Urgensi Pengesahan RUU Masyarakat Adat

Jakarta. 9 Agustus. Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS) diperingati setiap tahunnya pada tanggal 9 Agustus. Momen bersejarah bagi Masyarakat Adat ditandai dengan keberhasilan menyuarakan kepentingannya di forum Internasional pada tahun 1994. Pada gilirannya perjuangan Masyarakat Adat di dalam pertemuan global mendorong adanya Deklarasi PBB tentang Hak Masyarakat Adat (UNDRIP, United Nations Declarations on the Rights of Indigenous Peoples).

Pemerintah Indonesia merupakan salah satu dari 144 negara yang mendukung pengesahan deklarasi tersebut di Sidang Umum PBB pada 13 September 2007. Akan tetapi sudah hampir 13 tahun sejak UNDRIP disahkan, Indonesia belum juga memiliki UU Masyarakat Adat. RUU Masyarakat Adat saat ini masuk di dalam Daftar Program Legislasi Nasional (Prolegas) DPR Tahun 2020. Sejak tahun 2013, berkali-kali RUU tersebut keluar masuk Daftar Prolegas DPR RI.

Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat melihat saat ini Indonesia, dengan adanya pandemi covid-19, menghadapi krisis yang struktural pada hampir keseluruhan aspek kehidupan manusia. Situasi krisis inilah seharusnya menjadi pertimbangan Pemerintah dalam mengesahkan kebijakan berdasar pada Hak Asasi Manusia dan Lingkungan.

Deforestasi telah berkontribusi besar terjadinya perubahan iklim global. Dampak perubahan iklim di Indonesia dapat dilihat bencana rutin tahunan berupabanjir, longsor, kekeringan, dan kebakaran hutan. Indonesia kurun satu dekade antara tahun 2005-2015 telah kehilangan 1,4 juta hektar hutan. Berdasarkan data Sistem Pemantauan Hutan Nasional (2019), pada tahun 2016-2017 deforestasi di
Indonesia sebesar 0,48 juta hektar.

Laporan United Nations Environment Programme (2016) menyebutkan aktivitas pembukaan skala luas lahan pertanian, industrialisasi dan deforestasi mengakibatkan perubahan lingkungan. Perubahan tersebut menjadi penyebab utama kemunculan jenis penyakit yang penularannya berasal dari hewan (zoonosis). Para akademisi UI pada awal Agustus lalu juga menyatakan bahwa tingginya laju deforestasi menyebabkan perubahan iklim global telah mempercepat pola penyebaran jenis penyakit menular seperti covid-19, SARS ataupun MERS.

Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Nasional WALHI menegaskan bahwa “berbagai krisis yang terjadi sama sekali tidak membuat negara ini berubah. Investasi dibiarkan terus merusak Alam. Negara dan korporasi jadi aktor utamanya. Situasi saat ini malah dimanfaatkan korporasi perusak lingkungan untuk menggusur masyarakat adat, merampas bahkan membunuh pejuang agraria dan lingkungan hidup yang berjuang mempertahankan ruang hidupnya dan keberlanjutan alam.”

Di tengah kebijakan sumberdaya alam yang eksplotatif, Masyarakat Adat di Indonesia membuktikan mampu menjaga dan melestarikan hutan seluas 574.119 hektar. Yosi Amelia, Project Officer KLIMA Yayasan Madani Berkelanjutan menyatakan “Masyarakat Adat memiliki peranan penting dalam pencapaian komitmen iklim Indonesia. Praktik-praktik arif masyarakat adat dalam menjaga hutan adat terbukti mampu menjaga hutan tetap lestari.”

Dalam konteks perubahan iklim, praktik-praktik menjaga hutan yang dilakukan Masyarakat Adat terbukti mampu menghentikan penurunan tutupan hutan dan dapat berkontribusi hingga 34,6% terhadap pemenuhan target NDC Indonesia dari pengurangan deforestasi. “Kerja bersama berbagai pemangku kepentingan dalam penyelamatan hutan di wilayah adat sangat penting dilakukan untuk memastikan pelaksanaan komitmen pemerintah Indonesia dalam mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29% dan 41% dengan bantuan internasional dapat terlaksana”, tambah Yosi.

Berdasarkan data BRWA, sampai Agustus 2020 ini telah terdaftar 863 peta wilayah adat dengan luas mencapai 11,09 juta hektar. Dari jumlah tersebut telah ada penetapan pengakuan Masyarakat Adat dan Wilayah Adat seluas 1,5 juta hektar melalui peraturan daerah dan surat keputusan kepala daerah.

Menurut Kasmita Widodo, Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) “Konstitusi kita telah mengakui keberadaan Masyarakat Adat di Indonesia, namun Pemerintah sampai saat ini tidak memiliki sistem administrasi Masyarakat Adat.”

Ketiadaan sistem administrasi Masyarakat Adat menimbulkan ketidakjelasan integrasi Peta Tematik Wilayah Adat dalam Kebijakan Satu Peta. Pemerintah Daerah telah menetapkan keberadaan Masyarakat Adat, namun peta-peta Wilayah Adat tidak dapat diintegrasikan dalam geoportal Kebijakan Satu Peta karena tidak ada wali data peta tersebut di Kementerian dan Lembaga pemerintah.

“Ketiadaan sistem administrasi Masyarakat Adat mengakibatkan Masyarakat Adat, Wilayah Adat dan kearifan lokalnya tidak menjadi rujukan dalam keseluruhan sistem pengaturan tenurial dan perencanaan pembangunan. Akibatnya, Masyarakat Adat selalu dan akan menjadi korban pembangunan dan tidak terlindungi hakhaknya,” demikian tegas Kasmita Widodo.

Krisis agraria yang sistemik dan kronis akibat investasi bercorak kapitalistik terus-menerus melestarikan konflik agraria dan tenurial di tengah Masyarakat Adat. Merujuk data AMAN, pada tahun 2019 terdapat 125 komunitas adat yang menjadi korban konflik sumberdaya dan tersebar di hampir sepertiga wilayah Indonesia. Sementara HuMa memperlihatkan bahwa di tahun 2018 merebak ratusan
konflik sumberdaya alam yang melibatkan areal lahan seluas 2,1 juta hektar. Sedikitnya 176.637 warga adat menjadi korban atas konflik tersebut.

Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengingatkan, “Bisnis-bisnis berbasis agraria itu telah berjaya di atas penyingkiran wilayah adat. Parahnya, investasi borcorak kapitalistik yang masuk memiliki pandangan bahwa masyarakat adat memiliki sistem ekonomi yang terbelakang, belum maju secara ekonomi modern. Sementara indeks kebahagiaan (wellbeing)
Masyarakat Adat jauh lebih tinggi alias bahagia lahir batin.”

Rencana investasi yang tak dibarengi dengan perlindungan atas Hak-Hak Masyarakat Adat akan diikuti dengan konflik. Hal tersebut berdampak pada adanya ketidakpastian usaha dan tambahan biaya-biaya yang dikeluarkan investor untuk merespon konflik yang terjadi.

Dewi menegaskan “investasi di wilayah adat adalah investasi dari masyarakat adat dan untuk masyarakat adat sendiri dalam rangka memajukan kemandirian berdasarkan perlindungan dan pengakuan wilayahnya. Dengan begitu kerjasama investasi dengan dunia usaha perlu mengedepankan suara dan kepentingan Masyarakat Adat”.

Ketiadaan UU sebagai payung hukum perlindungan dan pemenuhan Hak-Hak Masyarakat Adat juga membuka ruang ‘remang-remang’ untuk tumbuhnya korupsi investasi di aspek sumberdaya alam. Kerugian negara diperkirakan dari ratusan hingga triliun rupiah dari investasi berbasiskan sumberdaya alam. Dari hasil Inkuiri Nasional Komnas HAM tentang Hak Masyarakat Adat di Kawasan Hutan (2014)
memperlihatkan dari 40 kasus yang diinkuirikan terdapat investasi yang beroperasi illegal.
 
Laode M. Syarif Ph.D, Direktur Eksekutif KEMITRAAN menegaskan bahwa “Salah satu penyebab rusaknya tatanan berbangsa dan bernegara di Indonesia adalah maraknya praktik korupsi. Korupsi sangat kejam karena merenggut hak setiap warga negara dan merusak sendi-sendi utama negara yang demokratis.”

Tata kelola kebijakan di aspek sumber daya alam harus dibangun melalui proses yang transparan dan mengutamakan nilai-nilai anti-korupsi, agar memberikan kepastian dan kemaslahatan bagi masyarakat umum. “Oleh karena itu, momentum pengesahan RUU Masyarakat Adat diharapkan dapat meningkatkan kualitas tata kelola sumber daya alam di Indonesia dan dapat mencegah praktikpraktik korupsi yang menyebabkan kerusakan lingkungan dan sumber daya alam” tegas Laode.

Pengesahan RUU Masyarakat Adat memastikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak perempuan adat baik di ranah Negara maupun di ranah Masyarakat Adat. Tradisi masih saja digunakan menjadi pembenaran atas perlakuan kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan adat. RUU Masyarakat Adat perlu diletakkan sebagai landasan hukum yang mengikat Negara, Investasi dan Masyarakat Adat
untuk memastikan interaksi dan praktik antarketiganya serta di dalam masyarakat adat itu sendiri didasarkan pada Hak Asasi Manusia dan Hak Asasi Perempuan.

Negara c.q. Pemerintah dan DPR perlu melihat lebih jauh dalam menyelesaikan persoalan krisis yang dihadapi masyarakat Indonesia. Penting bagi Negara untuk memosisikan diri sebagai penegak konstitusi masyarakat adat. Pengesahan RUU Masyarakat Adat bukan saja perkara Negara melindungi dan memenuhi Hak-Hak Masyarakat Adat. Lebih daripada itu, pengesahan RUU Masyarakat Adat merupakan bagian dari menyelamatkan rakyat Indonesia.

Karena itu Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat mendesak supaya Pemerintah dan DPR menjalankan keseluruhan mandat konstitusi masyarakat adat di atas dijalankan secara sistemik dan nasional, maka Negara wajib menyadari urgensi RUU Masyarakat Adat untuk segera disahkan.

***
Narahubung:
• Nur Hidayati, WALHI, (+62) 813 1610 1154

• Laode M. Syarif Ph.D, KEMITRAAN, (+62) 8111 899 689
• Kasmita Widodo (+62) 815 1 3024 601
• Yosi Amelia, Yayasan Madani Berkelanjutan, (+62) 813 2217 1803

• Dewi Kartika, Konsorsium Pembaharuan Agraria, (+62) 813 9447 5484

Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat adalah Koalisi Masyarakat Sipil Pengawal RUU Masyarakat Adat yang terdiri atas 27 organisasi, beserta individu-individu pemerhati Masyarakat Adat, lingkungan dan Perempuan Adat. Organisasi di dalam Koalisi ini terdiri atas AMAN, BRWA, DebtWatch, Epistema, Format P, HuMa, ICEL, JKPP, Kalyanamitra, KIARA, KEMITRAAN, KPI, KPA, LAKPESDAM NU, MADANI, LOKATARU, Merdesa Institute, PEREMPUAN AMAN, Protection International Indonesia, PPMAN, RMI, Sawit Watch, SatuNama, Walhi, YLBHI dan YJP.

Jadi dan Menjadi Masyarakat Adat: Suara Anak Muda Adat

“Bagaimana kamu memandang identitasmu sebagai masyarakat adat di masa kini, disaat modernisasi, terutama teknologi informasi dan digitalisasi telah semakin mengubah cara kita berinteraksi dengan lingkungan kita, dan lebih jauh telah mempengaruhi cara kita memandang sesuatu, termasuk kontribusi pada stigma yang melekat pada masyarakat adat dan mereka yang bergantung pada sumber daya alam? ” “Menurutmu apakah Kamu masih menjadi bagian dari masyarakat adat saat Kamu menggunakan teknologi yang tidak digunakan orang tua dan leluhurmu di masa lalu?” “Menurutmu, apa yang membuatmu menjadi bagian dari masyarakat adat? Dan apakah artinya itu ? ”

Berangkat dari kehidupan sehari-hari pemuda/i adat, pertanyaan-pertanyaan semacam ini dirancang dengan cermat dalam program berjudul “Being and Becoming Indigenous”—atau “Jadi dan Menjadi Masyarakat Adat” untuk memberikan ruang bagi generasi muda dari empat komunitas adat mendiskusikan persepsi mereka sendiri tentang ke-adat-an mereka di tengah modernitas. Beberapa pertanyaan tersebut sebenarnya tercermin dari pertanyaan-pertanyaan yang sering dilontarkan oleh masyarakat non-adat kepada pemuda/i, mempertanyakan identitas mereka sebagai bagian dari masyarakat adat. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini yang kontradiktif dan jarang dibahas telah membingungkan para pemuda/i ini.Karena persimpangan antara kehidupan mereka yang berbasis tradisi/adat dengan modernitas jarang sekali dibahas, maka arah perubahan yang mungkin terjadi pun tidak terencana dengan baik.

Anak muda adat Mollo, Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur.
Sumber foto: Lakoat Kujawas

“Being and Becoming Indigenous”—atau “Jadi dan Menjadi Masyarakat Adat” merupakan program pemberdayaan generasi muda adat dengan memberikan ruang bagi mereka untuk memahami akar dan makna tradisinya, terutama tentang tata kelola sumber daya alam, di tengah kehidupan modern. Selain hal tersebut di atas, program ini juga bertujuan untuk memperkuat persepsi pemuda/i tentang adat yang berimplikasi pada partisipasi pemuda/i ini dalam mereproduksi praktik mata pencaharian berbasis komunal mereka kedepannya. Keempat komunitas Pemuda/i adat ini adalah Kasepuhan Pasir Eurih di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, Mollo di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur, keduanya berada di Indonesia, dan Agta-Dumagat-Remontado di Filipina akan berkesempatan untuk mendefinisikan identitasnya sebagai bagian dari komunitas adat meskipun hidup dan terhubung, termasuk secara digital, ke dunia modern. Para pemuda/i akan mendapat pengalaman di ruang belajar bersama ini guna memahami makna menjadi masyarakat adat selama delapan bulan ke depan.

Program ini dikelola oleh RMI-the Indonesian Institute for Forest and Environment bekerja sama dengan Asian Farmers Association for Rural Sustainable Development (AFA) dengan pelaksana lokal adalah Lakoat Kujawas di Indonesia, dan PAKISAMA di Filipina. “Being and Becoming Indigenous” adalah sebuah program yang didukung oleh program VOICE.

Semoga dalam prosesnya Anak muda-anak muda adat ini dapat mempersepsikan identitas mereka sebagai bagian dari budaya pemuda/i global sembari tetap berpegang pada akar tradisi mereka!

Being and Becoming Indigenous: Voice of Indigenous Youth

“How do you perceive your identity as being indigenous in present days, when modernization, especially information technology and digitalisation have further changed the way we interact with our surroundings, and have further influenced the way we see things, including to contribute to the stigma attached to indigenous communities and those depending on natural resources?” “Do you think you are still indigenous when you use technology that your parents and elders did not use in the past times?” “What do you think that makes you indigenous and what does it mean?”

Drawing from daily lives of indigenous youth, these kinds of questions are carefully designed in a project titled “Being and Becoming Indigenous” to provide space for youth from four indigenous communities to discuss their own perception on their indigeneity in the midst of modernity. Some of these questions are actually reflected from questions that are often being asked by the non-indigenous persons to the youth, questioning their identity as part of indigenous communities. These kinds of questions have left these youth confused as these kinds of seemed-to-be-contradictions are rarely discussed. As these crossroads between indigeneity and modernity of indigenous youth’s identity is rarely discussed, the directions of changes that are likely to happen are not well-planned.

Indigenous Youth of Mollo, in South Central Timor Regency, East Nusa Tenggara Province. Resource: Lakoat Kujawas

The “Being and Becoming Indigenous” is a project to empower indigenous youth by creating a space for them to understand their roots and the meaning of their traditions, especially on natural resources governance, in the midst of modern life. This project also aims to contribute to strengthening the youth’s perception on indigeneity that implies to these youth’s participation in reproducing their community’s communal-based livelihoods practices in the long run. Youth of four indigenous communities namely Kasepuhan Pasir Eurih in Lebak Regency, Banten Province, Mollo in South Central Timor Regency, East Nusa Tenggara Province, both located in Indonesia, and Agta-Dumagat-Remontado in the Philippines will experience the opportunity to define their identity as being part of indigenous communities whilst living and be connected, including digitally, to the modern world. Co-learning space will be enjoyed by these youth to understand the meaning of being and becoming indigenous in the next eight months.

This project is led by RMI-the Indonesian Institute for Forest and Environment in collaboration with Asian Farmers Association for Sustainable Rural Development (AFA). Acting as local implementers are Lakoat Kujawas in Indonesia, and PAKISAMA in the Philippines. “Being and Becoming Indigenous” is a project supported by VOICE programme.

Please the process of these indigenous youth in perceiving their identities as part of global youth culture whilst also rooting in to their traditions!

Local Varieties of Rice, A Very Valuable Source of Biodiversity

Maybe some of us know that there used to be a national superior rice named IR 64. IR 64 is one of the many names of rice that was launched in 1986 by President Soeharto. IR rice, government rice, superior rice are other names for IR 64.

Apart from that, there is also rice which is called Pandan WangiPandan Wangi is a local variety of rice from Cianjur, which has been developed since the 1970s. In addition, there are also Rojolele, Padi Ketan (glutinous rice), and other types of rice.

In fact, there are so many types of rice that it cannot be counted with ten fingers. As in Kasepuhan alone, you can find at least 34 rice varieties that are physically available (at the Pare Gede Festival in Kasepuhan Cirompang, October 2015 held by RMI). Through discussions with customary figures, they mentioned that there are at least 40 types of local rice there called pare gede (characterized by its tall plant shape).

Each of these varieties also has its own advantages because it has adapted well to its environment. Some are resistant to certain pests, some have different colours (black, red, white, brown), some are drought resistant, some have different flavours, and many more. Another advantage is that this variety of unhulled rice can be stored for a very long time in the traditional barn of the Kasepuhan community called the leuit (rice barn).

When visiting Kasepuhan, occasionally, we are treated with local rice which has been stored for around 20 years. The taste is still delicious, only differs in a deeper brown colour or maybe the origin of the variety is indeed brown rice.

The people of Kasepuhan added, that government superior rice (also known as pare leutik by local people) planted in the same location can only last a maximum of one year if stored because it will spoil. The seeds fall out immediately after harvesting. Its high productivity comes at a price for its inability to be stored.

These local rice varieties are a very valuable source of biodiversity. They are not the past but a hope for the future. These local rice varieties are still here because they are preserved by the Kasepuhan community, therefore indigenous peoples and their cultures need to be recognized, protected, and be fulfilled of their rights.

Author: Indra N. Hatasura

Editor: Siti Marfu’ah

Translator: Alfina Khairunnisa

Siaran Pers “KOALISI HUTAN ADAT TOLAK RUU CIPTA KERJA”

Jakarta, 16 Juli 2020. Koalisi Hutan Adat mengirimkan surat penolakan pembahasan dan pengesahan RUU Cipta Kerja. Koalisi Hutan Adat terdiri dari duabelas Lembaga yang fokus mendorong pengakuan dan penetapan wilayah adat masyarakat hukum adat sesuai amanat konstitusi dan Putusan MK 35/PUU-X/2012 mengirimkan surat penolakan RUU Cipta Kerja.

Surat penolakan bertanggal 16 Juli 2020, yang ditujukan kepada Presiden RI dan Pimpinan DPR RI berisikan sembilan alasan untuk menolak pembahasan dan pengesahan RUU Cipta Kerja. Sembilan alasan yang mendasari penolakan terhadap RUU Cipta kerja ini mencakup:

  1. Penyusunan RUU Cipta Kerja tidak melibatkan masyarakat hukum adat sebagai pihak yang paling terdampak dari adanya aturan-aturan terkait dengan lingkungan hidup dan pembukaan lahan untuk investasi.
  2. RUU Cipta Kerja menghidupkan kembali pasal inkonstitusional yang dalam putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 95/PUU-XII/2014 mengecualikan masyarakat hukum adat dari pihak yang diancam dipidana karena memanen atau memungut hasil hutan serta mengembalakan ternak di dalam kawasan hutan tanpa izin.
  3. RUU Cipta Kerja menambah kewenangan Presiden untuk membatalkan Peraturan Daerah melalui Peraturan Presiden.
  4. RUU Cipta Kerja justru mengukuhkan adanya tumpang tindih dan ketidakjelasan pengakuan masyarakat hukum adat dalam UU sektoral.
  5. RUU Cipta Kerja justru memfasilitasi perampasan tanah masyarakat hukum adat. Misalnya dengan adanya bank tanah; jangka waktu HGU, HGB dan hak pakai sampai 90 tahun yang bahkan lebih lama dari aturan kolonial; perluasan alasan pembukaan lahan untuk kepentingan umum; dan penghapusan larangan bagi perusahaan perkebunan untuk menelantarkan tanah.
  6. RUU Cipta Kerja justru akan menambah pengangguran dan memperlebar jurang kesejahteraan karena menghilangkan pencaharian tradisional masyarakat hukum adat.
  7. RUU Cipta Kerja menghilangkan berbagai instrumen dalam pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup yang akan mengakibatkan bencana ekologis.
  8. RUU Cipta Kerja menghapus dan/atau melonggarkan ancaman pidana bagi perusahaan perusak lingkungan. Sebaliknya, justru menambahkan aturan-aturan baru yang dapat digunakan untuk mengkriminalisasi masyarakat hukum adat. Dan
  9. Perempuan adat menjadi semakin rentan karena pengetahun tradisional yang diampu terancam hilang, terancam termiskinkan karena perampasan lahan dan bencana ekologis, serta semakin kuatnya ketidakadilan gender.

Koalisi Hutan Adat bersimpulan, RUU Cipta Kerja ini berpotensi melanggar hak-hak dan merampas ruang hidup masyarakat hukum adat, serta merugikan dan membahayakan keselamatan masyarakat hukum adat terutama yang hidup di dalam dan sekitar hutan. Oleh karenanya, Koalisi Hutan Adat menolak pembahasan dan rencana pengesahan RUU Cipta Kerja[.]

Narahubung:

DEMA. Hp. 087878960001

 

Koalisi Hutan Adat: (1) AKAR Foundation Bengkulu; (2) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulawesi Selatan; (3) Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA)Aceh; (4) KKI Warsi; (5) LembagaBela Banua Talino (LBBT) Pontianak; (6) PADI Indonesia; (7) Perkumpulan Bantaya; (8) PerkumpulanHuma Indonesia; (9) Perkumpulan Qbar; (10) Perkumpulan Wallacea; (11) RMI (The Indonesian Institute for Forest and Environment); (12) Yayasan Merah Putih (YMP) Sulawesi Tengah.

Disaring, Kegiatan Relawan 4 Life Di Tengah Pandemi

Sejak pandemi Covid-19 terjadi di Indonesia, gerakan anak muda dampingan RMI, Relawan 4 Life, aktif  melakukan kegiatan sederhana dan bermanfaat, seperti Diskusi Daring (Disaring). Sebagai kegiatan yang mendukung gerakan #physicaldistancing, diskusi ini dilakukan secara online, baik melalui aplikasi Zoom dan siaran langsung di Youtube Relawan 4 Life, atau siaran langsung di instagram @relawan4life. Disaring dilakukan untuk saling bertukar pikiran terkait isu-isu yang terjadi di lingkungan dan sosial.

Kegiatan Disaring dilakukan sejak April hingga saat ini. Berbagai macam topik sudah dibahas, seperti penyakit manusia dan hewan liar, menjaga kesehatan diri dengan herbal, strategi penggunaan buzzer dalam kampanye isu lingkungan dan sosial, pemanfaatan keanekaragaman hayati sebagai pangan liar, ada apa dengan Mei 1998?, dan yang masih hangat adalah tentang konsep gender dalam agama Islam.

Pada 21 dan 28 Juni 2020 diadakan Disaring 5. Disaring 5 ini dilakukan dua sesi, sesi pertama dengan topik “Konsep Gender Dalam Agama Islam”, dan sesi kedua dengan topik “Model Pergaulan Dalam Islam Apakah Sudah Final?”. Untuk baca artikel lengkapnya, silakan klik link berikut https://relawan4life.wordpress.com/2020/07/08/gender-dan-model-pergaulan-dalam-islam/