Serial Pertama dari Pengembangan Konsep dan Instrumen Wellbeing Definisi Konseptual

Pada hari Selasa, 3 November 2020, RMI-The Indonesian Institute for Forest and Environment, Akar Foundation, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Sajogyo Institute (Sains), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) melakukan diskusi terarah online sebagai bagian dari serial pengembangan konsep dan instrumen terkait wellbeing. Diskusi ini diikuti oleh 19 orang, termasuk narasumber ahli Faisal Basri dan Melani Abdulkadir-sunito.

Agenda pembangunan hari ini dibangun di atas asumsi bahwa ekonomi merupakan indikator utama wellbeing. Fakta bahwa Produk Domestik Bruto (PDB) atau dalam bahasa Inggris Gross Domestic Product (GDP)  masih banyak digunakan untuk mengukur pertumbuhan dan menunjukkan status/tingkat ekonomi dengan jelas menunjukkan hal tersebut. PDB sendiri didefinisikan sebagai jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit perekonomian. Di Indonesia, di mana perbedaan jarak akses sumber daya antar anggota masyarakat merupakan fakta sosial yang sangat terlihat, indikator PDB tersebut terbukti gagal mengukur peningkatan dan pemerataan kesejahteraan masyarakat, apalagi membangun dan memeratakannya.

 

Kehidupan yang Layak, Seperti Apa?

Diskusi seri pertama, untuk mendapatkan definisi konseptual wellbeing ini dimoderatori oleh Wahyubinatara Fernandez (RMI). Pada sesi awal, masing-masing perwakilan lembaga memaparkan konsep kehidupan yang layak dengan berpijak pada pengalaman mereka dalam mendampingi masyarakat di berbagai lokasi di Indonesia. Even Sembiring (WALHI) misalnya menjelaskan bahwa kesejahteraan perlu dilihat dari sisi lain selain aspek ekonomi, yaitu juga dari aspek sosial dan lingkungan. Pada masyarakat adat contohnya, kesejahteraan adalah mengenai lingkungan yang terjaga dimana masyarakat dapat bermata pencaharian darinya. Rudi Casrudi (KPA) melihat bahwa kehidupan yang layak adalah terpenuhinya kesehatan, waktu istirahat dan rekreasi dan tempat tinggal yang layak misalnya. Rudi menyebutkan untuk sampai ke hal tersebut, lahan garapan dengan tata kuasa yang baik, serta campur tangan negara terhadap pasar dan modal diperlukan.

Masih pada pembahasan yang sama Maksum Syam (Sains) menambahkan terkait fenomena yang terjadi di pedesaan dimana ketimpangan penguasaan lahan terjadi secara vertikal dan horizontal, yang perlu diselesaikan bila wellbeing ingin dicapai. Erwin Basrin (Akar) pada kesempatannya memberikan informasi mengenai pengaruh ekonomi pasar (global) yang sudah masuk sampai ke desa-desa dan merubah pola makan dan gizi masyarakat. Pembahasannya menetapkan bahwa istilah ketahanan pangan adalah berbeda dengan kedaulatan pangan, yang seharusnya lebih diperjuangkan. Akses terhadap lahan lagi-lagi disebut sebagai salah satu penyebab keadaan non-sejahtera yang terjadi di masyarakat di desa.

 

Tanggapan Narasumber Ahli dan Periset

Menanggapi penyampaian informasi dari anggota Koalisi Tenure, Faisal Basri menyampaikan bahwa konsep kesejahteraan tradisional yang diukur lewat PDB banyak tidak memuaskan para ekonom dunia. Konsep-konsep tandingan bermunculan misalnya yang berbasis kebahagiaan, keberlanjutan, perkembangan sosial, wawasan lingkungan dan lainya.  Ia merujuk beberapa buku (Measuring Our Life, The World after GDP) yang mengkritisi PDB sebagai indikator yang sudah tidak relevan dalam mengukur wellbeing. Faisal Basri menyatakan bahwa terdapat universalisme, bahwa negara-negara yang  menghargai hak asasi manusia, dengan demokrasi indeks yang tinggi, serta baik dalam pembangunan manusia dan lingkungannya, adalah negara yang juga paling sejahtera secara ekonomi (merujuk pada negara-negara Skandinavia).

Dalam mengembangkan alat untuk mengukur wellbeing, Faisal menyarankan agar level pengukuran alat ditentukan terlebih dahulu, apakah dalam lingkup komunitas, kabupaten, provinsi, atau nasional misalnya. Lainnya adalah variabel-variabel dalam pengukuran. Faisal mengingatkan bahwa variabel yang diukur perlu bisa dioperasionalkan, mengingat bahwa semakin banyak variabel akan semakin sukar data dikumpulkan (Faisal merujuk pada ketersediaan data yang umumnya semakin kecil lingkup wilayahnya semakin sulit didapatkan, atau semakin rendah tingkat validitasnya).

Selanjutnya, Ruth Indya Rahayu sebagai periset pengembangan konsep dan instrumen menekankan bahwa kata wellbeing perlu dipilihkan padanan katanya dalam bahasa Indonesia, karena merupakan kata yang sulit dimengerti di masyarakat. Pada penelitian ini level pengukuran juga perlu ditentukan segera dan variabel standar hidup yang bentuknya kualitatif perlu dapat dikuantifikasikan pada akhirnya. Saat ini tim peneliti sedang melakukan pendalaman tentang tolak ukur kualitatif dalam wellbeing yaitu: kapabilitas, fungsi manusia, kebertubuhan dan partisipasi sosial.

Pembahasan kemudian dilanjutkan oleh Melani Abdulkadir-sunito yang mengusulkan bahwa penyusunan konsep dan instrumen ini perlu dilakukan berdasarkan pengalaman para peserta diskusi, berangkat dari apa yang sudah dilakukan dan hal-hal seperti keberagaman (komunitas, jejaring, keberagaman di internal dan intra-komunitas) perlu mendapatkan tempat dalam penyusunan ini.

 

Diskusi Peserta

Diskusi yang berjalan pada sesi akhir amat menarik dan semakin menajamkan konsep wellbeing yang didiskusikan, serta berguna untuk pembuatan instrumen. Sebagai contoh, konsep community wellbeing menurut Wisemen dan Braser (2008)  mendefinsikannya sebagai perpaduan dari sosial, ekonomi, lingkungan, budaya, dan situasi politik yang ditentukan oleh individu dan komunitasnya, yang penting dan berguna bagi untuk mengembangan potensi mereka.  Konsep wellbeing lain yang dirasakan sesuai juga dapat digunakan dan dipadukan dengan konsep yang disusun sendiri dalam penelitian ini, dengan mengacu pada pengalaman lembaga-lembaga di masyarakat.

Perwakilan-perwakilan lembaga memberikan pendapat dan pada akhirnya menyepakati bahwa konsep dan instrumen yang disusun adalah pada level komunitas.  Skema data yang dikumpulkan harapannya juga dapat ditentukan segera periodesasinya, apakah dikumpulkan tiap tahun, lima tahun sekali atau lainnya. Lainnya adalah mengenai unit sosial: apakah mengacu pada individu atau komunitas.  Hal ini akan didiskusikan dan diperdalam oleh tim peneliti.

Semua peserta berharap bahwa konsep dan instrumen ini akan menjadi dasar untuk pengukuran level yang lebih tinggi di kemudian hari.  Diskusi awal ini bisa jadi merupakan suatu langkah yang menandai suatu gerakan besar di kemudian hari dimana penggunaan alat ukur wellbeing  benar-benar bisa memotret keadaan masyarakat secara lebih adil.

 

Penulis: Indra NH

Back and forth Protecting the Rights of Indigenous Peoples in Forest Areas

Recently, the Ministry of Environment and Forestry (KLHK) issued a new regulation on Customary Forests, P. 17/2020 concerning Customary Forests and Private Forests. This regulation is the implementing regulation for the administration of Customary Forests that have been allowed since the Constitutional Court decision number 35/PUU-X/2012 (MK 35) which corrected Forestry Law number 41 of 1999 by removing Customary Forest from the State Forest category and placing it in the Private Forest category. Previously, there were two Ministerial Regulations (Permen) regulating the administration of Customary Forests, namely P.32/2015 concerning Private Forests and P.21/2019 concerning Customary Forests and Private Forests. The spirit behind the issuance of P.17/2020 needs to be observed, because the predecessor regulation is only 16 months old and considering the achievements of Customary Forests which are quite small, namely 44,630 acres, from the Social Forestry’s target which is 4.38 million acres.

A quick glance at this Ministerial Regulations (Permen) shows the strong spirit of formalization in order to protect Indigenous Peoples’ rights to their customary territories in the form of forests. The new concept introduced by P.17/2020 is the Designation of Customary Forest which refers to the stage of validation of forest areas. The appointment is an alternative to the Designation of Customary Forest when the process is hindered by the recognition of Indigenous Peoples through regional legal products which become a condition for carrying out the verification process prior to stipulation.

The question then is, why is a new concept needed while in the previous Ministerial Regulations (Permen) the same protection has been administered through the Indigenous Forest Indicative Area Map? Designation of Customary Forest is intended for at least three things: 1) Providing time (two years) for Indigenous Peoples to complete the requirements for recognition through regional legal products; 2) Give time for holders of forest utilization permits and other management rights to coordinate with the Indigenous Peoples who own the Customary Forest; and 3) Protecting Customary Forests from the entry of new forest utilization permits. The three of them are the advantages of designation compared to the previous protection scheme which did not regulate what can and cannot be done after being determined to be an indication of Customary Forest.

Forward or backward?

Unfortunately, there are no transitional provisions governing the continuation of the administration of the temporary Indigenous Forestry Map while the legal basis, which is P.21/2019 is revoked and declared invalid since the issuance of this new regulation. Then what about the fate of the 950,129 hectares of Indigenous Peoples territory that has been protected through this scheme? As a result of this legal vacuum, if P.17/2020 is implemented in a normative-textual manner, efforts to protect the rights of Indigenous Peoples in forest areas that are supported and encouraged by many parties have been threatened in vain.

Another problem in the appointment is the prerequisite that instead of speeding up, it is feared that it will actually slow down the process of Designating and Stipulating Customary Forests. Designation of Customary Forest can only occur if there is a process of Identification and Mapping of Customary Areas. This process is also a new stage introduced by P.17/2020, which is carried out by a team formed by the Regional Head to become the basis for the issuance of a decision to recognize Indigenous Peoples by the authorized Regional Head as regulated in Article 14 of this Ministerial Regulations (Permen). The results of the identification and mapping along with the regional legal products recognition for the Indigenous Peoples on which they are based are then required to pass the validation stage of the Customary Forest application so that the application can be verified before the Customary Forest is determined. The question is then, what will happen to the application that has been submitted without prior identification and mapping of customary areas by the regional team? Do they have to submit a new application?

In addition, the experience of civil society in facilitating the process of determining Customary Forest since 2016 shows the political process in the regions in order to gain recognition for the Indigenous Peoples as the biggest challenge. Instead of speeding up, this process has put more burdens on Indigenous Peoples in the political process at the regional level, even before entering into the KLHK administration to get their Customary Forest. P.17/2020 also reaffirmed the criteria for Indigenous Peoples in Article 67 along with its explanation in Law (UU) No. 41/1999, which the Constitutional Court did not grant to the civil society lawsuit eight years ago. It is true that P.17/2020 also regulates the authority of the Ministry of Environment and Forestry to facilitate the Identification and Mapping of Customary Areas. Uniquely, this facilitation process is arranged to be carried out by an Integrated Team that is formed and appointed by the Director General of Social Forestry and Environmental Partnerships (Dirjen PSKL) whose composition and duties are exactly the same as the Verification Team. In fact, one of the internal factors for the delay in the administration of Customary Forests is the queue for services at the verification stage by the Team which is fully under the authority of the Director General of Social Forestry and Environmental Partnerships (Dirjen PSKL) but the time frame is not regulated even in this latest Ministerial Regulations (Permen). 

Need Bureaucratic Courage

The good spirit of P.17/2020 is difficult to be realized if it is not supported by the administrative courage from the executors. The Minister of Environment and Forestry is expected to be able to present a policy that bridges the process of Designating Customary Forests over the accumulation of Indigenous Forest Indicative Area Map that have been stipulated in SK.10292/MENLHK-PSKL/PKTHA/PSL.1/12/2019 concerning Maps of Customary Forests and Indicative Areas of Indigenous Forests Phase III. It is hoped that the Director General of Social Forestry and Environmental Partnerships (Dirjen PSKL) will be able to take tactical policies regarding applications for customary forests that are currently in process or that are new in relation to potential obstacles in the process of identifying and mapping customary territories and regional legal products that are recognized by Indigenous Peoples.

Apart from these two things, protection of the rights of Indigenous Peoples in forest areas through the Indigenous Forest Indicative Area Map, the current Designation of Customary Forests, and including the Designation of Customary Forests since 2016 which has reached 66 units with a total area of ​​approximately 44,630 hectares, will be useless if it does not present a sense of security for Indigenous Peoples.

Therefore, openness of public information and community involvement are important. The lack of community involvement in decision making regarding the function and extent of Customary Forests which will be designated serve as important notes for civil society, as well as regarding the Decree and maps of Customary Forests which are not open to be accessed by the rightful communities.

All of them require bureaucratic courage that has not been demonstrated in the implementation of Customary Forest regulations in the last four years.

This article is also published on forestdigest.com

Author: Wahyubinatara Fernandez

Translated by: Alfina Khairunnisa

Maju Mundur Perlindungan Hak Masyarakat Adat di Kawasan Hutan

Baru-baru ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menerbitkan regulasi baru mengenai Hutan Adat, P.17 tahun 2020 tentang Hutan Adat dan Hutan Hak. Peraturan ini menjadi peraturan pelaksana administrasi Hutan Adat yang dibolehkan sejak keputusan Mahkamah Konstitusi nomor 35/PUU-X/2012 (MK 35) yang mengkoreksi Undang-undang Kehutanan nomor 41 tahun 1999 dengan mengeluarkan Hutan Adat dari ketegori Hutan Negara dan memasukkannya ke dalam kategori Hutan Hak. Sebelumnya, telah ada dua Peraturan Menteri (Permen) yang mengatur administrasi Hutan Adat yaitu P.32/2015 tentang Hutan Hak dan P.21/2019 tentang Hutan Adat dan Hutan Hak. Semangat di balik penerbitan P.17/2020 perlu dicermati, karena peraturan pendahulunya baru berumur 16 bulan dan mengingat capaian Hutan Adat yang terbilang sangat kecil yaitu 44.630 Hektare dari keseluruhan target Perhutanan Sosial seluas 4,38 Juta Hektare.

Membaca sekilas Permen ini menunjukkan semangat formalisasi yang kuat dalam rangka melindungi hak Masyarakat Adat atas wilayah adatnya yang berupa hutan. Konsep baru yang diperkenalkan P.17/2020 adalah Penunjukan Hutan Adat yang merujuk pada tahapan pengukuhan kawasan hutan. Penunjukan menjadi alternatif Penetapan Hutan Adat ketika prosesnya terkendala pengakuan Masyarakat Adat melalui produk hukum daerah yang menjadi syarat dilaksanakannya proses verifikasi sebelum penetapan.

Pertanyaannya kemudian, mengapa dibutuhkan konsep baru sementara pada Permen sebelumnya perlindungan yang sama sudah diadministrasikan melalui Peta Wilayah Indikatif Hutan Adat? Penunjukan Hutan Adat dimaksudkan untuk paling tidak tiga hal: 1.) Memberikan waktu (dua tahun) bagi Masayrakat Adat untuk melengkapi persayaratan pengakuan melalui produk hukum daerah; 2.) Memberikan waktu pada pemegang izin pemanfaatan hutan dan hak pengelolaan lain untuk berkoordinasi dengan Masyarakat Adat empunya Hutan Adat; dan 3.) Melindungi Hutan Adat dari masuknya izin pemanfaatan hutan baru. Ketiganya menjadi kelebihan Penunjukan dibandingkan dengan skema perlindungan terdahulu yang tidak mengatur mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan setelah ditetapkan menjadi indikasi Hutan Adat.

 Maju atau Mundur?

Sayangnya, tidak ada ketentuan peralihan yang mengatur kelanjutan administrasi Peta Wilayah Indikatif Hutan Adat sementara P.21/2019 yang menjadi dasar hukumnya dicabut dan dinyatakan tidak berlaku sejak diterbitkannya Permen baru ini. Lalu bagaimana nasib 950.129 Hektare wilayah Masyarakat Adat yang telah dilindungi melalui skema ini? Akibat kekosongan hukum ini jika P.17/2020 dilaksanakan secara normatif-tekstual saja, usaha perlindungan atas hak Masyarakat Adat di kawasan hutan yang didukung dan didorong banyak pihak selama ini terancam sia-sia.

Permasalahan lain dalam Penunjukan adalah prasyaratnya yang alih-alih mempercepat, dikhawatirkan justru memperlambat proses Penunjukan maupun Penetapan Hutan Adat. Penunjukan Hutan Adat hanya bisa terjadi jika telah ada proses Identifikasi dan Pemetaan Wilayah Adat. Proses ini juga adalah tahapan baru yang diintroduksi P.17/2020, yang dilakukan oleh tim yang dibentuk Kepala Daerah untuk menjadi dasar penerbitan keputusan pengakuan Masyarakat Adat oleh Kepala Daerah berwenang sebagaimana diatur dalam Pasal 14 Permen ini. Hasil identifikasi dan pemetaan beserta produk hukum daerah pengakuan Masyarakat Adat yang didasarinya kemudian menjadi syarat untuk dapat melewati tahap validasi permohonan Hutan Adat sehingga permohonan dapat diverifikasi sebelum Hutan Adat ditetapkan. Pertanyaannya kemudian, bagaimana nasib permohonan yang telah diajukan tanpa didahului identifikasi dan pemetaan wilayah adat oleh tim daerah? Apakah harus mengajukan permohonan baru?

Selain itu, pengalaman masyarakat sipil memfasilitasi proses penetapan Hutan Adat sejak 2016 menunjukkan proses politik di daerah dalam rangka memperoleh pengakuan Masyarakat Adat sebagai tantangan terbesar. Alih-alih mempercepat, proses ini justru semakin membebani Masyarakat Adat dalam proses politik di tingkat daerah, bahkan sebelum masuk ke administrasi KLHK untuk mendapatkan Hutan Adat mereka. Sudah begitu P.17/2020 juga menegaskan kembali kriteria Masyarakat Adat dalam Pasal 67 beserta penjelasannya dalam UU 41/1999, yang gugatan masyarakat sipil atasnya tidak dikabulkan Mahkamah Konstitusi delapan tahun silam. Memang betul P.17/2020 juga mengatur kewenangan KLHK untuk memfasilitasi Identifikasi dan Pemetaan Wilayah Adat. Uniknya, proses fasilitasi ini diatur untuk dilaksanakan oleh Tim Terpadu yang dibentuk dan ditetapkan Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (Dirjen PSKL) yang komposisi maupun tugasnya sama persis dengan Tim Verifikasi. Padahal salah satu faktor internal kelambatan administrasi Hutan Adat selama ini adalah antrean pelayanan di tahap verifikasi oleh Tim yang sepenuhnya di bawah wewenang Dirjen PSKL namun tidak diatur tata waktunya bahkan dalam Permen terbaru ini.

 Butuh Keberanian Birokrasi

Semangat baik P.17/2020 sulit terwujud jika tak didukung keberanian administratif dari para pelaksananya. Menteri LHK diharapkan dapat menghadirkan kebijakan yang menjembatani proses Penunjukan Hutan Adat atas akumulasi Peta Wilayah Indikatif Hutan Adat yang telah ditetapkan dalam SK.10292/MENLHK-PSKL/PKTHA/PSL.1/12/2019 tentang Peta Hutan Adat dan Wilayah Indikatif Hutan Adat Fase III. Dirjen PSKL diharapkan dapat mengambil kebijakan-kebijakan taktis terkait permohonan Hutan Adat yang sedang berproses maupun yang baru dalam kaitannya dengan potensi hambatan dalam proses identifikasi dan pemetaan wilayah adat serta produk hukum daerah pengakuan Masyarakat Adat.

Selain kedua hal tersebut, perlindungan hak Masyarakat Adat di kawasan hutan melalui Peta Wilayah Indikatif Hutan Adat, Penunjukan Hutan Adat saat ini, dan termasuk Penetapan Hutan Adat sejak 2016 yang telah mencapai 66 unit dengan total luasan lebih kurang 44.630 Hektare, akan nirmanfaat jika tidak menghadirkan rasa aman bagi Masyarakat Adat.

Karena itu keterbukaan informasi publik dan pelibatan masyarakat menjadi penting. Minimnya pelibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan mengenai fungsi dan luasan Hutan Adat yang akan ditetapkan menjadi catatan penting masyarakat sipil, juga mengenai SK Penetapan dan peta Hutan Adat yang tertutup untuk diakses masyarakat penyandang haknya.

Semuanya membutuhkan keberanian birokrasi yang belum pernah ditunjukkan dalam pelaksanaan regulasi Hutan Adat selama empat tahun terakhir.

Artikel ini juga terbit di forestdigest.com

Penulis: Wahyubinatara Fernandez

Press Release Koalisi CSO dan Masyarakat Sipil Kawal RUU Masyarakat Adat dalam “Talkshow RUU Masyarakat Adat-#SahkanRUUMasyarakatAdat”

RUU Masyarakat Adat Menyatukan Keberagaman, Melindungi Hak-Hak Masyarakat Adat, dan Memperkuat Prinsip-prinsip Kebangsaan

[Jakarta, 9 September 2020] Koalisi CSO dan Masyarakat Sipil Kawal RUU Masyarakat Adat meminta agar Pemerintah dan DPR RI untuk segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat. Perwakilan pemerintah yang diwakili oleh Kementerian ATR/BPN RI, Kementerian Sosial, Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan menyatakan mendukung percepatan pengesahan RUU Masyarakat Adat dalam paparannya pada Talkshow RUU Masyarakat Adat dengan tema #SahkanRUUMasyarakatAdat yang dilaksanakan pada 9 September 2020.

Rukka Sombolinggi,Sekretaris Jenderal AMAN menyampaikan bahwa RUU Masyarakat Adat dimaksudkan untuk menjembatani hubungan antara Masyarakat Adat dan negara agar tidak ada lagi kasus kriminalisasi, seperti yang dialami oleh Effendy Buhing di Laman Kinipan Lamandau karena mempertahankan hak-hak tradisionalnya.

“Apalagi saat pandemi ini membuktikan bahwa masyarakat adat mampu memberikan kontribusi terhadap pembangunan,” kata Rukka.

Namun Draft RUU Masyarakat Adat ini masih jauh dari harapan, karena masih belum mampu menjawab permasalahan terkait Masyarakat Adat. “Perlu untuk menambahkan klausul restitusi dan rehabilitasi terkait pemulihan terhadap pelanggaran hak masa lalu, yang bisa dilakukan lewat peraturan presiden atau peraturan pemerintah, dan pelaksanaannya dilakukan lewat lembaga yang permanen,” tambah Rukka. “Serta penting untuk memastikan bahwa dalam RUU ini perlu mengatur perlindungan terhadap perempuan adat.”

Pemerintah wajib melindungi, menghormati, dan memenuhi hak-hak Masyarakat Adat atas wilayahnya, hak atas status kewarganegaraan, hak atas penyelenggaraan pemerintahan, hak atas identitas budaya dan spiritualitasnya, hak atas pembangunan, hak atas lingkungan, hak atas persetujuan dini tanpa paksaan, serta hak-hak perempuan adat.

Demikian pula pemerintah harus mencegah pengusiran Masyarakat Adat atas ruang hidupnya, melindungi Masyarakat Adat dari perampasan tanah oleh korporasi dan kebijakan pemerintah, dan memberikan pengakuan atas keberadaan beserta hak-haknya.

Pengakuan terhadap keberadaan Masyarakat Adat dan wilayahnya, juga hak-hak lainnya semestinya tak perlu menanti terbitnya Peraturan Daerah. Pengakuan harus dipermudah untuk mendorong perlindungan terhadap Masyarakat Adat.

Devi Anggraini, Ketua Umum PEREMPUAN AMAN menekankan perlunya data terpilah berdasar etnis dan jenis kelamin, sehingga identifikasi eksistensi Masyarakat Adat menjadi jelas. “Selain itu, penting juga menambahkan hak kolektif perempuan adat secara spesifik diatur dalam UU Masyarakat Adat,” ungkap Devi.

Dahniar Andriani, Direktur Perkumpulan Huma meminta pemerintah agar melihat kembali TAP MPR No. IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang memandatkan penyelesaian konflik agraria termasuk di wilayah Masyarakat Adat.

Abdon Nababan, Wakil Ketua Dewan AMAN Nasional menyatakan bahwa Permendagri No. 52 Tahun 2014 adalah hasil kesepakatan lintas kementerian dan lembaga yang prosesnya difasilitasi oleh Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat pada waktu itu. “Permendagri ini adalah kesepakatan untuk menerobos biaya yang sangat besar dan proses politik yang rumit di tingkat daerah, dengan cukup lewat SK Bupati atau SK Gubernur untuk penetapan keberadaan Masyarakat Adat dan Wilayah Adatnya. Maka seharusnya KLHK mengikuti kesepakatan itu,” kata Abdon.

“Selain itu, One Map Policy harusnya memasukkan peta wilayah adat bersama peta-peta lainnya. Dengan One Map Policy, seharusnya seluruh tumpang tindih akan terlihat. Namun sayangnya One Map Policy sendiri saat ini menjadi tertutup, dan hanya bisa diakses oleh pejabat-pejabat pemerintah. Demikian pula Wali Data untuk wilayah adat sampai hari ini belum ada kejelasan. Karena itu, lewat Pengesahan RUU Masyarakat Adat ini bisa memperjelas bagaimana mekanisme penyediaan peta dan Wali Datanya,” tambah Abdon.

Hingga saat ini, sudah terpetakan wilayah adat yang dikonsolidasikan oleh Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) seluas 11,1 juta Ha dan sudah diserahkan kepada walidata di Kementerian terkait. Peta-peta dan data tersebut merupakan hasil pemetaan partisipatif yang dilakukan oleh masyarakat adat maupun lokal.

“Ini membuktikan bahwa Masyarakat Adat sungguh-sungguh mendorong Kebijakan Satu Peta (One Map Policy) sebagai dasar untuk menata ulang pembangunan nasional yang selama ini penuh konflik, tumpang tindih ruang maupun kerusakan lingkungan” ujar Deny Rahadian, Koordinator Nasional JKPP.

“Untuk itu, Koalisi juga menuntut agar Kementerian ATR/BPN mengedepankan prinsip transparansi dengan membuka data HGU dalam penyelesaian konflik agraria di wilayah adat, serta mengembalikan tanah-tanah adat yang dirampas oleh korporasi,” kata Khalisah Khalid, Kepala Desk Politik WALHI.

Demi terwujudnya pengakuan dan perlindungan masyarakat adat serta seluruh hak konstitusionalnya, penyusunan RUU Masyarakat Adat bersama masyarakat menjadi prioritas DPR RI saat ini. RUU Masyarakat Adat yang diusulkan oleh Koalisi CSO dan Masyarakat Sipil Kawal RUU Masyarakat Adat bukan saja membantu DPR RI dalam proses penyusunan, melainkan proses membangun demokratisasi rakyat dalam pembentukan perundang-undangan yang lebih baik.

“Menunda-nunda pengesahan RUU Masyarakat Adat berarti negara telah gagal melindungi masyarakat adat. Pemerintah harus tahu adat dalam bernegara.” kata Laode M Syarif, Direktur Eksekutif Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan. [ ]

 

oooOOOooo

Koalisi KOALISI CSO dan Masyarakat Sipil Kawal RUU Masyarakat Adat terdiri dari 30 koalisi yang terdiri dari AMAN, BRWA, Debtwatch Indonesia, Epistema, Forum Masyarakat Adat Pesisir dan pulau-pulau kecil, HuMa, ICEL, JKPP, Kalyanamitra, KIARA, Kemitraan, Koalisi Perempuan Indonesia, Konsorsium Pembaruan Agraria, Lakpesdam, Yayasan Madani Berkelanjutan, Lokataru, merDesa Institute, PEREMPUAN AMAN, Protection International Indonesia (YPII), Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara, RMI, Sawit Watch, Satu Nama, Walhi, Yayasan Jurnal Perempuan, YLBHI, BPAN, Kaoem Telapak, KP-KKC Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), dan EcoNusa.

 

Kontak Media:

Luluk Uliyah, 0815 1986 8887

Muntaza 0822 1325 6387

Edo Rahman, 0813-5620-8763

Learning to Manage the Environment from Indigenous Peoples

Indigenous people have their own local wisdom in protecting the environment and managing their natural resources. BRWA (2009) states that forests located in indigenous peoples’ territories are of good quality. Seeing this, the local wisdom should be an example for wider community, especially young people in protecting the environment.

On July 25, 2020, Relawan4Life, a youth movement assisted by RMI, conducted an online discussion called Disaring through Zoom, entitled “Learning to Manage the Environment from Indigenous Peoples “. The purpose of this online discussion was to invite other young people to get to know the local wisdom possessed by indigenous peoples.

This discussion was led by Febrianti Valeria, a student of Political Science at the Christian University of Indonesia (UKI), who is also a member of Relawan4Life. This time, it presented two speakers who were indigenous people, Abah Maman Syahroni from the Kasepuhan Pasir Eurih Indigenous Community, Banten and Pengendum Tampung from the Indigenous People of Orang Rimba, Jambi. The online discussion was attended by 24 people, consisting of 12 men and 12 women and discussed on how indigenous peoples live in harmony with nature.

Kasepuhan Pasir Eurih

Abah Maman said that there are various kinds of local wisdom that are owned by the Kasepuhan Pasir Eurih Indigenous People, and the main local wisdom is the rukun tujuh, because the life of the Kasepuhan Pasir Eurih Indigenous People centered around farming. Rukun Tujuh is a process of traditional rituals of planting local varieties of rice (pare gede) carried out by the Kasepuhan Pasir Eurih Indigenous People, such as asup leuweung (the traditional ritual process of clearing agricultural land collectively); nibakeun (customary ritual process of asking permission and praying to start sowing seeds); ngubaran (traditional ritual process of treating rice plants from pests), mapag pare beukah (the process of traditional rituals asking for good agricultural products); beberes/mipit (traditional ritual process of requesting permission to harvest rice); ngadiukeun (traditional ritual process of bringing rice into the traditional rice barn/leuit); and Serentaun (traditional ceremonies asking for fertility and prosperity for the next harvest).

When planting rice, the Kasepuhan Pasir Eurih Indigenous People do it together, and the rukun tujuh will be the guidance to oversee every agricultural process carried out by the community. This was done so that the community did not overtake each other when planting rice, which resulted in a continuous pest cycle (pests reproduce throughout the year due to continuous availability of food).

Another local wisdom is ronda leuweung (guarding the forest). According to Abah Maman, one of the duties of the ronda leuweung is to ensure that the forest is kept intact and that there is no illegal logging. Abah Maman said the person in charge of the ronda leuweung is usually chosen by the customary head.

Abah Maman emphasized that what the Kasepuhan Pasir Eurih Indigenous People were doing was to maintain food security and strengthening community groups, so that people would preserve the values ​​of the karuhun (ancestors).

Legally, the Kasepuhan Pasir Eurih customary community has been recognized by the local government with the Lebak District Regulation No. 08 of 2015 concerning Recognition, Protection and Empowerment of Kasepuhan Indigenous Communities.

Abah Maman said that the Kasepuhan Pasir Eurih Indigenous People are not a group of indigenous peoples who are completely closed to the outside world. An example is that in Pasir Eurih, formal education is well received by the community. 

Orang Rimba

Pengendum said that the Orang Rimba are a group of indigenous people who live in the forests of Bukit Dua Belas Jambi. The daily life of Orang Rimba is to hunt and gather forest products. Even so, the Indigenous People of Orang Rimba take forest products responsibly, if they want to eat today, they only take the forest products for today, because the Indigenous People of Orang Rimba are worried that if their natural resources are taken excessively, their food will run out.

Pengendum said that the Indigenous People of Orang Rimba have a traditional conservation system which is still upheld today. For example, there are locations that are considered sacred, such as tanaperana’on (a location for childbirth) which is specially protected, so that the trees around the location are not cut down. The location for giving birth to each child will also keep changing.

Apart from the location for giving birth, there is also a location for a funeral. When someone dies, the Indigenous People of Orang Rimba will build a house to store their corpses, and the house is surrounded by trees, where these trees cannot be cut down. This aims to protect the bodies of those who died.

Pengendum also explained that the Orang Rimba Indigenous People are also required to guard two trees for each giving birth to one child. This leaves many trees that are not cut down, and are protected. Because the more children are born, the more trees are maintained.

Apart from the forest, the indigenous people of the Orang Rimba also preserve the river, such as not defecating near the river, or bathing with soap. The Speaker said that apart from damaging the river, the indigenous people of the Orang Rimba believed that the river is a path traversed by gods. If the river is damaged, the gods will be angry.

The speaker also explained that long before the pandemic, the Indigenous People of Orang Rimba were already familiar with physical distancing. The Indigenous People of Orang Rimba call it besesandingon, that is, when someone is sick, that person must isolate himself from family and other communities. This is to prevent transmission of the illness.

So much local wisdom of indigenous people that contributes to the environment. Quoting a comment from one of the participants from Disaring, “indigenous peoples are the answer to our various problems, we should also learn from them”.

Please click the following link, to view Disaring 6.0 – Learning to Manage the Environment from Indigenous Peoples. https://youtu.be/PbbTH5OZ9rM

Author: Siti Marfu’ah

Translated by : Alfina

Belajar Mengelola Lingkungan Dari Masyarakat Adat

Masyarakat adat memiliki kearifan lokal tersendiri dalam menjaga lingkungan dan mengelola sumber daya alamnya. BRWA (2009) menyatakan bahwa hutan yang berada di wilayah masyarakat adat memiliki kualitas yang baik. Melihat hal tersebut, kearifan lokal ini patut dicontoh oleh masyarakat luas, khususnya anak muda dalam menjaga kelestarian lingkungan.

Pada 25 Juli 2020, Relawan for Life, gerakan anak muda dampingan RMI, melakukan diskusi daring (Disaring) melalui aplikasi zoom, yang berjudul “Belajar Mengelola Lingkungan dari Masyarakat Adat”. Disaring kali ini bertujuan untuk mengajak anak muda lain agar lebih mengenal kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat adat.

Kegiatan ini dimoderatori oleh Febrianti Valeria, mahasiswa Ilmu Politik Universitas Kristen Indonesia, yang juga merupakan tim penggerak Relawan for Life. Disaring kali ini menghadirkan  dua orang narasumber yang merupakan masyarakat adat, yaitu Abah Maman Syahroni dari masyarakat adat Kasepuhan Pasir Eurih, Banten dan Pengendum Tampung dari masyarakat adat Orang Rimba, Jambi.  Kegiatan yang diikuti oleh 24 orang, terdiri dari 12 orang laki-laki dan 12 orang perempuan ini membahas tentang bagaimana masyarakat adat hidup harmonis dengan alam?

 

Kasepuhan Pasir Eurih

Abah Maman mengatakan bahwa ada berbagai macam kearifan lokal yang dimiliki masyarakat adat Kasepuhan Pasir Eurih, dan yang utama adalah rukun tujuh (7 rukun tani), karena kehidupan sehari-hari masyarakat adat Kasepuhan Pasir Eurih adalah bertani . Rukun tujuh adalah proses ritual adat penanaman padi varietas lokal (pare gede) yang dilakukan oleh masyarakat adat Kasepuhan Pasir Eurih, seperti asup leuweung (proses ritual adat membuka lahan pertanian secara bersama-sama); nibakeun (proses ritual adat meminta izin dan berdo’a untuk memulai menebar benih); ngubaran (proses ritual adat mengobati tanaman padi dari hama), mapag pare beukah (proses ritual adat memohon agar hasil pertanian bagus); beberes/,mipit (proses ritual adat meminta izin untuk memanen padi); ngadiukeun (proses ritual adat memasukan padi ke dalam lumbung padi/leuit); dan Serentaun (upacara adat meminta agar kesuburan dan kemakmuran untuk panen berikutnya).

Ketika menanam padi, masyarakat adat Kasepuhan Pasir Eurih melakukannya secara bersama-sama, dan rukun tujuh yang akan mengawal dari setiap proses pertanian yang dilakukan masyarakat. Hal tersebut dilakukan bertujuan agar masyarakat tidak saling mendahului ketika menanam padi,yang mengakibatkan tidak terputusnya siklus hama (hama berkembang biak sepanjang tahun karena ketersediaan makan secara terus menerus).

Kearifan lokal lainnya adalah ronda leuweung (jaga hutan). Menurut Abah Maman, salah satu tugas ronda leuweung adalah memastikan kondisi hutan agar tetap utuh, dan tidak ada penebangan liar. Abah Maman mengatakan orang yang bertugas untuk ronda leuweung biasanya dipilih oleh kepala adat.

Abah Maman menekankan, bahwa apa yang dilakukan oleh masyarakat adat Kasepuhan Pasir Eurih tidak terlepas dari ketahanan pangan dan penguatan kelompok masyarakat, agar masyarakat tetap menjaga nilai-nilai dari karuhun (leluhur).

Secara hukum masyarakat adat Kasepuhan Pasir Eurih sudah diakui oleh pemerintah daerah dengan adanya Peraturan Daerah Kabupaten Lebak No. 08 tahun 2015 tentang Pengakuan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Masyarakat Adat kasepuhan.

Abah Maman menceritakan bahwa masyarakat adat Kasepuhan Pasir Eurih bukan kelompok masyarakat adat yang tertutup sama sekali terhadap dunia luar. Contohnya adalah bahwa di Pasir Eurih, pendidikan formal diterima dengan baik oleh masyarakat. 

 Orang Rimba

Pengendum menceritakan bahwa masyarakat adat Orang Rimba adalah kelompok masyarakat adat yang tinggal di hutan Bukit Dua Belas Jambi. Kehidupan masyarakat adat Orang Rimba sehari-hari adalah berburu dan meramu hasil hutan. Meskipun begitu, masyarakat adat Orang Rimba mengambil hasil hutan secukupnya, jika untuk makan hari ini, maka orang rimba hanya mengambil hasil hutan untuk hari ini saja, karena masyarakat adat Orang Rimba khawatir jika sumber daya alam mereka diambil berlebihan makan akan habis.

Pengendum mengatakan bahwa masyarakat adat Orang Rimba memiliki sistem konservasi tradisional yang saat ini masih dipegang teguh. Seperti adanya lokasi-lokasi yang dianggap sakral, misalnya tanaperana’on (lokasi untuk melahirkan) yang dilindungi secara khusus, agar pohon-pohon yang di sekitar lokasi tidak ditebang, dan lokasi untuk melahirkan setiap anak akan berubah-ubah.

Selain lokasi untuk melahirkan, ada juga lokasi untuk pemakaman. Ketika ada yang meninggal, masyarakat adat Orang Rimba akan membangun satu rumah untuk menyimpan mayatnya, dan rumah tersebut dikelilingi pohon, di mana pohon-pohon tersebut tidak boleh ditebang. Hal ini bertujuan untuk, agar mayat orang yang meninggal terlindungi.

Pengendum juga menjelaskan bahwa masyarakat adat Orang Rimba juga diwajibkan untuk menjaga dua pohon, setiap melahirkan satu orang anak. Hal ini membuat banyak pohon yang tidak ditebang, dan dilindungi. Karena semakin banyak anak yang dilahirkan, maka semakin banyak pohon yang terjaga.

Selain hutan, masyarakat adat Orang Rimba juga menjaga sungai, seperti tidak boleh buang air dekat sungai, atau mandi dengan sabun. Narasumber mengatakan,  selain hal tersebut bisa merusak sungai, masyarakat adat Orang Rimba percaya bahwa sungai merupakan jalan yang dilalui oleh dewa. Jika sungai rusak, maka dewa akan marah.

Narasumber juga menjelaskan, bahwa jauh sebelum adanya pandemi, masyarakat adat Orang Rimba sudah mengenal physical distancing. Masyarakat adat Orang Rimba menyebutnya besesandingon, yaitu ketika ada yang orang sakit, maka orang tersebut harus mengisolasi diri dari keluarga dan masyarakat lainnya. Hal ini untuk mencegah tertularnya penyakit yang diderita.

Begitu banyak kearifan lokal masyarakat adat yang berkontribusi pada lingkungan. Mengutip komentar dari salah satu peserta Disaring, “masyarakat adat adalah jawaban dari berbagai permasalahan kita, kita harusnya juga belajar dari mereka”.

Silakan klik link berikut, untuk melihat Disaring 6.0 – Belajar Mengelola Lingkungan dari Masyarakat Adat.