Pada hari Selasa, 3 November 2020, RMI-The Indonesian Institute for Forest and Environment, Akar Foundation, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Sajogyo Institute (Sains), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) melakukan diskusi terarah online sebagai bagian dari serial pengembangan konsep dan instrumen terkait wellbeing. Diskusi ini diikuti oleh 19 orang, termasuk narasumber ahli Faisal Basri dan Melani Abdulkadir-sunito.
Agenda pembangunan hari ini dibangun di atas asumsi bahwa ekonomi merupakan indikator utama wellbeing. Fakta bahwa Produk Domestik Bruto (PDB) atau dalam bahasa Inggris Gross Domestic Product (GDP) masih banyak digunakan untuk mengukur pertumbuhan dan menunjukkan status/tingkat ekonomi dengan jelas menunjukkan hal tersebut. PDB sendiri didefinisikan sebagai jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit perekonomian. Di Indonesia, di mana perbedaan jarak akses sumber daya antar anggota masyarakat merupakan fakta sosial yang sangat terlihat, indikator PDB tersebut terbukti gagal mengukur peningkatan dan pemerataan kesejahteraan masyarakat, apalagi membangun dan memeratakannya.
Kehidupan yang Layak, Seperti Apa?
Diskusi seri pertama, untuk mendapatkan definisi konseptual wellbeing ini dimoderatori oleh Wahyubinatara Fernandez (RMI). Pada sesi awal, masing-masing perwakilan lembaga memaparkan konsep kehidupan yang layak dengan berpijak pada pengalaman mereka dalam mendampingi masyarakat di berbagai lokasi di Indonesia. Even Sembiring (WALHI) misalnya menjelaskan bahwa kesejahteraan perlu dilihat dari sisi lain selain aspek ekonomi, yaitu juga dari aspek sosial dan lingkungan. Pada masyarakat adat contohnya, kesejahteraan adalah mengenai lingkungan yang terjaga dimana masyarakat dapat bermata pencaharian darinya. Rudi Casrudi (KPA) melihat bahwa kehidupan yang layak adalah terpenuhinya kesehatan, waktu istirahat dan rekreasi dan tempat tinggal yang layak misalnya. Rudi menyebutkan untuk sampai ke hal tersebut, lahan garapan dengan tata kuasa yang baik, serta campur tangan negara terhadap pasar dan modal diperlukan.
Masih pada pembahasan yang sama Maksum Syam (Sains) menambahkan terkait fenomena yang terjadi di pedesaan dimana ketimpangan penguasaan lahan terjadi secara vertikal dan horizontal, yang perlu diselesaikan bila wellbeing ingin dicapai. Erwin Basrin (Akar) pada kesempatannya memberikan informasi mengenai pengaruh ekonomi pasar (global) yang sudah masuk sampai ke desa-desa dan merubah pola makan dan gizi masyarakat. Pembahasannya menetapkan bahwa istilah ketahanan pangan adalah berbeda dengan kedaulatan pangan, yang seharusnya lebih diperjuangkan. Akses terhadap lahan lagi-lagi disebut sebagai salah satu penyebab keadaan non-sejahtera yang terjadi di masyarakat di desa.
Tanggapan Narasumber Ahli dan Periset
Menanggapi penyampaian informasi dari anggota Koalisi Tenure, Faisal Basri menyampaikan bahwa konsep kesejahteraan tradisional yang diukur lewat PDB banyak tidak memuaskan para ekonom dunia. Konsep-konsep tandingan bermunculan misalnya yang berbasis kebahagiaan, keberlanjutan, perkembangan sosial, wawasan lingkungan dan lainya. Ia merujuk beberapa buku (Measuring Our Life, The World after GDP) yang mengkritisi PDB sebagai indikator yang sudah tidak relevan dalam mengukur wellbeing. Faisal Basri menyatakan bahwa terdapat universalisme, bahwa negara-negara yang menghargai hak asasi manusia, dengan demokrasi indeks yang tinggi, serta baik dalam pembangunan manusia dan lingkungannya, adalah negara yang juga paling sejahtera secara ekonomi (merujuk pada negara-negara Skandinavia).
Dalam mengembangkan alat untuk mengukur wellbeing, Faisal menyarankan agar level pengukuran alat ditentukan terlebih dahulu, apakah dalam lingkup komunitas, kabupaten, provinsi, atau nasional misalnya. Lainnya adalah variabel-variabel dalam pengukuran. Faisal mengingatkan bahwa variabel yang diukur perlu bisa dioperasionalkan, mengingat bahwa semakin banyak variabel akan semakin sukar data dikumpulkan (Faisal merujuk pada ketersediaan data yang umumnya semakin kecil lingkup wilayahnya semakin sulit didapatkan, atau semakin rendah tingkat validitasnya).
Selanjutnya, Ruth Indya Rahayu sebagai periset pengembangan konsep dan instrumen menekankan bahwa kata wellbeing perlu dipilihkan padanan katanya dalam bahasa Indonesia, karena merupakan kata yang sulit dimengerti di masyarakat. Pada penelitian ini level pengukuran juga perlu ditentukan segera dan variabel standar hidup yang bentuknya kualitatif perlu dapat dikuantifikasikan pada akhirnya. Saat ini tim peneliti sedang melakukan pendalaman tentang tolak ukur kualitatif dalam wellbeing yaitu: kapabilitas, fungsi manusia, kebertubuhan dan partisipasi sosial.
Pembahasan kemudian dilanjutkan oleh Melani Abdulkadir-sunito yang mengusulkan bahwa penyusunan konsep dan instrumen ini perlu dilakukan berdasarkan pengalaman para peserta diskusi, berangkat dari apa yang sudah dilakukan dan hal-hal seperti keberagaman (komunitas, jejaring, keberagaman di internal dan intra-komunitas) perlu mendapatkan tempat dalam penyusunan ini.
Diskusi Peserta
Diskusi yang berjalan pada sesi akhir amat menarik dan semakin menajamkan konsep wellbeing yang didiskusikan, serta berguna untuk pembuatan instrumen. Sebagai contoh, konsep community wellbeing menurut Wisemen dan Braser (2008) mendefinsikannya sebagai perpaduan dari sosial, ekonomi, lingkungan, budaya, dan situasi politik yang ditentukan oleh individu dan komunitasnya, yang penting dan berguna bagi untuk mengembangan potensi mereka. Konsep wellbeing lain yang dirasakan sesuai juga dapat digunakan dan dipadukan dengan konsep yang disusun sendiri dalam penelitian ini, dengan mengacu pada pengalaman lembaga-lembaga di masyarakat.
Perwakilan-perwakilan lembaga memberikan pendapat dan pada akhirnya menyepakati bahwa konsep dan instrumen yang disusun adalah pada level komunitas. Skema data yang dikumpulkan harapannya juga dapat ditentukan segera periodesasinya, apakah dikumpulkan tiap tahun, lima tahun sekali atau lainnya. Lainnya adalah mengenai unit sosial: apakah mengacu pada individu atau komunitas. Hal ini akan didiskusikan dan diperdalam oleh tim peneliti.
Semua peserta berharap bahwa konsep dan instrumen ini akan menjadi dasar untuk pengukuran level yang lebih tinggi di kemudian hari. Diskusi awal ini bisa jadi merupakan suatu langkah yang menandai suatu gerakan besar di kemudian hari dimana penggunaan alat ukur wellbeing benar-benar bisa memotret keadaan masyarakat secara lebih adil.
Penulis: Indra NH