Jakarta, 27 Mei 2019. Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutana (KLHK) meluncurkan Peta Hutan Adat dan Wilayah Indikatif Hutan Adat Fase 1 di Jakarta. Peta tersebut untuk menjamin usulan-usulan di daerah yang telah memiliki subjek dan objek masyarakat hukum adat.
Melalui SK nomor 312/MenLHK/Setjen/PSKL.1/4/2019 yang dikeluarkan pada tanggal 29 April 2019, ditetapkan peta hutan adat dan wilayah indikatif hutan adat fase I seluas ± 472.981 Ha. Terdiri dari Hutan Negara seluas ± 384.896 Ha, Areal Penggunaa Lain seluas ± 68.935 Ha dan Hutan Adat seluas ± 19.150 Ha. Peta tersebut juga diserahkan ke Sekretaris Daerah yang mewakili Kabupaten/Kota dimana ada Hutan Adat atau ada Wilayah Indikasi Hutan Adat. Melalui keputusan ini pula, nantinya penetapan akan dilakukan secara berkala dan kumulatif setiap tiga bulan.
“Tapi saya minta ke Pak Dirjen jangan sampai fase ke 1.000 karena targetnya jelas. Ini soal antara pekerjaan Birokrasi dan pekerjaan Society. Kenapa saya bilang sampai fase ke 1.000, nanti tidak dikerjain atau dikerjainnya sedikit-sedikit sehingga butuh waktu yang lama fase ke 1.000 dikeluarkannya tiap 3 bulan, butuh waktu berapa puluh tahun,” kata Menteri LHK, Siti Nurbaya Bakar.
Sampai 27 Mei 2019, tercatat sudah 49 hutan adat yang ditetapkan oleh pemerintah pasca Putusan MK 35/PUU-X/2012 dengan luas 22.193 Ha, sedangkan target hutan adat menurut Menteri LHK dalam pidato utamanya adalah 13 juta-an Ha, dimana 6 juta Ha lebih berada di wilayah Hutan Negara. Menurut riset RMI yang tergabung dalam Koalisi Hutan Adat bersama HuMA, YMP, Bantaya, AMAN Sulsel, Qbar dan LBBT tahun 2018 butuh 196 tahun untuk menetapkan hutan adat untuk 2.332 masyarakat hukum adat yang ada di Indonesia.
Direktur Pengaduan Konflik, Tenurial dan Hutan Adat, KLHK Muhammad Said dalam Talk Show “Komitmen Pemerintah Dalam Hutan Adat” mengakui bahwa penghambat utama pengakuan hutan adat adalah syarat adanya Perda pengakuan masyarakat adat oleh Pemda. Hal ini juga jadi temuan utama riset tersebut.
Peta indikatif ini bisa terwujud berkat kerjasama intensive dan berkelanjutan antara Organisasi Masyarakat Sipil dan Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Pada 21 April setiap tahunnya, Indonesia memperingati Hari Kartini. Hari besar ini dirayakan bersamaan dengan hari kelahiran seorang pahlawan nasional perempuan bernama R.A. Kartini dari Rembang, Jawa Tengah. Ia dikenal sebagai sosok yang aktif menyuarakan emansipasi kaum perempuan di masa di mana perempuan mengalami represi atas hak, terutama hak untuk mengeyam pendidikan. Kartini kemudian ingin perempuan memiliki kebebasan menuntut ilmu dengan belajar, dan langkah untuk mencapai keinginannya adalah melalui pendidikan. Dia mengawalinya dengan mendirikan sekolah untuk anak gadis di daerah kelahirannya, Jepara dan setelah menikah, dia mendirikan lagi sekolah di Rembang. Di sekolah tersebut diajarkan pelajaran menjahit, menyulam, memasak, dan sebagainya.
Keinginan untuk membuat sekolah yang bisa menampung murid perempuan atau siswi yang lebih banyak dan memperluas jumlah murid yang berasal dari golongan bawah menjadi ambisi yang ingin ia wujudkan. Sekolah yang dibangun tanpa memungut bayaran kepada siswanya itupun berhasil dibangun, dana apa yang Kartini inisiasikan kemudian diikuti oleh perempuan lainnya dengan mendirikan ‘Sekolah Kartini’ di daerah merea masing-masing, seperti di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, dan Cirebon. Tekad kuat Kartini tidak serta merta terjadi tanpa keberanian yang dinilai melebihi perempuan-perempuan lain pada zamannya. Demi mewujudkan ambisinya tersebut, Kartini pernah bertukar surat dengan pemerintah Hindia Belanda.
Perjuangan perempuan seperti Kartini saat ini masih bisa kita jumpai di Indonesia. Ketika perempuan yang “dikonstruksi” bertanggung jawab penuh atas pemenuhan kebutuhan pangan keluarga, tetapi di saat yang sama, ruang hidup mereka terampas, maka seketika itu pula daya juang perempuan akan terlihat. Salah satunya adalah perjuangan perempuan adat yang berada di Kasepuhan Banten Kidul. Menurut riset Tutur Perempuan Adat yang dilakukan oleh RMI pada tahun 2017 mengatakan bahwa ditengah ketidakadilan penguasaan ruang yang terjadi saat ini perempuanlah yang lebih sering ke sawah, karena laki-laki di desa harus pergi ke lubang tambang atau jadi pekerja berat seperti kuli bangungan, kuli kayu dan lain-lain. Perjuangan perempuan adat kasepuhan ini juga didorong oleh meningkatnya kebutuhan hidup, sehingga tidak hanya ke sawah yang mereka lakukan tetapi juga ikut bantu yang laki-laki di lubang tambang, menjadi buruh tani di sawah orang lain, dan pekerjaan sampingan yang lain.
Perempuan adat kasepuhan juga tangguh karena mereka dapat mengerjakan banyak hal, bahkan pekerjaan yang biasa dilakukan oleh laki-laki di tempat lain. Selain berperan di ranah domestik, perempuan adat juga menjalankan peran yang cukup signifikan dalam pertanian dan tata kelola tanah, seperti mencangkul, membabat atau bahkan memanggul hasil pare ke penggilingan.
Hal itu membuat perempuan adat memiliki pengetahuan lebih tentang berbagai macam hal, seperti jenis padi, obat-obatan tradisional, dan pemilihan bibit yang tepat. Perempuan adat lebih mengetahui bagaimana cara penentuan waktu dalam bercocok tanam di huma maupun di sawah. Penanaman itu mengacu pada konsep Guru Mangsa yang berarti berguru pada alam semesta untuk mengetahui kapan boleh melakukan kegiatan pertanian atau dan kapan waktu yang tidak tepat.
Selain perempuan Kasepuhan Banten Kidul, perempuan Nagari Alam Pauh Duo, Solok Selatan, Sumatera Barat juga berjuang untuk ikut memenuhi kebutuhan sehari-hari (pangan dan air) dan dalam upaya menghasilkan nilai ekonomi. Dalam skema pengelolaan sumber daya alam, perempuan Nagari Alam Pauh Duo juga memiliki peranan penting dalam usaha tani dan pengelolaan produksi hasil hutan non kayu dan bahkan perempuan menjadi mayoritas sebagai petani, baik buruh tani maupun bertani di ladang milik sendiri. Perempuan Nagari Alam Pauh Duo berperan dalam usaha penyiapan lahan untuk siap tanam, penebaran bibit tanaman, mengontrol pemberian pupuk, air dan penghilangan hama hingga pada proses pemasaran di pasar tradisional maupun menjualnya kepada kerabat terdekat. Selain itu, dalam usaha produksi hasil hutan non kayu, perempuan banyak terlibat dalam budidaya tanaman rempah-rempah seperti kayu manis, gambir yang menjadi komoditi khas dari Nagari Alam Pauh Duo, atau buah jeruk. (Women Research Insitute, 2016)
Dua penjabaran diatas sejalan dengan yang disampaikan Surono dan Wirotoahwa perempuan memiliki posisi penting dalam pertanian. Perempuanlah yang bertugas memelihara dan menyimpan benih. Di banyak negara berkembang di dunia, kebanyakan petani adalah perempuan. Negara-negara ini adalah produsen makanan pokok seperti jagung, beras, gandum dan lainnya. Di Asia Tenggara, perempuan melakukan 90% proses produksi bahan pangan pokok, dan lebih besar lagi pada bahan pangan tambahan seperti buah-buahan dan sayur-sayuran. Di Asia dan Afrika, petani perempuan bekerja 13 jam lebih banyak dibandingkan laki-laki.
Tidak hanya petani perempuan yang harus berjuang untuk memenuhi kebutuhan ditengah ketidakadilan penguasaan ruang, perempuan nelayan di Kalimantan Barat juga mengalami hal yang serupa. Perempuan nelayan memiliki peranan yang sangat penting dalam rumah tangga nelayan, baik sebagai nelayan, maupun istri nelayan. Menurut data Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA) tahun 2014, ada 48% dari pendapatan keluarga nelayan merupakan hasil dari perempuan nelayan. Sedikitnya 56 juta orang terlibat dalam aktivitas perikanan. Aktivitas ini mulai dari penangkapan, pengolahan, sa (Surono Indro, 2006)mpai dengan pemasaran hasil tangkapan. Dari jumlah itu, 70 persen atau sekitar 39 juta orang adalah perempuan nelayan. (KIARA, 2014).
Masih banyak kelompok-kelompok perempuan lain yang berjuang memenuhi kebutuhan hidup melalui sumber daya alamnya ditengah ketidakadilan penguasaan ruang yang terjadi. Meskipun begitu, perempuanlah yang paling mengenal sumber daya alam sekitar mereka. Melalui pengetahuan dan pengalamannya, perempuan patut diperhitungkan untuk mengendalikan proses pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan.
Sumber:
Nuhamidah, N. F. (2017). Tutur Perempuan Adat: Kisah Perjuangan Hidup Perempuan Kasepuhan di Kabupaten Lebak Dari Masa ke Masa. Bogor: RMI-The Indonesian Institute for Forest and Environment.
KIARA. (2014, Mei 28). Nasib Perempuan Nelayan. Dipetik April 20, 2019, dari www.kiara.or.id: https://www.kiara.or.id/nasib-perempuan-nelayan/
Surono Indro, dan Wiroto. (2006). Kedaulatan Pangan; Perjuangan Rakyat Dalam Mewujudkan Hak Pangan. Bogor: KRKP.
Women Research Insitute. (2016, Januari). Pengelolaan Sumber Daya Alam & Dampaknya Pada Kehidupan Perempuan di Solok Selatan. Dipetik April 20, 2019, dari www.wri.or.id: https://www.wri.or.id/attachments/article/688/Factsheet_Dampak%20Konsesi%20Hutan%20terhadap%20Perempuan%20di%20Solok%20Selatan.pdf
Menggali potensi lokal menuju kemandirian desa saat ini tengah digalakkan oleh masyarakat adat Kasepuhan Pasir Eurih. Para pemuda, perempuan, dan tokoh masyarakat berkumpul pada hari Rabu, 20 Maret 2019 di Desa Sindanglaya, Kabupaten Lebak, Banten. Masyarakat berdiskusi untuk memusyawarahkan produk unggulan yang bernilai ekonomi, yang bisa menjadi kendaraan mereka dalam mencapai kemandirian ekonomi. Dari 8 produk yg diunggulkan seperti padi, …
The presence of Kasepuhan indigenous youth in Riungan Gede (Grand Meeting) hosted by Indigenous People Union of Kasepuhan Banten Kidul (Kesatuan Masyarakat Adat Kasepuhan Banten Kidul—SABAKI) in 2019 was the first time ever happened in the history. It was the first time for Kasepuhan youths to contribute in advocating Kasepuhan indigenous people’s rights in riungan SABAKI; the eleventh riungan. Located …
LEBAK-(22/03/2019) Masyarakat adalah poros penggerak kemajuan suatu desa. Kesadaran ini tengah terlihat pada masyarakat Kasepuhan Cibarani yang berdiam di Desa Cibarani, Kecamatan Cirinten, Lebak, Banten. Di sebuah hari yang cerah pada 22 Maret 2019, masyarakat Kasepuhan Cibarani berkumpul untuk membentuk koperasi dan membuat kesepakatan jumlah nominal simpanan wajib dan simpanan pokok yang harus dikeluarkan oleh anggota-nya. Selain itu, masyarakat Cibarani …
Kehadiran generasi muda adat kasepuhan dalam Riungan Gede Kesatuan Masyarakat Adat Kasepuhan Banten Kidul (SABAKI) di tahun 2019 merupakan keterlibatan pemuda adat kasepuhan untuk pertama kalinya. Pasalnya sejak awal dibentuknya riungan SABAKI, baru di tahun ini—riungan kesebelas—kontribusi serta peran vital pemuda adat kasepuhan dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat adat kasepuhan benar-benar diperhitungkan. Bertempat di Desa Citorek, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak; pemuda …