Sarmani: Proses dan Dampak Tujuh Tahun Berkegiatan dengan RMI

Sarmani adalah laki-laki berusia 27 tahun yang sejak tahun 2018 bekerja sebagai perangkat desa Cirompang. Ia berasal dari keluarga petani, di mana kedua orang tuanya menggarap sawah di wilayah adat Kasepuhan Cirompang. Ia sempat berkuliah jurusan pertanian di salah satu universitas di Bandung selama empat semester sebelum kemudian memutuskan pulang ke wilayah adat Kasepuhan Cirompang di tahun 2015 dan menetap disana hingga saat ini. Setahun setelah kembali dari perantauan, ia mulai berkegiatan dengan RMI, ditandai dengan partisipasinya dalam kegiatan Sekolah Lapang Rakyat di tahun 2016. Selama tujuh tahun tentunya ia merasakan berbagai dampak dan proses-proses yang ia lalui berkegiatan dengan RMI. Kini ia sudah berkeluarga dan memiliki seorang anak berusia tiga tahun.

Tahun 2016 sampai 2017 menjadi salah satu babak penting dalam hidup Sarmani. Sejak kembali dari perantauan, ia mencoba aktif berkegiatan di komunitasnya. Selain ikut Sekolah Lapang Rakyat, ia berperan aktif dalam kegiatan pemetaan partisipatif di wilayah adat Kasepuhan Cirompang. Keduanya membuat Sarmani merasa lebih memahami kasepuhan dan mengetahui wilayah adat Kasepuhan Cirompang. Padahal, semasa bersekolah ia cenderung tidak memedulikan hal-hal terkait ritual adat, wilayah adat bahkan komunitas adatnya sendiri dan memilih untuk fokus belajar. Kepeduliannya terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan Kasepuhan Cirompang terus berproses dari waktu ke waktu hingga mengantarkannya pada suatu titik dimana ia merasa ada yang berkurang dalam dirinya jika adat tidak dilestarikan.

1 Maret 2019 menandai Pemetaan partisipatif yang dilakukan Sarmani dan tim membuahkan hasil. Negara mengembalikan hak adat Kasepuhan Cirompang dengan mengeluarkan SK Hutan Adat seluas 306 Hektar yang dikeluarkan dari wilayah Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Manfaatnya jelas terasa bagi Masyarakat Adat Kasepuhan Cirompang. Bahkan, di tahun 2023, Hutan Adat Cirompang relatif hampir seluruhnya sudah tergarap  oleh masyarakat Kasepuhan Cirompang.

Setelah penetapan, Sarmani tetap menyadari pentingnya menjaga dan mengelola Hutan Adat Cirompang dengan baik. Sarmani memilih berkontribusi untuk menjaga hutan adat di Kasepuhan Cirompang dengan menjadi anggota Komunitas Pemuda Adat Kasepuhan Cirompang (Kisancang) yang salah satu kegiatannya adalah ronda leuweung/patroli hutan.  Sejak tahun 2021, Kisancang berkolaborasi dengan baris kolot sekitar satu sampai tiga kali dalam setiap tiga bulan melakukan kegiatan tersebut. Sarmani mengatakan bahwa dari aktivitas tersebut, secara kolektif mereka mampu mengetahui wilayah mana yang harus ditanam, wilayah mana yang sudah mulai rusak dan titik-titik mata air mana yang harus dijaga. Pilihan tersebut menjadi alternatif yang memungkinkan karena Sarmani tidak memiliki akses terhadap tanah dan bekerja sebagai perangkat desa.

Kesetaraan Gender Menjadi Fokus Sarmani

Sebagai perangkat desa, ia berkontribusi kepada masyarakat di sekitarnya. Sehari-hari, ia bekerja sebagai staf data yang mengurusi pencatatan surat masuk maupun surat keluar dan pencatatan data kependudukan seperti data disabilitas, lansia dan keluarga miskin. Menurutnya, ia banyak mengambil pelajaran selama mengerjakan pekerjaannya. Salah satunya, Ia menjadi tahu mengenai kondisi masyarakat di sekitarnya dan mampu mengidentifikasikan sasaran prioritas program pemerintah seperti bantuan sosial.

Melalui profesinya sebagai perangkat desa dan aktifnya ia di Kisancang, membuatnya sering terlibat dalam musyawarah di tingkat dusun sampai musyawarah desa. Sepanjang keterlibatannya di setiap forum tersebut, ia menggarisbawahi pentingnya keterlibatan perempuan dalam forum-forum tersebut. Dengan nada prihatin, ia mengungkapkan hanya  10-20 persen perempuan dari total peserta yang hadir dalam musyawarah. Dari angka yang  kecil itu, hanya satu sampai dua orang saja perempuan yang mau berpendapat dalam forum, itupun perempuan yang pendidikannya sudah tinggi (sarjana) atau berprofesi sebagai guru. Bagi perempuan yang terlibat dalam forum tersebut merasa bahwa ia hanya ibu rumah tangga yang sekedar ikut dan mendengarkan.

Perhatian Sarmani pada isu gender tidak berhenti di tingkat komunitas, ia juga mengaplikasikannya di tingkat keluarga. Dalam konteks pekerjaan domestik, Sarmani berbagi tugas dengan istrinya. Ia mengatakan kadang mereka bergantian melakukan pekerjaan domestik seperti mencuci piring, memasak, menjaga anak dan bersih-bersih rumah. Terutama ketika istrinya sedang hamil. Waktu-waktu dimana Sarmani melakukan porsi kerja domestik yang lebih besar. Keresahannya terhadap isu gender, ia kemukakan dalam satu sesi di forum Konsolidasi dan Advokasi Wilayah Adat Lebak (KAWAL). Pada salah satu sesi refleksi bersama, ia mengemukakan pentingnya melibatkan perempuan untuk ikut menyuarakan pendapatnya di tingkat komunitas.

Refleksi Sarmani Selama Mengikuti Forum KAWAL

Sarmani sangat aktif dalam Forum KAWAL. Forum KAWAL yang sudah keempat kalinya diselenggarakan, menjadi ruang belajar bersama dan bersolidaritas antar generasi muda berbagai kasepuhan. Ia selalu mengikuti setiap pertemuan KAWAL sejak Forum KAWAL pertama. Menariknya, ia mampu menjelaskan beberapa materi yang ia anggap menarik dari setiap pertemuannya. Baginya materi yang menarik adalah pengantar seks dan gender.  Ia menyimpulkan bahwa dalam musyawarah di Kasepuhan maupun di desa, tidak harus selalu laki-laki yang terlibat. Peran dan pendapat perempuan juga harus dihargai dan jangan sampai dibatasi. Hal ini menurutnya perlu untuk disosialisasikan lebih lanjut di masyarakat. Selain itu, baginya materi sketsa perubahan desa juga menarik. Pada materi tersebut, sejak tahun 1990an sampai 2022, Sarmani berefleksi akan perubahan fisik di Kasepuhan Cirompang. Ia mendapati perubahan sungai dan lingkungan pemukiman. Ia menyoroti bahwa di tahun 1980-1990an, atap rumah masih berbahan ijuk. Sedangkan sekarang, menggunakan genteng. Meskipun begitu, dalam konteks hutan, sampai sekarang masih terjaga seperti dulu. Menurutnya, hal ini dapat terjaga karena masyarakat Kasepuhan menaati aturan baris kolot yaitu larangan menebang pohon di wilayah mata air. Kesadaran ini sudah terbangun sejak dulu dan masih terjaga hingga saat ini.

Perubahan-perubahan tersebut tidak dapat terlepas dari konteks hukum dan negara terutama dalam aspek hutan dan budaya bertani yang menjadi sumber kehidupan dan penghidupan di Cirompang. Hal inilah yang Sarmani dapatkan dari pertemuan kedua Forum KAWAL melalui permainan. Dari situ, Sarmani melihat bahwa penting bagi Kasepuhan untuk memiliki legalitas atau pengakuan dari pemerintah dan proses-proses advokasi di dalamnya. Baginya, penting bagi masyarakat adat untuk memahami hukum yang berlaku dan bertindak sesuai dengan peraturan yang ada.

Sarmani Saat Ini

Terkini, aktivitas Sarmani dengan RMI adalah Forum KAWAL keempat yang diselenggarakan di wilayah adat Kasepuhan Cibarani. Forum ini berbeda dari forum-forum sebelumnya karena Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat (direktorat KMA) ikut terlibat dan memberikan beberapa materi. Secara singkat, materi yang disampaikan seputar perkenalan lembaga; layanan advokasi yang disediakan direktorat KMA; program penunjang pemajuan kebudayaan yang disediakan direktorat KMA; dan sosialisasi warisan budaya berbentuk fisik dan non-fisik. Dari situ, Sarmani menjadi terpikirkan akan suatu situs yang dinamai batu keupeul (batu kepal) di wilayah adat Kasepuhan Cirompang. Ia mengatakan bahwa sebelumnya tidak terpikirkan sampai mengajukan batu keupeul menjadi cagar budaya. Hal ini menjadi penting karena peninggalan-peninggalan sejarah di wilayah Sarmani menjadi lebih disadari sebagai sebuah peninggalan sejarah yang bernilai. Bukan sebagai batu yang biasa-biasa saja.

Sebagaimana batu keupeul yang bernilai sejarah di Kasepuhan Cirompang namun dianggap biasa-biasa saja, begitu juga dengan perjalanan Sarmani yang sering dianggap biasa-biasa saja. Padahal, setiap potongan peristiwa dan refleksi yang berproses dalam dirinya merupakan sesuatu yang bernilai. Sesuatu yang bermakna bagi dirinya dan Kasepuhan Cirompang.

Sejak berkegiatan dengan RMI, Sarmani aktif berkegiatan dalam berbagai kesempatan yang berdampak bagi Kasepuhan Cirompang. Dimulai dari Sekolah Lapang Rakyat dan pemetaan partisipatif di tahun 2016 sampai aktif di Forum KAWAL di tahun 2023. Perubahan-perubahan yang ia alami, diawali dengan suatu hal yang umum yaitu pengetahuan tentang Kasepuhan Cirompang itu sendiri. Sejak saat itu, ia aktif memperdalam dan memperluas pengetahuannya. Selama berkegiatan dengan RMI, ia merasa banyak mengambil pelajaran. Bagi Sarmani, salah satu faktor pendukung hal tersebut adalah kegiatan RMI yang tidak memandang status pendidikan. Menurutnya, baik yang berpendidikan maupun yang tidak, tidak dibeda-bedakan dalam kegiatan. Karenanya, teman-temen lain yang tidak sekolah (formal) tidak minder.

Alhasil, dari perjalanan dengan RMI selama tujuh tahun, Ia menyatakan bahwa ia merasa lebih lebih dekat dan lebih sering menggali terkait sejarah Kasepuhan kepada baris kolot Kasepuhan Cirompang. Selain itu, ia sering mengikuti upacara (ritual)  di Kasepuhan Cirompang. Seperti yang sudah dipaparkan di atas bahwa ia merasa ada yang berkurang dalam dirinya jika adat tidak dilestarikan. Sarmani merasa punya tanggung jawab untuk ikut serta melestarikan adat dengan perkataan “kalau tidak kita yang menjaga, (lalu) siapa lagi?”

Oleh: Rifky Putra Kurniawan

Editor: Siti Marfu’ah

Cerita Perubahan : Perawatan Kepedulian Pemuda Terhadap Kampung Sendiri

Terhitung sudah berjalan tiga bulan, kegiatan yang berfokus untuk membersamai kemajuan penciptaan ruang-ruang inklusif lewat pemberdayaan perempuan, pemenuhan hak-hak disabilitas dan inklusi sosial serta penguatan masyarakat sipil di empat Masyarakat Adat Kasepuhan dan Masyarakat Adat Baduy yang berlokasi di Kabupaten Lebak, Banten. Di awali dengan kegiatan penyusunan baseline data program.

Sejak disosialisasikan, kegiatan ini berkomitmen untuk melibatkan kelompok pemuda dan perempuan dalam proses pengambilan data. Dengan keterlibatannya, kelompok pemuda dan perempuan memperlihatkan kemauan keras untuk belajar  dan  kapabilitas mereka sebagai kelompok yang partisipasinya minim di kampung untuk tujuan pendataan. Hal ini tampak dari kerja sama antar enumerator kader lokal yang bergerak dengan dua cara yaitu berkelompok dan individu dalam suatu jangkauan kampung. Mereka berkoordinasi, membagi peran dan tanggung jawab dalam proses pendataan.

Selain itu, dari proses pendataan ini, enumerator kader lokal mampu melihat permasalahan yang muncul secara tersirat dari pertanyaan yang mereka tanyakan ke masyarakat yang ada  di kampung mereka. Beberapa diantaranya bercerita mengenai pendapatan yang lebih sedikit daripada pengeluaran setiap bulannya, banyaknya yang belum mendapatkan bantuan dalam bentuk apapun, sampai layanan administrasi kependudukan yang belum dimiliki oleh masyarakat.

Cerita menarik, salah satunya datang dari Kasepuhan Cibedug. Enumerator kader lokal disana terdiri dari dua orang yaitu Ega Juanda dan Ahmad Setiadi. Selama proses tiga bulan pendataan baseline data ini, mereka selalu terlibat dalam proses pelatihan pendataan yang diberikan terhitung tiga kali oleh RMI. Setelah itu, keduanya juga sering menanyakan kepada RMI mengenai permasalahan yang dihadapi saat pendataan, menanyakan teknis secara mendalam dan menyatakan alasan macetnya pendataan yaitu musim panen di Cibedug yang membuat orang-orang di Kasepuhan Cibedug sibuk dan menghambat proses pendataan. Alhasil, Ega Juanda mampu mengumpulkan paling banyak data dengan 82 data dan Ahmad Setiadi mengumpulkan 55 data tertinggi ketiga dibandingkan seluruh enumerator.

Dari proses selama tiga bulan tersebut, kedua enumerator dari Cibedug menunjukkan rasa ingin belajar, mau mengakui kesalahan dan belajar dari kesalahan. Menurut RMI, disinilah sisi inklusivitasnya, karena sebelumnya aktivitas pemuda di Kasepuhan Cibedug minim. Dengan terlibatnya kedua enumerator kader lokal disana, membuat mereka terlibat aktif dalam kegiatan di Kasepuhan Cibedug dan mampu melihat permasalahan yang muncul selama proses pendataan.

Hal positif lain yang bisa dilihat adalah praktik baik yang diperlihatkan oleh pemuda yang terlibat dalam pengumpulan data, ini memberikan dampak ke pemuda yang lain menjadi semangat untuk meningkatkan kapasitas dan mengembangkan diri. Karena memang pemuda dan perempuan bisa dikategorikan kedalam kelompok marjinal, di mana kesempatan untuk belajar dan partisipasi mereka masih sangat minim, baik dalam level desa maupun komunitas.

Berkerjasama dengan Kemitraan Partnership melalui program ESTUNGKARA “Kesetaraan untuk Menghapus Ketidakadilan dan Diskriminasi” RMI melakukan kegiatan yang sudah dijelaskan di atas.  

Penulis : Rifky Putra K  dan Slamet Widodo

Editor: Siti Marfu’ah

Ngobrol Bareng #AnakMudauntukTanah Air: Menoleh Inisiatif dan Aspirasi Anak Muda Indonesia

Sejak dahulu, dan sampai sekarang — Anak Muda terbukti secara nyata telah menunjukkan kontribusinya dengan mempelopori berbagai gerakan perubahan. 

 

Sejak dahulu, Anak Muda terbukti telah secara nyata menunjukkan kontribusinya dengan mempelopori berbagai gerakan perubahan. Banyak momen-momen bersejarah yang dibangun oleh semangat anak muda seperti Sumpah Pemuda, Reformasi, bahkan banyak momentum di masa depan yang akan sangat bergantung pada keberadaan anak muda saat ini, seperti Pilpres 2024 dan Visi Indonesia 2045, tepat pada 100 tahun Kemerdekaan Indonesia. 

Atas dasar tersebut RMI dan Econusa menyadari bahwa perlu adanya titik temu bagi komunitas dan organisasi untuk membahas persoalan Anak Muda, menyediakan platform bagi mereka untuk menyampaikan aspirasi dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, dan lebih jauh lagi yaitu menghubungkan Anak Muda dengan ruang hidup dan tanah airnya. Pada 3 Agustus 2021, RMI dan Econusa menginisiasi Diskusi Konsolidasi Anak Muda untuk Tanah Air, yang dihadiri 59 peserta dari 22 komunitas anak muda dan 15 lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang memiliki fokus pada isu lingkungan, agraria, anak muda, pemberdayaan ekonomi dan kewirausahaan sosial serta aktif berkegiatan di wilayah Indonesia Barat, Indonesia Tengah, Indonesia Timur maupun level nasional.

Kegiatan ini dibuka dengan perkenalan antarkomunitas dan LSM, yang difasilitasi oleh Wahyu (RMI). Para peserta diminta mengakses link Menti.com untuk selanjutnya mereka dipersilakan menuliskan nama organisasi dan nama makhluk hidup yang menyimbolkan organisasinya masing-masing.

Selanjutnya  pada sesi Diskusi #AnakMudauntukTanahAir terdapat dua pertanyaan kunci untuk dibahas lebih lanjut dalam dua kelompok besar (Komunitas Anak Muda dan LSM) yaitu: (1) Apa aksi anak muda yang sedang dilakukan dan (2) Apa refleksi (tantangan, aspirasi, pengalaman, dll) untuk gerakan anak muda sekarang dan masa mendatang.

Aksi dan Inisiatif yang sudah dan tengah dilakukan

 

Dari pertanyaan kunci pertama yaitu “Apa aksi anak muda yang sedang dilakukan?”, kelompok LSM menyampaikan bahwa pendampingan Anak Muda telah dilakukan di seluruh Indonesia dengan berbagai kegiatan dan isu, seperti peningkatan kapasitas individu dan kelompok anak muda melalui pendidikan hukum rakyat untuk penguatan kampung, membangun kesadaran Anak Muda di kampus terkait isu-isu agraria dan pangan di pedesaan, juga menstimulasi pertukaran informasi pedesaan-perkotaan (rural-urban). Ada pula kegiatan berupa konsolidasi Anak Muda khususnya Serikat Tani. 

 

Di kelompok Komunitas Anak Muda yang diikuti oleh 34 orang terlihat bahwa kegiatan anak muda yang ada di rural maupun urban juga tidak kalah beragam. Mulai dari kampanye di ranah pendidikan, krisis iklim dan lingkungan hidup, sampah plastik di wilayah pesisir, kegiatan bertani dan berkebun kelompok Anak Muda, sampai membahas persoalan regenerasi anak muda di pedesaan. Aksi dan inisiatif yang dilakukan menekankan kreativitas, gaya kekinian, kolaboratif, mengikuti trend, dan optimalisasi penggunaan teknologi dan media sosial sangat mencirikan inisiatif khas ala anak muda jaman now. Kegiatan Anak Muda tersebut dilakukan dengan berbagai pendekatan berbeda-beda, mulai dari kegiatan berbasis riset, kampanye daring, gerakan turun ke jalan, pendidikan di luar kelas, hingga menginisiasi lokakarya. 

 

Terlihat pula andil besar anak muda dalam penguatan kampung melalui berbagai fokus kegiatan yang dipilih, diantaranya: peningkatan kapasitas individu maupun kelompok, literasi dan pendidikan, pengarsipan kearifan lokal dan kekayaan pangan komunitas. Sementara pada kegiatan berorientasi advokasi, utamanya terkait dengan isu perubahan iklim, sampah, dan hak hak masyarakat adat juga lokal. Meski belum sebanyak kegiatan lain, ada pula program Anak Muda yang menyasar pada perubahan kebijakan seperti menggalang dukungan atau petisi dan long march.

 

Refleksi Gerakan Anak Muda Indonesia di Masa Kini dan Masa Mendatang

 

Dalam diskusi terfokus bersama kawan-kawan LSM, teridentifikasi bahwa tantangan gerakan anak muda adalah: (1) Adanya perbedaan/disparitas sosial dan geografis maupun teknologi antara anak muda di kampung dan urban; (2) Sulitnya menarik minat dan mengemas suatu isu untuk Anak Muda; (3) Anak muda dalam berkegiatan juga harus fokus pada pemenuhan kehidupan (livelihood) mereka, ada juga yang harus sekolah di luar kampung sehingga mereka tidak dapat sepenuhnya fokus berkegiatan untuk membangun kampungnya dan menyebabkan kekosongan kampung; (4) Dengan adanya sumber daya di masing-masing organisasi/ komunitas, dirasa sulit untuk membuka ruang kolaborasi. Adapun menjawab tantangan-tantangan tersebut, beberapa hal yang sudah dan sedang direncanakan adalah internalisasi nilai-nilai perjuangan kaum muda: menginternalisasi semangat perjuangan Anak Muda ke dalam kehidupan sehari-hari, merancang kegiatan pemberdayaan generasi muda di kampung untuk menyediakan sumber penghasilan bagi mereka sekaligus menahan laju urbanisasi, dan mencari format kelompok belajar dengan latar belakang dan tingkat pengetahuan yang berbeda-beda, 

 

Sementara itu, di kelompok Komunitas Anak Muda, setidaknya ada lima tantangan yang berhasil ditangkap dari fasilitasi diskusi di kelompok komunitas anak muda terkait refleksi (tantangan, aspirasi, pengalaman dll) mereka untuk gerakan anak muda. (1) Tantangan atas akses, dana dan materi; (2) Peralatan dan pengetahuan terbatas; (3) Mengarusutamakan isu-isu yang berat dan sulit dipahami harus diinternalisasikan dalam kehidupan sehari-hari; (4) Meningkatkan kerelawanan anak muda, karena tak sedikit anak muda yang  mengharapkan imbalan, seperti uang, saat melakukan kegiatan; (5) Tidak dianggap dan ditindaklanjutinya aspirasi anak muda oleh korporasi atau pemerintah; dan (6) Kurangnya kesadaran masyarakat atas isu-isu yang ada di sekitarnya. 

 

Di satu sisi kurangnya ruang anak muda untuk berpartisipasi di masyarakat menjadi tantangan sekaligus peluang bagi mereka untuk menciptakan ruang ekspresinya masing-masing dengan membentuk komunitas anak muda–tidak hanya sebagai ruang kreasi dan pengembangan diri, namun ruang bagi anak muda berkontribusi bagi lingkungannya.  

 

Kolaborasi dan Tindak Lanjut

 

Sesi berikutnya dilanjutkan dengan pemaparan kerangka inisiatif #AnakMudauntukTanahAir yang menegaskan bahwasanya RMI dan EcoNusa hanya berperan sebagai inisiator awal, sehingga desain dan konsep inisiatif ini kedepannya bisa diolah secara bersama-sama.  

 

Setelah menyampaikan alur inisiatif yang dibayangkan mulai dari Konsultasi Anak Muda, pelaksanaan kegiatan Youth Summit dan kegiatan-kegiatan pasca-Youth Summit sampai ke putaran berikutnya dan terus berulang menuju Indonesia Emas (2045). RMI dan EcoNusa kembali mengajak semua peserta untuk berkolaborasi dan bersama-sama membayangkan kerangka #AnakMudauntukTanahAir sebagai inisiatif yang berkesinambungan.

 

Diskusi pun berlanjut dengan tanggapan dan ide-ide menarik yang dilontarkan para peserta: 

“Jika momennya adalah sumpah pemuda, menurutku perlu mendefinisikan ulang ‘bagaimana menjadi Anak Muda Indonesia dalam perspektif mereka sendiri akan ruang hidup’. Ini dijadikan satu definisi/piagam/plakat. Setelah itu hasil-hasilnya ada pertemuan tidak hanya dengan pemerintah dan media, namun juga industri—karena bagaimanapun yang membuat kotor dan implementor adalah industri.” (Sulis/WWF Indonesia)

 

Salah satu peserta dari kelompok Anak Muda juga turut menyampaikan pendapatnya terkait potensi keberlanjutan dari inisiatif ini:

“Anak muda saat ini, dengan berbagai privilege yang dimilikinya, harusnya bisa mengoptimalkan hal tersebut. Trend pergerakan Anak muda saat ini bermacam-macam… ada juga yang sporadis dan spontan, namun dengan idealisme yang dimiliki Anak muda silahkan berikan kebebasan kepada kami untuk berekspresi (setidaknya aspirasi kami ditampung saja dulu). Jangan pernah ragukan Anak muda, namun kami juga masih memerlukan dukungan dari NGO dan tetapkan ‘koridor-koridor’ apa saja yang tidak boleh dilewati oleh kami sebagai Anak Muda.” Novita/XR (Extinction Rebellion Indonesia)

 

Setelah menyampaikan kemungkinan tindak lanjut, tim inisiator membagikan formulir online berisi pertanyaan-pertanyaan masukan bagi kerangka dan konsep kegiatan inisiatif #AnakMudauntukTanahAir serta potensi kolaborasi dan rencana pertemuan berikutnya. Acara ditutup dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya.  

 

15 LSM yang hadir dalam diskusi kali ini adalah LSM dengan fokus kerja di area terestrial, pesisir, maupun keduanya yaitu Perkumpulan HuMa, Walhi, Perkumpulan Qbar, AKAR Foundation, Terasmitra, Sulawesi Community Foundation (SCF), WWF Indonesia, Sajogyo Institute, Sokola Institute, Yayasan Merah Putih Sulawesi Tengah, Perhimpunan Filantropi Indonesia, Konsorsium Pembaruan Agraria, Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), EcoNusa, dan RMI.

 

Adapun 22 Komunitas Anak Muda, yang berkegiatan di area pesisir dan terestrial juga berasal dari komunitas masyarakat adat dan non-adat yang aktif bergerak di wilayah rural dan urban, antara lain: Alumni School of Eco Diplomacy (SED), Relawan4Life, Earth Hour Jayapura, Golongan Hutan, Lawe Indonesia, Green Politician, Twelve’s Organic, Project Semesta, Teens Go Green (TGG), Global Youth Biodiversity Network (GYBN) Indonesia, Climate Rangers, Kompilasi Ujung Kulon, Extinction Rebellion, Narasea Indonesia, Lakoat.Kujawas, SimpaSio Institute, Kelompok Makekal Bersatu (KMB), Pemuda Kasepuhan Cibeas, Pemuda Tani Merdeka, Lumbung Ilmu Kasepuhan Cirompang, Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN), dan Kompak Pasir Eurih.

 

Penulis: Alfina dan Novia

Editor: Siti Marfu’ah

Pertemuan Majelis Permusyawaratan Masyarakat Kasepuhan Di Banten Untuk Merumuskan Peran Pemuda Adat

Keterlibatan generasi muda dan perempuan adat dalam Majelis Permusyawaratan Masyarakat Kasepuhan (MPMK) merupakan hal yang harus diapresiasi dan dikawal. Pasalnya, selama ini pemuda adat jarang dilibatkan dalam kegiatan adat, pengelolaan hutan, dan proses pengambilan keputusan lainnya. Mengingat pentingnya peran generasi muda sebagai generasi berikutnya yang melestarikan adat budaya Kasepuhan, sudah sepatutnya mereka dilibatkan. Terlebih lagi banyaknya ancaman yang hadir kemudian menyebabkan hilangnya wawasan adat budaya kasepuhan pada generasi muda.

MPMK sendiri adalah wadah komunikasi yang dibentuk oleh Masyarakat Kasepuhan dan terdiri dari unsur kokolot (tetua), unsur perempuan adat, unsur pemuda adat, dan unsur lainnya, seperti yang diamanatkan pada Bab 1 Ketentuan Umum Peraturan Daerah (Perda) Lebak No.8 Tahun 2015 tentang Pengakuan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Masyarakat Adat Kasepuhan. MPMK dibentuk pada 20 Desember 2020 melalui musyawarah adat di Kasepuhan Guradog, Kecamatan Curugbitung, Kabupaten Lebak. Pembentukan MPMK dinilai mendesak, mengingat saat ini sudah lima kasepuhan yang dikembalikan Hutan Adatnya.

Pada Selasa, 19 Januari 2021, bertempat di kantor DPRD Kabupaten Lebak, Banten, pengurus MPMK mensosialisasikan hasil musyawarah adat tersebut. Pertemuan sosialisasi MPMK melibatkan beberapa pihak, seperti unsur perempuan dan pemuda kasepuhan, Satuan Adat Banten Kidul (SABAKI). Dari organisasi masyarakat sipil hadir RMI, JKPP, dan HuMA yang telah lama bekerja sama dengan masyarakat Kasepuhan, untuk mendorong pemenuhan hak-hak mereka sebagai bagian dari masyarakat adat. 

Junaedi Ibnu Jarta, atau yang akrab disapa Jun, selaku Ketua Umum menyampaikan bahwa MPMK merupakan organisasi yang memiliki visi “Menjadi Organisasi Terdepan yang PEDULI dan TURUT BERTANGGUNG JAWAB dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup dan kelangsungan Masyarakat Adat Kasepuhan dengan tiga jenis keanggotaan, pertama Anggota biasa yaitu merupakan masyarakat keturunan masyarakat adat Kasepuhan. Kedua anggota luar biasa, adalah organisasi yang masyarakat adat kasepuhan dari masing-masing kasepuhan. Terakhir anggota luar biasa, yaitu masyarakat non adat yang memiliki perhatian dan kepedulian terhadap masyarakat adat kasepuhan.

Dalam kesempatan itu Jun juga menyampaikan bahwa MPMK memiliki sembilan ketua, yaitu Ketua Umum; Ketua Hukum dan HAM; Ketua Bidang Sosial dan Ekonomi; Ketua Bidang Penelitian, Pendidikan; Ketua Bidang Keagamaan dan Kebudayaan; Ketua Bidang Pemuda dan Infrastruktur Masyarakat Kasepuhan ; Ketua Bidang Kesehatan, Pemberdayaan Perempuan Adat dan Perlindungan Anak; Ketua Bidang Lingkungan Hidup, Kehutanan dan Pertanian; dan Ketua Bidang Organisasi, kaderisasi, dan Keanggotaan. Selain itu, dalam kepengurusan MPMK juga terdapat Direktur Eksekutif yang membawahi administrasi dan keuangan. MPMK juga memiliki  Pelindung, Pembina dan Penasehat yang berada di struktur organisasinya.

Jun menyatakan bahwa pemuda perlu terlibat dalam kepengurusan MPMK, sehingga kemudian dipilih pemuda untuk berposisi  di bagian keuangan dan di bidang pemuda MPMK. Dengan keterlibatan tersebut, Jun berharap ke depannya partisipasi pemuda akan semakin meningkat.

Adapun menurut pengamatan RMI, selama ini generasi muda adat Kasepuhan adalah kelompok yang suaranya kurang didengarkan. Padahal pemuda dan perempuan adat kasepuhan dinilai memberikan beragam perspektif baru yang mengisi ruang-ruang kosong dalam perjuangan masyarakat adat kasepuhan.

Dalam riungan SABAKI “Regenerasi: Adat dan Pengembangan Sumber Daya Alam di Mata Generasi Muda”, pada tahun 2019 di Kasepuhan Citorek, para pemuda yang mengikuti pelatihan  menyatakan bahwa mereka belum banyak dilibatkan di organisasi tersebut. Namun demikian, keinginan mereka untuk berpartisipasi di organisasi dan kegiatan budaya sebenarnya sangat besar. Kendalanya adalah seringnya perasaan segan kepada orang-orang yang dituakan (baris kolot atau juru basa, misalnya) muncul, dan menahan mereka untuk berpartisipasi secara aktif.

Sebagai salah satu organisasi yang mengadvokasi pengakuan masyarakat adat Kasepuhan sejak 2003, RMI menilai Keterlibatan generasi muda dalam kepengurusan MPMK merupakan tahap dari jalan panjang yang harus ditempuh untuk mencapai kesejahteraan. Terlebih lagi setelah penyerahan Surat Keputusan Hutan Adat Kasepuhan Cibarani, Hutan Adat Kasepuhan Cirompang, Hutan Adat Kasepuhan Citorek, dan Hutan Adat Kasepuhan Pasir Eurih, pada 7 Januari 2021.

Selain memastikan keterlibatan generasi muda dalam pengurus MPMK, RMI bersama JKPP dan HuMA juga menyampaikan bahwa MPMK idealnya menjadi forum strategis dan independen yang menelurkan rekomendasi, gagasan untuk mendistribusikan kesejahteraan masyarakat kasepuhan dan pengamanan adat dan budaya kasepuhan agar tidak tergerus globalisasi, serta mengawasi kebijakan daerah atau organisasi lainnya yang terkait dengan masyarakat kasepuhan.

 

Penulis: Siti Marfu’ah

Editor: Indra N. Hatasura

Belajar Lintas Kelompok di Pelatihan Kepemimpinan

Foto 1. KOMPAK, Pokdarwis Ciwaluh, dan Relawan4Life mengikuti Pelatihan Kepemimpinan (Amanda/RMI)

Pada hari Sabtu dan Minggu (28-29 November 2020), RMI mengadakan pelatihan kepemimpinan di wilayah Masyarakat Adat Kasepuhan Pasir Eurih, Desa Sindanglaya, Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Sejumlah 27 peserta, yang terdiri dari 11 orang pemuda perempuan dan 16 orang pemuda laki-laki, melakukan pembelajaran bersama dan mengaitkannya dengan program yang sedang dikerjakan di lokasi, yaitu perencanaan edu-ekowisata.

Selain diikuti oleh KOMPAK (Komunitas Pemuda Adat Kasepuhan) Pasir Eurih, pelatihan ini juga diikuti oleh kelompok di luar wilayah Kasepuhan, yaitu Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata) dari Kampung Ciwaluh dan dari komunitas Relawan4Life. Kedua kelompok ini memiliki pengalaman dalam mengelola program ekowisata dan mengelola kegiatan pendidikan lingkungan.  Dengan bergabungnya kedua kelompok tersebut pada pelatihan ini, maka diharapkan pembelajaran yang terjadi bersifat lintas kelompok. Konsep pembelajaran ini seringkali RMI istilahkan sebagai konsep belajar kampus-kampung-komunitas.

Evaluasi dan Mendulang Inspirasi

Pada hari pertama, para peserta melakukan evaluasi terhadap Rencana Tindak Lanjut (RTL) KOMPAK. Sesi ini difasilitasi oleh Indra NH (RMI) dan peserta yang berasal dari luar KOMPAK diminta memainkan peran sebagai “penyelidik” untuk mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya mengenai kegiatan-kegiatan KOMPAK. Kegiatan ini diatur agar peserta dari Relawan4Life dan Pokdarwis terinformasi akan beberapa rencana yang dibuat sebelumnya.

Adapun rencana yang sudah dibuat di antaranya terdiri dari: (1). Penggalian data dan pendokumentasian pengetahuan lokal, (2). Peggalian data dan pendokumentasian makanan lokal, (3). Pembenahan jalur trekking, dan (4). Penggalian data dan pendokumentasian tanaman obat. Untuk membahas rencana-rencana tersebut maka dibentuklah kelompok-kelompok berdasarkan 4 tema di atas. Diskusi dan presentasi kemudian dilakukan untuk memaparkan hasil. Presentasi dilakukan oleh peserta di luar KOMPAK. Adapun diskusi dan presentasi yang dilakukan bertujuan untuk melihat kemajuan dan hambatan pada setiap kegiatan, serta untuk menyamakan pengetahuan peserta akan program-program yang sedang disusun KOMPAK.

Gambar 1. Evaluasi rencana program edu-ekowisata KOMPAK (Amanda/RMI)
                   Foto 2. Proses evaluasi rencana program edu-ekowisata KOMPAK (Amanda/RMI)

Pada siang dan sore hari, giliran Pokdarwis Ciwaluh yang berbagi cerita dalam mengembangkan program edu-ekowisata di lokasi kaki Gunung Gede Pangrango.  Format sesi ini dibuat menyerupai talkshow dimana Novia F (RMI) berperan sebagai pemandu acara. Narasumber muda ini menceritakan mengenai sepak terjang para pemuda di Kampung Ciwaluh yang berorganisasi sejak 2009 sampai akhirnya memutuskan untuk mengembangkan wisata kampung. Fokus cerita mereka bukan hanya pada keberhasilan mendapatkan tambahan penghasilan dari kegiatan wisata alam, namun juga tantangan-tantangan yang sudah atau masih mereka hadapi saat ini.

Tantangan-tantangan tersebut misalnya adalah berupa pergantian-pembubaran dan pembentukan organisasi, kebutuhan regenerasi dalam kelompok, pengikutsertaan anak muda dan perempuan, persaingan dengan kelompok di luar kampung dalam mengembangkan wisata, konflik dengan pengelola taman nasional untuk lokasi wisata dan lahan garapan, sampai rencana mengembangkan wisata tanpa bantuan dana desa. Peserta dari Kasepuhan Pasir Eurih pun banyak melakukan tanya jawab dengan Pokdarwis, terutama mengenai cara membangun edu-ekowisata secara mandiri.  

Pada sesi tersebut, masukan dari peserta di luar KOMPAK (Pokdawris Ciwaluh dan Relawan 4 Life) dirasakan memberikan manfaat bagi KOMPAK. “Kami jadi yakin, bahwa yang kami miliki di sini dapat dikembangkan dan memang harus dikerjakan,” kata Maman Syahroni salah seorang peserta dari KOMPAK.

Relawan4Life misalnya, memberikan pendapat bahwa Kasepuhan Pasir Eurih kaya akan pengetahuan tradisional, budaya, dan kearifan lokal. Mereka berpendapat bahwa kekuatan itulah yang perlu dikedepankan dalam menjalankan program edu-ekowisata. Bagi mereka, mendengarkan cerita mengenai 40-an varietas padi lokal yang ada di Kasepuhan atau bagaimana masyarakat Kasepuhan menyimpan padi di leuit, yang tetap dapat dimakan setelah usianya 20 tahun sangatlah “wah.”

“Sangat menarik, budaya yang ada di sini jika dikembangkan menjadi edu-ekowisata,” tutur Nuri Ikhwana, salah seorang peserta dari Relawan4Life yang juga berstatus mahasiswi dari Institut Pertanian Bogor. Pernyataan ini dikuatkan oleh kedua temannya yang lain.

Bagi peserta KOMPAK, masukan-masukan dari kelompok luar kampungnya tersebut memperkuat mereka dalam membuat keputusan yang strategis dan bermanfaat dalam pengembangan program edu-ekowisata yang sedang disusun.

Acara pada hari itu diselesaikan dengan diskusi ringan mengenai program-program KOMPAK yang perlu diselesaikan atau direvisi. Dalam obrolan yang dilakukan, disepakati juga jika pelatihan hari kedua akan dilakukan lebih siang karena banyak masyarakat yang sedang  menandur (menanam padi secara mundur), sebagai kegiatan yang dilakukan oleh para petani  pare gede yang mengikuti tatali paranti karuhun (adat istiadat yang dipercaya masyarakat adat Kasepuhan).

Khusus untuk Pokdarwis Ciwaluh dan Relawan4Life, waktu malam hari dipergunakan utuk melakukan evaluasi perjalanan dan proses pembelajaran. Masing-masing kelompok menyampaikan pengalaman dan pembelajarannya dalam mengikuti pelatihan atau saat berbaur dengan masyarakat di kampung. Mereka meyampaikan bahwa tinggal dan berinteraksi bersama Masyarakat Adat Kasepuhan Pasir Eurih membuat mereka banyak belajar tentag kearifan lokal masyarakat. Beberapa kata yang mereka anggap baru didiskusikan kembali malam itu pare gede (padi besar), leuit (lumbung padi), rukun tujuh (tahapan bertani yang mengikuti adat), Kasepuhan (nama kelompok masyarakat adat di Banten dan Jawa Barat), dan lainnya.

Prinsip-prinsip Keorganisasian dan Dokumentasi Budaya

Pelatihan hari kedua dimulai pada pukul 10.00 pagi. Kegiatan hari kedua diawali dengan bermain permainan Zombie untuk proses team building yang juga dapat direfleksikan kepada isu-isu kepemimpinan, inisiatif pribadi, dan kedisiplinan. Permainan ini juga menjadi aktivitas pembuka untuk mendiskusikan kepemimpinan pada level organisasi.

Sesi berikutnya merupakan sebuah sesi yang dirancang untuk memberikan pengetahuan dan dorongan bagi para peserta untuk mengkampanyekan budaya lokal dengan memanfaatkan handphone dan internet. Sesi yang berjudul “Dokumentasi Budaya dan Kampanye untuk Membangun Identitas Masyarakat Adat” ini disampaikan secara daring oleh Karlina Octaviany, seorang antropolog digital dan spesialis strategi komunikasi digital. Karlina menyampaikan bahwa kemajuan teknologi jika tidak disikapi dengan bijak dapat merusak kearifan lokal masyarakat adat.

“Bersama-sama masyarakat harus sadar bahwa semua hal bisa punya dampak buruk, termasuk penggunaan internet. Nah itu yang disepakati bersama secara adat. Sampai batas mana pemanfaatan internet itu sudah mengkhawatirkan dan bagaimana cara mencegahnya,” terang Karlina.

Foto 3. Sesi Dokumentasi Budaya dan Kampanye untuk Membangun Identitas Masyarakat Adat  (Supriadi/RMI)

Sesi ini mengingatkan kembali Masyarakat Adat Kasepuhan Pasir Eurih bahwa di tengah-tengah dunia yang semakin terdigitalisasi, internet dan kemajuan teknologi harus diposisikan sebagai alat untuk memberdayakan masyarakat dan memperkuat tradisi-tradisi adat. Kesempatan ini juga peserta juga bertanya mengenai teknis penggunaan handphone dan media sosial untuk menjangkau masyarakat luas dan menyebarkan informasi mengenai adat Kasepuhan.

Setelah sesi makan siang, kegiatan pelatihan kepemimpinan dilanjutkan dengan materi keorganisasian yang diramu dalam bentuk permainan Rawa Beracun.  Pada permainan ini semua peserta diminta untuk berkompetisi, bekerjasama, mencapai target permainan sekaligus berstrategi. Permainan ini berlangsung cukup lama sekitar 2 jam dan dilakukan di bawah rintik hujan. Namun demikian, para peserta mempertahankan semangat mereka untuk menyelesaikan permainan ini, sama seperti yang mereka lakukan saat itu, bekerjasama, konsisten, kreatif dan belajar dari kesalahan untuk mencapai tujuan-tujuan jangka pendek.  Kondisi dan rintangan lainnya dalam permainan memang dikondisikan untuk menimbulkan refleksi-refleksi yang dihubungkan dengan program yang sedang dikerjakan KOMPAK.

Walaupun permainan Rawa Beracun cukup melelahkan, namun peserta masih cukup antusias mengikuti sesi terakhir yaitu pendalaman material keorganisasian yang dikaitkan dengan permainan Rawa Beracun tersebut. Sesi ini merupakan sesi pamungkas sekaligus penutup kegiatan. Pada sesi terakhir ini, para peserta diminta berbicara mengutarakan pendapat mereka mengenai pembenahan-pembenahan yang perlu dilakukan untuk mencapai target-target jangka pendek dan panjang dalam program edu-ekowisata.  Dengan mengkaitkannya dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam permainan, para peserta lebih mudah untuk melihat keterhubungan antara bagian-bagian dalam organisasi.

                              Foto 4. Peserta mengikuti permainan rawa beracun (Amanda/RMI)

Sebagai langkah terakhir dari pelatihan adalah dengan menyusun kesepakatan untuk menyelesaikan detail-detail pekerjaan termasuk tim, waktu dan bagaimana melakukannya. Community organizer RMI, Fauzan A,  yang mendampingi Masyarakat Adat Kasepuhan Pasir Eurih menyatakan bahwa kegiatan perbaikan RTL (Rencana Tindak Lanjut) akan dilakukan kembali pasca pelatihan, dengan melibatkan Marja sebagai pembina KOMPAK. Beliau sendiri mengaku senang dengan diadakannya kegiatan Pelatihan Kepemimpinan yang mendatangkan kelompok dari luar wilayah Kasepuhan.

“Kami senang dikunjungi oleh teman-teman dari luar. Namun di sini ya begini, apa adanya,” kata Marja, sesepuh kampung sekaligus pembina KOMPAK. Ia berharap bahwa kebuntuan-kebuntuan yang terjadi saat berpikir ‘sendiri’ dapat dipecahkan dengan adanya teman-teman baru.

Pembelajaran yang didapat oleh ketiga kelompok yang terlibat dalam pelatihan kepemimpinan ini mungkin berbeda-beda bagi setiap kelompoknya. Namun demikian, langkah kecil selalu diperlukan untuk mencapai tujuan yang letaknya jauh, seperi yang digambarkan dalam permainan dan diskusi-diskusi refleksi pasca permainan tersebut.

Kegiatan Pelatihan Kepemimpinan ini merupakan bagian dari platform ‘Being and Becoming Indigenous’—sebuah platform berlajar bersama generasi muda adat yang dilaksanakan di tiga komunitas adat di dua negara yaitu Kasepuhan Pasir Eurih dan Mollo di Indonesia (RMI dan Lakoat.Kujawas) serta Dumagat-Remontado di Filipina (AFA dan PAKISAMA).

 

Penulis: Indra N. Hatasura

Belajar Mengelola Lingkungan Dari Masyarakat Adat

Masyarakat adat memiliki kearifan lokal tersendiri dalam menjaga lingkungan dan mengelola sumber daya alamnya. BRWA (2009) menyatakan bahwa hutan yang berada di wilayah masyarakat adat memiliki kualitas yang baik. Melihat hal tersebut, kearifan lokal ini patut dicontoh oleh masyarakat luas, khususnya anak muda dalam menjaga kelestarian lingkungan.

Pada 25 Juli 2020, Relawan for Life, gerakan anak muda dampingan RMI, melakukan diskusi daring (Disaring) melalui aplikasi zoom, yang berjudul “Belajar Mengelola Lingkungan dari Masyarakat Adat”. Disaring kali ini bertujuan untuk mengajak anak muda lain agar lebih mengenal kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat adat.

Kegiatan ini dimoderatori oleh Febrianti Valeria, mahasiswa Ilmu Politik Universitas Kristen Indonesia, yang juga merupakan tim penggerak Relawan for Life. Disaring kali ini menghadirkan  dua orang narasumber yang merupakan masyarakat adat, yaitu Abah Maman Syahroni dari masyarakat adat Kasepuhan Pasir Eurih, Banten dan Pengendum Tampung dari masyarakat adat Orang Rimba, Jambi.  Kegiatan yang diikuti oleh 24 orang, terdiri dari 12 orang laki-laki dan 12 orang perempuan ini membahas tentang bagaimana masyarakat adat hidup harmonis dengan alam?

 

Kasepuhan Pasir Eurih

Abah Maman mengatakan bahwa ada berbagai macam kearifan lokal yang dimiliki masyarakat adat Kasepuhan Pasir Eurih, dan yang utama adalah rukun tujuh (7 rukun tani), karena kehidupan sehari-hari masyarakat adat Kasepuhan Pasir Eurih adalah bertani . Rukun tujuh adalah proses ritual adat penanaman padi varietas lokal (pare gede) yang dilakukan oleh masyarakat adat Kasepuhan Pasir Eurih, seperti asup leuweung (proses ritual adat membuka lahan pertanian secara bersama-sama); nibakeun (proses ritual adat meminta izin dan berdo’a untuk memulai menebar benih); ngubaran (proses ritual adat mengobati tanaman padi dari hama), mapag pare beukah (proses ritual adat memohon agar hasil pertanian bagus); beberes/,mipit (proses ritual adat meminta izin untuk memanen padi); ngadiukeun (proses ritual adat memasukan padi ke dalam lumbung padi/leuit); dan Serentaun (upacara adat meminta agar kesuburan dan kemakmuran untuk panen berikutnya).

Ketika menanam padi, masyarakat adat Kasepuhan Pasir Eurih melakukannya secara bersama-sama, dan rukun tujuh yang akan mengawal dari setiap proses pertanian yang dilakukan masyarakat. Hal tersebut dilakukan bertujuan agar masyarakat tidak saling mendahului ketika menanam padi,yang mengakibatkan tidak terputusnya siklus hama (hama berkembang biak sepanjang tahun karena ketersediaan makan secara terus menerus).

Kearifan lokal lainnya adalah ronda leuweung (jaga hutan). Menurut Abah Maman, salah satu tugas ronda leuweung adalah memastikan kondisi hutan agar tetap utuh, dan tidak ada penebangan liar. Abah Maman mengatakan orang yang bertugas untuk ronda leuweung biasanya dipilih oleh kepala adat.

Abah Maman menekankan, bahwa apa yang dilakukan oleh masyarakat adat Kasepuhan Pasir Eurih tidak terlepas dari ketahanan pangan dan penguatan kelompok masyarakat, agar masyarakat tetap menjaga nilai-nilai dari karuhun (leluhur).

Secara hukum masyarakat adat Kasepuhan Pasir Eurih sudah diakui oleh pemerintah daerah dengan adanya Peraturan Daerah Kabupaten Lebak No. 08 tahun 2015 tentang Pengakuan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Masyarakat Adat kasepuhan.

Abah Maman menceritakan bahwa masyarakat adat Kasepuhan Pasir Eurih bukan kelompok masyarakat adat yang tertutup sama sekali terhadap dunia luar. Contohnya adalah bahwa di Pasir Eurih, pendidikan formal diterima dengan baik oleh masyarakat. 

 Orang Rimba

Pengendum menceritakan bahwa masyarakat adat Orang Rimba adalah kelompok masyarakat adat yang tinggal di hutan Bukit Dua Belas Jambi. Kehidupan masyarakat adat Orang Rimba sehari-hari adalah berburu dan meramu hasil hutan. Meskipun begitu, masyarakat adat Orang Rimba mengambil hasil hutan secukupnya, jika untuk makan hari ini, maka orang rimba hanya mengambil hasil hutan untuk hari ini saja, karena masyarakat adat Orang Rimba khawatir jika sumber daya alam mereka diambil berlebihan makan akan habis.

Pengendum mengatakan bahwa masyarakat adat Orang Rimba memiliki sistem konservasi tradisional yang saat ini masih dipegang teguh. Seperti adanya lokasi-lokasi yang dianggap sakral, misalnya tanaperana’on (lokasi untuk melahirkan) yang dilindungi secara khusus, agar pohon-pohon yang di sekitar lokasi tidak ditebang, dan lokasi untuk melahirkan setiap anak akan berubah-ubah.

Selain lokasi untuk melahirkan, ada juga lokasi untuk pemakaman. Ketika ada yang meninggal, masyarakat adat Orang Rimba akan membangun satu rumah untuk menyimpan mayatnya, dan rumah tersebut dikelilingi pohon, di mana pohon-pohon tersebut tidak boleh ditebang. Hal ini bertujuan untuk, agar mayat orang yang meninggal terlindungi.

Pengendum juga menjelaskan bahwa masyarakat adat Orang Rimba juga diwajibkan untuk menjaga dua pohon, setiap melahirkan satu orang anak. Hal ini membuat banyak pohon yang tidak ditebang, dan dilindungi. Karena semakin banyak anak yang dilahirkan, maka semakin banyak pohon yang terjaga.

Selain hutan, masyarakat adat Orang Rimba juga menjaga sungai, seperti tidak boleh buang air dekat sungai, atau mandi dengan sabun. Narasumber mengatakan,  selain hal tersebut bisa merusak sungai, masyarakat adat Orang Rimba percaya bahwa sungai merupakan jalan yang dilalui oleh dewa. Jika sungai rusak, maka dewa akan marah.

Narasumber juga menjelaskan, bahwa jauh sebelum adanya pandemi, masyarakat adat Orang Rimba sudah mengenal physical distancing. Masyarakat adat Orang Rimba menyebutnya besesandingon, yaitu ketika ada yang orang sakit, maka orang tersebut harus mengisolasi diri dari keluarga dan masyarakat lainnya. Hal ini untuk mencegah tertularnya penyakit yang diderita.

Begitu banyak kearifan lokal masyarakat adat yang berkontribusi pada lingkungan. Mengutip komentar dari salah satu peserta Disaring, “masyarakat adat adalah jawaban dari berbagai permasalahan kita, kita harusnya juga belajar dari mereka”.

Silakan klik link berikut, untuk melihat Disaring 6.0 – Belajar Mengelola Lingkungan dari Masyarakat Adat.