabupaten Lebak.  

Penulis: Fauzan Aadima 

Sarmani: Proses dan Dampak Tujuh Tahun Berkegiatan dengan RMI

Sarmani adalah laki-laki berusia 27 tahun yang sejak tahun 2018 bekerja sebagai perangkat desa Cirompang. Ia berasal dari keluarga petani, di mana kedua orang tuanya menggarap sawah di wilayah adat Kasepuhan Cirompang. Ia sempat berkuliah jurusan pertanian di salah satu universitas di Bandung selama empat semester sebelum kemudian memutuskan pulang ke wilayah adat Kasepuhan Cirompang di tahun 2015 dan menetap disana hingga saat ini. Setahun setelah kembali dari perantauan, ia mulai berkegiatan dengan RMI, ditandai dengan partisipasinya dalam kegiatan Sekolah Lapang Rakyat di tahun 2016. Selama tujuh tahun tentunya ia merasakan berbagai dampak dan proses-proses yang ia lalui berkegiatan dengan RMI. Kini ia sudah berkeluarga dan memiliki seorang anak berusia tiga tahun.

Tahun 2016 sampai 2017 menjadi salah satu babak penting dalam hidup Sarmani. Sejak kembali dari perantauan, ia mencoba aktif berkegiatan di komunitasnya. Selain ikut Sekolah Lapang Rakyat, ia berperan aktif dalam kegiatan pemetaan partisipatif di wilayah adat Kasepuhan Cirompang. Keduanya membuat Sarmani merasa lebih memahami kasepuhan dan mengetahui wilayah adat Kasepuhan Cirompang. Padahal, semasa bersekolah ia cenderung tidak memedulikan hal-hal terkait ritual adat, wilayah adat bahkan komunitas adatnya sendiri dan memilih untuk fokus belajar. Kepeduliannya terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan Kasepuhan Cirompang terus berproses dari waktu ke waktu hingga mengantarkannya pada suatu titik dimana ia merasa ada yang berkurang dalam dirinya jika adat tidak dilestarikan.

1 Maret 2019 menandai Pemetaan partisipatif yang dilakukan Sarmani dan tim membuahkan hasil. Negara mengembalikan hak adat Kasepuhan Cirompang dengan mengeluarkan SK Hutan Adat seluas 306 Hektar yang dikeluarkan dari wilayah Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Manfaatnya jelas terasa bagi Masyarakat Adat Kasepuhan Cirompang. Bahkan, di tahun 2023, Hutan Adat Cirompang relatif hampir seluruhnya sudah tergarap  oleh masyarakat Kasepuhan Cirompang.

Setelah penetapan, Sarmani tetap menyadari pentingnya menjaga dan mengelola Hutan Adat Cirompang dengan baik. Sarmani memilih berkontribusi untuk menjaga hutan adat di Kasepuhan Cirompang dengan menjadi anggota Komunitas Pemuda Adat Kasepuhan Cirompang (Kisancang) yang salah satu kegiatannya adalah ronda leuweung/patroli hutan.  Sejak tahun 2021, Kisancang berkolaborasi dengan baris kolot sekitar satu sampai tiga kali dalam setiap tiga bulan melakukan kegiatan tersebut. Sarmani mengatakan bahwa dari aktivitas tersebut, secara kolektif mereka mampu mengetahui wilayah mana yang harus ditanam, wilayah mana yang sudah mulai rusak dan titik-titik mata air mana yang harus dijaga. Pilihan tersebut menjadi alternatif yang memungkinkan karena Sarmani tidak memiliki akses terhadap tanah dan bekerja sebagai perangkat desa.

Kesetaraan Gender Menjadi Fokus Sarmani

Sebagai perangkat desa, ia berkontribusi kepada masyarakat di sekitarnya. Sehari-hari, ia bekerja sebagai staf data yang mengurusi pencatatan surat masuk maupun surat keluar dan pencatatan data kependudukan seperti data disabilitas, lansia dan keluarga miskin. Menurutnya, ia banyak mengambil pelajaran selama mengerjakan pekerjaannya. Salah satunya, Ia menjadi tahu mengenai kondisi masyarakat di sekitarnya dan mampu mengidentifikasikan sasaran prioritas program pemerintah seperti bantuan sosial.

Melalui profesinya sebagai perangkat desa dan aktifnya ia di Kisancang, membuatnya sering terlibat dalam musyawarah di tingkat dusun sampai musyawarah desa. Sepanjang keterlibatannya di setiap forum tersebut, ia menggarisbawahi pentingnya keterlibatan perempuan dalam forum-forum tersebut. Dengan nada prihatin, ia mengungkapkan hanya  10-20 persen perempuan dari total peserta yang hadir dalam musyawarah. Dari angka yang  kecil itu, hanya satu sampai dua orang saja perempuan yang mau berpendapat dalam forum, itupun perempuan yang pendidikannya sudah tinggi (sarjana) atau berprofesi sebagai guru. Bagi perempuan yang terlibat dalam forum tersebut merasa bahwa ia hanya ibu rumah tangga yang sekedar ikut dan mendengarkan.

Perhatian Sarmani pada isu gender tidak berhenti di tingkat komunitas, ia juga mengaplikasikannya di tingkat keluarga. Dalam konteks pekerjaan domestik, Sarmani berbagi tugas dengan istrinya. Ia mengatakan kadang mereka bergantian melakukan pekerjaan domestik seperti mencuci piring, memasak, menjaga anak dan bersih-bersih rumah. Terutama ketika istrinya sedang hamil. Waktu-waktu dimana Sarmani melakukan porsi kerja domestik yang lebih besar. Keresahannya terhadap isu gender, ia kemukakan dalam satu sesi di forum Konsolidasi dan Advokasi Wilayah Adat Lebak (KAWAL). Pada salah satu sesi refleksi bersama, ia mengemukakan pentingnya melibatkan perempuan untuk ikut menyuarakan pendapatnya di tingkat komunitas.

Refleksi Sarmani Selama Mengikuti Forum KAWAL

Sarmani sangat aktif dalam Forum KAWAL. Forum KAWAL yang sudah keempat kalinya diselenggarakan, menjadi ruang belajar bersama dan bersolidaritas antar generasi muda berbagai kasepuhan. Ia selalu mengikuti setiap pertemuan KAWAL sejak Forum KAWAL pertama. Menariknya, ia mampu menjelaskan beberapa materi yang ia anggap menarik dari setiap pertemuannya. Baginya materi yang menarik adalah pengantar seks dan gender.  Ia menyimpulkan bahwa dalam musyawarah di Kasepuhan maupun di desa, tidak harus selalu laki-laki yang terlibat. Peran dan pendapat perempuan juga harus dihargai dan jangan sampai dibatasi. Hal ini menurutnya perlu untuk disosialisasikan lebih lanjut di masyarakat. Selain itu, baginya materi sketsa perubahan desa juga menarik. Pada materi tersebut, sejak tahun 1990an sampai 2022, Sarmani berefleksi akan perubahan fisik di Kasepuhan Cirompang. Ia mendapati perubahan sungai dan lingkungan pemukiman. Ia menyoroti bahwa di tahun 1980-1990an, atap rumah masih berbahan ijuk. Sedangkan sekarang, menggunakan genteng. Meskipun begitu, dalam konteks hutan, sampai sekarang masih terjaga seperti dulu. Menurutnya, hal ini dapat terjaga karena masyarakat Kasepuhan menaati aturan baris kolot yaitu larangan menebang pohon di wilayah mata air. Kesadaran ini sudah terbangun sejak dulu dan masih terjaga hingga saat ini.

Perubahan-perubahan tersebut tidak dapat terlepas dari konteks hukum dan negara terutama dalam aspek hutan dan budaya bertani yang menjadi sumber kehidupan dan penghidupan di Cirompang. Hal inilah yang Sarmani dapatkan dari pertemuan kedua Forum KAWAL melalui permainan. Dari situ, Sarmani melihat bahwa penting bagi Kasepuhan untuk memiliki legalitas atau pengakuan dari pemerintah dan proses-proses advokasi di dalamnya. Baginya, penting bagi masyarakat adat untuk memahami hukum yang berlaku dan bertindak sesuai dengan peraturan yang ada.

Sarmani Saat Ini

Terkini, aktivitas Sarmani dengan RMI adalah Forum KAWAL keempat yang diselenggarakan di wilayah adat Kasepuhan Cibarani. Forum ini berbeda dari forum-forum sebelumnya karena Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat (direktorat KMA) ikut terlibat dan memberikan beberapa materi. Secara singkat, materi yang disampaikan seputar perkenalan lembaga; layanan advokasi yang disediakan direktorat KMA; program penunjang pemajuan kebudayaan yang disediakan direktorat KMA; dan sosialisasi warisan budaya berbentuk fisik dan non-fisik. Dari situ, Sarmani menjadi terpikirkan akan suatu situs yang dinamai batu keupeul (batu kepal) di wilayah adat Kasepuhan Cirompang. Ia mengatakan bahwa sebelumnya tidak terpikirkan sampai mengajukan batu keupeul menjadi cagar budaya. Hal ini menjadi penting karena peninggalan-peninggalan sejarah di wilayah Sarmani menjadi lebih disadari sebagai sebuah peninggalan sejarah yang bernilai. Bukan sebagai batu yang biasa-biasa saja.

Sebagaimana batu keupeul yang bernilai sejarah di Kasepuhan Cirompang namun dianggap biasa-biasa saja, begitu juga dengan perjalanan Sarmani yang sering dianggap biasa-biasa saja. Padahal, setiap potongan peristiwa dan refleksi yang berproses dalam dirinya merupakan sesuatu yang bernilai. Sesuatu yang bermakna bagi dirinya dan Kasepuhan Cirompang.

Sejak berkegiatan dengan RMI, Sarmani aktif berkegiatan dalam berbagai kesempatan yang berdampak bagi Kasepuhan Cirompang. Dimulai dari Sekolah Lapang Rakyat dan pemetaan partisipatif di tahun 2016 sampai aktif di Forum KAWAL di tahun 2023. Perubahan-perubahan yang ia alami, diawali dengan suatu hal yang umum yaitu pengetahuan tentang Kasepuhan Cirompang itu sendiri. Sejak saat itu, ia aktif memperdalam dan memperluas pengetahuannya. Selama berkegiatan dengan RMI, ia merasa banyak mengambil pelajaran. Bagi Sarmani, salah satu faktor pendukung hal tersebut adalah kegiatan RMI yang tidak memandang status pendidikan. Menurutnya, baik yang berpendidikan maupun yang tidak, tidak dibeda-bedakan dalam kegiatan. Karenanya, teman-temen lain yang tidak sekolah (formal) tidak minder.

Alhasil, dari perjalanan dengan RMI selama tujuh tahun, Ia menyatakan bahwa ia merasa lebih lebih dekat dan lebih sering menggali terkait sejarah Kasepuhan kepada baris kolot Kasepuhan Cirompang. Selain itu, ia sering mengikuti upacara (ritual)  di Kasepuhan Cirompang. Seperti yang sudah dipaparkan di atas bahwa ia merasa ada yang berkurang dalam dirinya jika adat tidak dilestarikan. Sarmani merasa punya tanggung jawab untuk ikut serta melestarikan adat dengan perkataan “kalau tidak kita yang menjaga, (lalu) siapa lagi?”

Oleh: Rifky Putra Kurniawan

Editor: Siti Marfu’ah

KAWAL: Upaya Generasi Muda Adat dalam Mengkaji Peralihan Desa ke Desa Adat 

Sektor pertanian merupakan mata pencaharian utama bagi Masyarakat Adat Kasepuhan dan juga Baduy. Hari itu tanggal 22 Februari 2023, Masyarakat Kasepuhan Cibarani tengah disibukkan dengan kegiatan pertanian. Banyak masyarakat yang sedari pagi pergi ke sawah atau ladang untuk mengumpulkan hasil panen pare gede (padi lokal), yang nantinya akan disimpan untuk kebutuhan pangan harian maupun ritual adat di kemudian hari. 

Di tengah kesibukan tersebut, ada sebagian masyarakat yang tidak ikut mengambil hasil panen. Mereka adalah beberapa kokolot (generasi adat senior) dan Generasi Muda Adat yang mengikuti pertemuan forum KAWAL (Konsolidasi dan Advokasi Wilayah Adat Lebak) di Kasepuhan Cibarani, peserta pertemuan terdiri dari 15 perempuan dan 50 laki-laki dari empat komunitas adat Kasepuhan dan Masyarakat Adat Baduy. Pertemuan ini merupakan kali ke-4 forum KAWAL diadakan yang bertujuan membicarakan perihal Desa Adat dan pandangan Generasi Muda Adat terhadapnya. 

Selain pengembalian wilayah adat melalui skema Perhutanan Sosial, Desa Adat merupakan salah satu jalan yang dapat ditempuh sebagai upaya pengakuan Masyarakat Adat sesuai dengan yang dimandatkan konstitusi. Wacana tentang Desa Adat sendiri bukan hal baru di Indonesia. Sudah ada beberapa Desa Adat yang terbentuk seperti Desa Adat di Bali, Minangkabau, Ambon, dan Papua. Namun wacana Desa Adat di Kabupaten Lebak, Banten baru dilegitimasi melalui Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Banten No.2 Tahun 2022 Tentang Susunan Kelembagaan, Pengisian Jabatan, dan Masa Depan Jabatan Kepala Desa Adat.  

Dalam konteks Lebak, khususnya di wilayah adat Baduy dan di sebagian wilayah Kasepuhan, wacana peralihan desa menjadi Desa Adat ini merupakan hal penting karena adanya perbedaan sistem pemerintahan yang tidak diakomodir dalam nomenklatur desa. Adapun peran Generasi Muda Adat menjadi hal penting karena tongkat estafet perjuangan dalam pengukuhan hak-hak Masyarakat Adat akan diberikan pada mereka. 

Model pemerintahan desa di masa Orde Baru dan Reformasi 

Foto peserta forum KAWAL (Konsolidasi dan Advokasi Wilayah Adat Lebak) di Kasepuhan Cibarani

Diskusi forum KAWAL diawali dengan perbandingan definisi desa dan desa adat pada masa Orde Baru dan Reformasi. Pada masa Orde Baru, ditetapkan UU Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa yang menyebutkan bahwa “Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.  

Pada masa itu, pemerintahan desa berada langsung di bawah kecamatan dan penerapan model pemerintahan desa di seluruh wilayah Indonesia disamakan dengan model pemerintahan desa di Pulau Jawa. Hal ini bertentangan dengan sistem kehidupan Masyarakat Adat yang sejak dulu memiliki perbedaan nilai dan aturan tentang sistem kesatuan wilayah adat. Dengan adanya perbedaan tersebut, Masyarakat Adat terpaksa harus mengikuti aturan dan syarat sesuai undang-undang yang berlaku. 

Kemudian pada masa Reformasi dikeluarkan UU Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa Adat. Disebutkan bahwa “Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Sejak ditetapkannya UU ini, pemerintahan desa kemudian sudah tidak lagi diposisikan sebagai pemerintahan terendah di bawah kecamatan. 

Wacana peralihan desa menjadi desa adat dan pandangan Generasi Muda Adat terhadapnya 

Selama lebih dari 70 tahun Indonesia merdeka, pengakuan terhadap hak-hak Masyarakat Adat masih sulit untuk didapatkan. Dikeluarkannya konstitusi dan aturan-aturan lain yang memperkuat pengukuhan hak-hak Masyarakat Adat, seperti UU Pokok Agraria dan Putusan Mahkamah Konstitusi No.35, juga masih belum cukup untuk menyelesaikan persoalan. 

Foto peserta forum KAWAL (Konsolidasi dan Advokasi Wilayah Adat Lebak) di Kasepuhan Cibarani

Dalam konteks Banten sendiri, perbincangan terkait Desa Adat di wilayah Lebak semakin marak terdengar setelah dikeluarkannya Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Banten No. 2 Tahun 2022. Kemudian muncul pertanyaan, apa yang membuat pembicaraan tentang Desa Adat menjadi satu hal yang penting?  

Dalam skema Desa Adat, terdapat ruang pengakuan dan penghormatan atas hak-hak Masyarakat Adat. Hak asal-usul Masyarakat Adat menjadi lebih diakui melalui pemberian wewenang tambahan kepada Masyarakat Adat untuk menyelenggarakan pemerintahan di level desa. Hal itu menjadi poin yang dirasa dapat menjadi “jawaban” atas persoalan. Namun hal itu belum tentu terjadi. Untuk itu Generasi Muda Adat perlu diperdalam pemahamannya terkait wacana ini, sehingga mereka dapat berpartisipasi secara bermakna dalam proses-proses peralihan desa ke Desa Adat. 

Salah satu upaya peningkatan pemahaman Generasi Muda Adat tersebut yaitu dengan melakukan simulasi. Peserta dibagi ke dalam empat kelompok yang kemudian masing-masingnya diberikan peran dan situasi yang berbeda: masyarakat desa (non-adat), pemerintah desa, Masyarakat Adat, dan DPRD. Tiap kelompok lalu diinstruksikan untuk membayangkan kemungkinan peristiwa apa saja yang akan terjadi dalam upaya peralihan desa ke Desa Adat di dunia nyata.  

Setelah selesai simulasi, ada beberapa poin yang direfleksikan bersama yakni kemungkinan terjadinya perang saudara antara Masyarakat Adat dan masyarakat non-adat (yang berada di desa yang sama, maupun masyarakat desa yang wilayahnya saling berdekatan) terkait perbedaan persepsi dan kecenderungan dukungan atas wacana tersebut.  

Masyarakat Adat diproyeksikan akan lebih cenderung mendukung pengusungan Desa Adat, sedangkan masyarakat non-adat beranggapan perlu adanya upaya untuk menilik ulang dampak-dampak yang mungkin mengikutinya. Salah satu dampak yang dikhawatirkan tersebut misalnya bahwa setelah pengukuhan Desa Adat hak-hak mereka sebagai masyarakat non-adat akan dikesampingkan. Dalam situasi ini posisi pemerintah desa dimungkinkan untuk mendapatkan tekanan dari berbagai sisi—baik dari Masyarakat Adat maupun non-adat.   

Melalui simulasi dan paparan poin diskusi tersebut di atas, akhirnya memantik Generasi Muda Adat untuk menyuarakan pandangannya terhadap Desa Adat. Refleksi dan dualisme pandangan pun tidak bisa dihindarkan. Posisi pertama menganggap peralihan status desa ke Desa Adat merupakan hal yang harus dijadikan prioritas. Kang Nadi dan Kang Raisan (peserta asal Baduy) berpendapat bahwa negara yang selama ini menyebutkan adat sebagai hal penting, tidak memberikan bukti atau aksi nyata atas perkataannya tersebut. Jalannya diskusi kemudian berlabuh pada pandangan bahwa persoalan atas pengakuan hak-hak Masyarakat Adat dapat diselesaikan salah satunya melalui pengajuan Desa Adat.  

Ada pula Generasi Muda Adat yang tidak menyetujui peralihan ini. Iqbal (peserta asal Kasepuhan Pasir Eurih) menyampaikan pendapatnya tentang ketidaksetujuan tersebut yang muncul atas anggapan bahwa rangkap jabatan mungkin bisa terjadi, yakni kepala desa merangkap sebagai abah/olot (tetua adat). Kekhawatiran berikutnya adalah lahirnya “raja-raja kecil” di kampung dengan abah/olot yang menurunkannya jabatannya sebagai kepala Desa Adat kepada keturunannya. Menurutnya meskipun musyawarah terkait Desa Adat dapat dilakukan, namun karena ada Perda Provinsi Banten No.2 Tahun 2022—yang menyebutkan bahwa pengisian jabatan kepala Desa Adat dilaksanakan sesuai hukum adat (melalui musyawarah)–dikhawatirkan masyarakat tidak dapat berpartisipasi aktif dalam forum tersebut. 

Pentingnya Kolaborasi Multipihak di Level Kampung 

Foto bersama peserta forum KAWAL (Konsolidasi dan Advokasi Wilayah Adat Lebak) di Kasepuhan Cibarani

Pengajuan Desa Adat oleh masyarakat desa secara tidak langsung membuat Generasi Muda Adat perlu mengambil posisi. Generasi Muda Adat yang selama ini dianggap sebagai kelompok yang terpinggirkan sebenanrnya memiliki pemikiran dan pendapat untuk kemajuan kampungnya. Salah satunya terkait peralihan status desa menjadi Desa Adat ini. Untuk menyikapi kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi sehubungan dengan peralihan ini, perlu adanya kolaborasi dari berbagai pihak termasuk Generasi Muda Adat dan kokolot (tetua adat).  

Kolaborasi ini menjadi bentuk harmonisasi antara Generasi Muda Adat dan kokolot untuk mensinergikan tujuan yang berkaitan dengan Desa Adat. Namun di sisi lain, Generasi Muda Adat perlu lebih mendorong diri untuk lebih memahami adat mereka, agar lebih dapat memahami persoalan yang terjadi di tempat tinggal mereka secara mendalam. Karena dengan menguatnya akar pengetahuan lokalnya, Generasi Muda Adat akan mampu menyikapi persoalan yang terjadi dengan konteks lokalitas mereka. 

Untuk itu perlu adanya ruang-ruang bagi Generasi Muda Adat untuk berpartisipasi aktif dalam menyuarakan pandangan dan pendapatnya mengenai peralihan desa menjadi Desa Adat ini. Karena sudah saatnya anggapan Generasi Muda Adat tidak berpengalaman dan berpengetahuan digantikan dengan Generasi Muda Adat yang lebih berdaya. Dengan adanya forum ini sebetulnya cukup membuktikan bagaimana Generasi Muda Adat dapat berpartisipasi aktif dalam proses pengambilan keputusan dan kebijakan, dalam menentukan arah kedepannya. Tercatat hingga bulan Februari 2023, sudah ada 14 desa di wilayah Lebak, yang mengusungkan perubahan status desa ke ke desa adat.  

Daftar Pustaka 

RMI. (2022). Catatan Rapat KAWAL Cibarani. Bogor: unpublished. 

INSISTPress. (2017). Wacana: Jurnal Transformasi Sosial. Dinamika Hak Adat dan Desa Adat di Lebak dalam Pelaksanaan Undang Undang Desa. 

Peraturan Daerah Provinsi Banten, Nomor. 02 Tahun 2022 Tentang Susunan Kelembagaan, Pengisian Jabatan, dan Masa Jabatan Kepala Desa Adat 

Undang-undang Nomor. 06 Tahun 2014 Tentang Desa 

Undang-undang Nomor. 05 Tahun 1979 Tentang Pemerintah Desa 

Penulis: Dinah Ridadiyanah 

Editor: Supriadi 

Menuju Generasi Muda Adat Berdaya melalui Forum KAWAL di Kabupaten Lebak, Banten

Generasi muda adat Kasepuhan dianggap “tidak berpengalaman dan tidak berpengetahuan.” Anggapan dan tereksklusinya mereka dalam pengambilan keputusan dan kebijakan di tingkat lokal disebabkan oleh gerontokrasi yang merajalela dan tidak terorganisirnya generasi muda adat untuk terlibat aktif dalam dialog kebijakan untuk menyuarakan kepentingan mereka. Alhasil, mereka minim akses dan kontrol terhadap pengolahan leuweung garapan/hutan garapan di Hutan Adat Kasepuhan. generasi muda adat baru bisa mendapatkan akses dan kontrol tersebut ketika sudah menikah. Dengan kata lain, mereka harus keluar dari status generasi muda dalam konteks sosial, politik dan budaya di Kasepuhan untuk dapat mengelola hutan adat. Dengan begitu, mau tidak mau mereka harus menggantungkan hidup mereka pada orang dewasa di sekitar. Padahal, seharusnya generasi muda dilihat sebagai subyek, aktor dan warga negara yang kepentingannya diakomodir oleh dialog kebijakan di berbagai tingkatan dan mendapatkan dukungan untuk terlibat dalam pertanian. (White, 2019) Agar generasi muda adat Kasepuhan berdaya. 

Generasi muda adat khususnya di Kasepuhan, sebetulnya mampu untuk berpartisipasi aktif dalam pengambilan keputusan, kebijakan, dan pengelolaan hutan adat di Kasepuhan, serta mengadvokasikan kepentingan diri dengan syarat mereka bergabung dalam organisasi generasi muda adat lokal sambil mengembangkan kapasitas dan Hutan Adatnya sudah diakui negara. Hal ini mampu dibuktikan dengan meningkatnya partisipasi generasi muda adat Kasepuhan Pasir Eurih setelah berdirinya Komunitas Pemuda Adat (KOMPAK) di Kasepuhan Pasir Eurih. 

KOMPAK Pasir Eurih yang berdiri sejak 2018 membuat generasi muda adat berpartisipasi di Kasepuhan Pasir Eurih. Sejak 2019, secara singkat, mereka berperan dalam pengelolaan hutan adat, pelestarian ritual adat dan terlibat pembangunan di desa. Dulunya, di hutan garapan, mayoritas berisi kayu jeng-jeng yang panen setiap 5 tahun sekali. Pada tahun 2019 KOMPAK menginisiasi penanaman jahe, kopi, dan cengkeh yang hasil panennya lebih cepat menuju model pertanaman tumpang sari yang mempertimbangkan aspek perekonomian agar masyarakat tidak bergantung pada pendapatan lima tahun sekali karena buah dan kopi dapat dipanen lebih cepat. Selain itu, KOMPAK berperan besar dalam upacara seren taun dalam proses perencanaan, penganggaran, dan pelaksanaan dalam upacara seren taun dan peringatan hari besar islam di Kasepuhan Pasir Eurih. Terakhir, KOMPAK mampu mengadvokasi diri untuk mendapatkan dana bantuan pengembangan kelompok dari pemerintah desa setempat. Capaian ini dapat dikatakan berdampak pada generasi muda adat KOMPAK karena membuat generasi muda memiliki daya tawar lebih dan merubah pola interaksi di tingkat lokal yang tadinya antara lembaga adat dengan individu generasi muda adat, menjadi lembaga adat dengan KOMPAK.  Menariknya, capaian tersebut mungkin terjadi setelah Hutan Adat mereka diakui negara di tahun 2019.  

Hal inilah salah satu yang hendak diadaptasi, dieskalasi dan, diarahkan pada advokasi wilayah adat di Lebak. RMI berkolaborasi dengan generasi muda dari berbagai Kasepuhan melalui, inisiasi Forum Konsolidasi dan Advokasi Wilayah Adat Lebak (KAWAL). Forum terdiri dari RMI; generasi muda adat Kasepuhan yang terdiri dari generasi muda adat yang sudah memiliki legitimasi Hutan Adat maupun belum dan generasi muda adat yang sudah tergabung dalam organisasi generasi muda di wilayah masing-masing maupun belum; dan generasi muda adat Baduy.  Harapannya, generasi muda adat di Kabupaten Lebak dapat saling berbagi pengetahuan, mengembangkan kapasitas, bersolidaritas, berkonsolidasi dalam memperjuangkan wilayah adat di Lebak dan melanjutkan kerjasama kolaborasi antara RMI dan masyarakat adat di Kabupaten Lebak, Banten. Demi masa depan generasi muda adat yang lebih baik. 

Dibentuk di seperempat akhir tahun 2022, forum KAWAL sudah dilaksanakan sebanyak tiga kali. Pertemuan pertama dilaksanakan di Cirompang pada tanggal 25-26 Oktober 2022 diikuti oleh perwakilan generasi muda dari empat Kasepuhan dan Baduy dengan total peserta 24 orang. Selanjutnya, pertemuan kedua dilaksanakan di Cibedug pada tanggal 26-27 November 2022. Dihadiri oleh perwakilan generasi muda dari lima Kasepuhan dan Baduy dengan total peserta 37 orang. Terakhir, Pertemuan ketiga dilaksanakan di Kampung Cangkueum dekat wilayah adat Baduy pada tanggal 24-26 Desember 2022.  Pertemuan ini dihadiri oleh perwakilan generasi muda dari tujuh Kasepuhan dan Baduy dengan total peserta 55 orang. Sampai hari ini, anggota forum sudah mencapai total 72 partisipan generasi muda adat dari delapan Kasepuhan dan Baduy telah mengikuti pertemuan KAWAL dan 40 di antaranya bergabung dalam grup whatsapp

Sejauh ini, forum ini sudah mampu memberikan akses generasi muda adat Kasepuhan pada peningkatan kapasitas; dan penguatan serta pertukaran pengetahuan mengenai  nilai-nilai adat di masing-masing Kasepuhan. Dalam konteks pentingnya hutan adat bagi generasi muda adat Kasepuhan dapat ditangkap bersama melalui pendapat  Mulyana, salah seorang generasi muda adat asal Kasepuhan Bongkok, yang menyatakan bahwa:

Sebenarnya kami butuh bantuan dari RMI untuk “mengadatkan” (mendampingi serangkaian proses pengajuan hutan adat mengacu kepada mekanisme yang diatur oleh peraturan perundang-undangan) hutan kami karena kami punya berbagai tujuan supaya pemuda adat berkembang. Kami tidak mau terus bergantung pada pemerintah. Kita bukannya ga paham, tapi karena kami belum ada komunitas pemuda (organisasi generasi muda tingkat Kasepuhan). Jadi mundur-maju. Supaya ga diudag-udag (dikejar-kejar).
(Catatan Rapat Cibedug RMI, 2022)

Pernyataan Mulyana tersebut menyiratkan bahwa hutan adat dan komunitas/organisasi generasi muda merupakan dua hal yang sangat penting. Keduanya adalah proses yang harus dilalui menuju rasa aman, tenang dan bebas dalam mengelola hutan. Secara umum, pernyataan tersebut menggambarkan bahwa perjuangan akses dan kontrol terhadap sumber daya hutan relevan bagi generasi muda adat di Kasepuhan. 

Dari rangkaian tiga pertemuan Forum KAWAL, peningkatan kapasitas peserta forum menjadi fokusnya. Dalam konteks ini, menurut pernyataan Jarsih, partisipan Forum KAWAL dari Kasepuhan Cibarani yang mampu menggambarkan peningkatan kesadaran akan pentingnya pengetahuan mengenai sistem adat; membangun rasa percaya diri sebagai generasi muda adat di tingkat lokal; dan memantik kesadaran gender di tingkat lokal: 

Sistem adat tadinya ga tau banget. Ga tau mendetail. Sekarang jadi mendalami, udah ada saran untuk menggali informasi tentang adat. Kalau di kampung kita mendalaminya cuman ngedenger doang ada kegiatan adat tapi ga memperhatikan. Tadinya merasa diajak kumpul aja malu, tapi sedikit demi sedikit ada kemauan, bisa becanda, (sebelumnya) kalau ga ditanya ga ngomong. Selalu ada cerita yang bisa diomongin. Kita jadi pengen cerita. Jadi tempat aman untuk bercerita. ….. Biasanya kalau ada kegiatan di Cibarani yang ga melibatkan perempuan, biasanya ga mau tau, biasa aja. Misal kegiatan gotong royong. Kalau sekarang ada kegiatan yang ga melibatkan perempuan, kita justru pengen tau alasannya kenapa perempuan ga dilibatkan.
(Cerita Perubahan Jarsih RMI, 2022)

Sebagai penutup, tercetusnya Forum KAWAL merupakan langkah percepatan strategis yang mampu menjangkau banyak generasi muda adat untuk mendorong proses advokasi berkelanjutan yang solid, berkelanjutan dan mandiri;  dan meningkatkan partisipasi generasi muda adat di Kabupaten Lebak akan pengelolaan  kekayaan alam di sekitarnya. Hal ini membutuhkan peningkatan kapasitas; wadah organisasi generasi muda adat; dan advokasi hutan adat dalam rangka memberdayakan dan membuktikan bahwa generasi muda adat di Lebak bukan berarti “tidak berpengalaman dan tidak berpengetahuan” tetapi kekurangan dukungan, wadah dan pengakuan di tingkat lokal. 

Daftar Pustaka

RMI. (2022). Catatan Rapat KAWAL Cibedug . Bogor : unpublished.

RMI. (2022). Transkrip Wawancara Cerita Perubahan Jarsih Cibarani 2022. Bogor: unpublished.

White, B. (2019). Rural youth, today and Tomorrow. Papers of the Rural Development Report, 1-35.

Penulis: Rifky Putra Kurniawan

Editor: Supriadi