Lowongan Kerja Staf Keuangan di Yayasan RMI, Bogor

RMI adalah lembaga swadaya masyarakat yang berkantor di Kota Bogor, Jawa Barat dan memfokuskan diri untuk tercapainya visi RMI yaitu “terwujudnya kedaulatan rakyat, perempuan dan laki-laki atas tanah dan kekayaan alam untuk mewujudkan sistem penghidupan berkelanjutan.”

Untuk menunjang kegiatan-kegiatannya, terutama di lingkup kantor, maka RMI membuka lowongan kerja pada posisi staf keuangan (finance staff). Posisi ini adalah posisi penuh waktu (full time)

Kualifikasi/persyaratan:

– Perempuan/laki-laki, jujur dan teliti

– Pendidikan minimal S1 di bidang akuntansi/keuangan atau setara

– Menguasai bahasa Inggris, minimal pasif

– Berpengalaman di bidangnya minimal 2 tahun

– Diutamakan bila menguasai perpajakan untuk organisasi nirlaba

– Diutamakan bila memahami laporan keuangan untuk organisasi nirlaba                                                                           

– Mampu bekerja dalam tim

– Tidak sedang dalam keadaan berkuliah

– Terbiasa bekerja dengan deadline

Cantumkan harapan honor yang dikehendaki pada surat lamaran.

Surat lamaran dan CV dikirimkan melalui email ke alamat indra@rmibogor.id dan cc ke ajeng@rmibogor.id diterima paling lambat 6 Oktober 2021. Tuliskan pada subjek email: [Keuangan]_nama lengkap pelamar

Hanya pelamar yang memenuhi syarat yang akan masuk tahap wawancara. RMI tidak melayani surat menyurat dan komunikasi yang ditujukan secara pribadi.

 

Inisiatif Kebun Pekarangan; Sebuah Usaha Memartabatkan Lahan dan Pangan Lokal

Bertempat di Imah gede Kasepuhan Cibarai, RMI memfasilitasi pertemuan diskusi bersama Kelompok Perempuan, Kelompok PKK dan Kader Posyandu. Tak kurang ada 35 peserta yang terdiri dari 33 perempuan dan dua orang laki-laki, mengikuti kegitan ini yang hampir semuanya perempuan.

Hari jumat  merupakan waktu libur beraktifitas bagi masyarakat kasepuhan Cibarani, khususnya akitifitas pertanian di sawah. Selain hari jumat, ada dua hari lagi yang pamali untuk aktifitas yang sama, yaitu hari Selasa dan Minggu. Sedangkan untuk kegiatan berkebun, mencari kayu bakar dan kegitan lainnya diperbolehkan.

Fasilitator menyampaikan maksud dan tujuan agenda hari ini, memantik diskusi bersama peserta terkait pengalaman berkebun, khususnya kebun pekarangan. Menariknya, hampir semua peserta memiliki pengalaman berkebun di perkarangan rumahnya.  Berangkat dari pengalaman itu, ada potensi dari masing-masing peserta yang mayoritas ibu rumah tangga kembali giat berkebun. Hal utama yang ditekankan dari kegiatan berkebun ini tujuannya untuk gizi keluarga dan anak. Mengingat fakta tentang gizi buruk, Kecamatan Cirinten menempati ranking teratas yang menyumbang angka stunting se kabupaten Lebak. Berangkat dari kegelisahan ini, maka perlu adanya kegitan kolaboratif dari kelompok perempuan, kelompok PKK dan Kader Posyandu.

Tujuan lain dari kegiatan berkebun yang bisa dipahami bersama yaitu menekan biaya pengeluaran rumah tangga, khususnya untuk kebutuhan pangan rumah tangga. Berkebun pekarangan juga dimaksudkan untuk memartabatkan lahan yang ada disekitar pemukiman. Biasanya lahan-lahan tersebut hanya dimanfaatkan sebagai tempat pembuangan sampah.

Pertemuan ini menyepakati pembentukan kelompok yang disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing RT, misalnya untuk memudahkan pengerjaan kelompok diusahakan berasal dari kampung yang sama dan atau bertetangga dekat. Dari kesepakatan bersama ada 7 kelompok terbentuk dari 4 kampung; Cibarani, Sukawari, Sempur, Gunung Batu dan Pasir Gembong sesuai dengan asal peserta. Selain ber kebun dengan cara berkelompok, peserta akan mengupayakan berkebun sesuai kebutuhan di halaman rumah masing-masing.

Sedangkan jenis-jenis sayuaran yang rencana akan ditanam mengusahakan dari benih yang tersedia di lokal, seperti cabe, tomat, kacang panjang, buncis dst. Sesuai dengan prinsipnya, agenda ini selain untuk memenuhi kebutuhan gizi keluarga dan anak, juga memartabatkan lahan dan pangan lokal. Harapannya, kerja kolaborasi ini menjadi percontohan pengelolaan kebun pekarangan yang baik, terutama di level Desa se-kecamatan Cirinten sebagai upaya menanggulangi banyaknya kasus gizi buruk (stunting). 

Penulis: Abdul Waris

Seberapa Mendesaknya RUU Masyarakat Adat bagi Generasi Muda Adat?

Foto 1: Anak-anak Kasepuhan Karang bermain di tempat ekowisata di dalam kawasan Hutan Adat Kasepuhan Karang, Lebak, Banten yang ditetapkan akhir tahun 2016 (sumber foto: RMI)

Sekitar 370 juta orang—atau setara dengan 5 persen penduduk dunia—adalah Masyarakat Adat (Interfaith Rainforest Initiative, 2019) yang kemudian diperkirakan bahwa 70 juta orang diantaranya hidup tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Di sisi lain narasi dan hasil studi kerap menyatakan bahwa meskipun mereka “hanya” menyumbang 5 persen dari total populasi dunia, namun Masyarakat Adat mengelola lebih dari 80 persen keanekaragaman hayati global. Menilik pentingnya peran masyarakat adat dalam menjaga keberagaman biodiversitas—apalagi di tengah laju krisis iklim yang kian mengkhawatirkan—sudah sepatutnya hak dan keberlanjutan penghidupan mereka dilindungi oleh tiap negara di mana Masyarakat Adat tinggal. Dalam konteks Indonesia sendiri, pemerintah Indonesia merupakan salah satu dari 144 negara yang mendukung pengesahan deklarasi PBB mengenai Hak Masyarakat Adat (United Nations Declarations on the Rights of Indigenous PeoplesUNDRIP) di Sidang Umum PBB pada 13 September 2007. 14 tahun telah berlalu sejak UNDRIP disahkan, namun Indonesia tak kunjung memiliki payung hukum yang memastikan terjaminnya hak-hak Masyarakat Adat.

Masyarakat Adat di Indonesia memiliki latar belakang sosial budaya beserta pola penghidupan yang relatif berbeda antara satu dan yang lainnya. Namun diantara perbedaan tersebut, terdapat kesamaan cara hidup dan sistem kepercayaan yang mengikat mereka menjadi satu kesatuan Masyarakat Adat yaitu penghormatan terhadap alam dan roh leluhur. Perampasan ruang hidup dengan dimasukannya wilayah adat ke dalam hutan negara maupun eksploitasi wilayah kelola Masyarakat Adat oleh perusahaan perkebunan dan pertambangan selama puluhan tahun, di sisi lain, telah menunjukkan dampak merugikan bagi kelestarian alam dan keberlangsungan hidup Masyarakat Adat. Situasi konflik dengan perusahaan dan negara seringkali memicu disintegrasi diantara anggota Masyarakat Adatnya sendiri, selain juga makin membatasi ruang tumbuh perempuan dan generasi muda adat yang masih diposisikan sebagai kelompok masyarakat kelas dua.

Persoalan Masyarakat Adat Mentawai dan perspektif anak muda

Hidup selaras dengan alam selama ratusan tahun lamanya, Masyarakat Adat Mentawai bertahan hidup dengan mengandalkan sumber daya hutan dan laut Kepulauan Mentawai dari generasi ke generasi. Meskipun demikian, laju deforestasi dan perusakan ekosistem akibat eksploitasi hutan oleh beberapa perusahaan pemegang izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) sejak tahun 1970-an kian membuat orang Mentawai khawatir akan masa depannya. “Perusahaan saat ini akan hadir di wilayah adat kami. Kalau itu [wilayah adat] rusak, kami akan kehabisan sumber daya dan mata pencaharian. Tanpa wilayah adat kami tidak bisa berbuat apa-apa,” kata Gayus Sihan, salah seorang generasi muda adat Mentawai.

Bertahun-tahun para pemodal mengincar wilayah adat Mentawai untuk dieksploitasi, bertahun-tahun pula Masyarakat Adat Mentawai berjuang menolak mereka masuk. Gayus menambahkan bahwa perjuangan tersebut sangatlah berat, terutama karena masyarakat sendiri terpecah menjadi golongan yang pro dan kontra terhadap rencana masuknya investor tersebut. Pemilik wilayah atau lembaga adat memang menolak secara secara tegas masuknya perusahaan karena mereka menilai alam dan tradisi adatnya secara otomatis akan hancur. Sedangkan mereka yang mendukung berargumen bahwa peluang pekerjaan akan terbuka apabila ada perusahaan yang beroperasi di sekitar mereka dan mereka tidak perlu lagi bertani: cukup bekerja dan menerima upah setiap hari.

Pemikiran kelompok yang menerima pendirian perusahaan tersebut utamanya bersumber dari kalangan anak-anak muda Mentawai saat ini. Pemikiran itu didasari oleh persoalan sumber penghidupan di kampung yang diperkeruh juga oleh adanya persepsi bahwa bekerja di perusahaan akan jauh lebih menghasilkan dibanding berlelah-lelah menggarap lahan pertanian—apalagi hasil dari bertani dianggap tidak seimbang dengan penghasilan yang didapat. “Jadi kesannya mereka lebih senang menjadi kuli disbanding mengelola wilayah adatnya sendiri,” ujar Gayus.

Generasi muda adat Mentawai yang kontra dengan keberadaan perusahaan lebih jauh berpandangan bahwa daripada mereka harus pergi ke luar kampung untuk mencari nafkah dan menjadi kuli seumur hidup, lebih baik mengelola wilayah adatnya yang terbentang luas di depan mata karena otomatis hasil jerih payahnya tersebut akan dinikmati oleh dirinya serta dapat diwariskan ke anak cucu. Ketika mendengar rencana masuknya investasi ke wilayah kampungnya, Gayus mengaku sempat berdebat dengan golongan tua yang menyambut kehadiran perusahaan dengan tangan terbuka. “Bagi saya wilayah adat itu adalah ibu yang menyusui saya karena di wilayah adat ini ada sumber penghidupan yang tidak akan habis. Di sini saya bisa menata masa depan yang lebih cerah dibanding menjadi guru atau menjadi kuli di perusahaan. Jangan jadikan kami kuli di Tanah kami sendiri,” pungkasnya.

Di kampungnya, anak muda Mentawai aktif berkegiatan termasuk mengenal tradisi adatnya sendiri. Mereka telah mencoba menelusuri sejarah leluhur, menginisiasi diskusi dan pelatihan terkait kedaulatan pangan, belajar memetakan wilayah adat, dan mengikuti diskursus seputar Masyarakat Adat yang salah satunya adalah terkait mandeknya pengesahan UU Masyarakat Adat yang sudah dibahas di DPR sejak tahun 2009 namun hingga hari ini tak kunjung disahkan. Mereka berusaha mencari aturan-aturan yang berlaku di negara kita kalau seandainya wilayah adat dikelola oleh perusahaan. Menurutnya penting untuk mendesak pejabat negara agar segera mengesahkan UU Masyarakat Adat supaya kami dapat terus menjaga wilayah adat dan nilai-nilai yang menyertainya.

Pengesahan RUU Masyarakat Adat terseok-seok

Posisi Masyarakat Adat sangatlah istimewa karena keberadaan mereka sudah ada sejak ribuan tahun lalu. Namun persoalannya kedudukan mereka tidak dilindungi atau diatur dalam sistem hukum di Negara Indonesia. RUU Masyarakat Adat adalah suatu rancangan UU yang dasar pembentukannya  diamanatkan oleh oleh konstitusi UUD 1945 pasal 18 ayat 2. Namun sudah 76 tahun Indonesia merdeka, UU Masyarakat Adat belum juga disahkan. Padahal harusnya ia hadir sebagai payung hukum yang memastikan pemulihan, perlindungan, pengakuan hak, dan pemberdayaan Masyarakat Adat. Misalnya Masyarakat Adat Mentawai yang telah memiliki kepercayaan asli bernama arat sabulungan, mereka harusnya itu diakui dan dihormati oleh siapapun termasuk negara. Namun yang terjadi malah agama leluhur ini tersingkir karena tidak diakui.

Selain terkait kepercayaan, permasalahan terbesar Masyarakat Adat di Indonesia adalah perampasan paksa wilayah adat yang mereka kelola. Tidak terhitung banyaknya izin konsesi yang tidak melalui proses adat, tidak ada pemberitahuan, apalagi minta izin kepada Lembaga adat. Masyarakat adat mengalami pemiskinan, setelah itu perusahaan pergi ke tempat lain dan melakukan kerusakan ekologi di wilayah lainnya. Kondisi yang merugikan Masyarakat Adat ini seharusnya dapat dihindari jika UU Masyarakat Adat telah lama terbentuk sebab ia mampu mendasari pembentukan program-program yang memprioritaskan kesejahteraan Masyarakat Adat di Indonesia.

Foto 2: Kegiatan Skol Tomolok yang diinisasi oleh Masyarakat Adat Mollo di Timor Tengah Selatan, NTT (sumber foto: Lakoat.Kujawas)

UU Masyarakat Adat tidak disahkan sampai saat ini, menurut Abdon Nababan, karena belum adanya kemauan politik (political will) yang kuat dari negara. Kendati sejak era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono hingga Joko Widodo RUU Masyarakat Adat masuk ke dalam program legislasi nasional (prolegnas) tiap tahunnya, RUU ini tidak kunjung rampung dibahas dan disahkan. “Memang masih ada yang merasa bahwa kalau wilayah adat dikembalikan ke masyarakat adat, nanti mereka tidak bisa lagi mengeksploitasinya. Sedangkan izin konsesi telah disebarkan ke berbagai wilayah masyarakat adat, terutama pada masa Orde Baru. Jadi ada kekuatan kekuatan politik ekonomi yang secara terus-menerus berusaha agar RUU ini tidak disahkan,” terang Abdon.

Pembahasan mengenai RUU Masyarakat Adat dimulai sejak tahun 2006 ketika peringatan Hari Masyarakat Adat Internasional di Taman Mini Indonesia Indah. Saat itu Presiden SBY menyatakan bahwa RUU Masyarakat Adat ini sangat penting dan berdasarkan itu kemudian terjadi proses dialog-dialog dengan pemerintah. RUU ini kemudian masuk prolegnas sejak tahun 2012, bahkan di tahun 2014 sudah dibentuk panitia khusus yang dipimpin oleh Himmatul Aliyah Shintyawati—meskipun semua proses yang telah dilalui menguap begitu saja. Kelompok LSM sendiri mencurigai bahwa ada kepentingan-kepentigan pejabat pemerintah yang menghalangi rampungnya pembahasan RUU Masyarakat Adat.

Zulkifli Hasan, Menteri Kehutanan pada saat itu, terkesan mengulur-ulur waktu dan mengutus orang yang tidak punya kapabilitas untuk membahas RUU ini. Karena di tahun 2014 gagal disahkan, memasuki periode kepemimpinan Joko Widodo, RUU ini kemudian harus disusun lagi dari nol—meskipun secara substansi sudah cukup dan tinggal disahkan saja pada tahun 2014 lalu. Meskipun masuk prolegnas setiap tahun, nyatanya Joko Widodo nampak tidak memprioritaskan perlindungan dan pemajuan Masyarakat Adat sebagaimana dijanjikan olehnya ketika masa pemilihan presiden 2014 lalu dan tertuang dalam Nawacita.

Secara keseluruhan memang nampak terlihat adanya upaya untuk menyingkirkan RUU Masyarakat Adat dari agenda politik nasional. Misalnya pernyataan fraksi Golkar pada 14 Januari 2021 lalu yang secara terang-terangan menolak pengesahan RUU Masyarakat Adat untuk masuk ke dalam prolegnas prioritas 2021. “Seberapapun kuatnya kepentingan politik ekonomi yang berusaha meminggirkan RUU Masyarakat Adat, kita harus terus perjuangkan karena ini bukan hanya untuk Masyarakat Adat tapi untuk kita semua, untuk bangsa dan negara Indonesia. Ini adalah perjuangan menyelamatkan 57 juta hektar kawasan hutan yang kita miliki saat ini yang sebenarnya wilayah adat dan 40 juta hektar diantaranya adalah hutan hutan hutan terbaik negeri ini,” tambah Abdon.

Penting dan mendesak, segera sahkan RUU Masyarakat Adat!

Selain menjalankan perintah konstitusi UUD 1945, hadirnya UU Masyarakat Adat dapat menjamin kepastian hukum bagi keberadaan Masyarakat Adat seluruh Indonesia. Selama ini kriminalisasi dan perampasan paksa ruang hidup Masyarakat Adat ditengarai terjadi salah satunya karena belum adanya satu UU yang menjamin perlindungan dan pemastian hak-hak Masyarakat Adat. Keberadaan UU Masyarakat Adat mampu menginisiasi peraturan turunan yang dapat mengembalikan wilayah adat kepada pengelola asalnya yang telah menjaganya selama ratusan tahun yaitu Masyarakat Adat itu sendiri. Mana daerah-daerah yang tidak dapat dan dapat dieksploitasi akan tergambar jika RUU Masyarakat Adat telah disahkan.

“Mengingat besar dan terhubungnya dampak dari disahkannya RUU ini, maka RUU Masyarakat Adat harus kita perjuangkan bersama—bukan hanya oleh golongan Masyarakat Adat dan LSM saja. Kalau ini tidak kita perjuangkan, maka bukan hanya Masyarakat Adat saja yang mengalami kerugian; namun seluruh bangsa ini akan mengalami kerusakan-kerusakan ekologis yang besar. [Perjuangan] Ini menjadi tanggung juga semua orang, bukan hanya oleh masyarakat adat yang di kampung-kampung tapi juga warga Indonesia juga anak muda yang ada di kota-kota,” papar Abdon. Keberadaan UU Masyarakat Adat, beserta kepastian perlindungan dan pemberdayaan Masyarakat Adat yang menyertainya, diproyeksikan mampu menyediakan sumber penghidupan bagi generasi muda adat di kampung sehingga mereka tidak harus meninggalkan kampung untuk bekerja di kota.

Jika anak muda adat dibekali dengan pengetahuan adat, pengetahuan tentang bagaimana mengurus dan mengelola wilayah adatnya; tentu mereka akan bisa menjadi bagian dari pemajuan kesejahteraan Masyarakat Adatnya itu. Anak-anak muda adat yang kemudian masuk ke sekolah-sekolah formal hanya untuk mempelajari “ilmu pergi”—belajar untuk mendapatkan gelar atau level pendidikan tertentu untuk bekal keluar dari wilayah adatnya—juga diharapkan dapat berkurang apabila peluang penghidupan di wilayahnya sendiri sudah memadai sehingga dapat berkontribusi membangun komunitas adatnya sendiri. Akan lebih banyak potensi kerusakan bagi Masyarakat Adat, penghidupan, dan lingkungan mereka yang dapat dihindari jika RUU Masyarakat Adat ini disahkan saat ini juga.

Keinginan agar segera disahkannya RUU Masyarakat Adat juga disampaikan oleh Gayus, mewakili harapan dan suara generasi muda adat Mentawai yang ruang hidupnya terancam oleh kehadiran investasi. “Saya sempat baca draft RUU Masyarakat Adat itu, saya lihat negara dapat melindungi, mengakui, dan melakukan pemberdayaan seperti menyediakan anggaran untuk Masyarakat Adat. Artinya kalau RUU ini disahkan otomatis kami sebagai Masyarakat Adat yang tinggal di komunitas akan memperoleh akses untuk bebas mengelola sumber daya yang ada di wilayah adat kami sesuai dengan kearifan lokal,” tutup Gayus.

Penulis: Supriadi

 

Kesejahteraan Lahir Batin: Sistem Pangan dan Dampaknya Bagi Kita

Pangan liar Masyarakat Adat Kasepuhan

Pangan merupakan segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan dan minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan dan minuman (UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan).

Kehidupan manusia tak akan pernah bisa lepas dari pangan, yang merupakan kebutuhan dasar manusia yang bersifat primer. Berdasarkan wawancara dengan Said Abdullah (Ayip), Koordinator Nasional KRKP (Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan), perkembangan sistem pangan dipengaruhi dan dibentuk dari perkembangan sistem kapitalisme dunia, dan hal ini bersifat resiprokal. Hal tersebut lah yang kemudian memunculkan adanya penguasaan pangan dunia yang dikategorikan dalam tiga periode. Periode awal atau disebut dengan periode kolonialisme terjadi sebelum tahun 1930. Pada periode ini, dengan membawa politik Gold, Glory, Gospel, negara-negara Eropa menjelajah dunia untuk mencari bahan pangan ke bumi bagian selatan. Bahan pangan yang didapat dikuasai dan dikelola penuh oleh negara, bertujuan untuk menghidupkan industri pengelolaan pangan yang mereka miliki. Cara ini dilakukan dengan memperluas industri produksi pangan di negara koloninya, dengan menjadikannya sebagai lumbung pangan. Peristiwa ini kemudian berkembang menjadi industrialisasi pertanian dan bertahan hingga sebelum perang dunia kedua meletus.

Setelah perang dunia pecah, dimulailah periode kedua dengan penguasaan pangan berpindah dari Eropa ke Amerika. Dalam periode ini, Amerika memiliki peran besar untuk membentuk industrialisasi pangan dunia dengan memanfaatkan negara-negara bekas jajahan bangsa Eropa. Salah satu yang dihasilkan dalam periode ini adalah dimulainya penyeragaman jenis pangan dengan membawa jargon “Ketahanan Pangan”. Negara bersama dengan perusahaan mulai menyeragamkan benih, cara pengolahan, dan alat yang digunakan untuk mengolah pangan. Industrialisasi pangan dunia ini kemudian berdampak pada petani yang tidak bisa mandiri untuk mengembangkan varietas yang dimilikinya dengan alasan produknya tidak akan laku di pasaran karena berbeda dengan varietas yang umum dipasarkan. Di konteks Indonesia, beras dijadikan komoditi utama sebagai bahan pangan pokok, mengantikan beberapa bahan pangan seperti jagung, sorgum, sagu, dan beberapa lainnya. Penyeragaman ini, perlahan tapi pasti, berpotensi menimbulkan degradasi sumber daya genetik dalam konteks benih. Dari yang awalnya terdapat berbagai macam benih untuk satu jenis bahan pangan, pada akhirnya hanya akan menyisakan beberapa macam benih saja.

Dari periode kedua ini, industrialisasi pangan semakin berkembang dan mendorong berbagai korporasi untuk secara penuh memonopoli sistem pangan. Era ini dikategorikan sebagai periode ketiga yang berlangsung mulai dari tahun 1980 hingga sekarang. Berbagai macam produk pangan, mulai dari benih, peralatan, hingga produk olahan, yang dikelola oleh korporasi atau perusahaan sudah merambah ke berbagai belahan dunia. Fenomena ini semakin menjadikan masyarakat “menikmati” keseragaman pangan yang dilakukan oleh perusahaan. Contoh nyata yang bisa dilihat adalah maraknya produk olahan gandum, mulai dari produk roti, biskuit, maupun olahan-olahan di restoran cepat saji, yang sudah merambah berbagai lapisan masyarakat di Indonesia. Fenomena ini perlahan bisa menjadi ancaman bagi ketahanan dan kedaulatan pangan lokal Indonesia. Beberapa varietas benih pangan lokal pun terancam punah karena tidak lagi ditanam akibat penyeragaman ini. Belum lagi serbuan produk pangan impor lainnya, dan beberapa produk dengan rekayasa genetika yang dinilai lebih menarik dan lebih unggul daripada produk pangan lokal. Padahal, jika dilihat lebih dalam, produk pangan lokal Indonesia jauh sangat beragam macamnya dan bisa saling menggantikan apabila pangan yang biasa kita olah/makan sedang terbatas ketersediaannya. Selain berdampak pada benih, penyeragaman ini juga berpotensi menghilangkan pengetahuan dan teknologi terkait jenis dan sistem pangan lokal. Hal ini diakibatkan karena monopoli perusahaan dalam menentukan produk pangan yang dikonsumsi masyarakat.

 

Pangan liar Masyarakat Adat Kasepuhan

Berangkat dari fenomena-fenomena di atas, istilah kedaulatan pangan muncul untuk mendorong sistem pangan agar bisa mandiri, dengan memanfaatkan keanekaragaman hayati yang dimiliki masing-masing daerah agar tidak bergantung pada monopoli sistem pangan yang dilakukan korporasi. Kedaulatan pangan berfokus pada hak dan menjadikan petani sebagai subjek yang memiliki kuasa untuk menentukan produk pangan apa yang akan ia kembangkan. Tujuan dari kedaulatan pangan bukan untuk meningkatkan produksi pangan, akan tetapi untuk meningkatkan kualitas dan derajat hidup masyarakat, terutama petani dan masyarakat pedesaan. Dalam konteks Indonesia sendiri, menurut Ayip, kedaulatan pangan belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Indonesia masih menganut paradigma ketahanan pangan. Produsen pangan masih mengikuti pasar untuk menentukan apa yang akan mereka produksi dan masih mengejar tingkat produksi pangan. Untuk menyukseskan kedaulatan pangan di Indonesia, dibutuhkan sinergi dari banyak pihak dan harus dikerjakan secara paralel. Dari sisi pemerintah, karena kedaulatan pangan sudah tercantum di Undang-undang, kebijakan dan program terkait pangan yang dikeluarkan harus sesuai dengan filsofi dasar dari kedaulatan pangan. Pendekatan lain yang dapat dilakukan adalah mendorong anak-anak muda, rural maupun urban, untuk turut mengawal kebijakan terkait kedaulatan pangan ini. Selain itu, dapat pula dengan membangun model dalam skala kecil, yaitu edukasi dan penguatan literasi terkait pangan di tingkat masyarakat konsumen, baik di desa maupun di kota. Upaya kedaulatan pangan ini dapat pula dimasukkan dalam program pembangunan desa untuk penguatan program pangan desa. Pun tingkat keluarga dapat berpartisipasi untuk menyukseskan kedaulatan pangan negara dengan mulai berani untuk menentukan apa yang akan mereka konsumsi dan tidak terbawa arus penyeragaman pangan.

Pembahasan mengenai sistem pangan ini merupakan bagian dari serial podcast Kesejahteraan Lahir Batin – Sistem Pangan Hari Ini dan Dampaknya Bagi Kita. Melihat pembangunan saat ini yang  hanya fokus pada ekonomi, dengan lebih memilih impor dan menciptakan pasar bebas yang tanpa disadari merugikan produsen pangan, seperti petani, nelayan, dan lainnya. Urusan pangan bukan hanya urusan dari mulut hingga perut. Akan tetapi, urusan pangan terkait pula dengan kehidupan anak-cucu untuk kesejahteraan lahir batin bangsa dan negara di masa depan.

Dengarkan informasi lengkapnya di sini.

Penulis: Ajeng Lestari Midi

Editor: Siti Marfu’ah

Kegiatan Penanaman Mangrove dan Kampanye Lingkungan oleh Kompilasi di Ujung Kulon

Kompilasi merupakan singkatan dari Komunitas Masyarakat Peduli Lingkungan Sekitar. Kompilasi terbentuk pada akhir tahun 2017 di Kampung Cikawung, Desa Ujungjaya, Kec. Sumur, Pandeglang-Banten. Lokasi Desa berbatasan langsung dengan Taman Nasional Ujung Kulon. Sebagian besar anggota Kompilasi adalah pemuda

Komunitas yang sebagian besar anggotanya adalah pemuda ini berdiri karena kepedulian mereka terhadap kerusakan pantai di sekitar Desa Ujungjaya, yang diakibatkan 1). Faktor alam berupa gelombang rob (pasang) yang semakin tinggi intensitasnya. Pasang menyebabkan terjadinya abrasi dan tergenangnya tanah-tanah di pekarangan.2). Faktor manusia, sehubungan alih fungsi lahan mangrove untuk perusahaan tambak udang dan pengerukan pasir pantai dengan tujuan komersil.

Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Kompilasi untuk mencegah kerusakan pantai adalah melalui kegiatan penanaman mangrove dan edukasi lingkungan kepada anak usia dini (anak SD dan SMP). Pada dua kegiatan ini, peserta diajak untuk mengenal tanaman mangrove, jenis-jenis dan manfaatnya bagi lingkungan. Sejak tahun 2018 lalu hingga saat ini, tidak kurang dari 25.000 pohon telah ditanam Kompilasi di area sekitar kawasan pesisir Desa Ujungjaya, Desa Tunggal Jaya dan di sekitar dan di dalam kawasan Taman Nasional Ujung Kulon.

Pada tanggal 11 Agustus 2021, Kompilasi bekerja sama dengan RMI-Bogor menyelenggarakan kegiatan penguatan kapasitas pemuda di kawasan pesisir pantai utara Ujung Kulon. Kegiatan ini dilaksanakan selama 2 hari bertempat di kampung Katapang Desa Tunggal Jaya, Kec, Sumur Kab. Pandeglang.

Pada kegiatan hari pertama peserta melakukan observasi seputar ekosistem pantai, objeknya adalah pesisir pantai dan muara. Kegiatan ini bertujuan untuk membangun kesadaran dan menumbuhkan sikap kritis terhadap kondisi lingkungan yang ada di sekitar mereka yang saat ini terus mengalami penurunan kualitas akibat faktor alam dan aktivitas manusia. Hal menarik di sesi ini, peserta diberikan tugas melakukan identifikasi berupa observasi langsung terhadap objek, mengisi form yang sudah disediakan panitia. Obyek-obyek yang diobservasi adalah berupa lanskap, material, mahkluk hidup, tingkat dan penyebab kerusakan. Setelah lebih dari 2 jam melakukan observasi masing-masing kelompok mempresentasikan hasil observasinya. Hasil dari presentasi didiskusikan melalui tanya jawab dan pendalaman.

Pada malam hari, dilakukan pemutaran film ‘’ Tenggelam Dalam Diam” yaitu film dokumenter yang diproduksi oleh Greenpeace dan Watchdoc. Film ini mendokumentasikan kondisi pesisir utara Pulau Jawa dari Gresik hingga Tangerang yang kondisinya tanahnya sebagain sudah ada dibawah permukaan laut. Film dokumenter ini lalu menjadi bahan diskusi dengan pertanyaan kunci 1). Bagaimana kondisi ini bisa terjadi 2). Faktor apa saja yang turut serta menyumbang kerusakan. Dalam diskusi, isu pembangunan-pembangunan pabrik, pertambangan menjadi bahasan yang paling banyak diulas oleh peserta, yang diduga paling banyak menyumbang bagi kerusakan lingkungan.

Pada sesi pemutaran film, isu petisi Hak Anak Atas Lingkungan yang Sehat (Child Rights for Healthy Environment) juga dibahas. Petisi ini merupakan bagian dari usaha kolaboratif dari berbagai kelompok untuk mendorong PBB meloloskan protokol tambahan pada Child Rights Convention/Konvensi Hak Anak,terkait perlindungan anak dari kondisi-kondisi yang membahayakan perkembangan mereka terkait lingkungan seperti pencemaran udara, bahaya bahan kimia, bahaya banjir, kekeringan, dan lain-lain. Dengan mendorong perubahan ini, melalui pengumpulan petisi yang akan diteruskan kemudian di forum internasional maka masing-masing kelompok berarti sudah mengusahakan suatu perubahan yang sangat berarti. Kompilasi adalah salah satu kelompok yang berperan besar dalam pengumpulan petisi ini di Indonesia, khususnya wilayah Banten.

Selanjutnya penggalangan tanda tangan petisi dilakukan setelah usai kegiatan. Pemilihan simpul-simpul koordinator dilakukan untuk mempercepat dan memperluas jangkauan penandatangan.

Hari kedua diisi dengan penanaman mangrove jenis bakau Rhizopora mucronata yang memang cocok dengan tipologi tanah yang ada di pesisir Pantai Katapang. Pesisir ini dijadikan sasaran penanaman dengan pertimbangan karena kondisi mangrovenya nyaris hilang akibat aktivitas manusia. Lokasinya dekat pemukiman dan dampak dari Tsunami Selat Sunda tahun 2008 lalu masih terlihat.  Lokasi ini mengalami dampak terparah kedua setelah Kampung Paniis-Ujung Kulon. Pohon yang ditanam adalah sebanyak 100 pohon.

Kegiatan pada hari kedua ini adalah melanjutkan yang telah dikerjakan oleh Kompilasi tahun lalu. Sebelumnya Kompilasi telah menginisiasi gerakan penanam pohon mangrove di lokasi yang sama dengan bekerja sama dengan masyarakat setempat. Modal bibit mangrove disemai anggota Kompilasi secara swadaya.  Sebanyak 2000 pohon kini bertumbuh dengan sehat, disusul dengan yang baru ditanam.

Kegiatan Kompilasi merupakan sebuah contoh, bagaimana pemuda turut serta dalam menentukan perubahan sosial dan lingkungan, perubahan yang mereka inginkan terjadi di sekitar mereka.

 

Penulis:  Fauzan Adima

Editor : Indra NH