Upaya Mendapatkan Akses Legal Lahan Garapan Di Wilayah Taman Nasional Gunung Gede Pangrango

Cianjur, Selasa 30 Mei 2019. Perwakilan dari Kelompok Tani Hutan (KTH) kampung Cipeucang dan kampung Ciwaluh didampingi oleh RMI melakukan pertemuan dengan pihak Kepala Bidang Wilayah III Bogor Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) dalam rangka menindaklanjuti usulan Kemitraan Konservasi (KK) yang diajukan oleh KTH Cipeucang dan KTH Ciwaluh pada Desember 2018 lalu.

Pertemuan ini adalah pertemuan pertama yang dilakukan oleh KTH Ciwaluh dan KTH Cipeucang dengan pihak TNGGP setelah pengajuan KK. Sebelumnya, pihak TNGGP juga telah menunjukkan upayanya untuk menindaklanjuti pengajuan KK oleh KTH Ciwaluh dan KTH Cipeucang dengan berkunjung ke RMI untuk memulai diskusi lebih dulu dengan RMI sebagai pendamping sebelum pertemuan tanggal 30 April 2019.

Pada kesempatan ini, diskusi dilakukan dalam rangka mengeksplorasi beberapa pilihan bentuk kerjasama. Dibutuhkannya beberapa pilihan ini karena perbedaan aturan yang ada dalam Perdirjen No. 6 tahun 2018 tentang Kemitraan Konservasi dengan aktivitas dan penghidupan masyarakat yang selama ini telah terjadi di tingkat tapak. Berbagai aktivitas yang diajukan oleh kedua KTH dalam proposal Kemitraan Konservasi mereka, yang sebagian merupakan kegiatan yang mereka telah jalani selama puluhan tahun, hanya dapat dilakukan apabila wilayah yang diajukan tersebut adalah Zona Tradisional dalam wilayah kelola Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Sementara, menurut pengelolaan TNGGP dalam bentuk zonasi yang ditetapkan tahun 2016, aktivitas penghidupan masyarakat Kampung Ciwaluh dan Kampung Cipeucang berada di Zona Rehabilitasi taman nasional tersebut. Menurut Perdirjen No.6 tahun 2018 tentang KK, Skema KK yang dapat dilakukan di Zona Tradisional taman nasional disebut dengan Skema Pemberdayaan Masyarakat, sementara skema KK yang dapat dilakukan di Zona Rehabilitasi adalah Skema Pemulihan Ekosistem. Keduanya berbeda, terutama dalam hal tujuan legalisasi akses masyarakat ke kawasan taman nasional dan jenis aktivitas yang dapat dilakukan oleh masyarakat.

Pendek kata, jika kedua KTH mengambil opsi Skema Pemulihan Ekosistem, maka secara de jure mereka tidak lagi dapat melakukan berbagai aktivitas pengelolaan kebun hutan dan sawah yang telah mereka jalani berpuluh-puluh tahun. Jika skema kemitraan yang akan dilakukan adalah Skema Pemberdayaan Masyarakat agar masyarakat masih dapat terus melaksanakan berbagai aktivitas penghidupan yang selama ini menjadi kehidupan mereka, maka perlu dilakukan perubahan zonasi dari Zona Rehabilitasi menjadi Zona Tradisional.

Lebih lanjut, diskusi menemui kebuntuan saat membicarakan perihal keberadaan sawah yang telah ada sejak tahun 1940an. Dalam KK, baik Skema Pemulihan Ekosistem maupun Skema Pemberdayaan Masyarakat, sawah bukan merupakan aktivitas masyarakat yang cocok dalam definisi hutan yang dianut oleh sektor kehutanan di Indonesia.

Lahan garapan masyarakat kampung Ciwaluh dan kampung Cipeucang saat ini sebagian besar berada di kawasan zona rehabilitasi. Di mana zona tersebut bertujuan untuk memulihkan ekosistem yang rusak menjadi atau mendekati kondisi ekosistem alamiahnya.

“Kami tidak bisa kasih keputusan apa-apa karena menyangkut semua orang, yang pasti buat kami sawah harus dipertahankan,” kata Irpan, salah satu anggota KTH Ciwaluh.

Masyarakat sudah menetap di kampung tersebut sejak tahun 1930-an, dan untuk memenuhi kebutuhannya adalah dengan bersawah. Namun, sejak tahun 2003 ketika wilayah Perum Perhutani yang telah digarap secara tumpang sari oleh masyarakat kedua kampung tersebut dilebur ke dalam wilayah konservasi TNGGP, masyarakat kesulitan dalam menuai hasil hutan.

Kenyataan seperti ini tidak hanya ditemukan di kampung Ciwaluh dan kampung Cipeucang saja, tetapi juga di lokasi lain yang di mana lahan garapan masyarakat masuk di dalam kawasan hutan. Oleh sebab itu, maka konteks kawasan hutan harus ditempatkan dalam pola pikir tata ruang dan interaksi antar unsur. Serta, perkembangan paradigma pengelolaan hutan juga harus ditempatkan dalam pola antropologis dan tidak hanya selalu praktik pengelolaan teknis kehutanannya.

Adapun hasil dari pertemuan antara KTH Ciwaluh dan KTH Cipeucang dengan pihak TNGGP saat ini masih mencari titik temu, dan rencananya kedua KTH dengan difasilitasi oleh RMI akan menempuh upaya konsultatif kepada Dirjen KSDAE untuk mengupayakan proses legalisasi lahan pertanian terutama sawah dalam kawasan TNGGP.

Penulis: Siti Marfu’ah

Editor : Mardha Tillah

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

KLHK Tetapkan Peta Wilayah Indikatif Hutan Adat Fase 1

Jakarta, 27 Mei 2019. Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutana (KLHK) meluncurkan Peta Hutan Adat dan Wilayah Indikatif Hutan Adat Fase 1 di Jakarta. Peta tersebut untuk menjamin usulan-usulan di daerah yang telah memiliki subjek dan objek masyarakat hukum adat.

Melalui SK nomor 312/MenLHK/Setjen/PSKL.1/4/2019 yang dikeluarkan pada tanggal 29 April 2019, ditetapkan peta hutan adat dan wilayah indikatif hutan adat fase I seluas ± 472.981 Ha. Terdiri dari Hutan Negara seluas ± 384.896 Ha, Areal Penggunaa Lain seluas ± 68.935 Ha dan Hutan Adat seluas ± 19.150 Ha. Peta tersebut juga diserahkan ke Sekretaris Daerah yang mewakili Kabupaten/Kota dimana ada Hutan Adat atau ada Wilayah Indikasi Hutan Adat. Melalui keputusan ini pula, nantinya penetapan akan dilakukan secara berkala dan kumulatif setiap tiga bulan.

“Tapi saya minta ke Pak Dirjen jangan sampai fase ke 1.000 karena targetnya jelas. Ini soal antara pekerjaan Birokrasi dan pekerjaan Society. Kenapa saya bilang sampai fase ke 1.000, nanti tidak dikerjain atau dikerjainnya sedikit-sedikit sehingga butuh waktu yang lama fase ke 1.000 dikeluarkannya tiap 3 bulan, butuh waktu berapa puluh tahun,” kata Menteri LHK, Siti Nurbaya Bakar.

Sampai 27 Mei 2019, tercatat sudah 49 hutan adat yang ditetapkan oleh pemerintah pasca Putusan MK 35/PUU-X/2012 dengan luas 22.193 Ha, sedangkan target hutan adat menurut Menteri LHK dalam pidato utamanya adalah 13 juta-an Ha, dimana 6 juta Ha lebih berada di wilayah Hutan Negara. Menurut riset RMI yang tergabung dalam Koalisi Hutan Adat bersama HuMA, YMP, Bantaya, AMAN Sulsel, Qbar dan LBBT tahun 2018 butuh 196 tahun untuk menetapkan hutan adat untuk 2.332 masyarakat hukum adat yang ada di Indonesia.

Direktur Pengaduan Konflik, Tenurial dan Hutan Adat, KLHK Muhammad Said dalam Talk Show “Komitmen Pemerintah Dalam Hutan Adat” mengakui bahwa penghambat utama pengakuan hutan adat adalah syarat adanya  Perda pengakuan masyarakat adat oleh Pemda.  Hal ini juga jadi temuan utama riset tersebut.

Peta indikatif ini bisa terwujud berkat kerjasama intensive dan berkelanjutan antara Organisasi Masyarakat Sipil dan Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Penulis: Siti Marfu’ah

Editor : Mardha Tillah

 

Perempuan dan Sumber Daya Alam

Pada 21 April setiap tahunnya, Indonesia memperingati Hari Kartini. Hari besar ini dirayakan bersamaan dengan hari kelahiran seorang pahlawan nasional perempuan bernama R.A. Kartini dari Rembang, Jawa Tengah. Ia dikenal sebagai sosok yang aktif menyuarakan emansipasi kaum perempuan di masa di mana perempuan mengalami represi atas hak, terutama hak untuk mengeyam pendidikan. Kartini kemudian ingin perempuan memiliki kebebasan menuntut ilmu dengan belajar, dan langkah untuk mencapai keinginannya adalah melalui pendidikan. Dia mengawalinya dengan mendirikan sekolah untuk anak gadis di daerah kelahirannya, Jepara dan setelah menikah, dia mendirikan lagi sekolah di Rembang. Di sekolah tersebut diajarkan pelajaran menjahit, menyulam, memasak, dan sebagainya.

Keinginan untuk membuat sekolah yang bisa menampung murid perempuan atau siswi yang lebih banyak dan memperluas jumlah murid yang berasal dari golongan bawah menjadi ambisi yang ingin ia wujudkan. Sekolah yang dibangun tanpa memungut bayaran kepada siswanya itupun berhasil dibangun, dana apa yang Kartini inisiasikan kemudian diikuti oleh perempuan lainnya dengan mendirikan ‘Sekolah Kartini’ di daerah merea masing-masing, seperti di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, dan Cirebon. Tekad kuat Kartini tidak serta merta terjadi tanpa keberanian yang dinilai melebihi perempuan-perempuan lain pada zamannya. Demi mewujudkan ambisinya tersebut, Kartini pernah bertukar surat dengan pemerintah Hindia Belanda.

Perjuangan perempuan seperti Kartini saat ini masih bisa kita jumpai di Indonesia. Ketika perempuan yang “dikonstruksi” bertanggung jawab penuh atas pemenuhan kebutuhan pangan keluarga, tetapi di saat yang sama, ruang hidup mereka terampas, maka seketika itu pula daya juang perempuan akan terlihat. Salah satunya adalah perjuangan perempuan adat yang berada di Kasepuhan Banten Kidul. Menurut riset Tutur Perempuan Adat yang dilakukan oleh RMI pada tahun 2017 mengatakan bahwa ditengah ketidakadilan penguasaan ruang yang terjadi saat ini perempuanlah yang lebih sering ke sawah, karena laki-laki di desa harus pergi ke lubang tambang atau jadi pekerja berat seperti kuli bangungan, kuli kayu dan lain-lain. Perjuangan perempuan adat kasepuhan ini juga didorong oleh meningkatnya kebutuhan hidup, sehingga tidak hanya ke sawah yang mereka lakukan tetapi juga ikut bantu yang laki-laki di lubang tambang, menjadi buruh tani di sawah orang lain, dan pekerjaan sampingan yang lain.

Perempuan adat kasepuhan juga tangguh karena mereka dapat mengerjakan banyak hal, bahkan pekerjaan yang biasa dilakukan oleh laki-laki di tempat lain. Selain berperan di ranah domestik, perempuan adat juga menjalankan peran yang cukup signifikan dalam pertanian dan tata kelola tanah, seperti mencangkul, membabat atau bahkan memanggul hasil pare ke penggilingan.

Hal itu membuat perempuan adat memiliki pengetahuan lebih tentang berbagai macam hal, seperti jenis padi, obat-obatan tradisional, dan pemilihan bibit yang tepat. Perempuan adat lebih mengetahui bagaimana cara penentuan waktu dalam bercocok tanam di huma maupun di sawah. Penanaman itu mengacu pada konsep Guru Mangsa yang berarti berguru pada alam semesta untuk mengetahui kapan boleh melakukan kegiatan pertanian atau dan kapan waktu yang tidak tepat.

Selain perempuan Kasepuhan Banten Kidul, perempuan Nagari Alam Pauh Duo, Solok Selatan, Sumatera Barat juga  berjuang untuk ikut memenuhi kebutuhan sehari-hari (pangan dan air) dan dalam upaya menghasilkan nilai ekonomi. Dalam skema pengelolaan sumber daya alam, perempuan Nagari Alam Pauh Duo juga memiliki peranan penting dalam usaha tani dan pengelolaan produksi hasil hutan non kayu dan bahkan perempuan menjadi mayoritas sebagai petani, baik buruh tani maupun bertani di ladang milik sendiri. Perempuan Nagari Alam Pauh Duo berperan dalam usaha penyiapan lahan untuk siap tanam, penebaran bibit tanaman, mengontrol pemberian pupuk, air dan penghilangan hama hingga pada proses pemasaran di pasar tradisional maupun menjualnya kepada kerabat terdekat. Selain itu, dalam usaha produksi hasil hutan non kayu, perempuan banyak terlibat dalam budidaya tanaman rempah-rempah seperti kayu manis, gambir yang menjadi komoditi khas dari Nagari Alam Pauh Duo, atau buah jeruk. (Women Research Insitute, 2016)

Dua penjabaran diatas sejalan dengan yang disampaikan Surono dan Wirotoahwa perempuan memiliki posisi penting dalam pertanian. Perempuanlah yang bertugas memelihara dan menyimpan benih. Di banyak negara berkembang di dunia, kebanyakan petani adalah perempuan. Negara-negara ini adalah produsen makanan pokok seperti jagung, beras, gandum dan lainnya. Di Asia Tenggara, perempuan melakukan 90% proses produksi bahan pangan pokok, dan lebih besar lagi pada bahan pangan tambahan  seperti buah-buahan dan sayur-sayuran. Di Asia dan Afrika, petani perempuan bekerja 13 jam lebih banyak dibandingkan laki-laki.

Tidak hanya petani perempuan yang harus berjuang untuk memenuhi kebutuhan ditengah ketidakadilan penguasaan ruang, perempuan nelayan di Kalimantan Barat juga mengalami hal yang serupa. Perempuan nelayan memiliki peranan yang sangat penting dalam rumah tangga nelayan, baik sebagai nelayan, maupun istri nelayan. Menurut data Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA) tahun 2014, ada 48% dari pendapatan keluarga nelayan merupakan hasil dari perempuan nelayan. Sedikitnya 56 juta orang terlibat dalam aktivitas perikanan.  Aktivitas ini mulai dari penangkapan, pengolahan, sa (Surono Indro, 2006)mpai dengan pemasaran hasil tangkapan. Dari jumlah itu, 70 persen atau sekitar 39 juta orang adalah perempuan nelayan. (KIARA, 2014).

Masih banyak kelompok-kelompok perempuan lain yang berjuang memenuhi kebutuhan hidup melalui sumber daya alamnya ditengah ketidakadilan penguasaan ruang yang terjadi. Meskipun begitu, perempuanlah yang paling mengenal sumber daya alam sekitar mereka. Melalui pengetahuan dan pengalamannya, perempuan patut diperhitungkan untuk mengendalikan proses pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan.

Sumber:

Nuhamidah, N. F. (2017). Tutur Perempuan Adat: Kisah Perjuangan Hidup Perempuan Kasepuhan di Kabupaten Lebak Dari Masa ke Masa. Bogor: RMI-The Indonesian Institute for Forest and Environment.

KIARA. (2014, Mei 28). Nasib Perempuan Nelayan. Dipetik April 20, 2019, dari www.kiara.or.id: https://www.kiara.or.id/nasib-perempuan-nelayan/

Surono Indro, dan Wiroto. (2006). Kedaulatan Pangan; Perjuangan Rakyat Dalam Mewujudkan Hak Pangan. Bogor: KRKP.

Women Research Insitute. (2016, Januari). Pengelolaan Sumber Daya Alam & Dampaknya Pada Kehidupan Perempuan di Solok Selatan. Dipetik April 20, 2019, dari www.wri.or.id: https://www.wri.or.id/attachments/article/688/Factsheet_Dampak%20Konsesi%20Hutan%20terhadap%20Perempuan%20di%20Solok%20Selatan.pdf

 

Penulis: Siti Marfu’ah

Editor : Dinda Tungga Dewi

 

Riungan Gede SABAKI XI: Terus Mendorong Pengakuan Masyarakat Adat di Indonesia

(Lebak, 1 Maret 2019) Hari ini (1/3) hingga Minggu (3/3), masyarakat adat Kasepuhan akan berkumpul di wewengkon (wilayah) adat Kasepuhan Citorek di Kabupaten Lebak, untuk mendorong pemenuhan hak-hak mereka sebagai masyarakat adat di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, juga jutaan orang masyarakat adat lain di Indonesia. Berkumpul dalam forum Kesatuan Adat Banten Kidul (SABAKI), sekitar 1500 orang akan hadir dalam pertemuan bernama Riungan Gede SABAKI ke-11. Pertemuan, atau riungan, ini merupakan pertemuan pertama masyarakat adat Kasepuhan Banten Kidul sesudah dilahirkannya Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Lebak no 8 tahun 2015 tentang Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan Kasepuhan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Lebak. Riungan Gede ini akan menjadi forum untuk mendiskusikan berbagai rencana implementasi Perda No. 8 tahun 2015 tersebut, misalnya mengenai identifikasi wilayah adat Kasepuhan yang dalam Perda tercantum berjumlah 522 komunitas. Selain itu, sebagai bagian dari masyarakat adat di Indonesia, melalui forum SABAKI ini, masyarakat Kasepuhan juga mendorong untuk disahkannya UU Masyarakat Adat yang sejak pertengahan tahun 2000an sudah mulai digagas. Adanya UU ini akan menjamin pengakuan dan pemenuhan hak-hak masyarakat adat, yang merupakan jati diri bangsa Indonesia. Belajar dari pengalaman 13 tahun Kasepuhan berupaya mendapatkan pengakuan dalam bentuk Perda, ketiadaan UU Masyarakat Adat menjadi genting karena proses penyusunan Perda pengakuan masyarakat adat pada umumnya memakan waktu bertahun-tahun. Belum diakuinya keberadaan masyarakat adat di suatu daerah telah menjadi faktor utama yang memperlambat berbagai pemenuhan hak-hak masyarakat adat sebagai bagian dari warga negara Indonesia. Sebagai contoh, pengakuan hutan adat oleh Pemerintah Pusat melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang mensyaratkan pengakuan terhadap masyarakat adatnya sebagai subyek hukum sebelum mengakui hutan adat mereka sebagai obyek hukum, terhambat oleh ketiadaan pengakuan keberadaan masyarakat adat di tingkat daerah dalam bentuk Perda. Menurut studi RMI (2018), menggunakan penghitungan linear, dibutuhkan waktu 196 tahun untuk mengakui seluruh hutan adat masyarakat adat yang menjadi anggota Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) saja, yang berjumlah 2332 komunitas adat. RMI mencatat bahwa durasi tersebut merujuk pada kecepatan dan proses pengakuan hutan adat yang terjadi saat ini, yang terhambat akibat sebagian besar masyarakat adat belum diakui keberadaannya di tingkat daerah. Sementara, AMAN (2018) mencatat tidak lebih dari 15 Perda pengakuan masyarakat adat yang dilahirkan dalam kurun 2014-2018. Karenanya, dalam riungan SABAKI yang ke-11 ini, agenda mendorong diundangkannya UU Masyarakat Adat menjadi utama sehingga masyarakat adat tidak lagi perlu diakui di tiap-tiap daerah. Yang menarik, Riungan SABAKI ini adalah riungan pertama kali ini juga memberi ruang khusus bagi perempuan dan generasi muda adat Kasepuhan. Melalui dua forum khusus yang diadakan pada tanggal 2 Maret 2019 yang difasilitasi Rimbawan Muda Indonesia (RMI), aspirasi perempuan dan generasi muda Kasepuhan akan disuarakan untuk melengkapi perjuangan pemenuhan hak-hak masyarakat Kasepuhan. Hal ini juga sejalan dengan Perda no. 8 tahun 2015 yang telah memberikan ruang afirmasi bagi perempuan dan pemuda adat. Dalam upaya memperkukuh pengakuan terhadap keberadaan masyarakat adat di Indonesia, masyarakat Kasepuhan terus berupaya memberikan pengakuan bagi perempuan dan generasi mudanya yang memiliki peran, pandangan dan kebutuhan spesifik sebagai bagian dari masyarakat Kasepuhan. Keterlibatan perempuan dan generasi muda pada riungan ini merupakan langkah maju menuju pemerataan manfaat dari Perda No. 8 tahun 2015. Tidak kurang tiga sarasehan akan dilakukan secara paralel, yang bertema “Pemajuan Adat”, “Identifikasi wilayah adat dan hutan adat” dan “Implementasi Perda Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan Kasepuhan”, selain sarasehan untuk Perempuan adat berjudul “Suara Perempuan Kasepuhan untuk Kemajuan Penghidupan Masyarakat Adat di Kabupaten Lebak” dan sarasehan untuk generasi muda Kasepuhan berjudul “Regenerasi: Adat dan PSDA di Mata Generasi Muda Kasepuhan” Riungan SABAKI ini akan dihadiri oleh seluruh perwakilan Kasepuhan, perempuan dan laki-laki, termasuk generasi mudanya. Beberapa Kasepuhan tersebut antara lain, Kasepuhan Citorek, Kasepuhan Ciptagelar, Kasepuhan Ciptamulya, Kasepuhan Cibedug, Kasepuhan Guradog, Kasepuhan Cisungsang, Kasepuhan Cibarani, Kasepuhan Pasir Eurih, Kasepuhan Cicarucub, Kasepuhan Cirompang dan Kasepuhan Karang. Acara riungan ini akan dihadiri oleh unsur Pemerintah Pusat dan Daerah, seperti Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK, Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbud, Bupati Lebak, serta didukung oleh organisasi-organisasi yang selama ini mengadvokasi pemenuhan hak-hak masyarakat adat Kasepuhan seperti RMI, AMAN dan Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP). Narahubung: Cece Affandi (Ketua Panitia Riungan Gede SABAKI) 0857-7321-6202 Sukanta (Ketua SABAKI) 0877-7344-1199 Wahyubinatara Fernandez (Koordinator Advokasi RMI) 0812-29944643 Mardha Tillah (Direktur Eksekutif RMI) 081316367600 Catatan Editor:
  • SABAKI dibentuk pada periode 1970an. SABAKI merupakan forum silaturrahmi masyarakat Kasepuhan Banten Kidul yang mendiami wilayah administrative Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Keberadaan Kasepuhan diakui oleh Pemda Lebak pada bulan November 2015 sesudah diperjuangkan pertama kali sejak tahun 2003, saat terjadinya perluasan wilayah Taman Nasional Gunung Halimun Salak dari luasan 40ribuan hektar menjadi 113ribuan hektar masa itu. Masyarakat Kasepuhan mendiami wilayah Halimun secara turun temurun dan masih memegang teguh hukum adat mereka dalam kehidupannya, termasuk dalam pengelolaan sumber daya alamnya. Perluasan wilayah Taman Nasional Gunung Halimun Salak membatasi akses masyarakat ke wilayah hutan adat mereka dan menimbulkan konflik panjang sebelum akhirnya keberadaan masyarakat Kasepuhan diakui melalui Perda.
  • Kabupaten Lebak merupakan kabupaten pertama di Indonesia yang mengakui keberadaan masyarakat adat melalui Perda untuk pengakuan wilayah adat Baduy pada tahun 2001. Pada tahun 2015, Pemerintah Kabupaten Lebak mengakui keberadaan Kasepuhan di wilayah Lebak yang mencakup 522 Kasepuhan
  • RMI adalah organisasi non-pemerintah yang didirikan tahun 1992 berdasar pada krisis yang terjadi pada masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan akibat berbagai klaim pihak lain. Informasi lebih lanjut lihat www.rmibogor.id